Not Finished Yet - Chapter 6

Happy reading
Hope you like it
❤❤❤

_____________________________________________

“Loh, Mbak Flo, kok ke sini? Kata Ibu, Mbak lagi diping—”

“Mama di mana, Mbak?” Dari pintu depan salon, aku memotong perkataan asisten mama bernama Gauri yang sedang merapikan hair dryer di rak depan kaca. Suaraku terdengar lebih ketus dari yang kumaksudkan.

Sejujurnya aku tidak ingin menyasarkan kemarahan yang sedari tadi kutahan pada Gauri. Namun, sangat sulit rasanya menata perkataan serta nada suara tetap pada volume normal di saat kondisi hatiku berantakan.

Tadi, setelah Samudra menghabiskan semua makanan favorit kami, dia mengantarku kembali ke Eleanor’s Decor. Tidak lebih dari lima belas menit, tepat sesuai dengan janjinya. Selalu begitu. Dia tidak berubah, selalu menepati janji.

Lalu tanpa ingin menunda waktu lagi, aku menginjak pedal gas lebih dalam sehingga laju Honda H-RV putihku lebih kencang, membelah kota Jakarta yang lenggang sebab jam berangkat kantor sudah berakhir dari dua jam lalu. Sehingga aku bisa lebih cepat tiba salon mama, pasca melihat Samudra pulang dari kantorku. Karena aku yakin beliau ada di sini. Sumber dari segala sumber Samudra harus berjauhan dariku.

Aku menatap Gauri dengan raut wajah serius, sehingga menjadikan wanita itu takut-takut. Dia cukup mengenalku. Mendapati ekspresiku seperti ini, tentu membuatnya tidak ingin membantahku. “La-lagi di ruangan, Mbak. Barusan kelar ngelayani klien yang pesen baju pengantin. Mungkin sekarang lagi ngerekap permintaan klien itu,” jawabnya gelagapan.

Tanpa banyak cingcong, aku membawa kedua kaki yang menyanggga tubuhku lebih masuk bangunan berlantai dua ini. Melewati beberapa pegawai tanpa membalas sapaan mereka. Lalu berbelok ke pintu ruangan kerja mama yang tertutup rapat.

Aku mengabaikan bayangan omelan mama ketika membuka pintu hitam itu tanpa mengetuk. Mama sedang duduk sambil menulis selalu berpenampilan paripurna bin sempurna itu langsung menjadi sasaran pengelihatanku.

“Kenapa Mama nggak bilang ke aku soal Sam?” todongku. Sebenarnya aku ingin melafalkan kalimat tersebut dengan sopan, tetapi rupanya hatiku yang sakit lebih dulu mengambil alih atitute baikku yang selalu diajari mama.

Dari balik meja kerjanya, Mama sontak mengernyit tidak suka pasca kekagetannya diatasi secara sempurna. “Kamu ini apa-apan sih, Flo? Bukannya diem di apartemen selama pingintan malah ke sini. Dateng-dateng, nggak ngetuk pintu, nyelonong aja dan ngomong ngelantur. Mama nggak pernah ngajarin kamu kayak gitu loh.”

“Ma!” pekikku putus asa. “Kenapa Mama nggak bilang soal Sam? Bisa-bisanya selama ini Mama selalu ngeluh Sam yang ninggalin aku tapi sebenernya Mama yang nyuruh dia ngelakuin itu!”

Pendingin udara rasanya tidak mampu menurunkan suhu mataku yang memanas. Ada potensi air yang mendadak akan muncul dari sana. Lalu tumpah ruah apabila kondisinya tidak sesuai harapanku. Tidak hanya itu, kepalaku berdenyut-denyut sakit memikirkan semua ini. Betapa teganya mama. Yang lebih menyebalkan lagi, mantan pemenang ajang ratu kecantikan sejagat itu tidak ingin mengakuinya.

“Kamu ini ngomong apa sih? Mama nggak ngerti. Udahlah, Flo. Daripada kamu ngaco begini, lebih baik kamu pulang, diem di apartemen sampai hari pernikahanmi dateng.”

Namun, membantah kata-kata mama adalah hal yang paling ingin kulakukan sekarang. “Aku udah denger semuanya dari Sam! Mama yang nyuruh dia ninggalin aku! Mama tega! Mama nggak punya hati! Selama ini aku kelimpungan kayak orang gila akibat ditinggal Sam gara-gara Mama!”

Mama sontak mendelik dan bangkit dari kursi, melewati meja untuk berhadapan denganku. “Florentina! Mama ngelakuin ini demi kebaikanmu! Dia itu pecandu! Jadi Mama yang laporin dia ke polisi.”

“A-apa?” tanyaku tak percaya.

Fakta baru apa ini? Aku seperti diberi kepingan pazzle yang ukuran serta bentuknya pas pada kepingan pazzle yang hilang dari cerita Samudra. Yakni, cowok itu tidak tahu siapa yang melaporkan kelompoknya ketika berpesta ganja. Dan sekarang, mama mengakuinya.

Aku masih tercengang, sementara mama terus menyerangku. “Sadar nggak sejak sama dia, kamu yang dulu penurut sama Mama malah jadi pembangkang? Dia itu sampah yang udah nyuci otak kamu!”

Air mataku melesat keluar tanpa bisa kupertahankan. Sejujurnya aku tidak ingin menangis di depan mama yang membuatku seperti kalah, tetapi tidak bisa. Aku tahu Samudra memang pecandu, pengisap mariyuana dan tukang pembuat onar, tetapi aku tidak ingin mama menghinanya. Menggeleng pelan, dengan tatapan benci, aku berkata, “Mama nggak berhak ngomong kayak gitu ke Sam. Dia berusaha sembuh, Ma! Dia direhabilitasi selama setahun lebih.”

Mama seolah tak percaya aku melawan mama hanya untuk membela Samudra. Satu desah panjang keluar dari mulut mama. Dan beliau berucap lirih. “Udahlah. Mama anggep kamu nggak ke sini hari ini. Mama juga nggak akan bilang ke Arsen soal kamu habis ketemu cowok sampah itu biar pernikahamu lancar. Sekarang, kamu harus pulang dan tenangin diri. Fokus aja sama Arsen. Tinggal seminggu lagi, Flo. Jangan bikin ulah.”

Mama sudah menghina Samudra sebanyak dua kali. Jadi, aku tidak akan membiarkannya. “Coba tebak, Ma.” Aku menukas sama lirihnya dengan mama. “Aku nggak mau nikah sama Arsen.”

“FLORENTINA!” bentak mama disusul satu tamparan keras yang mendarat di pipiku hingga membuatku berpaling. Rasanya panas dan sakit, tetapi tidak seperti sakitnya hatiku yang bertambah gara-gara tak percaya atas apa yang baru saja mama perbuat kepadaku.

Aku memegangi pipi yang nyeri, sekali lagi menggeleng, lalu mundur dan meninggalkan ruangan mama sambil berkata, “Mama denger aku. Aku nggak bakal nikah sama Arsen atau cowok mana pun yang Mama pilihin kecuali Samudra Atlantis.”

“Jangan egois kamu! Pikirin para pegawai yang udah berharap punya bonus besar dari acara pernikahamu yang mewah, Flo!” Teriakan mama kuhiraukan begitu saja. Juga para pegawai yang berpapasan denganku sepanjang jalanku menuju mobilku.

Aku berkendara tanpa arah, ke mana saja asal jauh dari mama. Kemudian berhenti di tepi jalan dan menelepon Saras. Pada dering pertama cewek itu sudah mengangkat teleponku. “Ya, ada apa, Mbak Flo?”

“Ras, kasih gue nomor telepon Samudra Atlantis,” ucapku setelah berhasil membuat suaraku tidak terdengar habis menangis. Beruntungnya, Saras tidak terlalu peka.

“Ada perubahan desain lagikah, Mbak?”

“Ya, ada yang perlu gue diskusiin sama dia.”

Tidak sampai satu menit sambungan kuputus, Saras mengirimkan nomor Samudra lengkap dengan alamat kafe barunya, dan aku langsung menelepon cowok itu. Kuharap dia cepat mengangkat teleponku. Namun, sudah berkali-kali nada dering tersambung, Sam tidak kunjung mengangkatnya. Jadi, kuputuskan untuk pergi ke kafenya.

Sepanjang perjalanan, mama menelepon dan aku mengabaikan wanita paruh baya tersebut. Hingga tiba di jalan yang kuhafal, barulah aku mematikan ponsel.

Mobilku memasuki area perumahan elit dan menanyakan petugas keamaan di mana letak kafe baru Sam. Setelah mendapat informasi, aku segera menuju ke sana.

Mobilku sudah terparkir rapi di depan kafe. Aku mengamati penampilanku sejenak di kaca spion. Kantong mataku kelihatan tebal, mataku sendiri merah. Senada dengan hidungku. Maka kurapikan penampilan berantakan ini dan turun dari mobil.

Kafe itu sendiri kelihatan ramai dari luar. Banyak karangan bunga terpasang di depannya. Walau desainnya belum sempurna dan Sam jelas butuh bantuanku dalam mendekorasinta.

Aku membuka pintu dan lonceng kecil di atasnya berdentang. Dari balik konter, aku mendengar seseorang mengucapkan selamat datang. “Selamat datang di Kopi Kita.”

Itu suara Samudra. Aku celingkukan dan menemukannya di balik patri yang dikerubungi banyak pelanggan, kebanyakan cewek. Pantas, dia tidak mengangkat teleponku karena sibuk meladeni mereka. Mau tak mau, aku cemburu.

Aku mendekat ke konternya yang dijaga seorang cewek muda dan cantik dengan senyum ramah. Ketika itu pula, Sam yang sedang meracik kopi melihatku. “Nana? Kok bisa ke sini? Eh, tunggu, kenapa mukamu—” Sam tidak melanjutkan perkataannya dan celigkukan mencari seseorang. Setelah melihat orang tersebut, dia berteriak, “Dig, gantiin gue ngeracik Frappucino! Gue ada tamu penting.”

Cewek di kasir kontan melihatku dengan senyum datar ketika Sam mengahmpiriku. “Di ruangank aja, Na. Ayo.”

Dan aku menurut sekaligus berdebar mengikut Sam yang menggandengku masuk melewati pintu yang hanya tertulis ‘Selain karyawan dilarang masuk.’

_____________________________________________

Thanks for reading this chapter

Thanks for like, coment, and corect my typo

Well, see you next chapter teman-temin

With Love
©®Chacha Prima
👻👻👻

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top