Not Finished Yet - Chapter 2
Happy reading
Hope you like it
❤❤❤
______________________________________________
“Ma, ini ini bustiernya sesak banget, nggak enak buat napas. Nggak usah dipakai, ya?” pintaku sambil berusaha melonggarkan bustier yang merasa mencekik napasku dari dada.
Mama spontan menyelisik gaun hitam sampanye yang kunekakan untuk meraih bustier hitam itu. “Florentina,” panggil mama kalem, tetapi dengan mata mendelik. Sampai-sampai aku takut bola mata itu akan menggeleinding keluar. Hiiii ... seram!
“Kamu coba napasnya pakai pernapasan perut. Ini udah longgar loh,” bujuk mama.
“Pernapasan perut?” ulangku ikutan mendelik. Mama pikir ini lagi olahraga? Masa tiap saat harus napas perut?
“Itu metode diet yang alami dan natural, biar perut nggak buncit! Udah, nggak ada lepas-lepas bustier ya. Baju ini bagus buat acara makan siang. Memangnya kamu nggak tahu pepatah beauty is pain?”
“Ya, ya, yang mantan miss Beauty.”
Aku mendesis pelan, takut diamuk mama super duper cerewet, super perfectionist, super gaul dan super cantik kalau mendengar gerutuanku. Mamaku ini dulunya mantan pemenang ajang pemilihan putri kecantikan. Kata papa, foto mama dulu sering dipajang di baliho-baliho jalan karena mendapat tawaran banyak iklan dari brand kecantikan. Hingga mewakili ke kancah Internasional.
Ngeri nggak sih?
Kadang-kadang, aku merasa terintimidasi dan terbebani oleh keparipurnaan mama.
“Gauri ...,” panggil mama lantang dan asisten jempolan mama yang bekerja di salon mama ini datang secepat mancan tutul berlari mengejar kijang di padang savana.
“Iya, Bu,” sahut wanita itu.
“Tolong bantu Flo mekap sama hair do, ya? Yang sederhana aja tapi elegan.” Mama memerintah sambil memutar-muar tubuhku di depan kaca ruang ganti salon ini. Aku menurut layaknya boneka Squid Game yang kepalanya bisa berputar-putar.
Dan setelah kurang lebih hampir lima jam bersiap-siap ; mulai dari spa, keramas, masker rambut, acara memilih-milih gaun, tas, sepatu sederhana tetapi cocok untuk makan siang, mekap, dan hair do, akhirnya papa dan Dio—kakak laki-lakiku—datang menjemput.
“Pffftt ... lo diapain aja sama Mama?” Itulah perkataan pertama yang Dio lontarkan padaku dan aku tidak menjawabnya. Lebih memilih masuk mobil lantaran takut dikibas oleh kipas ajaib mama.
Sumpah demi apa pun, perjalan dari salon mama ke rumah gedongan pak Jo yang rupanya hanya membutuhkan waktu lima belas menit membuatku merasa seperti selamanya. Pasalnya ponselku disita mama yang menurunkan mandat menolak keras menerima telepon dari klien.
Kata beliau, “Suruh Saras aja yang nerima telepon. Hari ini penting, Flo.”
Dio terdengar meringis, lalu mama beralih padanya. “Suruh pacar kamu diem juga, Yo. Jangan telepon terus-terusan. Bucin itu ada batasnya. Pacaran tapi telepon tiap menit itu toxic. Nggak percaya sama pasangan namanya. Paham?”
Gantian aku yang menahan tawa hingga mobil yang kami tumpangi memasuki pekarangan rumah bergaya semi victoria modern di daerah Kemang. Dan benar-benar diam total ketika bu Jo yang ceria menyambut kedatangan kami.
“Jeng Nisrina ... apa kabar? Ya ampun, kangen benget .... Udah lama kita nggak ketemu.”
Ibu negara berjambul katulistiwa a.k.a. mamaku menyambut dengan suka cita dan keceriaan yang sama, sambil berpelukan manja, plus cipika-cipiki yang tidak boleh ketinggalan.
Papa dan pak Jo juga sama. Bedanya mereka berplukan ala lelaki. Sementara aku dan Dio saling melirik, saling melontarkan pendapat menggelikan lewat bahasa isyarat tatapan mata.
“Masih ingat sama Dio dan Flo ‘kan, Jeng? Ini Dio, putra sulung kami dan ini Flo putri bungsu kami,” ujar mama.
Lewat lirikan maut mama, Dio maju menyalami tangan bu Jo, berikutnya aku. Bergantian dengan bak Jo. Kami mendapat komentar, “Dio tambang ganteng dan Flo tambah cantik ya, Jeng. Terakhir ketemu mereka masih pada sekolah. Oh iya, yuk masuk, kita lanjut ngobrol di dalam.”
Dan kami pun langsung digiring ke meja makan dengan jamuan makanan super banyak bin lengkap, bin menggugah selera makanku yang berlebihan.
“Bi, Tum, tolong panggilin Arsen ya?” pinta bu Jo pada asisten tumah tangganya dan langsung dilaksanakan oleh orang yang disebut bi Tum tadi. Kemudian bu Jo beralih ke kami lagi. “Maaf ya Jeng, Arsen-nya telat. Harap maklum, baru balik terbang dari Riau.”
Terbang? Emang manusia burung?
Mama menanggapi, “Nggak apa-apa, Jeng. Kan pilot emang begitu.”
“Calon laki lo pilot, Flo,” bisik Dio sambil menyenggol kakiku dengan lututnya.
Ya, coba mari kita lihat, bagaimana si Manusia Terbang bernama Arsen ini. Dan, baru saja aku beralih menghidu kelezatan aroma zuppa sup yang asapnya masih mengepul dimeja, cowok yang sudah ditunggu semua orang itu muncul menuruni tangga.
Ibaratnya di film-film, ada efek slow motion yang menyertai langkah cowok berbadan tegap, berdandan rapi dengan kemeja biru dongker polos yang lengannya di gulung sampai siku. Memperlihatkan lengannya yang kekar di kulitmya yang putih. Lalu, ada efek angin yang menerjang wajah tampan bersih itu.
“Maaf, udah bikin semuanya nunggu. Kebetulan saya baru aja selesai bersihkan badan. Baru aja datang dari bandara,” kata cowok itu sopan ketika mendaratkan diri di kursi seberangku, yang sudah disetel khusus oleh para tetua.
Dan mulailah acara perjodohan yang dibalut dengan acara makan siang itu. Dari awal hingga akhir, mama dan bu Jo yang mendominasi obrolan. Ditimpali papa dan pak Jo yang membicarakan kenangan-kenangan mereka sewaktu kuliah dulu.
“Jadi, gimana kalau kita menyatukan Arsen dan Flo dalam ikatan pernikahan? Saya khawatir, Jeng. Zaman sekarang ‘kan ngeri ya, kalau mau milih pasangan. Nah kalau keluarga kita ‘kan sudah saling mengenal. Ibaratnya sudah tahu bibit, bebet, dan bobotnya,” kata mama.
“Saya sih, setuju banget, Jeng. Makanya kita ngaain acara makan siang ini,” timpal bu Jo, yang mendapat anggukan dari pak Jo. Lalu beralih ke Arsen. “Kamu sendiri gimana, Arsen?”
Cowok itu menatapku dengan senyum sopan, tetapi malu-malu kucing. “Aku nggak keberatan, Ma. Flo cantik dan manis, kelihatannya juga bisa jadi istri yang baik.”
Diam-diam aku mengembuskan napas sambil merangkai senyum, sementara kakiku menendang-nendang kaki Dio yang menahan tawa dan pura-pura kidmat menikmati gurami asam manis.
“Tapi, gimana sama Flo?” lanjut cowok itu.
Seketika, mama melirikku dengan tatapan ala elang mengintai mangsa. Dan mewakiliku menjawab, “Flo sudah pasti nggak nolak. Ya ‘kan sayang?”
“Iya,” jawabku disertai senyum.
Sejujurnya aku ingin mengambil zuppa sup lagi, tetapi bustier ini rasanya tidak mangizinkanku memakan lebih. Lagi pula lirikan mama selalu ditujukan padaku lantaran hafal kalau putri kesayangannya ini yang paling rakus makan. Dio pun mengobrol dengan Arsen. Rasanya aku ditinggal sendirian, hingga bu Jo melayangkan pertanyaan, “Flo sekarang sibuk apa sayang?”
Aku baru saja membuka mulut, tetapi mama mendahului lagi. “Biasa, mengurus bisnis dekorasi, Jeng. Itu loh, Eleanor’s Decor. Jadi, nggak sibuk-sibuk banget. Kita tinggal menyesuaikan jadwal Arsen aja.”
Argh! Ya sudahlah, suka-suka mama. Padahal kalau ada acara nikahan, aku sangat sibuk. Seperti tadi malam, sampai lembur jam dua pagi demi mendapat kepuasan batin klien.
Intinya semua orang dimeja makan ini setuju kalau aku dan Arsen akan disatukan dalam ikatan pernikahan. Dan aku pun terpaksa menyetujui. Kuambil segi positif, toh keluarga pak Jo sudah mengenal keluarga kami, dan seperti yang sudah dijelaskan tadi, urusan bibit, bebet dan bobot tak usah diragunakan.
“Begitu,” jawab bu Jo dan beralih ke Arsen yang memperhatikanku dari tadi. “Gimana jadwal kamu, Arsen?”
“Kalau perlu cuti buat tunangan, aku bakalan cuti, Bunda.”
______________________________________________
Thanks for reading, see you next ❤
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top