Chapter Sev(eral) en(thusiasm)
Jatuh cinta adalah hal menyenangkan.
Berdebar, tersipu, terharu pada a little affection sama sekali tidak salah menurutku. Tapi bermimpi tanpa usaha untuk membuat perasaan itu tidak hilang nyaris mustahil.
Di lain pihak, cinta adalah hal memuakkan.
Cemburu, takut kehilangan, takut melakukan kesalahan, bertindak pada naluri manusia dan perasaan adalah hal wajar yang dilakukan orang jatuh cinta.
Dan, itu membuatku tidak nyaman. Karena, jika suatu saat aku kehilangan orang yang kutambatkan perasaannya, cinta itu membunuhku dengan tenang. Sesungguhnya, cinta adalah perasaan yang tidak memiliki perasaan. Masuk seenaknya, mengjungkir balikkan dunia seseorang, meremuk-redamkan hati manusia—cinta tidak pernah tahu bahwa dirinya adalah sesuatu yang tajam dan memiliki dua sisi. Kadang membuatmu bahagia, kadang membuatmu menderita. Driving you insane as it wish.
Cinta bukan sekedar objek permainan bagiku. Taman bermain semacam itu tidak ingin kumasuki dengan santai. Aku harus mempelajari siapa yang membuat taman bermain itu muncul; apa tujuannya, apa perangkapnya, apa untung-ruginya, apa yang akan terjadi kalau orang yang membuat tempat itu muncul malah menghilang. Aku mengobservasinya, menjadikannya objek penelitian pribadi, menghindari jebakan-jebakan liar yang dipasang agar sebisa mungkin menghindari jerat itu di taman bermain yang lain.
Sebisa mungkin, aku menghindarinya, menjauhinya, menampiknya dengan semua usaha dan logika yang kupunya. Hati yang remuk redam milikku terlalu sulit menerima taman bermain yang tidak pasti masa depannya. Pernah di suatu waktu lamanya aku terjebak, sulit untuk lepas dari lubang dan neraka yang kugali sendiri. Memimpikan orang itu, membuang harga diri, mengemis, mempersembahkan apa yang kupunya demi cinta. Cinta berubah menjadi sebuah ketakutan yang tak ingin kualami sama sekali. Sesuatu yang lebih menakutkan dari kematian.
Pengalaman cinta ini berkembang dari suatu hubungan ke hubungan lain. Dari cinta satu sisi ke teman sekelas yang mengkhianati, seorang pemuda yang tidak bisa menentukan pilihannya sendiri, seorang casanova yang telah memeluk banyak wanita, seorang penipu, lalu terakhir seorang lelaki berhati lemah. Hanya dua yang kucinta, sisanya hanya sebuah hubungan. Bahkan, cinta itu sendiri hanyalah bias.
Dan, hubungan yang tidak memilii masa depan, sama sekali tidak berarti untuk dijalani. Itu sebabnya, aku memutuskan mereka semua.
Saat ini, seseorang muncul lagi di kehidupanku sebagai hantu masa lalu, mengancamku untuk jatuh cinta kepadanya. Aku lari dan terus berlari, namun ia mengejar dan tidak pernah lelah untuk berhenti atau menyerah.
Aku sendiri mulai lelah berlari. Di samping itu, aku tidak tahu apakah hatiku masih bisa bertahan mengalami satu serangan lagi. Jika orang itu akhirnya membalikkan badan padaku, aku benar-benar tidak akan memiliki apapun yang tersisa.
Kehabisan nafas di dalam pikiranku sendiri, aku pun terjatuh dalam cahaya yang kemudian membangunkanku.
***
Aku terbangun di ruangan mewah dengan bentuk tak beraturan yang tidak kukenali. Mau tak mau aku hanya bisa memikirkan satu kata.
Terkutuklah Aaran dimanapun dia berada.
Dan, maaf saja kalau satu kata berkembang biak tanpa bisa kucegah. Aaran sudah melampaui batasan yang bisa kuterima dengan membuatku kehilangan kesadaran untuk pertama kalinya. Aku tak hanya ingin meledakkan diriku sendiri tapi juga dia.
Terutama ketika aku kini ada di pusat perhatian semua orang.
Aku suka jadi pusat perhatian, munafik kalau tidak.
Hanya saja tidak dengan cara lemah seperti ini.
Dengan siku, aku segera membuat tubuhku ada di posisi setengah bangun dan menatap semua orang yang ada di ruangan itu. Redite duduk menyamping di sebuah kursi tanpa lengan dan Vici berada di belakangnya, duduk dengan tenang. Wajahnya seperti biasa menyebalkan dan ingin kutampar. Di suatu tempat, Aaran berdiri menggendong anaknya Anggun yang cantiknya kurang lebih seperti boneka porselen namun dia tak nampak rapuh sama sekali.
Aku justru bisa melihat betapa tangguhnya dia meski anak itu baru berusia dua tahun.
Dika tidak berkata apa-apa, ia dengan sigap berada di sampingku lalu membantuku duduk. Alih-alih menanyakan keadaanku atau berkata kalimat klise macam jangan bangun dulu yang sangat terkenal itu, dia mengucapkan kalimat yang membuatku ingin tertawa keras. "Kau ingin menampar seseorang? Aku bisa melakukannya untukmu jika kau masih lelah." Dika tersenyum pongah, terhibur karena aku sudah bangun dari tidur panjang yang lelahkanku.
"Thanks. Akan kulakukan sendiri, ada setumpuk ego yang harus dipuaskan disini." Aku memberinya senyum untuk menjawab kekhawatiran yang terasa darinya. Dika selalu memberiku sikap gentlemen Inggris palsunya, mirip dengan yang sering dilakukan Deirdre padaku. Aku rindu gadis kecil tapi tuaku itu.
"Kau ingin minum atau makan sesuatu, dan untuk informasi saja, tadi aku sudah sempat menghajarnya. Bukan untukmu, itu untukku."
Cengiran terasa membuat pipiku sakit saat melakukannya untuk Dika. Gadis itu tidak ada bedanya dengan Deirdre, dulu hal itu sempat membuatku ragu apakah mereka bukan kembar yang terpisah saat lahir. "Kamu nyolong start. Ambilin rokokku di tas dong.Tolong,"pintaku padanya. Dika dengan cepat segera mengambilnya setelah memberiku tatapan are you fuckin' sirius? dan aku memberinya tatapan no, i'm fuckin' Ron, lalu ia kembali padaku. Di tangannya ada sekotak rokok dan aku mengambilnya dari sana. Aku tersenyum penuh terima kasih dan menyalakan sebatang.
Suasana tegang dan tak nyaman bagi siapapun. Dika dengan senyum pedulinya dan Redite yang memasang wajah muram menggeret Vici dari ruangan beserta Anggun ke tempat yang tak kutahu. Kemudian, meski takut kehadirannya saja dapat melukaiku, Aaran mendekat perlahan-lahan ke arah kasur besar, empuk dan hangat yang kutempati. Aku ingin tertawa melihatnya, badaiku yang melelahkan sudah berlalu, semua amarahku padam dalam satu kali rutinitas tertidur dan terjaga. Tapi Aaran tak perlu tahu hal itu.
"Penyakitmu tidak membaik sama sekali karena aku." Ia kembali memakai Bahasa Indonesia, itu anehnya membuat punggungku seperti disiram air dingin dalam bentuk tak nyata. Aku memandangnya sesabar mungkin dan menunggu reaksinya saat ia duduk di tepi tempat tidur. "Aaran, penyakitku ini gak bakalan bisa sembuh selama selama manusia masih eksis."
"Hal apa yang sekarang ingin kau lakukan?" Aaran bertanya dengan nada lembut dan kepedulian yang membuatku sulit bernafas. Pikiranku tertutup kabut berwarna merah muda tebal dan tak mampu berpikir. Tentu saja itu bohong. Aku bisa berpikir dengan jelas apa yang harus kulakukan kemudian.
"Aku pengen bakar tempat ini."
Juga kamu, pikir Anneliese muram. Pria itu sama sekali tidak terkejut, ia terkekeh pelan pada jawabanku yang gila. Sulit memang menemukan orang yang cocok dengan humorku ketika aku harus selalu mencocokkan diri dengan humor setiap orang. Dengan jemarinya yang kuat, ia mengambil asbak dari nakas di samping tempat tidur saat tahu bahwa aku harus membuang abu rokokku.
"Apa kau mau memaafkanku?"
Itu adalah pertanyaan yang tidak pernah ditanyakan semua orang yang menyakitiku. Mereka tidak sadar, atau tidak mau sadar. Merasa diri mereka benar dan cukup dengan minta maaf maka semua kembali seperti semua, padahal tidak. Senyumku tertahan di wajah, tak ingin mengucapkan kebohongan. Kuhisap rokokku, membuka lebar mulutku supaya bisa mengambil udara dan menekan asap ke dalam tenggorokanku dan mengeluarkannya lewat hidung. Saluran hidungku segera terasa dingin saat mengambil oksigen sesaat kemudian dan tubuhku lemas setelah melakukan itu tiga kali lagi. Jemariku sampai bergetar lemah tanda tubuhku tidak berniat untuk bisa melanjutkan hal itu.
Jika Aaran menanyakan hal itu tiga tahun yang lalu, aku tak tahu aku akan menjawab apa. Tapi sepertinya aku terlalu sering berbohong dengan diriku sendiri. Aku tahu dengan jelas jawabannya.
Seperti saat ketika Demian meminta maaf karena dialah yang menyebabkanku harus menyeret kursi dari lantai dua karena selalu menghilang setiap paginya. Jika bukan karena egonya, aku tak harus selalu melapor ke guru bahwa aku kehilangan kursi untuk ke enam kalinya dalam seminggu penuh. Dengan kalem aku mengatakan semua itu sudah berlalu. Karena memang begitu adanya dan aku bahkan sudah lupa apa saja yang ia lakukan padaku hingga saat itu aku depresi setengah mati.
Hal yang sama terjadi pada Gan. Aku lupa semua isi pertengkaran kami. Aku sudah lupa perasaan seperti apa cinta itu setelah memutuskannya. Aku mulai lupa cinta itu apa sejak itu. Cinta terlalu menyakitkan karena membuatku gila—harus memimpikan Gan hanya supaya aku bisa menenangkan rasa rindu yang menggebu terdengar sangatlah menyedihkan. Cakar-cakar kemarahan merobekku dengan tajam saat itu.
Dan ketika Gan menciumku dan memasukkan lidahnya, yang terasa bukanlah nafsu atau jijik. Namun hampa.
Seperti yang aku rasakan sekarang pada Aaran.
"Aku tidak tahu. Biasanya aku hanya melupakan dosa setiap orang, aku mengira aku memaafkan mereka. Tapi mungkin itu hanya imajinasiku saja."Itu terdengar malas-malasan, sangat dekat dengan nada bosan, dan jawabanku tidak memuaskan Aaran. Ia menolehkan wajahnya ke arah lain, menghadap dinding yang tertupi kertas pelapis berwarna dasar putih gading dan merah darah sebagai pola melingkar-lingkar.
"Kalau begitu, kau tidak perlu memafkanku. Lagipula, aku masih akan melakukan dosa yang lain setelah ini."
Keheningan menyelimuti kami dengan perasaan yang membuatku tak tenang sedikitpun. Pemikiran Aaran mungkin akan meninggalkanku lagi untuk ketiga kalinya membuat jantungku berdegup lebih cepat lagi. Sementara biasanya saja sudah cukup cepat meski aku sedang tidak melakukan apapun, yang ini membuatku ingin muntah karena depresi.
"Aku berharap mengambil obat depresi sesuai anjuran dokter."
Aaran mengambil tanganku, membawanya ke pipinya yang dihiasi cambang seksi dan memberi sentuhan kasar nan menggelitik disana. "Lebih baik tidak. Aku tahu kesukaanmu menghabiskan itu semua dalam satu hari seperti pecandu."
Tersenyum, aku mengusapkan tanganku di pipinya lalu rahangnya. Aaran menahan diri untuk tidak senang pada sentuhan yang nyaris seksual itu. "Tapi aku mengambil hal yang lain sebagai pengganti obat dan itu lebih buruk."
Mata Aaran yang tadi menutup segera membuka. Menatapku tajam dan mencari kebenaran yang kupaparkan padanya. "Kuharap itu bukan narkoba atau menendangi anak anjing."
"Aku bukan Redite yang suka menendangi anak anjing. Anjing selalu menjadi favoritku, Aaran. Ini sesuatu yang sedikit menjijikkan."
Kemudian Aaran mendekat dan menunggu penjelasanku. "Sepertinya aku harus menegaskan dan menjelaskan bentuk pekerjaanku ya?"
"Ann?" tanya Aaran sedikit tak sabar.
"Aku ini bukan gamer, bukan seorang player biasa."
"Apa bedanya dengan playgirl lainnya?" semua orang tidak akan bisa mengerti hal ini jika mereka bukan dari duniaku. Sulit memang menjelaskan sesuatu hal yang sudah kau alami sejak lahir hingga puluhan tahun lamanya pada orang lain yang bahkan tak pernah membayangkan itu ada.
"Permainan yang mereka mainin dan aku mainin ada di tingkat yang berbeda. Bahkan dalam jenis yang berbeda. Gamer yang mempermainkan lawan jenis untuk tunduk di bawahmu jelas cuma hal kecil."
"Aku tidak melihat hal menjijikkan dari itu. Manipulasi dan pemanfaatan sudah sangat umum terjadi."
"Karena kamu sedikit terlalu naif Aaran. Itu salah satu part dalam job, jadi jelas itu tidak terlalu menjijikkan sampai kamu tahu caranya. Semua akan dilakukan untuk mencapai tujuan utama."
"Bukankah tujuan utamanya memenangkan hati mereka dan membuang atau mendapatkan uang mereka?" Aaran masih belum menangkap caraku bermain sebenarnya sangatlah buruk dan mengerikan.
"Hah ... itu cuma buat para gamer, tujuanku adalah Game Over untuk lawanku. Mempersembahkan salah satu bagian bentuk kehidupan mereka padaku."
"Game Over? Menyerahkan nyawa mereka padamu? Jadi hal menjijikkannya adalah karena kau mengambil nyawa mereka?"
"Informasi, uang, barang, waktu, opportunity, koneksi. Semua hal itu adalah yang aku minta. Dan aku menggunakan itu sesuai kebutuhanku. Hal menjijikkannya adalah karena aku menggoda dan tidur dengan mereka."
Tampak kehilangan kata-kata, Aaran mencoba mengorek otak dan mengeluarkan kalimat yang tepat untuk menyikapi itu. Dengan wajah kentara sekali menahan sakit."Bagaimana kau bisa melakukan hal seperti itu hanya dengan menggoda mereka?"
"Kau pasti mengerti karena kau seorang 'pemain' juga. Sandiwara itu mudah kan, Aaran?"
Aaran bangun dan berdiri dari kasur, menarik dirinya keluar dari percakapan kemudian terbatuk kecil lau tertawa keras. "Kau benar. Aku akan menjadi salah satu hal menjijikkan yang kau sebutkan itu kalau aku tak mau mengakui sandiwara itu mudah."
"Aku senang kau bisa berpikir begitu. Ini akan menjadi lebih mudah untuk kita berdua. " Dengan senyuman yang membuat perutku melilit penuh antisipasi Aaran kembali ke arahku. Selama lebih dari setahun lamanya aku diombang-ambingkan oleh Aaran yang bersikap seolah aku hanya seorang teman. Kemudian ia menginginkanku di saat aku mulai bisa menyembuhkan luka yang dia buat. Namun pria itu menghilang di saat luka itu sembuh dan kembali menganga.
Pada awal pertemuan kami yang terakhir, aku sudah tidak bisa merasakan apapun, tapi mungkin saja itu hanya aku yang membohongi hatiku sendiri. Seperti biasa, hatiku tidak bisa dipegang kemana arahnya berlayar. Lalu apa yang ada di hadapanku adalah sesuatu yang membuatku kabur karena aku benar-benar ketakutan.
Aku takut bahwa selama ini aku masih menunggunya untuk terus mencintaiku. Padahal di saat yang sama aku juga takut jika Aaran mencintaiku, aku hanya akan menjadi gadis bodoh itu lagi.
Gadis yang mengutamakan cinta dan membuang dirinya sendiri. Menghilangkan logikanya demi seutas cinta pada akhirnya membuat nestapa.
Cinta yang bisa membuat gila, sengsara dan kemudian membuat semua penyakitku kambuh.
Aaran kini sudah berada di hadapanku, tangannya memerangkapku di antara dirinya dan kepala tempat tidur. Sentuhannya membakar kulit, mengirimkan sensasi yang bisa membuatku terengah dan lupa diri. Ciumannya meluluh lantakkan seluruh tulang dan persendian. Tubuhku lemas dan tak berdaya, menyerah untuk diperlakukan apa saja olehnya.
"Easy? I did horrible things to you and i'm sorry i'd still gonna do that in the future. Cause, you know what? I won't let you go."
Aroma tubuhnya mengirimkan ledakan-ledakan kecil nostalgia sejak seks terakhir kami. Pria ini tahu bagian mana dari tubuhku yang akan membuatku melenguh saat disentuh dan ia melakukannya sembari membisikkan kalimat selanjutnya.
"I won't let you go. Not anymore."
Ciumannya berubah brutal, rakus, posesif dan tak berperikemanusiaan. Tidak menyisakan sedikitpun ruang untukku bergerak selain menerimanya.
"Stop it, A-aran." Di sela-sela ciuman aku mengusahakan agar bisa menghentikannya. Tapi ia tak peduli dan tetap memaksaku. Dia sama sekali tidak seperti Aaran yang sebelumnya ataupun Aaran yang dulu selalu terlihat tak pedulian pada awalnya.
Monster buas itu kembali menguasainya.
Dan sepertinya aku tak berniat untuk menahan diri lebih lama dari terkaman mahluk buas itu.
"Like hell it would happend." Kemudian tangan besarnya menelusup di rambutku, bibirnya ikut mengambil tempat disana dan menciumku di antara helaian itu. Dia bernafas dengan berat seolah ada kokain yang tersembunyi di rambutku tanpa pernah kuketahui. Aaran menjadikanku sebagai narkoba pribadinya dan dia tak mau melepaskanku barang sejenak.
Tubuhnya kembali menginvasiku dengan cara yang membuatku gila. Menarik pakaian yang kupakai dan mendaratkan sejumlah ciuman untuk memberi perasaan dihargai yang sangat kuat olehnya. Aku dicium oleh pria tampan yang jauhh lebih cantik dariku berkat bulu matanya yang panjang. Tubuhnya tinggi dan bagus, sangat ideal untuk tipeku. Dia seorang publik figur, seorang artis, seperti pangeran dan aku adalah rakyat jelata yang tak mau menerima cintanya.
Dan dia mencintaiku.
Sangat mencintaiku.
Efek dari ciumannya berdampak berkali-kali lipat dari semula saat logika itu datang menghujam.
Dan aku tetap ketakutan, dan bergairah di saat yang sama.
Dengan nada yang tercium begitu getir di udara, aku berkata pada pemuda yang mencintaiku itu. "Aaran, hal yang tak bisa kumaafkan adalah aku tahu saat itu kau mempermainkanku. "
Lalu Aaran membisu, terluka pada kenyataan yang kulemparkan tepat di wajahnya.
Kau bisa merasakan itu Aaran?
Apa sekarang kau tahu hal yang membuatku teramat sangat kecewa padamu?
Kau terlambat jutaan tahun untuk itu.
***
Haaalooooo~
Maaf buat chapter sebelumnya yang agak-agak gak jelas. Suatu saat pasti bakal di edit dengan lebih baik. Tapi tujuan saya sekarang adalah menamatkan seri ini sebelum merubah ulang semuanya supaya lebih baik.
Hari ini, saya membawa chapter baru dan buat yang bisa menduga siapa Anggun sebenernya karena itu klise. Harap bersabar dan menunggu chapter berikutnya.
Terima kasih buat vote sama komennya. Dan saya harap ada salah satu dari kalian yang mau memberi saran atau kritik atau apapun buat kelangsungan cerita ini.
Itu gak bakal tergantikan buat saya :3
-from your amoral author-
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top