Not for the End of the Day
Apa yang akan terjadi apabila dirimu tinggal seorang diri di dalam semesta yang telah menghilang?
Sebagai sesama makhluk ciptaan Tuhan, manusia dan malaikat memiliki peran masing-masing. Sesuai aturan pohon takdir yang diciptakan sebelum alam semesta, manusia mempunyai peran penting dalam menjaga bumi, sedangkan malaikat bertanggung jawab dalam pemenuhan unsur kehidupan alam. Bisa saja berupa kekuatan untuk kebajikan atau kehancuran.
Seiring perkembangan zaman, peradaban manusia berangsur-angsur mengalami kemajuan mendekati kemampuan Tuhan. Para makhluk ciptaan Tuhan yang nyaris sempurna itu bahkan mampu menciptakan berbagai peralatan canggih yang mampu menjelajahi semesta lain, kecuali singgasana Tuhan.
Tak puas dengan hasil ciptaan yang begitu-begitu saja, sifat serakah manusia pun muncul. Mereka ingin menciptalan sesuatu yang lebih hebat dari seluruh alam semesta. Kemudian terciptalah beberapa senjata berukuran berkali-kali lipat dari koloni mereka yang bisa meluluh lantakkan sebuah negara, bahkan sebuah planet. Kerusakan alam semesta pun makin parah. Hal ini membuat Tuhan murka.
Akhirnya, diutuslah para malaikat untuk menghancurkan beberapa wilayah dengan dosa paling banyak. Meskipun sebagian kecil dari wilayah tersebut bukan orang yang ikut andil dalam peperangan, mereka juga harus mengemban dosa orang-orang serakah itu.
"Azazel Skyroman, kenapa kau diam saja di sana? Cepat lebarkan sayapmu dan bantu aku!" Seorang Fallen Angel bersayap dan berambut hitam melintas di atas pemukiman penduduk yang sudah sepi penghuni. Sejak perang dimulai, manusia yang tinggal di tempat itu telah mengungsi.
"Apa gunanya aku hidup kalau hanya untuk menyaksikan kehancuran?" luah Azazel kesal. "Asal kau tahu, Alden, lebih baik aku tinggal di semesta hampa daripada mengurusi kerusuhan yang diciptakan oleh Tuhan."
"Jaga ucapanmu, Zel!" bentak Alden Skyroman kepada Azazel yang wujudnya mirip pria dengan rambut ikal dan kemeja kasual. Adiknya yang keras kepala ini memang suka seenaknya sendiri dan mengabaikan perintah Tuhan. Apalagi sejak kematian kekasihnya, Callista dari ras manusia, sikapnya lebih tak acuh dari biasanya.
"Perintah Tuhan mutlak ditaati," tutur kakaknya lagi. Namun, yang dinasehati malah bergeming.
"Kalau perintahnya untuk menghancurkan, aku tidak mau," tolak Azazel hendak menjauh dari Alden yang kakinya sudah menyentuh aspal. Saat dirinya sudah mulai melangkah untuk menghindari keributan, Alden menarik lengan adiknya.
"Semua yang diciptakan Tuhan akan kembali kepada kehampaan."
"Aku tidak butuh ceramahmu." Azazel menepis genggaman Alden dengan kasar. Tepat saat sebuah piring terbang milik bangsa Alien melintas di langit sambil meluncurkan laser ke segala arah.
"Makhluk semesta lain pun mulai andil dalam peperangan akhir zaman," gumam Alden saat netranya menuju ke arah piring terbang melintas. Kemudian Malaikat berzirah tembaga dengan surai hitam itu menepuk pundak adiknya.
"Semoga ini bukan hari terakhirmu."
Bentangan sepasang sayap hitam legam itu telah menjauh dari posisi Azazel berdiri.
***
Perintah Tuhan mutlak untuk ditaati.
Kata-kata itu masih melekat dalam minda Azazel. Dirinya masih mengingat betul tentang peristiwa yang menimpa Callista ketika Azazel diperintahkan untuk membawa angin tornado di daerah tempat tinggal wanita manusianya. Dikarenakan daerah yang didatangi terdapat banyak manusia yang mengemban dosa-dosa besar, manusia-manusia yang tidak berdosa turut menjadi korban. Termasuk Callista.
Pasca kematian kekasihnya, semesta yang dihuni Azazel terasa berbeda. Pria malaikat itu lebih sering mengurung diri di dalam rumah impian sang kekasih. Dia mulai mengabaikan perintah Tuhan dari waktu ke waktu. Tidak peduli seberapa besar dosa-dosa yang dipikul manusia yang akhirnya harus lenyap begitu saja.
Azazel juga memikirkan berbagai kemungkinan, "Bagaimana jika seluruh semesta menghilang? Apakah dunia akan diam atau Tuhan akan menciptakan yang baru?"
Beberapa jam setelah memelesat meninggalkan semesta yang tengah berperang menuju akhir zaman, Azazel telah sampai di depan pintu gerbang yang berada di lembah pegunungan berapi. Hawa panas mulai menyelimuti kulitnya. Tempat ini sepi tiada penghuni, hanya nampak lava-lava berwarna jingga terang berpijar. Azazel membuka pintu gerbang itu pelan-pelan. Terasa berat dan gelap seperti biasanya.
Konon, pintu gerbang ini mempunyai pintu-pintu portal menuju semesta lain. Semua pintu terlihat sama, tetapi hanya bisa dibuka satu kali. Bisa saja menuju tempat terindah atau tempat terburuk.
"Kuharap aku menemukan tempat tersenyap di alam semesta agar tidak ada suara-suara bising yang mengganggu hidupku," gumam Azazel seraya mendekatkan telapak tangan kanannya di depan pintu bergambar kupu-kupu biru neon. Perlahan-lahan, dia mendorong pintu tersebut lantas masuk ke dalam. Gejolak kesunyian begitu mencekam saat dirinya berputar-putar melewati portal.
"Kenapa panas sekali di sini?" Lintasan portal berwarna ungu itu memberikan efek panas di sekujur tubuh Azazel. Ia pun mempercepat laju terbangnya agar segera sampai di ujung portal. Namun, tiba-tiba percikan api menyerupai roket menjalar di kakinya.
"Sial!" Azazel mendengkus. Kakinya ditepuk-tepuk agar api itu padam. Namun, api itu malah berpindah mengenai sayap hitam legamnya.
"Argh! Panas!" teriaknya menahan kesakitan. Api terus menjalar ke permukaan sayap. Mengepakkan pun percuma. Minta tolong juga percuma. Api malah makin besar hingga menyelimuti seluruh sayapnya. Padahal pintu keluar portal sudah di depan mata.
"Oh, iya! Sekarang aku sendirian. Aku tidak butuh pertolongan para makhluk pendosa itu," luahnya menahan rasa perih dan tertatih.
Beberapa waktu kemudian, Azazel terjebur ke dalam sungai beraroma hujan dan tanah.
***
Bagi Azazel, hidup sendirian bukanlah petaka. Dia merasa hidupnya sangat bebas sekarang. Meskipun dunia yang ditempatinya sangat sunyi, dia sangat menikmati pemandangan hutan yang didominasi warna ungu dan violet terang.
"Binatang & makhluk kerdil pun tidak ada sepertinya." Azazel berjalan mengikuti arah pijakannya entah ke mana. Setelah keluar dari portal, sayapnya habis dilalap si jago merah yang diduga asalnya dari kutukan makhluk gunung berapi.
Azazel terus berjalan tanpa henti. Sunyi, sungguh sunyi. Apakah semesta tempatnya berdiri ini tidak mengalami rotasi? Sudah berjam-jam agaknya Azazel berjalan mengelilingi pepohonan, tetapi masih saja dilanda kegelapan. Hanya warna violet yang dilihatnya di mana pun jua. Beginikah rasanya jika dunia diam tanpa kata?
"Aku lapar." Azazel mengelus perutnya yang minta diisi. "Mungkin saja ada ikan di sungai tempat aku mendarat tadi," duganya.
Tak lama kemudian, Azazel menemukan aliran sungai yang nampak biru terang. Dengan sebilah ranting yang diruncingkan, tangannya mulai gesit memberikan tusukan ke bawah, berharap ada sesuatu untuk dimakan. Makin menuju ke tengah, ia melipat celananya makin tinggi hingga menyentuh paha. Hasilnya sama saja. Tidak ada makhluk apa pun yang menghuni perairan di sini.
"Mungkin aku bisa makan buah atau dedaunan," ujarnya penuh keyakinan. Ia keluar dari sungai lalu menerjang semak-semak keunguan. Sepasang netranya tak henti menelusuri bagian atas pohon-pohon menjulang yang tidak terlalu tinggi. Kemudian, Azazel menginjak sebuah benda kecil yang terasa kenyal.
"Mungkin ini black currant." Azazel mengutip benda bulat seukuran kelereng yang tumbuh di sekitar semak-semak. Tanpa pikir panjang, pria malaikat itu langsung menyantap seluruh buah yang baru saja ditemukannya.
"Aku harus kenyang karena aku tidak mau mati sekarang."
***
Padang rumput berwarna ungu kebiruan menjadi tempat Azazel untuk merebahkan diri guna meredakan pegal-pegal di kaki. Dirinya tidak tahu pasti waktu apa sekarang, masih siang atau malam? Atensinya berbelok seketika memikirkan tempat tinggalnya yang dulu. Mungkin sudah hancur berkeping-keping bagai pasir disapu angin.
"Peduli amat dengan dunia yang mau kiamat! Hidup sendirian dalam kesunyian lebih menyenangkan. Ah, damainya kurasa!" ucapnya seraya memejamkan mata menikmati desir angin kian syahdu membawa ketenangan.
Beberapa waktu kemudian, tiba-tiba perutnya bergejolak. Rasa mual kian menjalar di seluruh tubuhnya. Azazel lekas bangun. Dirinya sudah tak tahan ingin mengeluarkan seluruh isi perutnya dari mulut. Kemudian cairan kental berwarna ungu gelap meluncur dari mulutnya mengenai rerumputan yang nampak kenyal. Wajahnya berubah pucat, kulit tangan dan kakinya berubah keunguan.
"Mungkinkah yang kumakan tadi ... beracun?" duganya ketakutan. Azazel muntah lagi untuk kesekian kali. Kepalanya terasa pening. Napasnya tak beraturan. Degup jantung pun makin kencang. Tangannya sudah tidak kuat menyangga tubuh lunglainya. Raganya terhuyung dan tersungkur ke bawah.
"Siapa pun tolong aku!" gumamnya lirih. Azazel tidak tahu apakah akan ada makhluk yang menolongnya atau tidak. Mengingat saat ini dirinya berada di tempat yang betul-betul sunyi tanpa penghuni.
Semoga ini bukan hari terakhirmu.
Sekelebat bayangan kakaknya turut melintas dalam pandangannya. Tubuhnya mulai menggigil hebat. Rasa sakit tak tertahankan masih menetap di raganya. Benarkah ini hari terakhir untuk Azazel Skyroman? Jika dunianya berakhir seperti ini, lalu apa bedanya dengan pertempuran akhir zaman yang sedang berlangsung di semesta tempat tinggalnya?
Azazel hanya bisa berkeluh kesah. Ia pun pasrah dengan kondisinya sekarang, tanpa ditemani makhluk satu pun, sunyi, dan sendiri. Perlahan, rasa sakitnya mulai berkurang. Kesadarannya pun juga berkurang. Mungkin sudah saatnya Azazel tidur dalam kesunyian.
Kuharap ini memang bukan hari terakhirku.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top