Chapter 5
"Bisa bawa bokong sialanmu kemari, Vici?"
Dika mengancam Vici dengan banyak hal untuk membawa suaminya itu ke salah satu villa mereka dan menemui Anneliese. Orang yang ingin mereka temui saat ini sedang keluar dari pesawat jet pribadi yang dipiloti oleh pemiliknya sendiri, Lua Cheia. Wajah mantan kekasih suaminya itu terlihat tenang dan biasa saja. Kalau gadis itu bukan manusia, dia pasti jelmaan salah satu raja neraka paling terkenal selain Enma dengan kemampuan sampingan pemain poker profesional kecuali di meja judi. Anneliese tidak begitu mahir dalam permainan kartu-atau setidaknya tidak berniat untuk mempelajarinya-namun memiliki poker face sejati.
Ibaratkan wajahnya topeng noh dengan ekspresi Monalissa. Anneliese tidak bisa ditebak dengan tepat suasana hatinya karena selalu mendasari gerakannya dengan logika, bukan perasaan semata. Sedikit banyak, ia dan suaminya ikut andil dalam perkembangan gadis itu menjadi seperti sekarang.
Telinga gadis itu disumpali sesuatu yang tersambung ke ponselnya di dalam saku jins. Hitam dan hitam. Anneliese memakai pakaian serba hitam dan mungkin hanya diselamatkan oleh pakaian dalamnya yang tidak. Kemeja, kaus dalam hitam serta jins juga bots kulit yang sama dengan jaketnya. Intimidasi tak terelakkan dan penjagaan tinggi ada di aura yang bisa dibaca siapapun saat melihat Anneliese. Pakaian hitamnya tidak membantu, semakin dan completely membuat orang-orang melihatnya sebagai salah satu utusan dewa maut.
Tambahkan pelontar granat dan dia lengkap menjadi Sarrah O'connor dari Terminator.
"Keeps bitchin' and I won't tell you what am I gonna do when I got my life back, and of course I assured you I had something for you to worry about. Gotta go away from your life maybeh?" Terdengar suara Anneliese yang malas namun mengancam kemudian memerkan gigi di akhir percakapan-salah satu kebiasaannya yang lain untuk mengintimidasi. Kakinya menuruni tangga pesawat sementara kedua tangan mengenyahkan jaket yang ia kenakan. Begitu santai dan careless di atas segalanya. Tidak terlihat seperti seorang gadis yang sedang melarikan diri dari mantan pacar yang kekayaannya menyaingi senator Amerika selama setahun.
Vici, di lain pihak, masih merasa tidak enak dan segan setiap kali bertemu Anneliese. Hal yang wajar mengingat dosa tak langsung yang ia buat. Anneliese yang mengatakan secara terang-terangan bahwa ia tidak marah pada Vici. Hal yang di luar kekuasaan seseorang adalah salah satu dari sedikit hal yang ditolerir oleh gadis itu. Dengan tubuh jangkungnya, Vici bergerak mendekati Dika dan menunduk lesu namun mencuri pandang sesekali ke arah Anneliese.
Ego lelakinya tidak ingin ia terlihat begitu payah tapi hatinya tak dipungkiri lagi tidak nyaman melihat keberadaan Anneliese di dalam jarak pandangnya. Vici tidak perlu berpikir begitu, karena Dika pun merasakan hal yang sama. Anneliese tidak begitu berbakat dalam memilih pria untuk dikencaninya, tapi siapa yang ia ajak bicara sementara salah dari deretan pria Mr. Wrong itu adalah suaminya sekarang.
Dan sekali lagi, Anneliese tidak pernah memilih, tidak benar-benar secara langsung. Cinta kadang bisa menjadi ilusi beracun yang tak hanya mengelabui mata, tapi juga merusaknya secara permanen.
Suaminya adalah salah satu pria yang terlihat garang di luar namun sebenarnya plin-plan, terlalu santai dan sering kali semaunya sendiri. Dika sendiri perlu waktu lama untuk menyadari apa saja kebaikan yang dimiliki oleh sang suami. Rekor buruk suaminya sudah menjadi suatu nilai yang menjatuhkan di awal dan itu saja sudah membuat mempelai manapun kehilangan feeling untuk menjalani ritual pembuahan keturunan dengannya. Hanya uang keluarga dan status yang kemudian membawa Vici diantarkan ke depan hidungnya.
Dan kini Dika tidak menyesal.
Ditatapnya secara bergantian Vici dan Anneliese. Keduanya memiliki kenangan buruk dan Anneliese sudah cukup membuat Vici terluka dengan sikapnya yang kaku, sambil lalu dan tidak pedulian. Di situ, Dika melihat Vici tidak dimaafkan oleh Anneliese. Dosa itu hanya tertutupi dosa milik orang lain dan akhirnya tertimbun tak terlihat lagi.
Kali ini seseorang datang untuk menggali luka yang sebelumnya sempat membeku tak tersentuh di dasar timbunan. Aaran bersiap menggali kuburannya yang sengaja tak diganggu siapapun. Kuburan keramat dan dendam kesumat.
"-Yeah. Calm fuckin' down Deir. I'm just on a vacation to get rid of someone on the way home, and you know what? i can look the sea from up here and imagine you half naked with a pale-blue short jeans and your red bra." Tawa kecil keluar dari bibir penuh Anneliese dan senyum lebar menutup dari serial bahak tanpa akhir itu.
Tampaknya Deirdre yang sedang berbicara dengan Anneliese di telepon. Kedua gadis itu bersahabat hampir sepuluh tahun kalau Dika tidak salah ingat. Mereka lebih sering tampil sebagai pasangan, Vici dan Lua tidak pernah bisa mematahkan persahabatan kedua gadis itu yang mulai mengarah untuk membuka pintu terlarang sejak awal pertemuan. Mereka punya humor pribadi, kemarahan dan dendam masing-masing serta masa lalu yang kadang tidak ingin mereka bagi dengan siapapun.
Lua dan Redite akhirnya muncul dari pesawat beberapa saat kemudian dan minus si kembar tiga yang mungkin ditelantarkan di salah satu rumah sanak saudara mereka. Redite datang menghampiri Dika, tersenyum dan memeluknya cepat lalu melepaskan tubuh kurus itu lalu menyapa kakak sepupunya itu masih dengan tersenyum."Hei Dik."
"Kai. Kamu gak niat amat manggilnya." Tegur Dika dengan cengirannya yang khas dan diingat jelas oleh Redite. "Dik-ka. Namamu kan emang Dika," bantah Redite cepat. Jika saat ini sikap manjanya yang sering dilebih-lebihkan muncul pasti bibirnya sudah dimanyunkan lebih parah dari milik bebek manapun. "Ya ya ya. Kita harus cepat ke rumah kalau gak mau kena hujan. Daerah sini sering gak jelas cuacanya."
"Oke. Kalau gitu perkembangan situasai terkini diomongin sambil jalan aja." Redite menjawab dengan muka yang satu persen lebih serius dari sebelumnya. Dengan perlahan berjalan menuju mobil yang telah disiapkan Dika sementara kepalanya beberapa kali menoleh ke arah belakang untuk mengetahui keberadaan Anneliese setelah turun dari pesawat.
"Kamu mau berita yang mana dulu?"tawar Dika dengan tenang, tangannya meraih kemeja Vici yang saat ini mengerut karena pegangan Dika. Mata Vici tampak tidak fokus dan kemungkinan besar sedang berpikir hal yang macam-macam dan perlu diguncangkan dari lamunan yang semakin lama akan semakin berbahaya. "Kalau ada banyak, tunggu Ann dulu aja. Dia yang paling perlu tahu buat ngejalanin strateginya."
"Terus kita jadi kacung, pion, apa kesatria berkudanya?" Lua mendenguskan tawa kecil lalu mendahului Redite untuk meletakkan beberapa barang bawaan mereka. Redite memelototkan mata pada tunangannya yang kadang ia anggap lebih brengsek dari anggota plaboy mansion manapun baik dalam hal seksual atau pola pikir. Lua kadang bisa disebut lebih dari bejat untuk tingkatan tertentu.
Dibalik wajah menarik itu, ada kegelapan yang mengancam dan nyaris-nyaris mirip dengan kotak pandora kalau coba dibuka. Redite bisa mengingat semua kenangan buruk yang segera muncul kalau melihat sikap Lua begitu jujur. Lua yang ia ingat sejak awal adalah penipu sejati, dan ketika itu berubah, tak lantas kemudian menghilangkan mimpi buruknya.
"Ka, nanti aku tidur di kamar lamaku." Tiba-tiba Redite merengut kesal dan membuat keputusan sendiri, hal yang mana membuat Dika mau tak mau mengerutkan dahinya. "Kamu bukannya mau make paviliun belakang sama Lua?"
"Lagi males sama orang sok penting sama sok bersih,"sahut Redite masih dengan nada sebal. Bisa dipastikan itu akan membuat neraka kehilangan artinya saat seorang Redite kesal. "Aku denger itu,"ancam Lua pelan, tiba-tiba bersuara dan mendapat tendangan serta pukulan di kepala dari Dika dan Anneliese.
"Aku juga denger kamu ngomong apa." Anneliese memberi tatapan menantang, tahu bahwa apa yang baru saja ia lakukan akan membuat Lua marah luar biasa. Egonya sebagai lelaki lebih tinggi daripada gunung apapun di dunia, dan ditendang serta dikatai kamu oleh orang yang lebih muda tidak mempermudah apapun.
"Aku gak suka ya-"
"Sapa juga yang suka?"Anneliese membantah sekali lagi, memperlihatkan sikap pemberontakannya yang selalu tak bisa Lua tahan sehingga mereka sering tak sejalan namun tetap membutuhkan.
"Kita gak punya perjanjian untuk saling merubah diri menjadi lebih baik, tapi lo janji bakal jadi tempat sampah gua dan bantu gua. Kalo lo gak bisa berubah juga, itu terserah, cuma jangan libatin orang lain."
Bagi Anneliese yang berpikir melanggar aturan tidak masalah selama itu tidak mengganggu orang lain-terutama dirinya-maka sisa dari peraturan di seluruh dunia boleh dilanggar. Disini, Lua baru saja melanggar aturan pertama; mengganggu orang lain, dan kembali ke aturan utama-mengganggu dirinya.
"No ones. Ever. Asked you to help. You are just felt alone and being forced and can't refuse for the sins you made and you know what? You just being fucked up in my opinion." Dika angkat bicara, aksen british miliknya keluar dan meski menyadari pria yang lebih tua itu hanya bertambah marah, dia tetap memasang wajah dingin andalannya.
"You can go home before you see me giving you a temper tantrum and make a fireworks from what's left from your stupid plane,"ancaman Dika tidak membuat Lua berbalik mundur. Pria itu tetap berada di tempatnya, diam disana sampai Ann muncul lalu menyemburkan kalimat demi kalimat yang hanya sanggup Dika bayangkan untuk dikatakan tanpa pernah mencoba menggunakannya.
"-and I'm not just gonna sit there, see? I'm giving you a chance to back off and die before I crush you and make you rip in pieces then burn what's left from you. But first i'm gonna let you know how a girl's punch felt on your nose, shoul I try one now?"
"Anneliese, you were not this cruel before."
"Not that again!" Anneliese mengerang jengkel pada kalimat yang rasanya sudah jutaan kali dilontarkan padanya saat ia benar-benar sedang tertekan dan mencoba mengancam seseorang. "Eat my shit and die or eat my shits and shut up."
Dika mengenal Anneliese selama empat tahun lebih dan menjadi temannya untuk tiga tahun. Lua mengenal mantannya itu dengan rentang waktu yang sama dengan hubungan yang lebih dekat. Dan keduanya hingga detik ini tidak tahu menahu soal apa yang sebenarnya ada di benak Anneliese.
"Yeah. How about shut up and die, Lua? By the way, we need to go somewhere after this. Do you think your body could accept that?"Dika berdiri di samping Ann, dari tempatnya Vici hanya mendesah lelah melihat pertengkaran itu. Dika tidak pernah cocok dengan sifat flamboyan Lua dan sejak perlakuan tidak menyenangkan pria itu pada Redite alias Kai, no respect left untuk Lua sama sekali. "Dika, For Your Information Only, I sleep and eat and playing Plague for more than hours in that plane." Ibu jari Ann mengacung ke arah pesawat. Kemudian, Ann mengerutkan dahi dan hidungnya dengan jijik.
Mengingat berapa juta orang yang sudah ia bunuh dalam satu kali permainan serta kebosanan yang ia rasakan, segera saja muak mengunjunginya. Apakah mungkin dia akan tetap berlaku seperti itu kalau semua itu bukanlah permainan.
Lucunya, semua manusia mati sebelum penyebarannya terjadi ke seluruh dunia dalam hampir segala bentuk permainan membuat virus yang ia coba terapkan.
"I guess you won't sleep anymore." Dika masih dengan wajah dinginnya kini menghadap Ann, mencoba melupakan keberadaan Lua disana. "Not today. And Lua, go back to Indonesia. Your children needs you. "
"What?" Lua kini berseru kaget. Merasa amat sia-sia mengantar mantan kekasihnya itu ke Amerika.
"Yes. I need your assistance and accompany and everything i could gained from you in purpose leaving Indonesia. Then, I know the best position for you just now."
Annelese tersenyum jahat, hal yang selalu ia lakukan sepanjang waktu dan dua puluh empat dalam seminggu, dan senyum yang dibubuhi racun itu diberikannya pada Lua. " A pilot. Doesn't it just suits you?"
***
15 Maret 2015
"The bad news came from a rat in one of my saluran bawan tanah. Aaran hired a detective for searching you." Begitu kata Dika seraya menjulurkan kepala dari balik kursi penumpang depan ke arah kawan-kawannya di deret kursi tengah."Yes. Like we did. Don't we just did the same?"tanya Redite merasa tidak ada yang aneh dari berita itu.
"His is better,"jawab Dika kemudian dengan suara kesal. "Owh. Suck." "That's a quite bad." Anneliese dan Redite mengucapkan reaksi mereka secara bersamaan. Mobil berhenti dan Vici serta Dika segera keluar dari mobil Lykan pilihan Redite karena ia sedang merajuk tadi. Ann tak sekalipun menoleh ke arah jalanan kota. Apa yang ia ingat dari Austin adalah Taco Express dari selatan lamar, memimum margaritas dari Santa Rita dan mendengarkan musik country di Broken Spoke. Tak ada yang mengalahkan au poivre dalam hal steak di Eddie V's Edgewater Grille untuk steak bergaya Texas. Ini bukan pertama kalinya ia kesana sejak diajak Dika berkeliling dunia beberapa tahun lalu.
"Itu bukan Vin Diesel kan?"Ann memastikan matanya dengan efek berkedip-kedip, bibirnya mulai melengkung, tersenyum penuh harap.
"Uh, cuma karena dia botak bukan berarti dia Vin Diesel kan?"Redite memutar bola matanya, jemari dan matanya terfokus pada halaman Path di iPad milik gadis itu.
"Disal disel, lu kira mesin?" Kali ini Dika ikut mengangkat suara, tawanya tertahan dan dengusannya sejelas klakson truk di malam hari, di tengah hutan yang sepi. "Okelah. Kalo gitu lu pada mau bilang pasukan botak disana itu bukan The Rock, Jason Statham sama Ludacris?"
"Bukan kok. Itu hanya-"
"Gua. Enggak. Punya. Perasaan. Kali ini gua gak punya blas! Biz Pliz. Becanda juga ada batesnya. ANJIR GUA ADA DI PREMIERENYA FAST TO FURIOUS SEVEN!!!" Gadis itu segera membekap mulutnya ketika ia melihat Jason Statham memberinya tatapan aneh saat dia membalikkan badan dari sesi foro bersama dengan para aktor. Di situ Anneliese merasa leleh.
"Jawa lu keluar, njir. Parah abis,"ledek Dika iseng. Istri Vici itu senang dengan reaksi yang ia harapkan dari Anneliese. Semua itu sepadan dengan kerja keras para asistennya.
"Ter-se-rah. Gak ada yang ngerti ini kalo gua pake dialek jawa. Dasar Jakarta, apa-apa yang di jawa tengah sebutannya Jawa. Kalian tuh tinggal dimana? Dimana, haa? Di mana coba? Pulau apung buatannya grup orang-orang kaya? Have a nice pfft day." Dengan jengkel gadis itu mengomel panjang lebar, menghilangkan sikap sok keren yang ia lakukan sejak awal kedatangan. Tak banyak yang tahu bahwa Anneliese hanya perlu ditekan tombol tertawa dan menggila-nya untuk bisa bercanda dengannya. Gadis itu cenderung sangat menyenangkan di saat semacam itu, bahkan sebenarnya, gadis itu selalu mencoba untuk membuat orang bahagia.
Ia selalu senang jika ada orang bahagia dengan tertawa atau tersenyum kepadanya. Itu adalah salah satu sifat baik dari seorang Anneliese yang bagian dalam tubuhnya sudah menghitam; menyebar dari hati hingga ke tulang belakang.
"PFFTT!" Suara itu memiliki nada yang berbeda karena diucapkan oleh kedua orang di depan Anneliese hanya saja secara bersamaan.
"Gua gak tahu harus bahagia atau nangis gembira,"kata Ann masih takjub. Kalau orang tahu Ann sebenarnya melakukan kepolosan yang disengaja hanya untuk membuat orang dan dirinya sendiri merasa nyaman, mereka pasti akan tidak percaya. Tampang gadis itu bersinar dengan kilatan mata penuh binar menatap lampu neon berbentuk P dimana judul film yang diputar diletakkan sebagai iklan tepat di bawahnya, di sebuah neon board putih. Lampu-lampu putih kuning berjejer seolah menjadi renda dan mengelilingi setiap tepian kanopi.
"On a serious side: We obviously lost a dear friend, brother, comrade when we were making this movie," kata Moritz si produser, dia berdiri di depan kerumunan penonton untuk memperkenalkan menit terakhir dan memohon pada para penonton untuk tidak membagi ending untuk satu karakter khusus: the one played by the late Paul Walker. Moritz juga meminta untuk menjaga akhir cerita tetap tenang sampai hari perilisan pada tanggal 3 April. "He was really the best guy I ever met in my world - in my life. When we decided we were going to continue this movie, we were determined to honor his legacy and our love for him forever. I just want to ask one big favor of everybody. You guys are going to get to see the movie tonight without knowing what happens to Paul's storyline. Whatever you want to say after the movie is cool, but please let future audiences see it the way you're going to see it tonight."
Dan masih ada lagi kata-kata dari Moritz. Ann meresapinya dan kemudian menonton film dengan hati yang kesakitan seperti pada film-film lainnya yang ia tahu akan membuatnya sedih. Selama menonton, ia berkali-kali tertawa terbahak, ikut berdendang pada lagu DJ Snake yang dikenalkan Redite padanya kemudian tegang dan menunggu saat dimana Bryan-peran yang dibawakan oleh Paul-akhirnya akan 'dibunuh' sesuai skenario. Tapi ternyata tidak.
Apa yang dia lihat lebih sedih dibanding jika Bryan mati di dalam film itu. Entah ia harus bersyukur bahwa tidak ada satu lagi pemakaman di dalam film atau tidak. Paul mungkin bukan salah satu aktor favoritnya sepanjang masa. Tapi ia bermain dengan sangat baik di film-film itu. Kalau Bryan mati di dalam film, ia bisa dipastikan akan menangis tanpa menahan diri.
Hal yang menyedihkan, Bryan hidup di dalam film dan tidak di dunia nyata. Keironisan itu seringnya terjadi dengan karakter sebuah cerita mati di dalam film dan aktornya melenggang santai menghadiri premiere di atas karpet merah. Paul tidak merasakan itu setelah kerja keras terakhirnya. Menurutnya, itu tetaplah sebuah kerugian terbesar.
Dan Paul kini akan diingat sebagai seorang legenda. Sama seperti John Lennon dan Marilyn Monroe dengan kematian mereka yang selalu mudah diingat. Terutama atas pencapaian luar biasanya selama bertahun membintangi Fast to Furious, hal yang ia kerjakan di .
Sesaat setelah selesai, ia segera menahan dirinya untuk tidak menangis kemudian berjalan secepat yang ia bisa ke arah kamar mandi. Matanya terasa panas, dann sebaiknya ia segera menumpahkan apa yang ada sebelum Dika dan semua orang melihatnya dengan aneh. Ia tidak akan merasa sesakit ini kalau beberapa bulan ini selalu mencari berita tentang Paul dan Fast to Furious 7. Semua berita membuatnya merasa sedih, dan melihat langsung dengan layar besar dan juga semua orang yang ikut merasakan sisi emosional film itu; semua menjadi kacau.
Setelah beberapa menit yang ia pikir cukup dan berakhir hampir setengah jam, Ann keluar dari kamar mandi wanita. Dia cukup menatap bayangan kusut dirinya di cermin dan menumpukan tangannya di wastafel dan ia kembali waras. Di waktunya yang cukup singkat itu, ia menyusun rencana untuk menyingkirkan Aaran tapi terlebih dahulu membungkam media dengan kekuasaan Redite dan Dika.
Selanjutnya, seperti biasa. Ia tak begitu punya banyak rencana. Tapi ia bisa memastikan akan menghajar Aaran jika dia berani mengusik kehidupannya lagi.
Kamar mandi wanita saat ini mendadak penuh karena segala macam gosip dan kebutuhan lainnya yang perlu ditumpahkan. Anneliese menyingkir ke sisi gedung yang sepi namun seseorang tiba-tiba meraih pinggangnya dan memerangkapnya dalam dua tangan yang bisa pemiliknya bisa membuatnya takut setengah mati. Gadis itu tak hanya meronta namun juga meledak marah meski ketakutan kemudian melancarkan serangan yang dengan mudah ditahan oleh penyerangnya.
"Do you miss me, Anneliese?"
"Aaran?"
***
Iya gua tahu gua konyol abis masukin cerita pengalaman gua sendiri buat nyenengin diri sendiri plus pamer gua udah nonton di hari pertama itu pilem muncul. LoL deeeh. Gimana pun, rasa itu tetep ada meski uda beberapa hari lewat dari hari gua nonton. Serius lah. Itu film layak tonton saaangaaaaaat. Dan gua gak bakal ngasih spoiler. Rugi kalo tahu spoilernya dan gua sangat beruntung ga tergoda buat nonton traillernya :3
This chapter dedicated for:
The guy whom wrote some information in his blog and i use it here.
Fast to Furious Cast.
And the last, and i hope will increase in a seconds awaay :3
Thanks for your support >< keeps vote and comment when you feel you like it :3
#HaveANicePffttDay and yes, it means for everyday
#ForPaul
-Your idiot amoral author-
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top