Chapter Si(ck)x
OST: This is gospel-Panic at The Disco!
February 2012
Tiga tahun sebelum pertemuan kembali Aaran dan Anneliese.
-At the hospital the story begins-
"Crap," makiku pelan dan cepat sebelum terdengar oleh seseorang. Karena harus mencari sinyal untuk mengabari Al bahwa kondisiku baik-baik saja, aku terdampar di salah satu bagian rumah sakit yang baru kali ini kudatangi. Orang-orang tak membantu, mereka membuatku terjebak masuk ke lift setelah kutanyai jalan keluar. Dan sepertinya bahasa isyarat yang mereka jelaskan padaku bahkan mungkin bukan jalan keluar. Kesimpulan: mereka tidak mengerti apa yang kukatakan tadi.
Untungnya mereka ramah terhadap orang asing. Yah, biat baik mereka tidak bisa dihilangkan begitu saja walau aku tetap tidak bisa keluar dari sini.
Di luar lift aku memandang sekeliling. Sepertinya ini lantai teratas rumah sakit dan berfungsi untuk ruang rawat inap. Aku mencoba masuk melewati pintu yang separuh tertutup dan separuh terbuka yang terbuat dari kaca dengan bingkai kayu berwarnay cokelat tua. Ada pintu kaca lagi di dalamnya, di sebelah kiri pintu masuk dan di dalam ada ruangan yang terlihat seperti kantor.
Memutuskan untuk menemui salah satunya mungkin keputusan bagus. Aku harap ada seseorang di luar sana yang mampu menjelaskan bagaiman aku bisa menemukan jalan keluar.
Aku berjalan ke pintu kedua dan melihat seorang gadis keluar dari salah satu deret pintu di sebelah kanan. Wajahnya muram, setidaknya itu yang bisa kutangkap dalam cahaya lampu koridor yang redup. Memakai jins hitam panjang dan baju hangat kebesaran berwarna merah marun dengan lambang lifeguard di dada kirinya. Matanya menatap waspada, menyelidiki gelagatku atau mungkin apa yang ada di balik kacamata hitam dan kain yang kulilit di sekeliling wajahku.
Yah, mungkin aku bisa bertanya padanya.Mungkin sih.
"Good day. Do you speak english , Miss?"
Dia melemparkan tatapan bertanya dan menaikkan salah satu alisnya saat
menjawab. Perasaanku segera mengatakan ada yang salah dengan gadis ini.
"Oui, i mean, yeah. Do you mind tell me why?"
Atau sebaiknya tidak usah.
Kabar bagusnya dia bisa bahasa inggris. Kabar buruknya dia tidak sebaik orang-orang tadi. Sikapnya kaku, mencela dan perkataannya terbilang bernada kasar. Sepertinya bertanya bukan keputusan bagus pada akhirnya. Aku memikirkan dengan sedih kelangsungan dari perjalananku menuju pintu luar yang mau tak mau akan dipenuhi dengan ketegangan.
"Ah, I'm kinda lost. Would you mind tell me the direction and how to get out."
"Sure, but maybe you won't reach the goal and lost once again. Better follow me 'cause i need to get out too."
'Uh, well, terima kasih untuk kepedulianmu. Tapi, maaf, apa kamu nggak terlalu kasar sama orang asing?' kataku dalam hati karena tak berani kehilangan kesempatan untuk keluar.
"Yeah, terima kasih banyak kalau kamu gak masalah, " kataku seraya melepas kacamataku dan mengendorkan kain di leher untuk melihat reaksi di wajahnya saat melihat milikku. Hasilnya tak terduga.
Matanya berkedip sekali lalu melebar karena terkejut dan dia mendecih.
Gadis itu mendecih.
Mendecih?
Mendecih.
Iya Aaran! Dia mendecih padamu. Artinya dia tidak menyukaimu. Jadi, bisakah kau berhenti mengulangi kata-kata itu sekarang?
Baiklah, aku sederhananya cuma pengganggu pemandangan buat dia.
Dan kalau aku tak salah dengar, dia mengeluarkan suara tsk setelah membalikkan badannya. Kemudian dengan suara datar berkata, "tarrawa, maksudku, ikuti aku."
Kami berjalan dalam kebisuan yang tidak nyaman. Aku bisa menangkap ekspresi waspadanya berubah menjadi dingin. Seolah setiap keberadaanku membuat seluruh tubuhnya ingin berkata Piss Off yang mana jauh lebih halus dari Fuck Offdan rasanya bisa saja dia katakan sewaktu-waktu. Matanya menatap bosan lorong rumah sakit pandangan merendahkan muncul ketika ada lelaki muda melihat ke arahnya.
Catat. Kabar terburuk saat ini ia kemungkinan benci laki-laki.
Semacam radiasi bahwa ia terganggu terpancar seperti sinar buddha, membuatku mengambil jarak cukup jauh darinya. Di depan lobi rumah sakit, tanpa mengucapkan kalimat atau pandangan mata meminta balasan semacam "beri aku nomor telepon dan semacamnya?" gadis itu segera berjalan menuju toko donat. Ia membeli sekotak donat dengan tiga macam rasa masing-masing dua potong dan dua gelas kertas kopi berukuran besar.
Terakhir yang dia lakukan adalah tersenyum sinis, mendengus tanpa menoleh, dan membiarkanku menatap punggungnya.
Dengan takjub aku menatapnya dan memutuskan dia adalah tipe gadis yang akan mundur perlahan dengan membawa sebilah pisau di belakangnya untuk berjaga-jaga saat dihadang. Itu ... adalah pertama kalinya seorang gadis benar-benar berusaha mengenyahkanku dari jarak pandang mereka. Bukan hanya menolak, terganggu, mengabaikan tapi juga melupakanku dalam waktu yang sama.
Kadang memang ada gadis yang tidak suka padaku dengan jutaan alasan di kepala mereka. Dan jelas itu artinya aku ada dalam jarak pandang mereka dan mendapat perhatian dari mereka pada wajah atau apapun dariku. Gadis ini benar-benar pengecualian.
Tubuhnya sedikit lebih tinggi dari gadis-gadis yang kutemui di negara ini. Dia tidak memakai riasan, matanya cekung dan pipinya agak bulat. Tidak ada kesan yang tertinggal bahwa dia cantik. Mungkin dia akan terlihat manis saat tersenyum, sayangnya aku tak mendapatkan kesempatan langka itu.
Jika ada hal yang membuatku terpana adalah kedua mata tajam yang selalu menatap sinis.
Harga dirinya pasti sangat amat tinggi—yang mana artinya berarti tidak akan langsung mau diajak berkenalan. Aku bisa membayangkan ketidaknyamanan yang muncul kalau ada pria yang meminta berbagi meja dengannya di kafe. Mata itu tidak hanya akan menyiratkan penolakan murni tapi dengan tegas juga menguarkan udara permusuhan pada mereka, menyuarakan keras-keras ia menyukai kesendirian di dunianya itu sebelum para lebah mendekat.
Dari kala itu hingga saat ini, aku masih belum memutuskan bahwa aku menyukainya atau tidak. Itu masih menjadi misteri.
***
"He is hot." Anneliese menerawang ke suatu ruang kosong di sudut kamarnya yang teramat sangat berantakan. Baju berserakan dimana-mana, kotor dan bersih menjadi tumpukan kain tak berguna di lantai, tempat tidur atau samping kursi dari meja belajarnya. Di atas meja, sebuah latop yang terbuka menyala, menampakkan deretan file Microsoft Word yang merupakan tugas-tugas gadis itu. beberapa pensil dan bolpen berserakan di sekitarnya, diletakkan sembarang di atas soal ujian.
Dua buah headset,botol bekas kopi yang digunakan sebagai tempat alat tulis berdiri tegak, menempel dengan dinding, dihiasi pita perak dan kain perca dari rok sekola biru kotak-kotak. Isinya saling berdesakan, antara pensil, krayon yang bentuknya seperti bolpen dan bisa diputar-putar lalu tabung isi pensil mekanik serta batangan lem. Selain itu sebuah asbak juga ikut mengambil tempat di meja. Asbaknya dipenuhi puntung rokok dari dua merek berbeda karena ia dan seorang gadis mengisinya secara bergantian selama mereka mengobrol.
"Who?" temannya mengalihkan pandangan mata yang sebelumnya tak mau lepas dari ponsel ke arah Anneliese.
"Seseorang yang aku temui nggak sengaja di kecelakaan," ujar Ann sambil lalu. Kalau ada orang lain yang mengatakan jawaban yang sama padanya, ia pasti akan berkata, "Sempet ya? Ngecekin cowok ganteng?" Dia tak bisa menjelaskan hal lain karena bayangan pria yang pasti menganggapnya sebagai gadis aneh siang tadi kini memenuhi pikirannya. "Oh." Jawaban singkat dari temannya itu lantas berhenti disana karena Ann tidak membalas lagi.
Merasa diacuhkan, gadis berambut panjang dengan warna hitam yang sedang duduk di tempat tidur itu bertanya lagi. "Emang bagusnya apaan?"
"Cowok paling seksi yang pernah gua lihat secara nyata dan langsung." Senyum puas dan misterius muncul di wajah Anneliese sementara ia mengambil rokok dari bibirnya, mengetukkan ujungnya pada asbak sehingga abu rontok disana. "Mmm..." dengan dehaman pelan, temannya melanjutkan pertanyaan itu. "Lebih cakep dari om Ben?" Anneliese segera menatap wajah temannya itu lalu bertanya,"Emang dia cakep? Muka-muka kejem, sadis gitu?" tampangnya pura-pura tak percaya dengan gerutuan pelan terdengar darinya. Benedict yang mereka maksudkan dari Sherlock Holmes versi BBC itu mendapat peringkat—nyaris teratas—di daftar Deirdre.
"Cakep kok!" Anneliese menatap gadis dalam kurung sahabat dan garis miring partner in crime selama hampir enam tahun itu dengan cemoohan. Lama gadis itu menatap temannya sampai-sampai Deirdre harus melakukan pembelaan diri dengan membalas. "What? Cakep kok." Deirdre tetap keukeuh pada pernyataannya, tak mau meralat sedikitpun hal yang ia yakini itu.
Keduanya terdiam saling pandang, menekuri pikiran masing-masing sembari menebak isi pikiran lawannya. Deirdre adalah orang yang paling lama ada di kehidupannya dan pantas menjabat gelar teman atau sahabat jika mengingat semua peristiwa yang pernah terjadi. Gadis yang usianya tiga tahun di atas Anneliese itu anak seorang petinggi kepolisian dan masih keturunan dari keluarga bangsawan. Membuatnya menyukai banyak kekuasaan bergelimang di sekitarnya.
Wajahnya mungil namun tegas. Dengan rambut panjang sepunggung, dia bisa tampil feminim atau kasual juga yang lain-lain sesuka hati. Keduanya bertemu di sekolah menengah atas yang pertama kali dimasuki oleh Anneliese dan Deirdre ada di tahun kedua.
Mereka memiliki hobi yang sama, sejumlah peristiwa kehidupan yang sama serta banyak hal lagi yang membuat mereka terbahak setiap mengingat apa yang pernah mereka lalui. Kehidupan remaja dan anak-anak mereka jauh berbeda dari pengalaman hidup orang lain. Dari semua hal menarik dan sama itu, sesuatu yang paling besar adalah ketika mereka menyadari ketidaknormalan mereka.
Mereka adalah Player.
Mempermainkan hidup mereka sendiri juga orang lain.
Dengan cara tak biasa dan sulit dimengerti karena pemikiran serta sudut pandang mereka yang berbeda dari kebanyakan orang. Lalu mereka memperalat semua orang, menyeret siapapun ke dalam permainan mereka. Menggunakan orang-orang sebagai bidak catur dan membuang mereka setiap permainan usai.
Dan lagi, Anneliese tidak pernah puas, juga selalu merasa bosan dan ingin hal lebih.
Kemudian Anneliese tidak melanjutkan pembicaraan itu dan membuat catatan dalam pikirannya untuk melupakan orang itu. Pria itu keturunan asing dan jelas sekali mereka tidak akan bertemu lagi. Dan dia berharap, firasat yang mengatakan ada sesuatu dengan orang itu salah. Benar-benar salah.
-At a night club we met-
Perkiraannya salah, ia menemui pria itu beberapa hari kemudian.
Ann sedikit kesal melihat lelaki itu—mungkin juga banyak. Laki-laki tampan, eksotis, menggairahkan, dan punya segudang blah blah blah penghargaan untuknya. Pria semacam itu cukup dilihat dari jauh atau dari layar PC. Pada kenyataannya, mereka selalu egois, dengan semua kata sok mengawali sifat mereka.Sok tampan, sok baik kadang, sok jual mahal seringnya, arogan sebagai ciri khas dan selalu berpikir memiliki dunia dalam telapak tangan mereka.
Bergaul dengan mereka intinya adalah fuckin' huge pain in the ass.
Klub itu baru ia datangi beberapa bulan yang lalu. Tapi ternyata virus Tuan Aaran sudah menyebar disana, lebih cepat dari perkiraannya. Membayangkan tempat-tempat dimana biasa ia datangi akan ditandai lelaki itu membuat Ann merinding geli. Terrace adalah kelab di daerah Seturan yang dikenalkan temannya, Redite. Tidak benar-benar jauh dari rumah membuatnya santai untuk pulang-pergi kesana.
Aaran, pria yang ia temui di rumah sakit menyapanya, masih mengingatnya. Karena budaya yang berbeda, cara ia mengenali Ann sedikit berbeda. Senyum jutaan watt dan percakapan menarik muncul begitu saja tanpa disadari hingga di akhir perjumpaan Anneliese menjadi tertarik pada pria tampan dan tinggi itu.
Tak heran eksistensi pria itu mengiritasinya. Aaran seorang fotografer model sekaligus aktor. Hanya wawasannya tentang dunia busana yang mampu membuat Ann cukup menerima pria itu sebagai teman bicara. Mereka membahas tentang DKNY yang selalu membuat Anneliese berteriak spontan dengan girang hingga pakaian berbahan beludru Scarlet O'hara di Gone with the Wind. Hannibal Lecter juga masuk ke dalam pembicaraan mereka, ibu Aaran penyuka film yang diadaptasi dari novel itu. Ibunya seorang novelis, seorang yang Anneliese tahu karyanya dan Ann menyukai gaya penulisan ibu Aaran.
Mereka memutuskan berteman dan bertukar nomor ponsel serta alamat surel juga beberapa media sosial. Hanya saja, di suatu malam yang lain, ketika mencoba menghirup udara malam di luar klub, Ann mendapati Aaran membawa gadis di mobilnya walaupun selama ini ia tak pernah melihat satupun. Sebelum terlihat oleh pria itu, Ann segera masuk kembali ke dalam. Ia mendapat firasat aneh di kepalanya. Firasat yang aneh dan buruk.
Bergegas menuju mejanya tanpa tersandung atau terpeleset saat menggunakan sepatu hak tinggi adalah mukjizat tersendiri. Lantai dansa memang penuh dengan para gadis dan pria berdansa, tapi ia bisa lewat tanpa menabrak dengan mensiasati bergerak di lingkar luar. Tepat di antara meja-meja tengah dan meja di pinggir ruangan yang kursinya berbentuk sofa dan dipenuhi pasangan bermesraan.
Lokasi mejanya ada di pojok kiri di depan panggung, dimana DJ sedang memainkan musik dan lagu Holy Grail kesukaannya. Teman-temannya DJ jadi mudah saja mendapat tempat itu, yang selain dekat dengan panggung, dan restroom juga bersebrangan dengan bar. Sial baginya karena tempat itu paling jauh dari pintu masuk.
Tanpa banyak ribut, ia mengambil benda yang dia cari; tas berbentuk amplopnya yang berwarna ungu dengan garis merah muda terang dari bahan beludru.Terakhir kali ia meletakkannya di atas meja yang penuh bir dan serakan berondong jagung dan kini sudah ada di bawah, di lantai, bergeser akibat getaran. Tak lupa, ia mengambil kotak rokok yang, pastinya, sudah tinggal seperempat dari isi semula.
Langkahnya cepat sebelum Redite mampu meraih tangannya. Ia tak punya waktu untuk menjelaskan dan akan menyelesaikan alasan kenapa ia duluan dengan pesan teks.
Dan Tuhan berbaik hati tidak membiarkannya mengambil nafas lega. Marathon atau sprinter, di antara keduanya, jantung Ann berdentum keras. Hal itu bukan disebabkan getar dari suara musik semata. Tapi tentang seorang gadis cantik bercanda dengan Aaran.
Ia bisa tahu tanpa mengetes suhu tangannya dengan cara apapun. Positif sekali bahwa pacuan adrenalin yang terlibat membuat jemari tangannya mendingin. Perasaan getir itu kembali lagi. Dan kali ini, seperti biasa ia terkesima pada rasa itu dengan balutan takut yang mencengkram erat kepalanya seperti cakar elang.
Rasa dingin menjalar dengan mudah karena ia memakai baju tanpa lengan yang potongannya cukup sopan tapi transparan dan tipis. Celana pendek ketatnya tak membantu, ia kedinginan dan ia juga mulai pusing.
Perasaan yang paling membuatnya tidak tahan adalah dia menjadi seorang pengecut dan teringat lagi pada semua kenangan lama yang buruk.
***
-At the party the fear comes back after a lil holiday-
Keesokan harinya ia punya janji dengan Aaran untuk ikut pesta yang diselenggarakan oleh klub mobilnya. Mereka pergi bersama dari Terrace dengan motor Aaran yang membuat Anneliese jatuh cinta pertama kali melihatnya. Motor itu seksi dengan karat dan warna kusam serta suara derum kasar yang khas dari sebuah BSA dimanapun mereka berada.
Mereka bercanda dengan nyaman dan bermain aman. Tapi kemudian ia melihat gadis itu lagi. Gadis yang bersama Aaran malam sebelumnya dan kini bercanda dengan begitu santai dengan semua orang di pesta. Gadis itu model terkenal dan ia tidak akan lupa bahwa dia adalah salah seorang yang beberapa bulan lalu menjadi gosip panas mengenai kecelakaan yang menimpanya.
Cantik, anggun, dan dingin. Samantha Golden seorang gadis Amerika keturunan Inggris yang bisa disalah kira sebagai orang Inggris murni karena aksen serta pembawaannya. Dan ia sangat cantik.
Anneliese ingin kabur dari tempat itu untuk berbagai alasan seperti cemburu dan juga beberapa lagi yang lebih menyedihkan, tapi sayangnya Ia tidak bisa. Mereka dan beberapa teman lain justru pergi ke bar dan berbincang-bincang disana sampai pagi. Kemudian, sementara mereka bercanda, ketakutan menyebar seperti virus dengan cepat di seluruh selnya.
Tapi lalu ketakutan itu memudar dalam kecepatan lambat, kecepatan tak ubahnya laju pedati, dan Ann terpuruk disana dalam perasaan yang berubah menjadi dilema serta pura-pura tidak peduli. Setiap beberapa malam sekali mereka akan pergi ke beberapa kafe dalam satu malam. Mengobrol ngalor-ngidul sesuai ungkapan orang Jawa dan saling melontarkan lelucon untuk satu sama lain dengan beberapa teman yang selalu ada. Namun suatu ketika, setan 'mimpi' membisikinya sesuatu agar dia melakukann apa yang disebut kencan oleh orang-orang.
Kencan itu semata berupa nonton film bersama dan memiliki rencana terselubung di belakangnya tanpa diketahui Aaran. Anneliese membeli tiga tiket karena Aaran berkata akan membawa seorang temannya yang sesama fotografer namun dibatalkan karena pria itu lupa ia memiliki janji pemotretan dengan seorang artis lokal.
Karena takut terlambat ia berlari dari lobi depan pusat perbelanjaan hingga ke atas. Ia tak berani menunggu lift yang kemungkinan besarnya penuh. Tapi Aaran ternyata belum disana hingga mereka melewatkan beberapa awalan film.
Di dalam kegelapan, dimana Ann memilih kursi yang letaknya paling atas, mereka menonton tanpa bersuara. Sesekali mengomentari jalannya film atau suatu adegan, tapi tetap dalam jarak yang aman. Kemudian dengan bejatnya, nafsu datang secara mengejutkan tak ubahnya setruman listrik. Perasaan itu mengancam untuk merobek diri Ann dan melemparkannya ke Aaran.
Ia ingin memegang tangan Aaran.
Menggelayut di lengan kekar itu.
Duduk di pangkuan otot paha pria itu.
Kemudian menciuminya dengan amat pelan dari balik baju di dada, ke bahu, dagu, sudut bibir dan berakhir di bibir.
Mereka akan berciuman, saling menyentuh seperti orang amoral tak tahu diri.
Namun, Ann tidak akan pernah sanggup melakukan hal yang menurutnya begitu murahan dan menjijkkan tersebut. Ego, sekali dan hingga selama-lamanya, memilih dan menuntut untuk menjegal langkah itu serta tak mengijinkannya. Di saat film berakhir, Ann melihat ada kakak kelas SMP ternyata menonton film yang sama kemudian berbincang sedikit. Aaran berdiri dengan sabar di dekat pintu keluar kemudian mereka berpisah disana dan pulang sendiri-sendiri. Ann dengan motornya, Aaran dengan mobilnya.
Esokannya mereka bertemu kembali di Terrace dan Ann terpaksa berdiri di belakang bar, bersembunyi di balik bartender yang menjadi temannya. Aaran sejak kemarin memaksa untuk membayar tiketnya, atau paling tidak tiket yang dibelikan untuk temannya. Ann jelas menentang keras hal itu dan mereka saling melemparkan uang Aaran membuat beberapa pengunjung terhibur.
"Take it!"
"Or leave it!"
"No. Take it or I'm gonna kiss you."
'KISS ME! JUST KISS ME YOU MOROOOOONNN! GAAAHHHHH!' Anneliese hanya bisa membeku dan mukanya panas selama teriakan-teriakan ala tsundere muncul di dalam pikirannya. Euforia memenuhi dirinya seperti remaja tolol yang terbakar asmara dan sedang kasmaran. Sesaat ia berharap semua orang lenyap dari Terrace supaya ia bisa melompat ke atas meja bar dan menjatuhkan Aaran dalam satu kali serangan. Ia akan memperkosa Aaran tanpa perikemanusiaan semalaman. Tapi, make-out di atas meja itu juga tampak menggiurkan dan ia mempertimbangkan itu.
Sayang hal itu hanya angan-angan dan semua fantasi liarnya buyar ketika suara lain muncul, menandakan ada orang lain disana. "Aaran, stop playing around. She is just an innocent adolescent, don't taint her with your dark-nasty-side. She'd crying a whole night for that."
"I'm not that cry-baby!"bantah Anneliese kesal pada temannya.
"Uh, well, people get used by death threat so I'm using that new one so she'd accept my money."
'Is he some kind of idiot?' Anneliese dan temannya saling berpandangan. Terpukau dengan ketololan Aaran yang lupa betapa wonderful-nya hidup seorang gadis jika bisa berciuman dengan pria setampan dia.
"No way in hell it would happend, dickhead."
Itu mungkin adalah candaan mereka yang paling menyenangkan dan terakhir kalinya. Beberapa waktu kemudian, Aaran pergi meninggalkan Anneliese dalam kebimbangan. Aaran mendapatkan sebuah pekerjaan yang mengharuskannya tidak pulang selama setengah tahun dengan menjadi seorang juru fotografer untuk sebuah film di luar negri. Itu adalah enam bulan yang damai namun secara samar menyiksa Ann. Gadis itu berubah menjadi seorang penguntit media sosial.
Tapi kedamaian itu hancur ketika Aaran kembali untuk pertama kalinya.
Kali ini, Anneliese bisa merasakan ketakutan mengancam kembali padanya. Ia mulai menyukai Aaran.
Dan ia tidak tahu harus mengatakan perasaannya pada Aaran meski gadis itu tahu ada dosa yang juga harus dijelaskannya pada Aaran.
***
Kali ini Anneliese merasa terjebak. Ia lupa pada janjinya beberapa minggu lalu untuk mentraktir kawan-kawannya pergi karaoke, dan uangnya ia habiskan untuk kado ulang tahun adiknya hari itu serta semalam. Janji adalah janji, meski tak suka, ia harus menepati hal itu dengan apapun yang ia punya. Jadi ketika ia harus menghabiskan semua uangnya untuk itu, ia tak peduli. Egonya perlu diberi makan atau dia akan sekarat.
Ego benar-benar peliharaan yang sangat menyusahkan.
Malam sebelumnya ia menemui Aaran dan Samantha di sebuah bar yang letaknya paling atas dari hotel terkenal di kawasan Malioboro. Dari sana ia bisa melihat beberapa gadis setengah telanjang memamerkan aset mereka yang paling berharga berguncang dari balik kain bikini. Samantha sibuk dengan ponselnya, melakukan entah apa. Hal yang membuatnya kesal adalah Aaran terus saja melamun dan memberi tampang mengantuknya. Beberapa jam kemudian mereka pulang dan Aaran menghilang kembali ke pekerjaannya bersama Samantha.
Anneliese menatap layar ponselnya yang lebar namun bentuknya tipis dan membaca setiap hasil obrolannya dengan Deirdre sejak pagi. Mereka seharusnya bertemu setelah Anneliese menyelesaikan ujian tengah semesternya jika saja ia tidak punya janji untuk menghabiskan seluruh persediaan uangnya karena pelampiasan ego.
Disana terlihat percakapan yang berlangsung sebelum Ann memutuskan untuk berangkat ke sekolahnya yang berbeda dengan sekolah biasa karena hanya dihuni oleh siswa-siwa dengan kasus khusus.
VAI: 2:15PM
Lo dimana? Tadi ga konsen.
Irdre: 2:15PM
Di kafe deket rumah.
VAI: 2:15PM
Masi ngantuk.
Hooh.
Irdre: 2:16PM
Miaw
VAI: 2:16PM
Meww.
Kemudian Anneliese membalas obrolan terakhir mereka dengan hal yang menurut Deirdre aneh.
VAI: 5:07PM
Verm.
You know what?
Irdre: 5:08PM
What?
VAI: 5:08PM
I love you so much.
Irdre: 5:08PM
What happened?
VAI: 5:010PM
Nope.
By the way.
I sang wonderwall.
Meh.
Haha.
Irdre: 5:10PM
Wew
VAI: 5:11PM
Lalalal
Tak berapa lama kemudian, Ann menelpon gadis yang sering ia panggil Vermilion itu setelah menekan layar ponsel dimana icon berbentuk kotak obrolan berwarna hijau dengan siluet ponsel di tengahnya.
Kemudian, di antara tawa dan sesuatu yang ia sembunyikan dari sahabatnya itu lagu Wonderwall pun mengalir.
Irdre: 5:11PM
Seems like you're sad
Boleh~
Deirdre membalas obrolan mereka dengan penerimaan lagu yang dibawakan sahabatnya itu. Kemudian bertanya setelah merasakan sesuatu yang aneh memang benar-benar terjadi.
Irdre: 5:42PM
Hei
You
Lagi di mana?
VAI: 5:40PM
Di suatu tempat?
Why?
Isn't it obvious?
Karaoke.
Irdre: 5:41PM
Hmph
Shall I pick u up?
Anneliese meringis saat salah satu temannya menyalakan lampu lalu lagu Janji Suci dinyanyikan oleh salah satu dari mereka. Tiba-tiba keinginan untuk pergi itu menjadi sangat kuat. Ia mencoba menipu dirinya sendiri dan Deirdre, tapi sepertinya gagal.
VAI: 5:48PM
No
I bring my bike.
Irdre: 5:49PM
You'll be available at what hour?
VAI: 5:49PM
Around one hour.
Why?
Irdre: 5:50PM
If another hour, shall i wait you at somewhere?
Nope
I just...
Hmm
VAI:5:50PM
Hmm?
Takut-takut, Anneliese membaca teks itu, ia tak ingin Deirdre tahu. Tapi sepertinya sudah terlambat untuk berpura-pura lebih lanjut.
VAI: 5:53PM
God, it could be worse.
You know what? A knows my feelings toward him.
Irdre: 5:54PM
Hahahaha
VAI: 5:54PM
I just found it last nite
Irdre: 5:54PM
So that's the case
That makes you sad
Senyum getir dan ekspresi muram melukis wajah Anneliese dalam warna-warna gelap juga pucat. Ia membalas Deirdre dengan tawa mengejek sehingga beberapa teman melihatnya dengan aneh.
VAI: 5:5PM
Meh.
Maybe.
Dunnno.
Irdre: 5:55PM
I can't say you should forget him, because your feelings is yours only
So may I...
Be the doll
Dengan kemarahan yang tajam dan dingin, jemari Anneliese membalas pesan itu cepat. Itulah kenapa ia tak suka orang tahu tentang perasaannya. Semua orang jadi khawatir dan mempedulikannya dan sementara itu bisa membuatnya tersanjung, ia kesal kadang-kadang.
VAI: 5:55PM
I'd never.
Ever.
Want.
You.
To.
Be.
My doll.
Just being a human is enough for me.
Obrolan itu ternyata pending, dan Anneliese baru sadar ada kalimat yang tertinggal disana.
Irdre: 5:56PMa
To exchange his presence?
Pukulan knock-out menunggu di depan pintu, siap meninju wajahnya dan membuat rahangnya patah. Pikiran keduanya jauh lebih sinkron dari yang ia duga hingga bisa saling membalas dengan satu kata doll sebagai kuncinya. Kenyataan itu menampar dan siap menendangnya jatuh.
Obrolan itu berhenti sampai disitu. Ia tak ingin Deirdre tahu seberapa besar dampak kebenaran saat ini menyerang otaknya. Aaran, tak menyisakan apapun lagi untuknya sekarang.
-At the night she cried, the fears comes back alive-
Kembali ke masa sekarang.
Austin, Texas.
"How do you even know I'm here?" Anneliese menuntut penjelasan dalam suara yang bergetar dan ia sadari penuh dengan amarah. Ditatapnya dengan benci wajah tampan Aaran. Pria itu tampak keren meski hanya dengan jins hitam dan kaus bertumpuk serta mantel yang tidak dikancingkan.
"God works with his own way." Aaran menjawab kalem. Kalau ini bukan tempat umum dan ada Jason Statham serta Dwayne juga keamanan SXSW, Anneliese yakin sudah mencari benda apapun untuk dihantamkan ke kepala Aaran.
"You cocky bastard. To do what? Ruin my life once again?" pertanyaan itu lugas dan terdengar setulus sebuah kebohongan terucap. Euforia Aaran dalam menemukan Anneliese terpaksa berhenti karena raut wajah gadis itu begitu muak akan dirinya. Kali ini tidak ada Anneliese yang lumayan baik hati. Ini adalah yang Anneliese janjikan saat di malam ia bertemu kembali dengan gadis itu.
Aaran mencoba tidak terpancing dengan kesedihan yang muncul, dengan sabar ia menjawab. "Give you to me." Suara itu serius, terdengar bagi Anneliese sebagai petir menyambar di gurun Sahara.
"To hell with that! Get off from me!"
"By the way, I should say thanks to Jason."
"Not that Jason, aren't it?"
Mata Anneliese melebar dalam sebuah kesimpulan. Ia memuntahkan kata makian dalam bahasa ibunya dan menggumamkan kata penkhianat di dalamnya untuk beberapa kali. Jason adalah teman Aaran, itu saja sudah membuatnya dongkol. Kalau mereka tidak sedang dalam perang skala arogansi sekuat godzilla melawan ego sebesar dinosaurus Anneliese tidak akan memedulikan apapun kecuali membuat Aaran mempertemukannya dengan Jason. Tapi egonya, seperti yang selalu mudah diduga, tidak mau berkompromi. Sekali lagi seperti biasa, egonya tidak mengizinkan.
"It's just about—what? Five hours ago?"
"It doensn't matter. I had a jet and sure it could get as fast as I want as long there's no traffic jam in sky." Wajah Anneliese kontan memucat. Semua rencana konyolnya segera musnah sebelum pernah dijalankan. Dan semua itu hanya dalam serangan yang Aaran lancarkan tak langsung di pernyataannya.
"Whore please," ejek Ann sambil lalu dan terlihat tak peduli. "What is exactly you want from me."
Aaran tersenyum, memberi gerak-isyarat ia kebingungan dan menjawab. "Actually, it's just a simple thing. You."
"REJECTED! I'm not in a bargain sale for hellboy's sake! You idiot. What else?"tak hanya membentak, Anneliese berteriak demikian kasar pada pria itu.
"Your love?" suara gerutuan dan desahan nafas kesal dan lelah meluncur keluar dari bibir Anneliese begitu mendengar jawaban ngaco Aaran.
"I don't have any. "
"Make it."
"Not gonna make it 'cause there's nothing such love in the first place." Anneliese menatap Aaran dengan muka datar dan malas-malasan lalu berkata, "Romance and begh blegh blegh doesn't work with me." Gadis itu menyelipkan tiruan suara muntah di kata-katanya dan membuat Aaran meringis meihatnya.
"Your soul, then."
"Huh? 'SCUSE YOU? You wanna KILL me? For YOURSELF? YOU ARE THE MOST INSANE-EGOISTIC-MANIAC IN THE WORLD!"
"Stop twisting my words and you know what I mean!" Aaran mulai kehilangan kesabarannya dan membentak gadis itu. Anneliese membulatkan matanya, sulit untuk tidak terpancing pada emosi Aaran.
"You broke your promises. What should I expect from you? A forgive Anneliese? Go to the nearest cliff and jump then you are forgiven."
"Eglaf...that's—"
"Hell Yeah. That's undeniable you are the one at fault."
"It won't happend ever again."
"Nah, it doesn't make sense. You did it. Twice. This is not the first time you ever leave me and begging me not to go—" "—wait."
Anneliese mendengus, dengan ragu menatap apa yang sedang dilakukan Aaran. Pria itu sibuk melihat sekeliling koridor.
"What the hell are you doing?"
"I'm afraid Beyoncé would pop out from somewhere. That's her song you quotes."
"Mneh." Anneliese tidak bisa menahan dirinya untuk tidak membatu karena takjub pada Aaran yang masih sempat bercanda. Kadang gadis itu berpikir apakah selain wajah dan tubuh Aaran apakah ia juga menyukai kepribadian pria itu dahulu. Dia pasti sedang teler jika itu benar.
"I'm so tired of being here with you keeps bitchin' Aaran. Don't so mathematics and tried too hard finding his X and ask Y they broke up an eons ago. I owe you—at least—that favor actually."
"Evanescense and Math now?"
"You. Were. Say-ying."
"DAD!"
Anggun berlari ke arah Aaran dan menendang lutut pria itu, sang ayah yang menurut anaknya sedang bersikap menyebalkan kemudian meringis. Tak pernah ia tahu bahwa anaknya adalah seorang peserta pertarungan bela diri yang sedang menyamar sebagai anak kecil manis dan tampak bagai malaikat.
"Why you leave me with that girl?!"
Tamparan itu keras.
Dan tamparan kata-kata itu tak hanya terasa di pipi Aaran, tapi juga Anneliese. Mereka bisa merasakan panasnya tamparan itu begitu segar di ingatan mereka seperti baru terjadi sedetik yang lalu.
"Why you leave me!"
Itu adalah kalimat yang tabu untuk diucapkan Anneliese saat ditinggal Aaran dan air mata menggenang di pelupuk mata Anneliese. Ia seolah kesulitan bernafas dan pandangannya mengabur oleh air mata. Dadanya mendadak terasa sakit, sesuatu yang jujur menusuknya tepat disana.
Anneliese tak ingin seorang pun tahu ia mencintai Aaran. Tak hanya sekedar tertarik, tapi cinta. Sesuatu yang tak ingin ia tahu penjelasan ilmiahnya namun tetap membenci eksistensinya. Perasaan itu mengaburkan nyaris seluruh logikanya dan ia membenci itu.
Kedua mata gadis itu menutup, mencoba menahan air matanya. Ia berusaha tidak mengambil nafas dari hidung agar tak mengeluarkan sedu sedan menjijikkan yang akan membuatnya terlihatnya menyedihkan.
Kalimat itu kembali dan akan siap menghantui malam-malam kelam dimana ia bermimpi bisa menyentuh Aaran.
"I'm sorry Anneliese."
"No. No. No. NO! Leave me alone, Aaran. Don't pretend you gives a shit! Leave me alone and don't come back. I-I ... I can't take it much longer. Stop it." Gadis itu membawa tangannya ke mulut untuk menutupi suara isakannya yang muncul. Nafasnya begitu berat karena dada yang seolah dililit tali tambang ala iklan. Paru-parunya mendadak minta diganti dan ia tak tahu harus mencarinya di e-bay Lazada.
Dunia seolah menggelap, berputar dan ia kehilangan keseimbangannya.
Untuk pertama kalinya di dalam hidup, Anneliese pingsan.
Edited.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top