13
Dada Jane masih bergemuruh oleh perasaan kesal bercampur sedih dan kecewa. Namun, mendengar nada memohon dalam ucapan sang kakak dan rautnya yang kentara kelelahan. Jane tidak memberontak lagi sampai James melepaskannya.
“Terima kasih.” James mengangguk sambil berdeham singkat. Dia diam sesaat sebelum berkata, “Kita mungkin saja akan mati karena luka dan tidak dipersenjatai. Namun, aku ... punya rencana.”
Jane mengernyit, pria di sebelahnya jarang terlihat ragu dalam membuat keputusan. Mengingat kedudukannya yang paling berpengaruh dan kuat di keluarga mereka, James harus bisa membuat dan mengambil keputusan-keputusan sulit. Kendati demikian, ekspresi pria pucat berambut pirang kusut di depannya ini kelihatan tidak meyakinkan.
"Ada apa?” Jane bertanya.
James memandang lurus adiknya. “Aku ingat bahwa ada pondok yang dibangun di hutan ini. Letaknya tidak jauh dari sungai karena, yah ... kita tahu manusia butuh sumber air untuk hidup.” Dia diam lagi. “Namun, aku tidak tahu ... apakah pondok tersebut masih berpenghuni atau tidak. Aku tidak pernah mengecek hanya melihat dari jauh. Aku juga tidak pernah berjumpa dengan pemburu lain. Namun, tetap tidak menutup kemungkinan bahwa tempat itu masih berpenghuni. Hutan ini luas, wajar saja kalau kami tidak pernah berjumpa.’
“What's your point?” Jane mengernyit.
“Makanya dengarkan dulu,” James membuang napas, “semenjak tragedi Eyeless pertama kali hadir di negara kita. Orang-orang jadi sukar mempercayai satu sama lain. Aku pun sama. Ketika melihat ada sebuah pondok berdiri di tengah-tengah hutan, aku tidak bisa sembarang memastikan apakah tempat tersebut berpenghuni atau tidak. Kau bisa tebak alasannya?”
Adik perempuan James bergumam panjang, terlihat dia sudah melupakan perdebatan mereka tadi dan mulai mendapatkan kembali semangat untuk mempertahankan hidup. “Karena sama-sama bertahan hidup, kurasa bukan ide bagus untuk bertemu orang lain."
“Bravo!” James mengacungkan jempol, membuat adiknya mati-matian menahan senyum. Jarang-jarang ada yang memuji Jane, apalagi kakaknya yang angkuh.
“Itu memang alasannya.” James mengangguk. “Kalau diperjelas, kurang lebih karena kita sesama pejuang maka opsi bersinggungan bukanlah hal bagus. Meskipun bisa bekerjasama untuk saling menjaga dan melindungi, kemungkinan hal sebaliknya yang terjadi juga ada.”
Jane menahan napas, selagi kakaknya terus berbicara.
“Kau bisa saja dikhianati, mungkin dirampok. Persediaan apa pun yang kau punya baik obat-obatan, makanan, ataupun senjata bisa diambil oleh kelompok yang lebih besar.” Pria itu terpejam sebentar. “Karena itulah, menjadi individu yang mandiri sangat penting untuk kebaikan bersama saat ini.”
“Lalu apa yang akan kita lakukan?" tanya Jane, napasnya memburu. Dia memandangi sekitar, otak berusaha menebak ke arah mana rencana kakaknya ini. “Kau mau kita mencuri dari pondok itu? Mem-membunuh pemiliknya?”
James tidak menjawab, seolah memperkuat tebakan sang adik. James menarik napas dalam-dalam, melotot dan menggeleng. “Aku tidak bisa melakukan itu.”
“Kau tidak melakukannya sendiri, Jane.”
“Kita tidak bisa melakukan itu!”
Alis kanan James terangkat. “Dan, karena apa kita tidak bisa melakukannya?”
Sang adik tak mampu menjawab pertanyaan sang kakak. Walau Jane ingin berkata kalau tindakan tersebut bukanlah hal terpuji, rasanya aneh memikirkan batasan antara hal-hal baik dan buruk untuk dilakukan di tengah-tengah kondisi saat ini. Gadis itu juga yakin, kalau bagi James; hidup mereka adalah yang terpenting. Bahkan jika itu berarti mereka melakukan tindakan tercela.
“Jane, dengar.” Melihat raut panik sang adik, James berusaha menenangkan sekalipun dia juga merasa sebal karena harus terus menjelaskan. Terkadang pria itu berharap, adiknya bisa mengerti sendiri. “Kita tidak tahu, berapa jumlah penghuni pondok itu dan apakah kita bisa mengalahkannya atau tidak. Namun, apa kau juga berpikir ... kalau bisa saja pondok itu sudah tidak berpenghuni sekarang?”
Ekspresi Jane melunak dan seolah berkata, aku tidak kepikiran sampai ke sana.
“Terakhir kali, aku melihat pondok itu adalah dua tahun silam. Namun, aku masih ingat jalan menuju ke sana seolah-olah baru melihatnya kemarin. Mari kita anggap bahwa pondok itu sudah tidak berpenghuni.” James berujar lembut, berusaha meyakinkan satu-satunya orang yang bisa diandalkannya sekarang.
“Apa yang kita lakukan?”
Pertanyaan Jane membuat kakaknya memejamkan mata, menahan gejolak emosi. Pria itu menaikkan tangannya yang sehat ke atas kepala sang adik, mengacak rambutnya gemas. “Kita periksa tempat itu. Apakah ada obat-obatan atau tidak, mungkin saja pemiliknya dulu memiliki perapian dan masih ada sisa korek api di sana. Kita bisa beristirahat lebih aman dan menghangatkan diri.”
Penjelasan itu membuat raut wajah Jane berubah cerah, gadis itu bahkan tersenyum kecil. Membuat perasaan James menghangat. “Baiklah. Ayo, kita ke sana.”
James mendengkus, menahan tawa. “Pikiranmu cepat sekali berubah,” komentarnya.
Jane tidak menanggapi, dia sudah membayangkan kemungkinan terbaik yang bisa terjadi selagi kakaknya menyusun rencana dalam benak. Setelah mempersiapkan diri---memastikan tidak ada senjata yang tertinggal---kedua bersaudara itu kembali melanjutkan langkah menuju pondok tersebut. Satu orang terus berdoa dan mengharapkan hal-hal baik, sementara saudara yang satu lagi senantiasa siaga.
Tidak ada yang menyadari bahwa sesosok makhluk bertubuh besar dengan kulit katak, menghidu aroma tubuh basah yang mereka tinggalkan di tepi sungai. Monster itu menggeram lirih, lantas mulai mengikuti ke mana hidungnya menunjukkan arah.
[]
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top