Not Finished Yet - Chapter 8

Happpy reading

Hope you like it

❤❤❤

_____________________________________________

Bagai superhero yang datang tepat waktu dan entah dari mana, Samudra Atlantis melompat ke kasur dan menjulang di atas Arsen untuk menghajar cowok cap kaki tokek gurun itu.

"Kyyaaa ... apa yang kau lakukan pada pacarku?" teriak bule gundiknya Arsen yang kecantikannya mirip kuntilanak dan yang kewarasannya mirip penghuni sel-sel rumah sakit jiwa.

Suara kamar ini sontak lebih gaduh dari sebelumnya. Ada berbagai macam aktifitas yang tercipta dan sebagian besar adalah jeritan-jeritan melengking. Bebarengan dengan cewek itu, aku berteriak kaget dan refleks mundur beberapa langkah hingga membentur dinding kaca tebal di belakangku.

Mama pun memaki di telepon daring. "Kenapa ada cowok itu di sana, Flo? Kamu ke Singapore sama dia?" tuduh mama.

Aku pun tidak tahu bagaimana bisa Samudra berada di sini. Apakah dia memang ada di sini, atau mengikutiku? Bagian terpenting, apabila kujelaskan apakah mama akan percaya? Sebab penyebabku nertengkar dengan beliau tak lain dan tak bukan adalah Samudra.

Selalu Samudra, dari dulu.

Tak ingin mendebat mantan ratu kecantikan sejagat itu sekarang, aku memutus sambungan telepon lalu mencegah cewek kuntilanak tersebut yang berusaha meraih baju bagian punggung Samudra. Sementara mantan pacarku terus menghantam wajah ganteng dan mulus Arsen.

"Lo apain Nana? Bangsat! Sini lawan gue! Banci! Udah gue duga lo buaya!" teriak Samudra. Tanpa memutus pukulan-pukulannya.

Kudengar para penghuni kamar lain mulai grasak-grusuk. Jelas, mereka terganggu atas kenyamanannya karena kami. Namun, kejadian ini tak terhindarkan.

Samudra itu kalau ngamuk seram dan tidak bisa dicegah siapa pun. Mau kupeluk erat, mau dihadirkan cewek bugil di depan mataya, juga dia peduli setan. Lagi pula, aku tidak ingin menghentikannya menghajar Arsen. Cowok keparat cap daki kuda nil yang wajahnya mulai menunjukkan gejala bonyok itu pantas mendapatkannya.

Beruntungnya undangan pernikahan kami belum tersebar, kendati persiapan sudah 98%. Namun, untuk sekarang, siapa yang mementingkan itu?

Anehnya, aku tidak menangis atau sedih seperti ketika Samudra melontarkanku dengan kata-kata menyakitkan. Atau mama yang menamparku tadi. Meski demikian, Arsen sukses mencoreng harga diriku dan muka keluargaku. Sehingga membuatku meradang.

Karena melamun sebentar, bule cantik ini berhasil mendorongku hingga oleng dan jatuh di tepi kasur.

Masih sambil memegangi selimut agar tidak melorot lalu mempertontonkan tubuh seksi yang penuh tanda merah keunguan, dengan kecepatan tak terduga, cewek itu mengambil lampu tiang di sebelah tirai yang kuduga untuk diayunkan ke kepala Samudra.

Aku berdoa pada Tuhan untuk meminjamkan kecepatan cahaya-Nya sehingga bisa berdiri tegak dan berusaha menendang tangan cewek gila itu.

"SAM! AWAS-ARGH!"

Belum rampung menyelesaikan kalimat peringatan, gerakanku yang tiba-tiba malah membuat kakiku tidak sengaja terbelit kabel lampu yang menjuntai. Akibatnya, gagang lampu lengkap dengan bola pijarnya mendarat lebih dulu di badian belakang kepalaku. Disusul cewek bule itu yang beruntungnya jatuh di kasur.

Aku menjerit ketika bunyi 'brak dan pyar' keras menggelegar dibarengi pecahan-pecahan kaca berhamburan di sekitarku.

Rasanya sakit sekali.

Dalam keadaan setengah duduk, aku kontan memegangi kepalaku dan menunduk. Sedangkan teriakan-teriakan kami dan tinju-tinju Samudra berhenti. Tinggalah eranganku dan orang-orang yang tampaknya berhasil masuk kamar ini. Mungkin si cewek gila itu lupa menutup pintu saat aku menerjang masuk. Mungkin itu juga yang membuat Samudra bisa ke sini.

"Na, Nana. Kamu nggak apa-apa, Na?" tanya Samudra panik. Kurasakan rengkuhan kedua lengannya di tubuhku.

"Sakit, Sam," rintihku.

Cairan merembes melalui sela-sela jariku yang masih bertengger di kepala. Tidak hanya di sana. Namun, juga hidung dan telingaku.

"Na, kamu mimisan. Telingamu juga keluar darah, Na! Sadar, Na! Kamu harus tetep sama aku! Cepet telepon ambulan! Tolong! Dasar sinting semuanya! Sumpah demi Tuhan gue bakal bunuh kalian kalau Nana kenapa-kenapa!"

Seumur hidup, aku tak pernah mendengar Samudra berbicara sepanik itu walau segenting apa pun keadaannya. Dia cowok santai yang sering menghadapi segala permasalahan dengan santai. Berbanding terbalik dengan tingkah lakunya yang sering kali membuat orang geleng-geleng dan mengurut dada. Juga kemarahannya yang tak biasa ini dan makiannya kadang bisa membuat orang enggak mendekatinya.

Aku ingin menelusuri ketidakbiasaan tersebut, sayangnya mulutku tak bisa merespons omongan cowok itu sebab ada sesuatu yang rasanya akan keluar dari mulutku. Jadi, aku lebih menunduk dan dorongan muntah pun tak terhindarkan. Rasanya amis, aku yakin itu darah.

"Na, kamu muntah darah, Na!" teriak Samudra mempertegas asumsiku sambil mengguncang keras tubuhku kemudian menggendongku.

Setelahnya, pandanganku buram, telingaku berdegung dan kepalaku semakin terasa akan meledak. Lalu, aku tak bisa merasakan apa pun. Sepertinya saraf-sarafku sudah mati sebelum kegelapan menyerangku tanpa kendali.

***

Suatu ketika, aku bangun dan menemukan Samudra tertidur sambil memegangi tanganku. Mulanya aku merasa aneh sebab mama tak akan pernah mengizinkan hubungan kami. Namun, lebih aneh lagi saat aku mendapati diriku terbaring di ranjang rumah sakit.

Aku benci rumah sakit dan segala tetek-bengeknya. Kalau bukan sakit yang betul-betul parah, barulah aku akan ke sana. Pun, terpaksa menjenguk teman.

Kini, aku menemukan tanganku terpasang infus, hidungku dicocol selang, sama dengan mulutku. Dan monitor yang menampilkan sandi rumput dengan bunyi teratur tertangkap mataku.

Apa yang sebenarnya terjadi?

Walau masih lemas, segala daya upaya kukerahkan untuk menggerakkan tanganku. Untuk menunjukkan eksistensiku pada Samudra. Dari tidurnya yang tidak begitu pulas, dia langusung bangun.

"Na, kamu udah sadar, Na," ucapnya panik lantas memelukku dan mengecup keningku berkali-kali. Bahkan kurasakan cowok itu menitikkan air mata.

Aku tak mengerti. Sejak kapan Samudra jadi cengeng? Sejak kapan pula dia bisa panik? Cowok itu adalah tipe manusia paling santai dalam perkataan, meski kenyataannya bertolak belakang dengan tingkah lakunya kalau menghadapi sesuatu yang gawat. Walau kadang kalau ngamuk bisa sangat ganas lengkap dengan kata-katanya.

Aku ingin mengejeknya, tetapi selang di mulutku tak bisa kuajak komporomi. Dan beberapa detik kemudian, Samudra memanggil dokter untuk memeriksa keadaaku.

Ada yang salah. Aku tahu ada yang salah ketika aku tidak bisa meraskaan atau menggerakkan kedua kakiku, yang kulihat bobotnya menyusut. Mirip lenganku. Atau sekuruh tubuhku. Aku juga tidak bisa mengingat kejadian apa yang menimpaku sehingga bisa menyebabkanku demikian.

Aku mulai menangis ketika dokter berwajah Asia itu menjelaskan menggunakan bahasa Inggris bahwa kakiku yang tidak bisa dirasakan atau digerakkan kemungkinan besar merupakan efek dari koma.

Koma?

Kenapa aku bisa koma? Aku sama sekali tidak ingat pernah jatuh atau sebagainya sampai harus dirawat di sini, di rumah sakit asing dalam keadaan koma. Lalu di mana mama?

"Florentina harus kita periksa lebih lanjut." Begitu kata dokter. Lagi-lagi dalam bahasa Inggris yang berhasil kuterjemahkan dalam otak.

Aku ingin menjerit, tetapi selang sialan ini menahannya. Jadi, aku hanya bisa menangis dan Samudra menenangkanku. "Nggak apa-apa, Na. Kamu sama aku. Kita bisa lewati ini. Kita lewati bareng-bareng ya, Na?"

Aku tahu, pasti aku tidak baik-baik saja. Apalagi beberapa hari kemudian hasil CT Scan seluruh tubuhku keluar dan diperjelas pada bagian otak. Kata dokter, ada hal yang tak ingin kehadirannya mungkin, sekarang muncul.

Darah akibat benturan kencang di kepalaku yang sempat menyumbat otak memang sudah dioperasi. Namun, efek sampingnya, sebagian ingatanku hilang pada masa tiga tahun ke belakang. Pun dengan kakiku yang belum bisa kugerakkan dan merasakan apa-apa meski dokter sudah melakukan uji saraf dengan mengetuk-ngetuk palu kecil.

Mama yang mendapati kenyataan itu histeris serta menyalahkan diri sendiri untuk hal yang tak kuketahui pastinya. Anehnya, beliau tak mempermasalahkan kehadiran Samudra.

Papa pun berusaha membawa keluar mama dari kamar inap-sebab aku sudah dipindahkan dari ICU-untuk ditenangkan lantaran takut mengganggu keadaaku yang rapuh dari segala hal. Sedangkan Dio bercakap-capak dengan Samudra. Ngomong-ngomomg, mereka memang akrab. Kakak laki-lakiku itulah yang membantuku backstreet dari mama. Kendati akhirnya ketahuan.

_____________________________________________

See you next chapter teman temin

With Love
©®Chacha Prima
👻👻👻

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top