Not Finished Yet - Chapter 1
Happy reading everyone
Hope you enjoy and love this short story
❤❤❤
_____________________________________________
Bunyi bel apartemen yang berdentang kencang menciptakan decakan sebal indra pengecapku. Dengan segenap tenaga yang hampir gagal tercipta, aku berupaya membuka kedua netra yang lengket seolah seseorang baru saja merekatkannya dengan lem super kuat.
Dengan mata seengah terpejam, aku meraba nakas dan mengintip jam beker yang berada dalam genggamanku. Mendapati benda digital tersebut mengejekku dengan angka enam lewat sepuluh, aku mengerung bak binatang buas yang hendak mengamuk.
Demi warga Bikini Bottom! Seandainya tidak tahu siapa yang bertamu sepagi ini melalui suara familier yang memanggilku berulang kali, mungkin sudah kugebuki orang itu menggunakan sapu terbang Harry Potter supaya sadar bahwa bertamu pagi buta sangatlah tidak sopan dan mengganggu.
Bayangan itu memang asyik dan menarik, pengecualian untuk tamu kali ini. Jadi, sebaiknya aku bergegas membuka pintu apartemen sebelum sang Pengetuk memanggil para bala bantuan untuk membobolnya atau para tetangga ramai-ramai datang mendemoku sambil membawa obor karena tamu maha pentingku yang berisik.
Pintu terbuka, jeritan melengking kontan menubruk gendang telingaku. “Flo! Kamu ganti lagi password apartemen kamu?”
“Eh, selamat pagi Nyonya Nisrina Cattleya,” sapaku lantaran menyamping supaya ibu negara berjambul katulistiwa dan berkipas ini bisa masuk.
“Nyonya, Nyonya. Jangan cengengesan buat ngalihin topik ya! Kenapa kamu ganti password apartemen kamu? Biar Mama nggak bisa masuk? Gitu?”
Aku menutup pintu dan mengikuti mama menuju ruang tamu mungilku. “Ya nggak gitu, Ma. Akhir-akhir ini banyak maling. Jadi ya aku ganti aja biar aman,” kilahku. Padahal jawaban mama-lah yang merupakan alasan terkuatku mengganti sandi.
Tidak enak rasanya selalu dikejar-kejar dengan pertanyaan: kapan punya pacar lalu menikah dan punya anak oleh mama bak dep kolektor di usiaku yang menginjak dua puluh enam tahun ini. Memang apa masalahnya kalau aku masih betah menyandang status jomlo kawakan di usia tersebut, selain dijadikan bahan gosip tentangga mama?
Aku menguap lebar dan mama langsung berkomentar, “Jam berapa ini kamu baru bangun dan masih ngantuk? Ayam jago udah kukuruyuk dari tadi loh, Flo.”
Nggak perlu diingetin aku juga udah tahu, Ma!
Bagaimana kira-kira kalau aku menjawab pertanyaan wanita paruh baya yang alisnya sedari tadi menukik tajam dengan kalimat itu sambil mencak-mencak di meja ruang tamu? Aku yakin seribu persen ibu negara yang satu ini langsung akan membawaku ke orang pintar untuk menyembuhkan anak kesayangannya yang beliau sangka kesurupan jin tomang. Atau parahnya lagi, akan mencoretku dari kartu keluarga.
Jadi, alih-alih menyalurkan kegeraman lewat verbal—karena tidak akan pernah menang juga kalau harus berdebat denga mama—aku lebih memilih jawaban logis. “Semalem habis lembur, Ma. Kerjaanku baru kelar jam dua pagi dan baru tidur jam tiga.”
Sejujurnya aku masih tidak rela meninggalkan kasurku yang malang.
“Ck! Ini nih akibat teralu lama jomlo. Nggak ada motivasi bangun pagi buat ngucapin selamat pagi ke pasangan. Nggak ada yang ingetin juga buat jangan terlalu maksain kerja, selain Mama.”
“Makasih, Ma. Udang ingetin aku ya,” jawabku sambil tersenyum tiga jari.
Namun, jawaban itu tak cukup puas meredakan kecerewetan Mama. “Tapi kamu tetep ngeyel mau lembur, ngambil semua kerjaan yang diminta klien. Mirip kayak papamu.”
Mama duduk dan mendudukan tas jinjingnya, lalu melipat kaki dengan anggun dan lanjut berkipas ria, tetapi mulut bergincu merah marun itu tidaklah berhenti julid. Semakin menambah pundi-pundi kebisingan sehingga membuatku mencibir.
“Mama heran. Apa sih yang bikin kamu nggak move on-move on dari Samudra Altantis? Cowok nggak jelas kayak gitu aja kamu tangisin sampai bertahun-tahun.”
“Loh kok jadi bawa-bawa Sam sih, Ma? Aku baru bangun gara-gara lembur kok, nggak ada kaitannya sama dia.”
Memang, cowok yang disebut Samudra itulah yang berperan besar dalam membuatku jomlo hingga hampir tiga tahun lamanya. Meski setiap detik aku mengutuk cowok itu jadi tusuk gigi, tetap saja aku tersinggung. Sudah jelas aku bangun jam enam pagi—yang menurut mama itu siang—karena lembur, tetapi malah dikait-kaitkan dengan cowok tukang goshting itu. Ew, Ogah layaw.
Sorry. Kendatipun gamon alias gagal move on, tetapi bisa kupastikan segala kegiatan atau kesibukan kerjaku bukan sebagai sarana supaya aku tidak memikirkan cowok itu. Melainkan untuk membiayai hidupku. Terutama untuk makanku yang banyak dan sedikit hura-hura kalau mataku menangkap sepatu-sepatu lucu di toko. Tidak mungkin ‘kan, aku akan terus menerus membebani papa dan mama?
“Soalnya ini ada kaitannya sama acara kita hari ini. Kamu nggak lupa ‘kan kita mau ngapain? Buruan mandi sana.” Sejenak, aku melupakam keberadaan mama seandainya beliau tidak kembali mengomel.
Dan berhubung ini masih pagi, selain malas begerak, aku jelas malas berpikir atau mengingat-ingat. Maka dari itu aku bertanya, “Emang kita mau ngapain, Ma?”
Mama mendelik dan menghentikan acara kipas-kipas manjanya. “Florentina ...,” panggil beliau dengan nada lembut. Diselingi senyum tetapi wajah yang belum terlalu keriput itu tampak gemas ingin mengembalikanku ke perut. “Kita mau makan siang, Sayang.”
“Makan siang? Ini aja masih jam enam pagi, Ma. Sarapan dulu dong.” Rasanya aku ingin menggaruk dinding apartemenku yang kulapisi dengan wallpaper triball warna toska dan abu-abu muda.
“Kalau kita nggak mau makan siang sama keluarga pak Jo, Mama juga nggak bakalan dateng sepagi ini, Flo.”
“Pak Jo? Maksud Mama, pak Paijo temennya papa waktu kuliah itu? Lagian mau makan siang aja repot.”
Ya Tuhan, seandainya aku rol depan dan belakang di depan mama lalu kembali tidur, akan seperti apa kira-kira reaksi mama ya?
“Iya, Sayang. Tapi karena acaranya nggak cuma makan siang doang—”
“Maksudnya nggak cuma makan doang?” potongku yang jelas kurang. “Ma, kalau nggak ada sangkut pautnya sama anak muda kayak aku, please, aku pengin balik tidur lagi. Mama sama papa aja yang makan siang bareng pak Jo.”
“Sh! Kamu itu, sama orang tua main potong omongan aja! Mama nggak pernah ngajarin kamu kayak gitu ya, Flo. Itu nggak sopan namanya!” Mama menunjuk-nunjukku menggunakan kipas saktinya. “Ini justru yangkut kamu, masa depan kamu, Flo! Mama dan papa mau jodohin kamu sama anaknya pak Jo yang namanya Arsen Gafi.”
Tanganku terangkat, selaras dengan mulutku yang membuka dan baru hendak melayangkan segala jurus protes, tetapi Mama terburu membaca gelagatku lebih dulu dan kembali memgacungkan kipas ke arahku. “Nggak ada tapi-tapian. Inget, semalem kamu udah deal sama Mama kalau mau Mama ajak makan siang.”
“Alamak! Mana tahu kalau makan sianganya pakai acara perjodohan segala. Kirain ya makan siang biasa.”
“Udah. Nggak usah protes atau Mama kutuk kamu jadi kutu. Jadi, buruan mandi sana. Ckckckck, anak perawan jam segini belum mandi. Zaman Mama kecil dulu habis fajar udah mandi, Flo.”
Demi jambul katulistiwa Mama! Sebaiknya aku mandi daripada kepalaku bertambah pusing gara-gara mendengar omelan mama di pagi yang seharusnya cerah, tentram dan damai ini sambil memikirkan bagaimana caranya mengacaukan perjodohan itu.
____________________________________________
Thanks for reading this chapter
See you next chapter teman temin
With Love
©®Chacha Prima
👻👻👻
2 Oktober 2021
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top