Not Finished Yet - Chapter 3
Happy reading
Hope you like it
❤❤❤
______________________________________________
Pada akhirnya, aku menyadari bahwa orang tua memang melakukan hal sedemikian rupa demi kebaikan anak-anaknya. Begitu juga dengan perjodohan yang dibalut dengan acara makan siang rencana dua keluarga tersebut. Siapa sangka dari hal konyol itu hubunganku dengan Arsen malah terbilang cukup mulus.
Pada bulan berikutnya, Arsen cuti tiga hari untuk tunangan kami. Well, dia pribadi yang lembut dan cukup manis. Jelas bertolak belakang denganku yang cukup barbar—kalau kedua bola mata mama tidak sedang memancarkan solar mercusuar alias mengawasi.
Ke mana pun Arsen pergi, dia selalu memberitahu keberadaannya serta bagaimana ruang lingkup yang sedang dipijakinya, hingga suasana dan siapa saja yang sedang bersamanya.
Sedangkan aku, jangankan memberi kabar, mandi pun kadang tak sempat karena harus mendekorasi tempat acara pesta pertunangan atau pernikahan yang sering kali membutuhkan waktu semalaman. Aku harus membuat konsep sesuai permintaan klient, belanja bunga, perlengkapan lain, menelepon sopir truk pikap untuk mengangkut keperluan itu ke tempatnya. Lalu mulai mendekor.
Di sela-sela waktu istirahat makan, barulah aku membalas pesan Arsen dan dia langsung menelepon daring. Kadang, dia tiba-tiba datang untuk melihat pekerjaanku jikalau tidak ada jadwal terbang.
Saras pun ikut cengar-cengir menggodaku kalau tunanganku datang. “Cie, Mbak Flo, sebentar lagi laku ya.”
“Emang gue barang dagangan apa?” semprotku sambil memotongi kelopak-kelopak bunga yang kering.
Kalau boleh jujur, aku ingin menelusuri segala pikiranku tentang betapa aneh bin tidak masuk akalnya cowok sesempurna Arsen—versiku—bisa terima-terima saja saat dijodohkan denganku ini. Maksudku, dia bisa mencari cewek yang lebih cantik, baik, feminin, dan lebih-lebih yang lain—dalam artian bagus—dari aku. Namun, kenyataannya dia memilihku.
Kata Saras, “Mbak Flo kan cantik, siapa sih yang nggak kesengsem? Para klient aja sampai kadang lupa diri kalau lagi mau tunangan atau nikah. Mas Arsen pasti kayak gitu juga dong, Mbak.”
Kubalas, “Ah, mereka kagak tahu aja kelakuan gue sebenernya kayak gimana? Kalau lihat napsu makan gue, paling juga kabur.”
Saras tertawa.keras karenanya. “Mbak Flo bisa aja. Untung ada bu Nisrina yang menyelametin sikap ugal-ugalan Mbak belakangan ini.”
Beberapa waktu lalu, aku pernah bertanya pada Arsen tentang kemelut aneh yang kurasakan. “Kenapa kamu setuju sama perjodohan ini? I mean, kamu cowok grade A yang bisa milih-milih bini mana pun, sesuai keinginanmu, Arsen.”
Cowok itu menarik garis bibirnya sampai bentuk matanya melengkung mirip bulan sabit, lalu menjawab, “Flo, aku nggak bakalan nikah sama cewek yang nggak aku cintai kok. Dan jatuh cinta sama kamu itu, gampang banget. Selain cantik, kamu itu unik. Bukan berusaha kelihatan unik, tapi kamu unik dengan caramu sendiri. Komunikasi sama kamu juga enak. Wawasanmu luas, selalu nyambung kalau kita bahas apa aja. Sslain urusan napsu makan, aku nggak masalah sama sekali. Intinya, aku nyaman banget sama kamu. You’re limited edition. So, why not?”
Boleh nggak kalau aku joget bang jago ala anak-anak Tik Tok di atas meja fake yang kami tempati saat ini? Kok bisa sih ada cowok semanis Arsen?
Meski memiliki tipe cowok berkulit tembaga, tetapi kulit putih Arsen juga tak masalah. Meski lebih suka cowok selengean, tetapi sikap serta budi luhur Arsen jauh lebih baik. Arsen itu mirip artis Billi Davidson. Orang buta pun tidak akan berpikir dua kali untuk menjadikan cowok level Up ini sebagai suami.
Pada awal mula pendekatanku dengan Arsen, dia meminta masing-masing dari kami untuk menceritakan siapa saja lawan jenis yang pernah dekat atau sebut saja mantan. Supaya ke depannnya kalau-kalau tidak sengaja bertemu dengan salah satu dari mereka, kami bisa mempersiapkan sikap lebih dulu sehingga tidak menimbulkan kesalahpahaman. Jadi, kami merasa lega karena terbuka. Sikap calon suami-istri yang sesungguhnya. Bayangan bahtera rumah tanggaku bersama Arsen di masa depan pun terlihat adem ayem.
Beberapa bulan terlewati secara signifikan dan cepat. Hingga tak terasa kurang seminggu lag8 pernikahanku dan Arsen akan digelar. Semuanya berjalan lancar, mulus, tanpa hambatan. Seolah-olah takdirku memanglah Arsen karena tak ada yang menghalangi jalan kami menuju pelaminan. Padahal kata orang, menjelang pernihakan biasanya ada saja sesuatu yang mengganggu. Hal-hal kecil yang tidak sejalan dengan pasangan, kadang bisa menjadi perdebatan melelahkan. Namun, kami tidak.
Mama seantia memintaku diet ketat dan olahraga teratur supaya pada hari pernikahan nanti, perutku tidak buncit dan badanku loyo. Bersama Bu Jo, beliau heboh memilih segala keperluan untuk pernikahan kami. Mulai dari peranah kecil hingga besar. Aku dan Arsen mau-mau saja dijadikan manekin para orang tua ketika memilih gaun pengantin.
Seminggu sebelum pernikahan itu pula, Arsen dilarang keras menemuiki. Kata mama, aku dipingit. Harusnya semua kerjaan Eleanor’s Decor kuserahkan Saras—asisten jempolanku. Supaya aku bisa fokus memanjakan tubuh dengan perawatan-perawatan di salon kondang mama. Namun, bukankah segala sesuatu tentu ada pengecualian?
Seperti misalnya, minggu pagi yang seharusnya kugunakan untuk leha-leha lantaran tidak ada jadwal mendekor, malah harus diusik oleh Saras yang merengek, “Mbak Flo, ada klien yang katanya cuma mau dilayani Mbak. Padahal udah gue kasih tahu kalau mbak lagi cuti. Tapi dianya ngotot di telepon.”
Aku memijit pelipis sambil berguling-guling di kasur. “Emang dia mau ngadain acara apaan?”
“Katanya mau dekor kafe yang baru buka, Mbak,” jawab Saras.
“Ck, cuma kafe doang, Ras. Lo aja yang tangani. Tahu sendiri ibu negara kalau ngomel kayak Dollores. Gue bisa kena kutuk kalau kabur dari pingitan.”
“Iya sih, Mbak. Tapi katanya dia temennya, Mbak Flo.”
Kernyitan kedua alisku semakin bertaut sempurna. “Temen? Siapa emangnya?”
“Tadi bilangnya sih namanya Sam.”
Mendadak, jantungku berdebar kencang memukuli dadaku begitu rupa. Gerakan guling-gulingku juga berhenti. Namun, aku tidak ingin tergesa-gesa menyimpulkan seseorang dengan nama Sam itu adalah Samudra Atlantis. Di dunia ini ada jutaan orang yang namanya Sam.
“Sam siapa, Ras?” tanyaku ketika merasakan tanganku mulai dingin.
“Samudra Atlantis nama panjangnya. Barang kali Mbak Flo ingat? Kan biasanya kalau teman lebih kita prioritaskan, Mbak.”
Mungkin aku akan menambahkan efek petir menyambar-nyambar di pagi hari setelah Saras menyebut nama lengkap klien yang katanya temanku itu. Pikiranku seketika buntu dengan denyut perih yang masih tersimpan di dada kini timbul ke permukaan. Ada rasa benci, kecewa dan kemarahan yang rasanya meletup-letup seperti berondong jagung yang dimasak.
Lalu secara implusif, aku menukas, “Bilangin suruh dateng ke Eleanor's Decor jam sembilan pagi nanti. Kalau enggak, nggak bakalan kita layani. Bilang aja, kalau gue bisanya jam segitu doang.”
____________________________________________
See you next chapter teman-temin
With Love
©®Chacha Prima
👻👻👻
Post : 26 Oktober 2021
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top