End of The Books (Just Kidding)
Part 9(Ditulis sebelum hiatus lama)
(Waktu mulai penulisan): 17/04/16; 16:58
WARNING: THIS PART CONTAINED EXPLICIT CONTENTS, VIOLENCE, SWEARING.
Di mana aku?
Siapa aku?
Aku itu apa?
Apa itu apa?
Itu itu apa?
Oke, gua becanda. Gua gak mungkin sempet mikirin siapa itu siapa sekarang. Ketika gua udah tersungkur dengan indahnya di aspal, yang ada adalah gua lagi mikir: jadi, gua ditabrak?
Yep.
Bastard.
"Aaanjiiiiiiing!" suara itu geraman, keras, dan kasar—laksana gelegar guntur di langit mendung tanpa hujan. Sesuatu yang kupaksa untuk terdengar setelah sebelumnya mengerang pun tak sanggup. Begitu mengancam, siap membunuh.
Kukecap rasa besi di bibir, meludahkannya di aspal. Helmku retak, dan perkiraanku setang motor tak searah dengan ban motor depan. Mobil itu melaju jauh, kukejar dengan kondisiku sekarang berarti aku nekad.
Dan aku memang nekad.
Helm kulepas, menggantungkannya di setang kiri. Sebelum kebas merambah tangan yang terasa panas di bagian lukanya, aku segera mendirikan motor, menyalakannya dan dalam sekali hentak mengejar si mobil berengsek. Gemuruh masa terdengar di belakang seperi backsound. Rasa kebas dan menggigil bergantian menyerbu, melahapku bersamaan dengan angin menerpa luka. Debu menggores, membuat rasa perih menambah dalam sepersekian detik.
Fokusku hanya satu. Dan mangsaku itu ada di depan.
Tak lama mobil sialan itu ada dalam pandangan mata.
Pikiranku terpicu pada satu hal.
Balas dendam.
Segera ketika aku sudah begitu dekat dengan mobil itu, aku menambah kecepatan, memiringkan setang, sehingga banku membelok. Dan aku dengan suksesnya menyalip si mobil sialan.
Tahu apa yang gua lakuin ke mobil laknat itu?
Gua ngelempar helm persis ke kaca depannya.
Silahkan untuk mobil itu melambatkan mobil atau membanting setirnya.
Aku sudah siap dengan peperangan yang kumulai. Turun dari motor, memarkir melintang guna mempersulit mobil itu kabur dan menghadangnya.
Sesuai dengan hipotesa singkat insting pemburuku. Mobil itu melambat, mengerem, dan berakhir memperdengarkanku alunan indah decit ban yang bagai mars kemenangan.
Kulepas jaketku, membiarkan rasa sakit menjalar ketika luka bergesekkan dengan kain. Kubalutkan benda itu di telapak tangan, membuatnya menjadi semacam sarung tinju darurat. Mataku tak lepas dari kaca retak akibat hantaman helm. Di saat-saat seperti ini, aku berharap membawa senjata api hanya untuk meletuskan ban agar dia tak mundur ke belakang.
Dan amarah yang menggebu ini hanya dapat menahanku sebentar. Aku tak cukup kuat adu fisik dengan siapapun dalam waktu lebih dari tiga puluh menit. Tapi apapun resikonya, getaran amarah ini tak dapat disingkirkan atau diabaikan.
Kedua mataku mengirimkan sinyal pada sang pengemudi agar tidak mencari masalah untuk mencoba kabur kedua kalinya dariku. Swiss army di saku depan jins tiba-tiba teringat keberadaannya. Tanganku tanpa perlu diperintah secara verbal segera mencari dan menemukannya. Kupilih yang paling besar dan tajam, kuarahkan bilahnya ke bawah. Kugenggam erat bagai benda itu adalah tali penyelamat di benang kesadaran yang begitu tipis.
Kaki melangkah mendekati pintu penumpang, kudengarkan sekeliling, motor-motor pelalu lalang yang mencoba lewat di celah antara motorku dan bahu jalan, juga klakson kendaraan yang tak bisa lewat.
Persetan dengan mereka.
"Get out, bitch." kuperdengarkan akumulasi kemarahanku padanya. Seorang wanita tak kukenal, cantik dan menarik tapi demi anjing neraka, akan kupatahkan kakinya dan kusiram wajahnya dengan campuran aseton, air raksa, alkali, dan bahan pembersih toilet.
"I'm not! You dare to stole him from me, slut!"
Jadi bedebah itu penyebab aku akan susah tidur karena luka kecelakaan selama seminggu?
Oh, whore.
Tanganku yang terkepal melayang tak terhentikan siapapun. Getaran kaca terdengar saat aku meninju kaca jendela pengemudi. Dilanjutkan tendangan depan, yang kutambahkan lagi setelah aku bergeser sedikit, menghirup napas dalam dan memutar tumit, pinggang kemudian melancarkan dollyo chagi kesukaanku.
Sakitnya lumayan, tapi paling tidak hal ini memuaskanku. it's worth it.
Kenapa memuaskan? Karena si jalang memucat, mundur ke belakang, dan memasang wajah cemas terintimidasi dan terdominasi.
Dan aku suka ini.
Waktu dimana aku bisa tertawa terpingkal digagalkan kedatangan dua pihak.
Polisi.
Dan si bedebah Aaran.
Well, it sucks.
"Andrea?"
Dan (lagi) drama picisan dimulai.
Pintu terbuka, seorang gadis (jalang)pirang menyerbu ke arah Aaran.
'SUMPHAH LHAH. INI TELENOVELA AMADH LHAAAAAH.'
The urge to laugh need to settle down, cause it's inappropriate at all for this situation. But who the hell care aniway?
Dengusan tawa tak luput dari mata Aaran dan awak media yang berhasil mengejarku dan si pirang jalang atau jalang pirang—manapun tak jadi masalah.
Intinya dia jalang. Dan kebetulan pirang.
Mereka melihat ke arahku, mencoba menebak reaksi apalagi yang akan kumunculkan. Tapi nyatanya reaksiku adalah bisu sementara Aaran melepaskan diri dari pukulan si jalan pirang. Aaran justru berjalan cepat ke arahku dan mengecek kondisiku.
"Kita ke rumah sakit sekarang."
Kadang aku lupa, kenapa Aaran bisa bahasa Indonesia sefasih ini padahal dia seharusnya tak pernah cukup lama berada di Indonesia untuk mempelajari dialek dan grammar sempurnanya.
"Oke. Cewekmu gimana?"
"Ada polisi di sini. Itu urusan mereka—atau itu akan jadi urusan mereka yang terakhir."
Oou.
Ancamannya halus sekali.
"Kamu yakin dia gak bakal bikin masalah kalau kamu tinggalin dia?"
"Masalah bakal tambah besar kalau aku biarin kalian ada di tempat yang sama lebih lama."
Cerdas.
Simpul senyumku sebelum digiring olehnya ke mobil ambulans. Paramedis segera menyiapkanku.
Dalam tempo singkat mereka sudah memasang selang bantuan pernapasan ke hidungku. Kenapa?
Karena aku menggigil terkena suhu pendingin udara ambulans. Kenapa itu tak terpikirkan olehku alih-alih terus memertanyakan hal yang sama pada paramedis. 'Kok aku menggigil sih mas?' pertanyaan itu seperti ajian, kulanutunkan tanpa putus karena lama mereka menjawab. Lampu di atas kepala terasa begitu menyilaukan, mas.
Aku kedinginan.
Sampai di tahap aku menggigil tak tertahankan.
Kepalaku tidak—atau mungkin lebih tepat dikatakan belum pusing. Yang mana artinya aku belum berkemungkinan cedera kepala.
Satu yang jelas.
Kecelakaan itu gak bikin gua patah tulang. Tapi tendangan sama pukulan tadi, mereka berkemungkinan bikin gua cedera.
Dan Oh, well. Tangan dan kaki ini mulai kebas, kaku, susah digerakkann, dan—"AAARGGH!"
"Itu apa mbak?" tanyaku lirih setelah suara erangan paling keras yang kulakukan terdengar memenuhi mobil. Paramedis perempuan itu baru saja menggosokkan kapas penuh cairan pembersih luka entah terbuat dari apa, yang hasil sakitnya tak bisa dibandingkan dengan ketika tukang tatoku membersihkan luka tato yang dia buat menggunakan cairan antiseptik.
Paling tidak, rasa sakitnya tiga kali lipat lebih parah.
Sial sial sial.
Aku benci rasa sakit.
Kalian para masokis memang luar biasa.
Sungguh, aku tak berbohong. Aku salut pada kalian.
Dan ini lah saatnya untukku tidur.
Setidaknya, satu jam saja. Aku ngantuk
(diselesaikan di hari yang sama pada pukul 22:20 karena penulisnya butuh jalan-jalan, makan, main, ngobrol sama sohibnya, dan ngomenin author yang lagi dia isengin)
NB: adegan Ann ditabrak itu diambil dari kisah nyata, realita. Pada tanggal 5 Maret setelah saya pulang dari nyari toko kacamata. Tenang, bukan saya yang nerobos lampu merah :)
Byeeee~~~~~~~~
Author Amoral undur diri.
Sampai jumpa di lain-lain-lain kesempatan.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top