Chapter 07: The Loneliest
"Tokusa no Kage Bojutsu?"
Megumi langsung mengangguk mantap pada pertanyaan tersebut. Pria tua yang duduk di seberangnya itu pun jadi menggosok dagunya dan sesekali berdecak pelan, berusaha mengingat sekiranya ada informasi apa yang ia bisa bagikan kepada juniornya sebagai seorang peneliti.
"Selain informasi mengenai teknik 10 bayangan merupakan teknik kutukan milik keluarga Zenin. Tidak banyak informasi yang beredar mengenai teknik legendaris tersebut," dengan penuh penyesalan pria tua itu berkata.
Megumi hanya tersenyum tipis menanggapinya, sebenarnya dia sendiri juga tak begitu berharap bisa mendapatkan informasi mengenai sebuah teknik kutukan dari penduduk sipil.
"Kalau begitu," Megumi kembali memulai pembicaraan. Tangannya bergerak elegan saat dirinya membantu mengisi ulang cangkir teh sang senior--tangan kanan menuang teko sementara tangan kirinya menyingkap lengan kimononya agar tak menghalangi.
"Tolong beritahu. Silsilah kepemimpinan klan Zenin termasuk pendirinya," pinta Megumi seraya mengisi ulang cangkirnya sendiri setelah selesai mengisi milik orang lain.
"Oh. Tentu saja aku bisa memberitahumu!" seru pria tua tersebut kegirangan seraya tersenyum lebar. Kemudian dia beranjak dari tempat duduknya dan mulai mengacak lemarinya yang berdiri di sudut ruangan.
"Beberapa saat yang lalu aku melakukan proyek dan mengajukan kelas seminar mengenai klan Zenin yang memiliki sejarah panjang dan komplek," jelasnya sambil terus mencari.
Sementara Megumi duduk manis, menunggu dengan sabar sambil mendengarkan semua ocehan pria tersebut sampai selesai.
Seperti yang dikatakan oleh pria itu. Klan Zenin--ataupun kedua klan lainnya. Mereka semua menyimpan sejarah panjang yang rumit sekaligus komplek. Bahkan para generasi muda dalam kalangan klan pun banyak yang tak memahaminya.
Sungguh sangat ironi, karena terkadang orang luar bisa jadi lebih memahami bagaimana silsilah keluarga mereka, ketimbang orang dalam yang seharusnya terlibat secara langsung.
"Dengan senang hati, aku bisa menjelaskan semuanya untukmu. Namun akan sampai malam apabila aku terus mengoceh tanpa henti. Hahahaha...." Sambil mengatakannya pria itu meminjamkan sebuah buku gulungan kepada Megumi.
"Terima kasih banyak. Seperti yang kau ketahui aku benar-benar kekurangan bahan. Jari sukuna adalah barang kutukan kelas khusus yang terlalu kuno dan jarang ada informasinya," ucap Megumi sopan sekaligus menceritakan keluh kesahnya, seraya memasukan gulungan itu kedalam lengan kimononya.
Dirinya sudah mengenal lama pria tersebut, sampai-sampai pria itu sedari tadi tidak menanyainya apapun. Namun setidaknya ia harus memberikan alasan karena telah meminjam gulungan tersebut.
"Oh benar juga. Jari Sukuna katanya sangat berbahaya, itu adalah barang kutukan yang bisa mengundang para monster. Semoga saja Fushiguro-san tak terlibat masalah karenanya."
Megumi tersenyum kalem. "Sekali lagi terima kasih banyak," ucapnya lembut sambil membungkuk hormat sebelum akhirnya pamit mengundurkan diri.
OXO
"Tanpa adanya jari Sukuna pun. Hidupku sudah di susahkan oleh para monster," batin Megumi begitu berada di luar dan menghirup udara segar sore hari.
Pemuda itu pun berjalan kaki sesaat dan sesekali mengeluarkan gulungan yang baru saja di dapatkannya.
Selama perjalanan pulang, Megumi berusaha menahan senyumnya. Tidak ada yang tahu betapa ia sudah tak sabar ingin membuka dan membaca isi dari gulungan tersebut----obsesinya sebagai seorang peneliti kembali menggelitik.
Kalau Sukuna berada di sebelahnya saat ini. Pasti sang raja kutukan akan mulai membuat berbagai komen ataupun keluhan yang tak penting.
"Ngomong-ngomong. Beberapa hari ini aku tak melihat si Sukuna itu. Kemana perginya dia?" tanyanya dalam hati seraya menghentikan langkahnya.
Di tengah jalan Megumi berhenti seraya menekuk bibirnya, setiap kali mengingat hilangnya keberadaan Sukuna membuatnya sedikit gelisah dan bertanya-tanya. Apa alasan Sukuna menghilang tanpa membawa pergi jari kutukannya?
"Ya sudahlah," merasa tak ada gunanya berhenti dan berpikir tanpa tujuan yang jelas. Megumi hanya bersikap acuh tak acuh.
Apalagi ini sang raja kutukan. Makhluk seperti Ryomen Sukuna bukanlah sosok yang pantas untuk di kurung.
"Kalaupun ada alasannya ia pergi tanpa sepatah katapun. Pasti cuma ada satu itu alasannya kan?"
Sehari sebelum menghilangnya Sukuna. Mereka membahas mengenai keluarga Zenin dan latar belakang Megumi.
Sekalipun itu sang raja kutukan, pasti Sukuna pun akan di buat penasaran oleh siapa gerangan yang dulunya berhasil mengalahkannya dan menyegelnya, memotong jari-jarinya dan menyebarkannya ke berbagai tempat.
"Kalau aku harus menebak. Kunci untuk mengembalikan kekuatan Sukuna tidak hanya terletak pada jari-jari kutukannya, memakan semuanya jarinya sendiri masih lah belum cukup. Terlihat jelas bagaimana Sukuna masih mati-matian berusaha menyimpan energi kutukannya, padahal katanya jari yang tersisa hanya tinggal satu."
"Siapapun itu yang menyegel kekuatan Sukuna pasti menyimpan kunci lainnya. Dan tak ada yang lebih baik daripada....." Megumi berhenti berpikir sejenak lalu menepuk pelan dadanya sendiri. Dia mulai merasa apabila semua kepingan teka-teki ini mulai terkumpul. Namun dia tak tahu bagaimana ia harus menanggapinya.
Sekali lagi langkahnya berhenti. Suasana hatinya pun kembali memburuk. Megumi menghela kan nafas panjang, sebelum akhirnya seluruh perhatiannya terarahkan kepada suara lelaki yang tiba-tiba memanggilnya akrab.
"Apa yang sedang kau lamunkan. Megumi-kun?" sapa seorang pria jangkung yang entah kapan sudah berada di belakangnya dan menepuk pundaknya sok akrab.
"Dari dulu kau sangat ceroboh. Kau bisa tersandung kalau seperti itu terus."
Pria jangkung yang mempunyai penampilan fisik menyerupai orang asing, bersurai perak dan berperawakan besar. Sebingkai kacamata hitam senantiasa bertenger di hidungnya, demi menyembunyikan sepasang mataberharga, warisan dari klan Gojo. Tubuh sempurnanya itu di balut oleh kimono berbahan sutra mahal----sekilas nampak mengintimidasi karena berbedaan kelas sosial yang sangat kentara.
Pria itu sangat mencolok, memiiki hawa keberadaan yang berisik. Sekali lihat pun Megumi sudah tahu siapa gerangan pria tersebut. Dari semua waktu dan lokasi. Kenapa pula sekarang mereka harus bertemu?
Detik itu juga suasana hati Megumi di buatnya menjadi jauh makin memburuk, lebih buruk ketimbang awalnya.
"Sudah lama tak berjumpa. Satoru-sama," balasnya sesopan mungkin seraya memaksakan senyuman.
Tanpa menunggu balasan dari si lawan bicara. Pemuda itu pun lantas sedikit membungkuk untuk memberikan hormat kepada sang kepala klan Gojo----sekaligus pria yang saat ini menjabat sebagai penyihir terkuat di dunia saat ini.
"Aww seperti biasa Megumi dingin sekali ne~" oceh Satoru dengan nada yang berlebihan.
Walau terdengar sangat familiar di pendengaran Megumi namun pada saat yang sama nada menjijikan itu membuatnya menahan diri untuk tidak mendecih tepat di hadapan pria terhormat tersebut.
"Jadi. Apa yang sedang di butuhkan Sotaru-sama dariku?" tanya Megumi yang berusaha menuntun arah pembicaraan langsung kepada intinya.
Sudah 10 tahun lebih mereka tak bertemu. Sangat aneh apabila orang sepenting kepala keluarga Gojo menemuinya tanpa alasan yang jelas---dan sangatlah tidak wajar pula apabila pertemuan ini di karenakan kebetulan belaka.
"Sudah lama kita tak bertemu tapi kau tetap secuek itu pada ku huh," Sotoru masih membuat komentar yang sama sambil bersedekap dada.
Megumi hanya bisa diam dan melihat kelakuan sang tuan muda, yang dari dulu dianggapnya kurang waras. Lantaran sudah lama Megumi menyadarinya, betapa sang tuan muda itu menaruh obsesi dan ekpektasi mustahil terhadap dirinya.
"Dan semua itu karena teknik kutukanku," batin Megumi sambil tetap memasang senyuman kalem beramah tamahnya. Lebih baik ia tetap menunggu dalam diam. Walau anak simpanan dari keluarga Zenin sekalipun. Saat ini dirinya hanyalah salah satu penduduk sipil, mencari gara-gara dengan anggota keluarga dari ketiga klan besar cuma akan menghantarkannya ke panggung eksekusi.
Selagi pemuda itu sibuk berpikir. Tiba-tiba Satoru sudah berdiri di depannya dengan jarak yang begitu dekat. Di sandingkan dengan pria jangkung tersebut, tubuh Megumi seolah menciut, menjadi begitu mungil dan menggemaskan.
"Apa aku sungguh memerlukan alasan untuk datang menemuimu?" tanya Satoru dengan suara kalem yang menghanyutkan.
Seenaknya saja pria tersebut menjamah pipi Megumi yang mengadahkan kepalanya untuk melihat dirinya yang sedang tersenyum samar.
"Ah. Kau tumbuh menjadi semakin cantik saja," pujinya tiba-tiba.
Mana ada laki-laki yang suka di puji dengan sebutan cantik. Megumi yang tak bisa menahan kekesalannya pun langsung menepis tangan pria tersebut.
"Seperti biasa Satoru-sama sangat pandai memuji. Namun akan lebih baik apabila pujian tersebut di simpan untuk seorang gadis," protesnya secara halus.
"Jangan marah-marah. Aku cuma mengatakan hal yang sejujurnya," balas Satoru seraya memamerkan senyuman jenakanya.
"Tapi aku akan jadi berbohong kalau kubilang saat ini tidak ada yang kubutuhkan darimu," sambungnya santai namun mampu mengubah suasana di antara mereka menjadi lebih serius.
".......silahkan katakan sekarang," ujar Megumi menuntut. Jujur saja, semenjak kecil ia tak pernah betah terhadap tekanan aura milik sang penyihir terkuat. Baginya akan lebih baik apabila pembicaraan ini cepat terselesaikan.
"Ryomen Sukuna," ucap Satoru sebagai permulaan saja namun sudah mampu membuat tubuh Megumi berjengit karenanya.
"Seharusnya kau melakukan penelitian terhadap salah satu jarinya. Namun dari yang kulihat. Bukannya kau jadi sedikit melenceng dari tujuan awalmu hmm?"
"......maksudmu ini?" Ketimbang menjawab. Megumi malah menunjukan gulungan yang baru saja di dapatkannya. Pemuda itu pun kembali mengadahkan kepalanya, mempertemukan pandangannya dengan iris biru di balik lensa hitam Gojo Satoru.
"Kebetulan aku juga punya sebuah pertanyaan," kini giliran Megumi yang mendekatkan diri. Dengan beraninya ia menarik kerah pakaian Satoru dan bertanya, "Kenapa menyuruhku?" Sebuah pertanyaan singkat yang sudah tak perlu lagi di jabarkan.
Satoru sempat gelagapan di buatnya.
"Karena Zenin kan?" Tak mau repot menunggu jawaban yang tak kunjung datang, Megumi pun langsung kembali bertanya. "Atau hanya sekedar kebetulan? Tentu saja aku sangat meragukannya, terutama karena aku tak mempercayai adanya kebetulan."
Satoru berdiam diri. Walau gambaran wajahnya tak nampak demikian. Megumi masih bisa membaca raut wajah pria tersebut. Semua ucapannya tepat sasaran, hanya tinggal sedikit lagi. Hanya perlu satu dorongan untuk membuat Satoru menumpahkan segalanya.
"Teknik 10 bayangan dan Zenin. Berarti bukan tak ada hubungannya apabila aku harus meminjam gulungan ini kan," sambung Megumi seraya menyimpan kembali barangnya.
Pemuda itu terus memasang senyuman manis sampai pada titik dimana ia melontarkan pertanyaan aslinya, "Jadi. Apa yang ingin kalian lakukan kepada Sukuna?" Senyuman manis itu pun lenyap dan di gantikan tatapan dingin nan tajam.
Satoru yang tanpa sadar menahan nafasnya di hadapan tatapan tersebut. Kini mengalihkan pandangannya dan menggosok tengkuknya dengan canggung. "Menjadikannya sebagai Shikigami atau semacamnya," jawabnya tanpa pengawalan. Sempat membuat Megumi membulatkan mata karenanya.
"Tentu saja Shikigami dan kutukan adalah dua makhluk yang sangat berbeda, ini hanya lah penjelasan singkatnya. Selama ada media yang bisa mengontrol kelakuan maupun kekuatan Ryomen Sukuna. Jepang bisa memanfaatkannya sebagai senjata untuk melawan serangan dari luar," jelas Satoru sejujur mungkin. Terlihat jelas dari caranya berbicara dan gesturnya. Mereka kenalan lama, tentu saja Megumi mampu membaca gelagatnya bagaikan sebuah buku yang terbuka.
"Tangan kananmu, Geto Suguru. Apa yang terjadi padanya?" tanya Megumi yang mulai masuk ke dalam mood untuk mengintrogasi.
"Tidak ada yang lain ketimbang dirinya sebagai media terbaik bagi Ryomen Sukuna. Tak ada alasan logis untuk memilihku kan?"
Setelah mengetahui niat asli ketiga keluarga besar dan pemerintahan. Mana mungkin dia bisa berdiam diri.
Satoru kembali membuat ekpresi yang sukar di diskripsikan. Pria itu berdiam sesaat seraya menggosok dagunya, berpikir dalam sambil menghindari tatapan penuh menuntut Megumi.
"Karena kita butuh kau menyerahkan Sukuna," jawab pria tersebut seraya memecahkan keheningan sesaat.
"Megumi pintar. Pasti kau sendiri mulai menyadari nya kan? Apa yang di butuhkan Sukuna agar dirinya terbebas dari segel yang menahan kekuatannya."
Sekarang giliran Megumi yang berdiam diri. Pemuda itu semakin menunjukan emosi negatifnya. Selalu seperti itu. Setiap kali berpapasan dengan Gojo Satoru---pria itu selalu datang memberinya kabar atau pilihan terburuk dalam hidupnya.
"Aku tidak akan memberikannya," ucap Megumi ketus. "Sampai kapanpun," tambahnya mantap seraya melotot pada pria jangkung di hadapannya.
"Walau nantinya kau akan menjadi buronan Bakufu?" tanya Satoru yang membalas sorotan mata tajam Megumi dengan tatapan yang tak kalah mengintimidasi.
"......aku anak dari seorang buronan. Anggap saja aku hanya mengikuti jejak ayahku," balas Megumi seraya menghembuskan nafas pelan.
Saat ini Sukuna tidak sedang bersamanya. Dan sebaiknya dia tidak memprovokasi Satoru lebih dari ini. Akan lebih baik apabila pria tersebut tidak cepat-cepat menyadari absennya sang raja kutukan.
"Tsumiki bisa sedih mendengarnya," Satoru pun mengerutkan dahi tak suka.
Dari awal mereka bertemu. Megumi bukan anak normal ataupun anak-anak seumumnya yang seharusnya bertingkah polos dan menggemaskan. Pemuda itu kian hari semakin mirip dengan mendiang ayahnya. Namun masih terlihat selembut dan secantik mendiang ibunya. Bagaikan bunga mawar liar.
"Sayangnya kita tidak sedang dalam posisi untuk bernegosiasi," jawab Megumi acuh tak acuh. Namun nama yang baru saja di dengarnya masih menggema di dalam hati.
Tsumiki---atau sekarang perempuan itu seharusnya di panggil sebagai Gojo Tsumiki.
Sudah lama ia tak mendengar nama kakak perempuannya di sebut-sebut. Dan hal tersebut membuat Megumi menyunggingkan senyuman miris.
"Sekalipun itu adalah permintaan Satoru onii-sama. Aku akan tetap bersi kukuh tak menyerahkan Ryomen Sukuna pada ketiga keluarga besar maupun pihak Bakufu dan Shogun-sama," tambah nya lalu seenaknya memutuskan untuk mengakhiri pembicaraan ini secara sepihak.
"Kau bahkan tak ingin berwelas kasih pada kakak ipar mu ini huh," komen Satoru lirih yang kemungkinan besar tak terdengar oleh Megumi yang sudah berbalik dan melangkah ke arah yang berlawanan.
Sore itu. Satoru menyempatkan dirinya untuk berlama-lama menatap punggung Megumi yang semakin menjauh.
Pria itu menghela nafas panjang lalu memijat keningnya, terlihat begitu frustasi.
Sebenarnya masih ada satu hal yang belum ia katakan pada Megumi. Namun sekarang hal tersebut sudah bukan lah sesuatu yang penting lagi.
*TAP
Suara langkah kaki yang berhenti tepat di belakangnya terdengar, membuat Satoru menoleh ke sumbernya.
Kemudian pria berkacamata hitam itu memasang senyuman masam dan berkata, "Aku tak tahu kalau rupanya kau punya hobi mengintip, Utahime."
"Aku memang tidak berminat untuk mengintip seorang pria yang baru saja patah hati. Namun melihatmu terpuruk seperti ini merupakan salah satu kesenangan ku," balas seorang wanita yang wajahnya memiliki bekas luka.
Utahime memang berkata demikian namun tak menunjukan senyuman remehnya. Wajah cantiknya masih senantiasa di buatnya judes dan jutek. Terutama saat harus berhadapan dengan seorang Gojo satoru.
"Oi Satoru!" seru seorang wanita jangkung yang yang tak lama kemudian menyusul di belakang Utahime.
"Kau janji cuma mau memastikan Megumi tidak akan menyerahkan Sukuna begitu saja kan? Jadi berhentilah menangis seperti banci dan segera kembali pulang!!" oceh perempuan tersebut seraya kerkacak pinggang.
"Aku tidak menangis...." balas Satoru melemaskan pundaknya.
Zenin Maki memang tak pernah berubah. Masih suka melempar sarkas seenaknya saja. Di bandingkan Megumi yang lemah lembut padahal seorang lelaki. Banyak orang-orang Zenin yang mengandai apabila kepribadian mereka sebaiknya di tukar.
"Jadi. Kau sudah memberitahu Megumi mengenai alasan mengapa kau membebaskan Sukuna dari penjara gunung suci?" tanya Maki yang mengacuhkan pembelaan diri Satoru.
"Tidak. Anak itu pasti sudah tahu," jawab Satoru santai.
"......kenapa kau begitu yakin?" tambah Utahime yang tak habis pikir pada keputusan Satoru. "Kau selalu mengabaikan hal-hal penting. Maka karna itu dia lolos darimu kan?"
"Sst....Utahime," Maki lantas menyeringai jahil seraya mendesis dan meletakan jari telunjuknya di depan bibir ranumnya.
"Satoru masih belum sembuh dari penyakit tololnya," tambahnya yang dengan sederhananya di balas anggukan setuju oleh Utahime.
TO BE CONTINUE
a/n:
well I can't help that's this chapter becoming so overwhelmed with information.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top