1. Unwanted Children

"Kita tidak bisa menjaganya seperti babysitter Nick. Dan kau tahu akan berbahaya jika musuh melihat ada seorang anak ditengah para Avengers," Steve yang pertama kali memprotes apa yang diinginkan oleh Nick Fury. Mereka tidak mungkin membawa anak itu ke markas. Anak itu akan dalam bahaya.

"Kau bisa membesarkan Andrew selama 18 tahun dan menjadi seorang Superhero," Steve membuka mulutnya, sama sekali tidak bisa mengatakan apapun saat Nick sudah menyangkutpautkan anaknya dengan hal ini.

"Kami tidak bisa melindunginya. Pada akhirnya kami tidak bisa melakukan apapun untuknya Nick. Kau ingin aku mengatakan itu?" Tony yang melanjutkannya. Ia menatap garang kearah Nick, "kau tidak tahu berapa kali Peter diculik saat tahu jika ia adalah anak kami. Kau tidak tahu berapa kali Happy mengatakan padaku jika Peter hampir diserang oleh musuh kami. Apakah itu yang kau katakan bisa untuk menjaganya?"

...

"Setidaknya, ia tetap bangga memiliki kalian sebagai orang tuanya. Dan selalu percaya jika kalian akan melindunginya sampai akhir."

.
.

Tony dan Steve masih mencoba untuk memikirkan alasan agar anak itu tidak dibawa ke menara Stark. Bukan karena mereka tidak menyukai anak itu. Bukan karena mereka tidak kasihan pada anak itu, namun karena mereka takut apa yang menimpa Peter akan kembali terjadi pada anak itu.

Dan sementara semua orang disibukkan dengan kegiatan masing-masing, Clint memutuskan untuk berada di ruangan perawatan dimana anak laki-laki itu berada.

Ia bisa melihat rambut cokelat anak itu yang sedikit curly, dan juga wajahnya yang kurus dan juga pucat. Anak ini bahkan lebih kecil daripada yang ia duga, terlihat seperti saat Peter masih berusia 10 tahun.

Napasnya sedikit tercekat saat mengingat keponakannya yang baru saja berpulang 1 bulan yang lalu.

"Hei paman Clint. Aku mendapatkan video game yang kau cari kemarin."

"Mau membantuku menamatkannya?"

Clint mungkin orang yang paling dekat dengan Peter Andrew selain kedua orang tuanya. Peter hampir selalu memghampirinya saat jam istirahatnya. Mengajaknya bermain game dan juga menonton bioskop jika ada film yang ingin ia tonton.

Tidak bisa dipungkiri jika ia sama kehilangannya dengan Tony dan juga Steve saat Peter meninggal. Terutama karena ia yang melihat bagaimana detik-detik saat Peter terluka karena tembakan yang menewaskannya.

Ia bahkan masih ingat bagaimana tangannya berlumuran darah yang masih hangat. Ia sangat putus asa menghentikan darab yang keluar dari tubuh pemuda itu. Dan bagaimana ia bisa jarang sekali meleset saat akan membidik musuh yang hendak menembak Peter.

'Kalau saja saat itu aku lebih cepat...'

.
.

"Peter Andrew Rogers Stark. Kalau kau sampai keluar dari penglihatanku, kedua ayahmu akan membunuhku kau tahu?"

Clint memanah salah satu musuh yang berada dijangkauannya. Tentu saja ia tidak akan begitu saja lengah dan panahannya juga jarang sekali meleset. Tetapi tentu ia mengutamakan keselamatan dari keponakannya yang saat ini juga bertarung didepannya.

Bukan karena kedua ayahnya memberikan tanggung jawab untuk menjaga anak itu, namun karena ia juga peduli padanya.

"Tenang saja paman Clint. Semua sudah dalam kendali," ia menembakkan jaring laba-labanya pada musuh di belakang Clint yang hendak menembaknya dan melempar musuh itu menjauh.

"Kau terlihat tenang dan lebih bersemangat ketimbang biasanya Peter," Clint tampak berbalik dan memanah dua musuh lainnya yang ada di dekat mereka, "sebegitu senangnya kau bisa ikut dengan kami?"

"Tentu saja. Aku sudah menjadi Spiderman sejak usiaku 15 tahun. Meski kalian baru mengetahuinya satu tahun yang lalu. Dan kalian hanya memperbolehkanku menangani masalah kejahatan di Queens. Walau... Green Goblin juga menyusahkan," pemuda itu hanya tertawa datar dan menghela napas. Ia baru saja akan berbalik saat Spider sensenya membuat bulu kuduknya berdiri. Ia menoleh pada bagian titik buta Clint, seorang musuh yang tampak membidik kearah Clint yang masih disibukkan oleh musuh lainnya.

"Paman Clint, dibelakangmu!"

Clint mendengar itu, tampak berbalik dan melihat musuh yang dimaksud. Segera bergegas untuk menembakkan panahnya tepat kearah musuh itu, namun mendapatkan timing yang kurang tepat.

BANG!

Panah janya menyerempet musuh tersebut, namun pistol yang mengarah padanya tampak berbelok arah hingga peluru melesat cepat tanpa disadari menuju kearah Peter yang ada di dekatnya.

Pemuda itu percaya pada Clint bahwa ia tidak akan meleset. Seperti yang terjadi sebelumnya, hingga ia tidak sempat bergerak menghindar saat peluru itu menembus tubuhnya. Dan satu hal yang ia lihat sebelum semuanya rasa sakit itu ia rasakan, adalah pamannya Clint yang menatapnya dengan tatapan horror.

"PETER!"

.
.

Peter mempercayainya hingga akhir. Jika ia akan melindunginya, jika saat itu tembakannya tidak akan meleset. Namun, ia bahkan tidak bisa menjawab kepercayaan anak itu dan membuatnya tewas. Merenggutnya dari dunia ini.

"Apakah kau tidak apa tuan?"

Ia melompat sedikit mendengar suara asing yang terdengar dari depannya. Ia bahkan tidak tahu dan sadar sudah berapa lama anak itu bangun dan menatapnya. Ia melihat iris mata anak itu yang menatapnya dengan pandangan kosong.

"Tidak apa. Ugh, sejak kapan kau bangun?" Clint mengacak rambutnya dan menghela napas. Anak itu mencoba untuk bangun dan beranjak ke posisi duduk. Tentu secara refleks Clint membantunya duduk begitu saja.

"Saat kau masuk. Aku cukup sensitif dengan suara meski tertidur lelap," anak itu menghela napas dan tampak mengambil kembali buku yang saat ini ada di samping tempat tidurnya. Clint baru saja akan mengatakan kenapa anak itu tidak memberitahunya saat ia kembali berbicara sambil membuka buku di pangkuannya, "kau seperti butuh waktu sendiri. Mereka selalu menghukumku jika mengajak berbicara saat mereka sedang tidak ingin berbicara."

"Mereka?"

Anak itu mengeratkan genggaman tangannya pada buku di pangkuannya sekilas.

"...Hydra."

...

"Siapa namamu?" Clint tampak tidak begitu terbiasa untuk menghadapi anak yang bersikap dewasa seperti ini. Terutama karena ia selalu menghadapi Peter Andrew Rogers Stark yang merupakan pendengar dan juga pembicara yang baik.

"Mereka selalu memyebutku Eksperimen Gamma. Aku tidak pernah tahu namaku," ia berbicara seolah itu adalah hal yang biasa. Dan itu membuat Clint semakin canggung menghadapinya.

"Kalian tidak perlu melakukannya..."

"Apa?"

"Menjagaku," Clint tampak membuka mulut untuk bertanya lagi saat anak itu mengetuk telinganya sendiri, "aku punya pendengaran yang tajam. Kalian bisa membuangku, menaruhku di tempat manapun. Bagaimanapun juga mereka akan menemukanku dan membawaku kembali ke markas Hydra. Tidak ada tempat yang aman untukku..."

Semua yang dikatakan oleh anak itu didengar oleh anggota Avengers lainnya yang membuka pintu menuju kamar yang ditempati oleh anak itu. Dan semua perkataannya cukup untuk membungkamkan mereka.

.
.

"Baiklah, namaku adalah Bruce Banner. Aku akan memeriksamu dulu dan kita akan keluar dari sini," Banner tampak tersenyum, menatap pada anak itu yang kemudian membalasnya dengan mata membulat, "ada apa?"

"Kau dr. Bruce Banner? Bukumu adalah bacaan yang selalu kubaca. A--ah tetapi aku tidak bisa membaca bukumu terlalu banyak. Aku membacanya diam-diam karena mereka akan menyitanya jika aku ketahuan membaca sesuatu," anak itu mendadak hiperaktif membuat Banner membulatkan matanya sebelum tersenyum dan tertawa pelan. Anak itu yang tampak sadar dengan kelakuannya tampak terlihat panik dan menunduk.

"Maaf, a--aku tidak akan bersikap seperti itu lagi..."

"Kenapa?" Banner tampak memiringkan kepalanya dan anak itu hanya menggeleng. Matanya tampak mengedar memperhatikan anak itu dan berakhir pada buku yang selalu dibaca anak itu.

Ia baru sadar itu adalah salah satu disertasinya tentang penelitian sinar Gamma. Yang membuatnya memiliki kekuatan Hulk.

"Kau mengerti apa yang ada didalamnya?"

"Awalnya, aku sama sekali tidak mengerti... mereka tidak pernah mengajariku membaca. Tetapi aku selalu tertarik untuk mempelajari sesuatu. Jadi aku belajar membaca dari mendengarkan mereka," Banner tampak terdiam. Anak ini jenius, dan itu adalah bakat alami, "apakah... aku terlihat aneh?"

...

"Ya," Banner tertawa pelan saat mengatakan itu, "tetapi bukan kearah yang buruk."

Ia memeriksa anak itu secara seksama sebelum melepaskan IV Line yang terpasang di tangan anak itu. Tentu yang dikatakan Nick tentang bagaimana anak itu sama sekali tidak meringis saat jarum itu dilepas atau dipasang adalah benar.

"Jadi, kemana kalian akan membuangku? Kuharap... kuharap setidaknya kalian membiarkanku membawa buku yang kau tulis ini," Banner sedang memasang plester di tangan anak itu saat mendengar perkataannya.

"Tentu saja kami akan membawamu ke menara Avengers bersama kami. Dan kurasa aku akan sangat senang untuk bukan hanya memberikan buku itu padamu, tetapi menunjukkanmu bukuku dan juga Tony disana," ia mengusap kepala anak itu pelan, "kau bisa membacanya kapanpun kau mau."

"Benarkah? Tetapi aku tidak ingin merepotkanmu. Aku tidak mau... membuang waktu kalian untuk menjagaku, karena mereka akan kembali kapanpun dan membawaku," anak itu menggeleng dan menghela napas, "lebih baik jika kalian membiarkanku keluar dari sini dan aku akan menjauhkan kalian dari masalah."

"Tidak. Karena mulai sekarang kau adalah tanggung jawab kami. Lagipula, kami tidak akan disebut Superhero jika menghadapi Hydra saja tidak bisa kami lakukan," anak itu tampak diam. Ia mengangguk, ingat jika orang-orang ini menghancurkan tempat yang mengurungnya selama ini.

"Aku sudah memberitahumu. Tetapi, baiklah..."

.
.

"Ini adalah kamarmu. Aku, Steve, dan Tony tinggal di lantai ini juga," semua anggota Avengers sudah berada di menara Stark dan Banner serta Clint yang menemani anak itu. Satu hal yang tidak dikatakan oleh Banner adalah, satu kamar yang tidak dijelaskan olehnya. Kamar Peter Andrew yang berada diantara kamar Steve (dan Tony) juga kamarnya. Tentu bukan kamar yang akan ditempati oleh anak itu.

Selain karena barang milik Peter yang masih berada di kamarnya, Steve dan Tony belum siap untuk bisa membuka kembali kamar anaknya tersebut. Mereka bahkan sangat jarang masuk ke dalam sekedar untuk melihat keadaan.

Anak itu masih memperhatikan sekeliling, menyadari satu kamar dari lima kamar kosong yang ada di lantai itu. Ia baru saja akan menoleh kearah dua orang dewasa yang mengantarkannya sebelum ia yakin kalau ada seseorang yang berdiri di dekat kamar kosong itu meskipun saat ia melihat lebih jelas, sosok itu tidak ada.

'Mungkin penghuni kamar itu?' Anak itu tampak berpikir sejenak sebelum mengangkat bahunya dan berbalik menatap Banner dan juga Clint, "siapa Steve dan... Tony?"

Keduanya tampak diam, menyadari kebodohan mereka. Semua anggota Avengers selain mereka berdua memang belum memperkenalkan diri mereka.

"Bagaimana jika besok aku akan mengenalkanmu pada mereka? Sekarang, ini sudah malam dan kurasa kau mengantuk?"

"Tidak," anak itu tampak menggeleng, namun ia menguap pelan dan membuatnya sedikit merona karena itu. Banner hanya tertawa dan mendorong pelan punggung anak itu.

"Ada pakaian yang bisa kau kenakan di kamar. Sedikit kebesaran, tetapi kurasa akan nyaman dipakai tidur," anak itu kembali mengangguk dan berjalan kearah kamar itu. Ia membukanya, tampak kamar dengan dominasi warna putih dan sebuah dinding kaca yang menampakkan pemandangan kota New York. Ia bisa melihat pakaian yang tampak tergantung di dekat sana dan mengambilnya namun tidak segera ia kenakan.

Ia berjalan kearah jendela kaca dan menatap pemandangan malam disana.

"Apakah aku benar-benar sudah bebas...?"

.
.

"Kumohon hentikan!"

Ia berteriak beberapa kali. Berharap seseorang menolongnya, berharap jika orang-orang itu berhenti menyakitinya. Meskipun ia meronta, mereka tetap menahannya dan memasukkan beberapa jarum berisi obat-obatan yang bahkan tidak ia ketahui berapa banyak. Tubuhnya berteriak, beberapa kali ia memuntahkan cairan tubuhnya. Entah itu darah ataupun sedikit makanan yang mereka berikan padanya sebelum ini.

"Shut up!" Sebuah tamparan keras mengenai wajahnya, "kau pikir kami akan melembek jika kau menangis? Kau pikir akan ada orang yang akan membantumu jika kau berteriak?! Bermimpilah nak, kau akan baik-baik saja jika kau menjadi anak baik dan berhenti berteriak dan melawan. Tidak akan ada yang membantumu, tidak akan ada yang akan datang untuk menolongmu."

...

"Kau tidak punya tempat lain yang akan menerimamu selain disini."

.
.

Matanya membuka sempurna, napasnya tampak memburu dan ia segera duduk tidak menghiraukan perban yang menutupi lukanya yang terasa perih saat ia bergerak. Ia menoleh sekeliling, mencoba beradaptasi dengan tempat barunya itu sebelum mengatur napasnya.

"Ya, tidak mungkin aku bebas... mereka akan kembali," ia tampak menghela napas dan berdiri dari posisi ranjangnya. Jam masih menunjukkan pukul 2 pagi, tetapi ia sama sekali tidak merasa mengantuk. Matanya sudah membuka lebar, dan yang ia inginkan hanyalah jalan-jalan ringan. Hanya didalam menara itu saja.

.
.

Keluar dari kamarnya, ia melihat keadaan menara yang gelap dan hanya disinari oleh cahaya bulan. Ia menghadap pada satu kamar yang ada di dekat kamarnya, yang jika ia ingat dikatakan oleh Banner adalah kamar milik Steve dan Tony. Saat ia mengucek matanya untuk menghilangkan rasa perih di matanya karena baru terbangun, ia kembali melihat seseorang disana dibalik pintu yang sedikit terbuka.

Karena kali ini sosok itu tidak menghilang, meski ia sedikit aneh karena ia tidak bisa melihat jelas pada pemuda itu, ia mendekat.

Tidak cukup dekat, karena pemuda itu tampak masuk ke dalam dan ia hanya bisa mengintip dari balik celah pintu masuk kamar itu. Sosok itu--ia yakin pemuda yang tampak lebih tua beberapa tahun darinya hanya melihat dua orang yang berada di kamar itu. Satu sedang berbaring tidur di ranjang, dan salah satunya sedang tertidur juga dalam posisi duduk dengan kepala berbaring diatas lipatan tangannya.

Ia yakin dua orang itu adalah Steve dan Tony yang dikatakan oleh Banner.

Beberapa saat ia diam, pemuda itu tampak berbalik, dan berjalan dengan sangat pelan. Ia bahkan tidak yakin jika kakinya menapak pada lantai melihat bagaimana cepatnya pemuda itu berjalan.

Anak itu segera menyingkir dan bersembunyi, saat pemuda itu keluar dari kamar dan menuju ke kamar yang ada di sampingnya. Kali ini tidak melalui pintu namun sosok itu tampak menembus dinding begitu saja.

Kaget? Tentu. Ia bahkan segera mengecek apakah dinding kamar itu memang bisa ditembus dengan menyentuh serta meraba beberapa bagiannya, namun hasilnya nihil. Itu dinding absolut yang tidak mungkin bisa ditembus oleh orang normal.

Jadi, bagaimana pemuda itu bisa masuk?

Rasa penasaran membuatnya kini memegang knop pintu, berharap jika pintu itu tidak terkunci.

Dan harapannya terkabul saat ia menekan knop pintu itu dan pintu sedikit terbuka. Sedikit ragu dengan apa yang ia akan lakukan, namun anak itu segera mendorong pelan pintu di depannya, mencoba tidak menimbulkan suara hingga ia bisa melihat keadaan didalamnya.

Hanya kamar biasa didominasi oleh warna putih. Mirip dengan kamar yang ia tempati, namun dipenuhi barang-barang khas remaja pada umumnya dan beberapa buku berserakan disana. Ia berjalan masuk, melangkah lebih dalam sebelum ia menemukan sosok pemuda yang ia lihat tadi sedang duduk dan memandangi kota New York dari dinding kaca yang ada dihadapannya.

Krieeet

Suara pintu berdecit cukup membuat anak itu kaget sendiri, begitu juga dengan pemuda didepannya yang segera menoleh kearah sumber suara. Suasana canggung terasa, terutama saat anak itu tahu jika ia seharusnya tidak boleh masuk ke kamar orang lain sembarangan.

"Oh maafkan aku, aku tidak bermaksud--"

"Kau," pemuda itu bukan tampak marah atau terganggu, namun ia hanya mengerutkan dahinya dan tampak berjalan kedekat anak itu lagi.

"Kau berbicara denganku?"

Anak itu menahan diri untuk tidak memutar bola matanya dan mengangguk. Memang siapa lagi yang ada di kamar ini selain pemuda itu dan dirinya?

"Tentu saja..."

Pemuda itu semakin bingung melihat anak itu, dan mulutnya membuka beberapa kali seolah mencari kalimat yang tepat. Dan satu kalimat berhasil terucap begitu saja.

"Kau bisa melihatku?"

To be Continue

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top