Chapter 09: The Feast
Aura kutukan kelas khusus sangatlah pekat dan menyesakkan, selalu membuat bulu kuduk berdiri. Megumi terbangun oleh sensasinya, langsung dalam siaga apabila kutukan asing yang menghampirinya adalah kutukan yang menginginkan nyawanya atau menginginkan jari Sukuna yang sedang di bawanya.
Kutukan itu terlihat lebih manusiawi ketimbang monster-monster yang pernah di temuinya. Sekilas melihat penampilan kutukan tersebut. Megumi diingatkan akan bentuk gunung Fuji.
Kepala menyerupai gunung merapi, bermata satu, mengenakan baju serba hitam dengan mantel hijau berpola polkadot hitam. Kutukan itu tersenyum, memamerkan gigi-gigi bak seekor hiu namun berwarna hitam.
"Hei bocah manusia," kutukan itu menyapa. Siapa sangka ia mampu berbicara.
Berhadapan dengan kutukan semacam itu langsung membuat Megumi beranjak dari tempatnya, menatap makhluk tersebut dengan tatapan penuh harap.
"Iya?...." dengan polosnya Megumi langsung menjawabnya. Bagaikan anak kecil yang tak tahu menahu akan bahayanya orang asing. Padahal seharusnya Megumi sudah tahu, kalau beberapa monster mempunyai kemampuan mengutuk manusia hanya dengan mengajak targetnya berbicara.
"Kau datang untuk mengantarkan jari Sukuna-sama kan?"
Megumi mengosok dagunya, terdiam untuk berpikir sejenak. Lalu bertanya singkat, "Sukuna-sama?"
Diakuinya, dia tidak mengetahui apapun tentang Ryomen Sukuna, khususnya setelah sang raja kutukan meninggalkan rumahnya. Tentu saja. Dia pun tidak punya petunjuk untuk mencari Sukuna sendirian.
Tidak ada pilihan selain menjawab pertanyaan kutukan tersebut dengan jujur.
"Begitulah," jawab Megumi singkat.
Kutukan gunung merapi itu terdiam sejenak, mengamati Megumi dari ujung kepala sampai ujung kakinya. Megumi pun hanya terdiam di tempat, menunggunya mengatakan sesuatu.
"Hmm....." Tiba-tiba di tengah pengamatannya kutukan itu berdehem pelan. "Yah. Pantas saja Sukuna-sama begitu tertarik padamu. Bocah," komennya kemudian.
Lagi-lagi Megumi di panggil bocah. Memang benar kalau para makhluk tak kasat mata itu telah hidup lebih panjang ketimbang umur seluruh umat manusia apabila di gabungkan. Namun akan lebih baik kalau mereka tidak terus-terusan mengatai seorang lelaki dewasa sepertinya sebagai bocah.
"........mulai sekarang. Akan kuanggap julukan itu sebagai pujian saja," oceh Megumi seraya tersenyum hambar. "Di bandingkan kalian. Manusia memang awet muda," tambahnya.
"itu karena kalian manusia selalu mati muda. Terlalu lemah," balas kutukan itu sembari menyeringai jenaka.
Sindiran tersebut lantas membuat Megumi mencibir. Rasanya seperti orang bodoh karena telah berusaha memenangkan perdebatan dengan satu kutukan.
"Jadi? Dimana Ryomen Sukuna-sama itu?" tanya Megumi langsung pindah ke intinya. "Meskipun kau mengaku sebagai bawahannya sekalipun. Maaf saja. Aku tidak bisa memberikannya padamu begitu saja," jelasnya seraya memasukan kedua tangannya ke lengan kimononya.
Tanpa di sadarinya hari pun sudah semakin gelap, udara pun juga semakin dingin. Salahkan saja nasib sialnya tadi, yang memaksanya harus kabur dari rumah secara mendadak. Jadinya mana mungkin dia sempat membawa beberapa barang kebutuhannya?
Kutukan itu lantas mengambil satu ranting pohon yang kokoh dan panjang lalu membakar ujungnya. Penglihatan Megumi yang mulanya tadi cuma samar-samar kini menjadi semakin jelas, sosok kutukan yang sedari tadi berbicara dengannya pun semakin terasa nyata.
"Kau mendengarnya kan? Aliran sungai," ujar kutukan itu seraya menyerahkan obor buatannya. Tangannya lalu menunjuk ke arah barat, dimana sumber suara yang di maksudnya berasal.
"Sukuna ada di sana?" tanya Megumi. Lalu kembali terdiam sesaat.
Ke arah kutukan itu menunjuk, pemuda bersurai hitam itu pun lantas tersenyum samar. Anak manusia yang selama ini selalu di pandang lemah oleh para monster. Nampak menjadi lebih kecil dan lebih rapuh ketimbang biasanya.
"Apa dia sungguh ada di sana?" tanya Megumi lagi.
Sejujurnya dia tidak sedang meragukan kutukan itu. Megumi hanya belum mempercayai bahwa sebentar lagi ia akan bertemu kembali dengan sosok sang raja kutukan.
"Ah.......sudah lama aku tidak bertemu dengannya," ucap pemuda itu lirih.
Memperhatikan semua gelagat aneh anak manusia itu. Sang kutukan gunung merapi bersedekap dada, mungkin dalam hatinya dia sedang bertanya-tanya: Apa gerangan yang membuat seorang anak manusia begitu ingin bertemu dengan Ryomen Sukuna?
"Cepatlah berangkat. Tuanku tidak suka menunggu," tegur kutukan itu.
Megumi lantas menoleh padanya lalu menyeringai jenaka. Wajahnya yang tadi cuma di buat sedatar mungkin, kini lebih terlihat kekanak-kanakan.
"Kurasa jadi bawahan Sukuna pasti susah juga huh? Sukuna itu......pasti seorang bos yang suka seenaknya, egois dan suka menindas para bawahannya. Semua keputusannya pasti tergantung dengan suasana hatinya huh?" ujarnya dengan senyuman lebar yang raut wajah menjadi semakin terlihat lebih manusiawi.
Padahal awalnya anak manusia itu bagaikan sebuah boneka cantik yang suka di koleksi dan di simpan para bangsawan dalam lemari kayu. Keberadaan yang hanya di anggap sebagai pajangan.
"Hahaha......."
Kutukan itu lantas tertawa, mulai menaruh perhatian pada setiap gerakan Megumi. Sebagaimana tuannya yang tertarik pada anak manusia itu. Bocah itu pun juga nampaknya tak berminat meninggalkan sisi tuannya.
"Kalau sudah tahu. Cepatlah berangkat," ujar kutukan itu.
"Terima kasih.......umm......siapa namamu?" tanya Megumi sebelum hendak berlari meninggalkan kutukan yang baru saja di kenalnya.
"Kau pasti punya nama kan?"
OXO
Setelah kurang lebih 15 menit dia berjalan kaki. Akhirnya Megumi sampai ke pinggiran sungai yang di maksudkan oleh kutukan bernama Jogo.
Di sana ada sebuah perapian yang menyala dengan 5 tusuk ikan segar yang sedang di panggang di atas perapian. Namun anehnya tidak ada siapapun.
Sedikit binggung. Megumi pun menggaruk kepalanya yang tidak gatal lantas memilih untuk duduk di pinggir perapian, lebih baik menghangatkan diri dulu di sana.
Samar-samar ia memang bisa merasakan hawa kebaradaan Ryomen Sukuna tapi tidak bisa memastikan dimana letak pastinya. Dia pun jadi mulai bertanya-tanya: Bagaimana bisa hawa keberadaan sebesar itu begitu susah di lacak? Apa Sukuna memang sedang sengaja bersembunyi darinya?
Kemudian Megumi menghela nafas. Matanya menatap lekat pada perapian, membiarkan pantulan cahaya api menari di permukaan sepasang iris sewarna lautan dalam.
"Aaah.......tiba-tiba aku lapar........"
Tiba-tiba Megumi mengeluh sembari mengeluarkan jari Sukuna dari wadah kayunya. Suaranya memecahkan keheningan malam, jadi menggantikan suara pletikan kayu yang terbakar.
Walau mengeluh lapar. Anehnya. Ketimbang memperhatikan ikan-ikan bakar di depan matanya. Megumi malah memainkan jari tersebut, mendekatkannya pada perapian.
"Saking laparnya. Sebuah jari yang terlihat menjijikan ini........tiba-tiba jadi kelihatan enak. Sayangnya aku tidak bawa garam," ocehnya sendirian di tengah hutan. Kalau ada pengembara yang memergokinya berbicara sendirian mungkin dia bisa dianggap sudah gila.
Apapun itu. Megumi sudah tidak peduli. Pemuda itu semakin mendekatkan barang pusaka tersebut, membiarkan ujungnya terbakar sedikit. Bau gosong yang langsung terlintas di penciumannya masih belum menghentikan niatnya.
1......2......3......4.....5......
Megumi menghitung detik-detik sebelum ia sungguhan melemparkan jari Sukuna ke dalam perapian. Tidak masalah kan? Apalagi dia sendiri tidak begitu yakin apabila api dari perapian biasa mampu membakar habis barang pusaka tingkat khusus tersebut.
"Oi bocah!"
Pada hitungan hampir ke-10. Suara dalam khas seorang pria berhasil membuat Megumi mengurungkan niatnya. Lantas ia menoleh ke sisi kanannya, dimana hawa keberadaan yang terasa sangat familiar sedang berdiri sambil memasang wajah juteknya.
"Oh.......akhirnya kau datang juga huh," ujar Megumi yang sepertinya tidak terkejut atas kedatangan Ryomen Sukuna yang sedari tadi di tunggu-tunggunya.
"Kau hampir saja membuatku mati kebosanan," tambahnya lalu mendongak ke atas dan tersenyum manis ketika mendapati wajah kesal sang raja kutukan.
Ryomen Sukuna masih dalam wujud manusianya. Tubuhnya yang kekar di balut kimono putih dengan pinggiran berwarna hitam, dia selalu muncul sebagai seorang pria tampan bertubuh kokoh dan tinggi. Sebagaimana Megumi mengingatnya.
"Dasar bocah manusia. Baru saja kutinggal kan sebentar. Kau sudah berani-beraninya mencoba mengancamku......"
Sukuna pun mengomel tapi masih mau melepaskan syal nya dan memberikannya untuk Megumi yang sepertinya dari tadi mengigil kedinginan.
Pria itu membantu Megumi melilitkan syalnya sembari memangku pemuda tersebut. Di perhatikannya. Pakaian yang di kenakan Megumi malam ini terlalu tipis. Sukuna pun lantas memeluk tubuh mungil pemuda tersebut dari belakang.
"Terima kasih Sukuna," ucap Megumi lembut seraya mencengkram syal pemberian sang raja kutukan. Bibirnya melengkung membentuk senyuman tipis. Hembusan nafasnya berubah menjadi awan putih. Masih agak dingin memang namun pelukan yang di berikan Sukuna sudah membuatnya lebih mendingan.
"...............sukuna. Ada apa? Tidak biasanya kau menempel padaku seperti ini?" tanya Megumi setelah mereka berdua terdiam beberapa saat. Dia tidak bermaksud mengeluh, hanya di buat penasaran saja. Namun Sukuna masih diam.
Megumi pun akhirnya membiarkannya tetap terdiam, tak ada gunanya juga memaksakan jawaban. Pemuda itu lantas menyamankan diri dengan di atas pangkuan Sukuna sembari menikmati pemandangan langit malam berbintang.
Suara pletikan kayu-kayu yang terbakar kembali menghiasi kesunyian malam. Megumi yang tadinya sempat melamun dan mengantuk akhirnya tersadarkan akan bau gosong dari ikan yang sudah terlalu matang.
Ada garam atau tidak. Ikan-ikan itu nampaknya begitu lezat atau mungkin dia saja yang sedang kelaparan. Karena Sukuna masih tetap bungkam dan masih belum bergerak barang se-inci pun. Seenaknya saja Megumi meraih satu tusuk ikan dan langsung memakannya sampai habis.
Ini pertama kalinya pemuda itu berada dalam alam liar. Sebelumnya Megumi tidak pernah berkemah di dalam hutan. Dirinya yang menghabiskan sisa hidupnya dengan belajar, belajar, dan belajar tidak pernah kepikiran untuk menikmati alam bebas.
Apalagi, hutan di malam hari terlalu berbahaya bagi anak manusia seperti dirinya.
Tapi setelah kejadian hari ini dengan orang-orang Shinsengumi. Mulai sekarang Fushiguro Megumi adalah seorang buronan. Sebaiknya dia mulai membiasakan diri dengan hutan.
"Hei Sukuna. Jangan diam saja. Katakan sesuatu!" tegur Megumi yang sudah menghabiskan seluruh ikan bakar di sana. Selain karena capek. Entah mengapa rasa bosannya menambahkan rasa laparnya juga. Biasanya dia tidak akan makan sebanyak itu.
"Berisik Fushiguro Megumi," balas Sukuna setelah sekian lamanya terdiam. "Tidak hanya kau seorang yang capek. Aku pun juga sedang memikirkan sesuatu," sambungnya tanpa melepaskan pelukannya. Malahan dia semakin mengeratkannya.
"...........kau......"
Megumi lantas menoleh ke belakang. Ia pun masih tak habis pikir akan gelagat manja sang raja kutukan. Sekali lagi mereka berdua terdiam sampai akhirnya Megumi mulai menerka.
"........apa kau lagi lapar?" tanyanya seraya menatap sepasang mata merah darah sang raja kutukan. Tentu saja yang dia maksud dengan Lapar bukanlah rasa lapar yang di rasakan oleh seorang manusia.
Sukuna mengerjapkan matanya, terlihat kebingungan dan kewaspadaannya pun ikut menurun drastis. Tapi setelah itu dia tersenyum menawan dengan kilat matanya yang menggoda. Seringaian penuh percaya diri yang merupakan daya tarik pria tersebut bisa melelehkan hati siapapun.
Sekalipun itu Megumi.
"Lapar huh," gumam Sukuna sembari mengerakan kedua tangannya.
Sang raja kutukan lantas meraba-raba pinggang dan perut anak manusia di atas pangkuannya. "Yah anggap saja begitu," tambahnya lalu mengecup belakang leher yang nampak begitu kecil dan rapuh.
Meski agak risih, Megumi tetap membiarkannya bertindak sesuka hatinya. Pada setiap sentuhan suhu tubuhnya meningkat secara berlahan. Nafasnya semakin memburu diikuti dengan suara desahan halus bagaikan melodi.
Tangan Sukuna yang lihai menyusup masuk kedalam pakaiannya. Jemarinya meraba puting Megumi yang ia ketahui adalah salah satu bagian sensitif dari pemuda tersebut.
Megumi spontan memejamkan matanya, mau tak mau menikmati saat-saat bagaimana jemari Sukuna memainkan putingnya yang mulai menegang dan mengeras.
Tiba-tiba salah satu tangan Sukuna mencengkram dagunya dan memaksanya untuk menoleh kebelakang. Sebuah jari masuk kedalam mulutnya, memaksa Megumi untuk membuka mulutnya lebar-lebar sebelum akhirnya kembali di bungkam dengan bibir sang raja kutukan.
Ryomen Sukuna menciumnya dengan ganas, menjajah ronga mulut sang anak manusia yang sudah tak berdaya di bawah pesonanya. Lidahnya mengeksplor dan menyapu setiap sudut yang mampu mengeluarkan erangan manis dari bibir ranum Fushiguro Megumi.
"HAH!!"
Mendadak sekujur tubuh Megumi di buat melonjak kaget. Wajahnya memerah padam dan spontan ia memberontak. "Su--sukuna!!" protesnya seraya memegangi tangan Sukuna yang bermain di dadanya. Namun berujung di abaikan.
"Ta--tanganmu....singkirkan tanganmu," pinta Megumi.
Sukuna tetap mengabaikannya. Ia lantas mengangkat tubuh Megumi dan memutar tubuh pemuda tersebut agar berbalik arah kepadanya. Tangannya terus menggerayangi tubuh ramping Megumi sementara mulutnya bermain dengan puting merah muda yang mungil dan menggemaskan.
Bagian bawahnya langsung bereaksi, menegang dan basah. Kimononya tersingkap dan hampir sudah tidak ada gunanya lagi dipakai, bagian atasnya telah terakspos dan bagian bawahnya pun juga demikian. Kulit putih nan mulusnya terekspos di udara malam yang dingin. Membuat sosok Fushiguro Megumi yang berada di depan cahaya perapian terlihat semakin menawan.
Tangan besar Sukuna meremas ujung kemaluannya lalu memberikan sedikit tekanan di sana. Sesekali tangannya itu menggesek naik dan turun, membuat sang empunya membusungkan dadanya menahan nikmat. Sementara tangan Sukuna yang lain menyentuh bagian belakangnya, berusaha menyelip jemarinya masuk ke dalam lubang yang mulai ikut membasah dan berkedut.
Tak butuh waktu lama desahan Megumi pun semakin menjadi-jadi. Kepalanya terasa ringan dan matanya mulai berkunang. Tanpa sepengetahuannya pinggulnya bergerak sendiri, berusaha memasukan jemari Sukuna agar masuk lebih dalam lagi.
"Ah...ah Sukuna......sukuna....."
Megumi terus berbisik-bisik tepat di sebelah telinga Sukuna seraya memeluk leher sang raja kutukan dengan pasrah. Air mata terus menetes dari sudut matanya, membasahi wajah rupawannya.
Bagaimana pemuda itu menempelkan tubuhnya dan bagaimana desahannya bagaikan melodi merdu. Semua itu meningkatkan hasrat sang raja kutukan untuk segera memiliki segala hal yang dimiliki sang anak manusia.
Sukuna membuka mulutnya lalu menancapkan giginya pada pundak Megumi, mengigit dan menghisap sampai meninggalkan jejak kemerahan yang tak akan mudah di hilangkan begitu saja. Kulit seputih susu itu kini berhiaskan bercak merah bagaikan lukisan bunga gugur di tengah-tengah hamparan salju.
Di saat Megumi menikmati sentuhan lembut Sukuna. Tiba-tiba saja dirinya di kejutkan oleh tekanan pada lubang pantatnya. Tanpa aba-aba Sukuna sudah memasukan miliknya ke dalam, memenuhi isi perut Megumi dengan barang miliknya itu.
Sukuna kemudian menguncang tubuhnya, menggerakan tubuh Megumi agar tetap seirama dengan dirinya. Megumi begitu pasrah dalam dekapannya, mengikuti semua hasrat yang di miliki sang raja kutukan. Begitu menggemaskan sampai-sampai semua ini masih belum cukup untuk memuaskan Ryomen Sukuna.
Bibir keduanya kembali bertaut dengan Sukuna yang mendominasi seluruh tubuh Megumi. Sepertinya sang raja kutukan tak akan menyisakan makan malamnya hari ini.
TO BE CONTINUE
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top