Chapter 02: One Crazy Talk

Sakit, gerah, sekujur tubuh nya terasa pegal dan perih pada saat yang bersamaan. Ia menggerang, berusaha menggerakan tubuhnya yang terasa sangat amat berat, seolah ada sesuatu yang menimpanya. Terlebih lagi dengan anehnya, perutnya pun terasa sangat penuh, isi perutnya bagaikan sedang di kocok. Amis dan asin menyeruak memenuhi indera pengecap dan pembaunya. Semua sensasi tak nyaman tersebut membuatnya ingin muntah.

Berlahan Megumi membuka matanya. Nafasnya terengah, kekurangan oksigen. Pandangannya kabur bersamaan dengan kepalanya yang terasa pening. Setelah itu ia membuka matanya lebih lebar. Retinanya kemudian menangkap dua atau tiga sosok bayangan seseorang, yang lalu berlahan-lahan sosok tersebut berubah menjadi hanya satu orang saja.

"Akh!!" Tanpa sengaja Megumi mengerang keras. Sekujur tubuhnya seperti tersetrum, menyababkan sekujur tubuhnya bergejolak dan menggeliat.

Megumi otomatis membusungkan dadanya dan mengigit bibir bawahnya. Di rasanya pipinya mulai basah, tentu saja bola matanya juga ikut mulai memanas sekarang.

"AH!! ah hah!!" Megumi belum menyadari apa yang terjadi pada dirinya, yang dia tahu saat ini dia merasa sangat tak nyaman akan hal yang menyebabkan tubuhnya menjadi panas seperti ini.

Pemuda tersebut kembali mengamati sekelilingnya, terutama pada sosok satu orang yang pertama kali di temuinya barusan. Lantas bola matanya membulat sempurna dan detik itu juga Megumi mulai memberontak. "A---apa yang kau. Hump!!" Teriaknya begitu sadar namun langsung terhenti di tengah kalimat. Indera pengecapnya kembali mencicipi rasa asin dan amis yang sepertinya berasal dari cairan merah kental dari bibir satu-satunya orang lain di dalam ruangan tersebut.

Pria bertubuh kekar dan besar mendominasi tubuh Megumi yang semakin lama semakin melemah. Tangan besar lelaki asing tersebut menahan kedua pergelangan tangan Megumi yang tak berkutik melawannya.

Megumi yang sudah menyadari apa yang sedang terjadi pada dirinya meloloskan satu teriakan melenguh, begitu bibirnya berhenti bertaut dengan bibir lawannya.

Mungkin karena saklar otaknya baru menangkap situasinya. Baru di rasa bagian bawahnnya terasa begitu ngilu dan perih, seolah perutnya akan terbelah menjadi dua. Megumi berusaha mengintip bagian tersebut, lantas mimik mukanya pun berubah menjadi horor, sama sekali tak mempercayai situasi dimana dirinya berada.

Megumi kemudian mengadahkan kepalanya, bertatapan langsung dengan iris semerah batu rubi pria besar yang mengukung tubuhnya.

Tepat di atasnya. Seorang lelaki bersurai merah muda, yang wajahnya di hiasi oleh sebuah simbol asing yang tak si ketahui maknanya, sinar matanya yang tajam dan buas, semuanya nampak begitu mengerikan bagi Megumi yang saat ini tubuhnya sedang di korupsi.

"....ke-kenapa?" tanya Megumi dengan suara lemah sambil berharap apabila kutukan tersebut memahami ucapannya.

Pertanyaannya itu tak langsung mendapatkan jawaban. Sebagai gantinya pria di atasnya itu menggerakan pinggulnya semakin kencang dan kuat, sama sekali tak ada keraguan di setiap gerakannya.

Pemuda tersebut lantas menangis. Setiap sensasi menusuk di dalam perutnya kembali memanas dan membuat sekujur tubuhnya semakin merasa aneh.

Megumi tak mampu lagi menahan segala sensasi asing yang baru pertama kali dialaminya. "Ah...ah hen-hentikan. Ku mohon eng ah...." Mulutnya terus mengucap lemah permohonan agar pria pendominasi itu berhenti namun sepertinya memang sengaja di hiraukan.

"Akh!!" Megumi memejamkan erat kedua matanya. Sekarang perutnya terasa bagaikan terbakar.

Ada sesuatu---sesuatu yang tak di pahami keberadaannya menyembur dan menyebar dalam perutnya. Sekujur tubuhnya bergetar, bersamaan dengan kedua tangannya di bebaskan, pemuda tersebut langsung terkulai lemas.

Mulutnya tak berhenti dalam posisi terbuka demi merebut kembali oksigen yang sedari tadi tak berhasil ia dapatkan dengan leluasa.

Pandangannya kembali kabur. Namun ia masih bisa berbicara, ia bertanya, "Apa....yang terjadi?" tanyanya masih dengan suara serak yang lemah.

Lawan bicaranya pun menaikan satu alisnya, lantaran pemuda yang baru saja di perkosanya itu sepertinya tidak mempertanyakan situasi yang telah terjadi pada dirinya, melainkan mempertanyakan nasib monster berwujud seorang wanita yang tergeletak tak jauh dari tempat mereka berada.

Atau mungkin. Monster tersebut sudah tak layak lagi dikatakan berwujud seorang wanita. Kepala mahluk itu terbelah dua, menampakan isi otaknya dengan bekas gigitan, sekujur tubuhnya tercabik-cabik, yang setiap lukanya meninggalkan genangan darah yang belimpah. Walau wujud mayat tersebut mulai menguap dan membaur dengan udara di sekitarnya. Bau busuk darahnya memenuhi seisi ruang yang berantakan tersebut.

Dengan segenap tenaganya yang tersisa. Megumi pun berusaha mendudukan diri.

"Kau berusaha memakannya?" tanyanya seraya menoleh kepada kutukan lain di ruangan tersebut. Dia bertanya, karena kala itu adalah pertama kalinya ia mendapati kasus dimana kutukan berusaha memakan kutukan lainnya----biasanya Shikigaminya memang mau memakan kutukan. Namun hal tersebut tidak begitu di haruskan.

"........manusia aneh," sedikit mengejutkan karena pria tersebut mulai bersedia menanggapi Megumi. Suaranya dalam khas pria dewasa dan dari gelagatnya sepertinya dia adalah kutukan yang memiliki kecerdikan---sebagai seorang peneliti. Entah Megumi harus senang atau ketakutan, bisa jadi kutukan tersebut sangatlah berbahaya.

"Setelah apa yang terjadi padamu. Itu yang pertama kali kau tanyakan padaku?" lanjut pria tersebut seraya memberikan tatapan dingin yang mengintimidasi. Namun Megumi tidak bergeming, dia sudah jauh lebih tenang ketimbang sebelumnya, pada saat ia di perlakukan seperti mainan.

"Kurasa pertanyaanku wajar?" Megumi bertanya balik. "Aku sudah terbiasa di serang kalian, para monster. Yah. Tentu saja aku juga penasaran dengan alasanmu yang belum membunuhku dan malah......." Jeda. Pemuda itu lalu terdiam sembari memperbaiki posisi kerah kimononya. Memperhatikan kondisinya sendiri. Sekujur tubuhnya terasa lengket dan lembab terutama di bagian tubuh bawahnya. Kulitnya yang mulus dan seputih susu kini di penuhi oleh jejak-jejak kemerahan yang sekilas terlihat sangat menyakitkan.

"........aku terpaksa meminta sedikit dari energi kehidupanmu," jawab pria tersebut walau kelihatannya ragu di awal. "Seperti yang kau lihat. Aku terluka parah. Dan kau," lalu jari tangannya yang berkuku hitam menunjuk ke arah Megumi. "Kau memaksaku untuk melawan kutukan sialan itu," sambungnya bersamaan dengan jari tersebut berpindah arah ke kutukan yang di maksud.

Megumi mengerjapkan matanya. "Dia berusaha menyelamatkanku?" tanyanya dalam hati sembari mengosok dagu. "Apa dia kira memakan sesamanya bisa mengembalikan kekuatannya?" pikirnya lagi dalam mode seorang peneliti. "Tapi cara tersebut tak berhasil dan akhirnya ia memilih mengambil energi kehidupanku?"

"Apa kau semacam Incubus?" tanya Megumi kemudian. Saat ini hanya itulah yang bisa ia ambil dari pertimbangannya. "Walau kau sama sekali tak terlihat seperti Incubus," tambahnya.

"Tsk!" Lantas kutukan itu berdecak lidah dan mengacak belakang rambutnya frustasi. "Jangan sama kan aku dengan makhluk rendahan seperti Incubus!" jawabnya ketus sambil menatap tajam Megumi, mungkin berusaha mengancam atau memang kepribadiannya memang demikian. Sayangnya. Mana pun itu niatnya, keduanya sama sekali tak tersampaikan kepada pemuda tersebut. .

"Begitukah? Maaf," ucap Megumi setengah acuh tak acuh seraya berusaha untuk bangkit berdiri. Kedua kakinya mengalami mati rasa jadi ia harus mengulurkan tangannya terlebih dahulu untuk meraih puncak lemari penyimpanan yang tadi terletak tepat di belakangnya dan menjadikannya pegangan. Pemuda itu meringis dan bergidik risih akan sensasi cairan yang meluncur bebas dari dalam pantatnya dan mulai membasahi pahanya. Wajahnya memerah padam saat ia menyadari beberapa di antaranya menetes membasahi lantai tatami.

"Oi. Jangan banyak bergerak terlebih dahulu," tegur individu lain di sana.

Tiba-tiba tubuhnya di angkat, berat di kakinya pun seolah berkurang drastis. "W--woah!" serunya seraya mengulurkan tangannya yang semakin menjauh dari tepi lemari. Begitu cepat sampai ia tak mampu merespon. Detik berikutnya, dirinya sudah dalam posisi jungkir balik. Pria asing yang bahkan namanya belum di ketahuinya itu. Entah mengapa memutuskan untuk menggendongnya seolah dia adalah sekarung beras.

Pria berkimono putih dengan tepian hitam itu menghelakan nafas panjang. "Yaah. Kurasa ini memang salahku," ucapnya dengan nada yang lebih lembut ketimbang sebelum-sebelumnya. Megumi sedikit terkejut karenanya, namun memilih diam saja, dan menerima ucapan tersebut sebagai ganti permintaan maaf.

OXO

Dengan arahan dari Megumi. Pria itu membawanya masuk ke kamar mandi. Sempit, tentu saja karena rumah tersebut awalnya hanya di peruntukan untuk satu orang, kamar mandinya pun pasti kecil. Ruang sempit yang setengah space nya terambil oleh keberadaan tong kayu besar berisi penuh air dingin.

Tanpa mengucapkan sepatah katapun. Pakaian Megumi pun langsung di tarik dan di lucutinya---sekali lagi terlalu cepat. Megumi tak sempat bereaksi, barulah ketika kulitnya bersentuhan dengan air dingin ia menyerukan, "Be-berhenti!!" pada lawannya yang semenjak awal pertemuan sudah melakukan berbagai banyak hal pada dirinya dengan seenaknya saja.

"Bi-biarkan aku melakukannya sendiri," pinta Megumi seraya menoleh ke belakangnya. Kini pria itu membuatnya berposisi mengarah ke dinding dengan satu tangan untuk menopang keseimbangannya. "Ah!" Megumi kembali mendesah begitu ia merasakan adanya sepasang tangan besar membelai punggungnya.

Lalu salah satu tangan menahan pinggangnya dan tangan yang lain mulai meremas bongkahan pantatnya.

Dengan keadaan telanjang bulat dan seorang pria asing yang menyentuh bagian-bagian tubuhnya yang tak pernah ia sendiri selubungi----wajah pemuda itu pun bersemu merah padam. Megumi memejamkan kedua matanya erat dan mengigit bibir bawahnya. "Ja-jarinya!!....." komennya dalam hati seraya sedikit mengintip ke belakang.

Kemudian ia mencakar permukaan dinding kayu, berusaha menahan desahannya. Ia merasakannya kembali, sensasi menusuk di dalam lubang pantatnya. Memang perih dan ngilu namun kali ini tubuhnya menjadi lebih sensitif, membuatnya merasakan kenikmatan yang ia sendiri tak pahami darimana datangnya.

Jari pria tersebut panjang dan tebal, mampu mendesak masuk sampai ke bagian terdalam. Mulanya hanya memasukan satu jari namun akhirnya bertambah sampai yang ketiga. Jari-jari tersebut mengacak isi dan meregangkan bagian tubuh Megumi yang di anggapnya paling memalukan.

Pemuda itu hanya bisa memasrahkan diri di tangan pria asing----membiarkan makhluk tersebut membantunya untuk mengeluarkan cairan putih yang sebelumnya membuatnya sangat tak nyaman.

"........hmm," entah apa yang di pikirkan sang kutukan bersurai merah muda. Ia tersenyum samar lalu sedikit membungkukkan tubuh jangkungnya. Megumi lantas berjengit ketika sesuatu yang licin dan panas menyapu permukaan lehernya.

"Untuk seorang perawan. Bukannya tubuhmu terlalu erotik?" ujarnya seraya terkekeh pelan di sebelah telinga Megumi yang mati-matian menahan desahan.

"Be-berisik!" balas Megumi seraya memutar tubuhnya dan menghadapi pria tersebut secara langsung.

Pemuda itu mengadahkan kepalanya, mempertemukan matanya dengan sosok tinggi di hadapannya. Mengabaikan kesadarannya akan raut wajahnya yang saat ini sedang memerah padam bagai buah tomat. Ia tetap bertingkah marah dan mendorong pelan pundak pria tersebut.

"Kau saja yang terlalu mesum....." gumamnya lirih lalu memilih untuk menunduk karena tak tahan akan rasa malu yang di rasakan nya.

"Pfft......"

Pria itu kemudian menahan tawanya lalu melepaskan beberapa kekehan pelan. Tanpa mengatakan apapun dia keluar dari kamar mandi, setelah mengusap puncak kepala Megumi yang langsung di buat merajuk olehnya.

OXO

Setelah cukup lama menghabiskan waktunya, Megumi pun akhirnya keluar dari kamar mandi. Rambutnya masih setengah basah. Ia berjalan dengan satu handuk kecil yang tersampir di bahunya. Melewati depan kamarnya yang seolah bagaikan kapal pecah,

Megumi mengintip ke dalamnya. Kosong dan bau tak sedap yang sebelumnya pun sudah hilang tak berbekas. Sisanya hanyalah barang-barangnya yang rusak.

Setelah puas meratapi nasib kamarnya tersebut. Perhatian Megumi terambil alih oleh sosok anak kecil yang berdiri di tengah jalannya.

"Oh. Zashiki Warashi-san?" sapanya ramah pada gadis kecil penunggu rumahnya.

Lantas anak perempuan itu berlari ke arah Megumi dan langsung memeluk kakinya. Merasa ada yang aneh dengan gelagat anak tersebut. Megumi pun berjongkok dan memperhatikan baik-baik raut wajah Zashiki Warashi yang tak biasa di ekpresikan.

"Apa ada sesuatu yang membuatmu takut?" tanya Megumi seraya mengendong tubuh mungil Zashiki Warashi. Gadis dalam dekapannya itu menjawabnya dengan mengangguk.

"Jadi. Dimana laki-laki itu?" tanya Megumi lagi.

Sesuai dugannya. Zashiki Warashi membimbingnya untuk ke ruang tengah---dimana semua peralatan kerjanya berada. Di sana terdapat banyak barang antik dan tak sedikit di antaranya adalah barang-barang terkutuk.

Fushiguro Megumi. Selain dirinya sendiri, barang-barang kepemilikannya pun juga sangat menggoda para makhluk tak kasat mata.

Megumi terlalu sering mengalami kesialan dimana dirinya di serang, sampai-sampai membuatnya kebal secara mental. Maka karna itulah ia selalu menolak orang-orang yang hendak menjadi asistennya ataupun muridnya. Lantaran tak ingin melibatkan orang sipil yang tak berdosa, apa jadinya kalau tiba-tiba ia menemukan mayat manusia di rumahnya dan dianggap sebagai pembunuh karenanya?

"Kukira kau sudah pergi," ujar Megumi begitu menginjakan kaki di ruangan tersebut. Menurunkan Zashiki Warashi dari gendongannya, matanya tak lepas dari pria kutukan yang saat ini duduk di depan meja kerjanya.

"Nah. Urusanku denganmu masih belum selesai," jawab kutukan asing itu dengan santai. Ia mengambil satu jilid dokumen yang akhir-akhir ini di pelajari sang ilmuwan muda lalu mengacungkannya ke udara.

"Sebutkan siapa namamu," titahnya yang lantas membuat Megumi mengerutkan dahinya dan bersedekap dada.

"Fushiguro Megumi," walau tak menyukai nada berbicaranya. Megumi masih menjawabnya.

"Hmm?" Pria itu menggosok dagunya. Wajah tegasnya yang terkesan galak seketika melembut akan ekpresi kebinggungannya. "Padahal aku yakin sudah datang ke tempat yang tepat," ujarnya lebih kepada dirinya sendiri.

Megumi menyadari kebingungannya. Sebelum mendekati pria tersebut, ia meminta Zashiki Warashi untuk keluar dari ruangan. Terutama, karena nampaknya sumber ketakutan gadis kecil tersebut tak lain dan tak bukan adalah kutukan asing yang sepertinya punya banyak urusan pribadi dengannya.

Setelah memastikan Zashiki Warashi keluar. Megumi pun merangkak mendekati sang kutukan. "Apa yang membuatmu berpikir demikian?" tanyanya. "Apa ada hubungannya dengan dokumen itu?" tanyanya lagi seraya diam-diam melirik ke arah sebuah wadah kayu kecil yang ia letakan di atas lemari buku yang paling tinggi.

"Kau pasti mendapatkannya kan? Buntalan kecil yang di segel dengan mantra." Jawaban tersebut lantas membuktikan kecurigaan Megumi terhadap wadah kayu yang barusan diliriknya.

"......sayangnya," Megumi membuang wajahnya dan mengubah posisinya menjadi duduk bersila di hadapan sang kutukan. "Aku tidak bisa memberikannya padamu. Setidaknya tunggu aku mengindetifikasi barang apa itu," ujarnya.

"Apalagi. Barang itu milik pemerintahan. Aku ragu apakah aku bisa memberikannya padamu atau tidak."

"Kau pikir aku peduli?"

Megumi menggelengkan kepalanya. "Kalau kau mau membunuhku. Bunuh saja. Akan lebih baik kalau kau merebutnya dariku setelah membunuhku," jawabnya santai seolah tak sedang menambah argumen.

"Cih," kutukan itu hanya mendecih sebagai balasan. Dia terlihat kesal namun anehnya masih belum menyerang. Megumi tak akan mengomentari, lebih baik di biarkan begitu saja. Entah sampai sejauh mana kutukan itu akan terus bersabar menghadapinya.

Ruangan itu lalu berubah menjadi sunyi. Masing-masing berkutat dengan pikirannya sendiri. Dan jeda tersebut di manfaatkan sebaik mungkin oleh Megumi. 5 menit, dalam waktu sekian pemuda tersebut memutuskan untuk kembali mendekati sang kutukan.

"Ryomen Sukuna," sebutnya tiba-tiba tepat di depan wajah pria bertato itu. "Apa kau mengenalnya atau........itu adalah namamu?" tanya Megumi dengan nada menerka.

Pria itu lantas tertegun di tempatnya.

Semenjak pertemuan pertama, ia selalu mengira bahwa manusia di hadapannya ini sangat aneh, sungguh berbeda dari kebanyakan umat manusia.

Kepribadian Megumi adalah seorang yang pendiam namun menghanyutkan, bagaikan genangan air yang tak beriak.

Hanya ada satu hal yang membuatnya heran. Bagaimana bisa manusia serapuh Fushiguro Megumi begitu tenang saat berhadapan dengan monster semacam dirinya? Apalagi pemuda tersebut begitu cepat pulih dari kejadian-kejadian yang biasanya membuat hati siapapun retak karenanya.

Kurang empati atau terlalu pintar menyembunyikan emosinya, yang manakah alasan sebenarnya di balik gelagat tenang Fushiguro Megumi?

"........buntalan itu berisi jariku."

Jawaban tersebut kini merubah posisi mereka. Kini Megumi yang di buatnya tertegun di tempat.

"Ah. Jadi namamu memang Ryomen Sukuna," balasnya setelah mencerna informasi.

Megumi lalu tersenyum samar. Dirinya sama sekali tak menyangka akan bertemu empat mata dengan objek penelitiannya sendiri. Apalagi saat objek nya adalah Yang mulia raja kutukan yang melegenda itu.

"Kalau begitu. Bagaimana kalau kita membuat perjanjian?" tawar pemuda itu tiba-tiba.

Siapa di dunia ini yang berani bernegosiasi dengan Ryomen Sukuna kecuali dirinya seorang? Fushiguro Megumi memang sudah gila rupanya.

Namun, justru karena pemuda lah yang membuat tawaran tersebut. Maka karna itu lah sang raja kutukan tak bisa menolaknya mentah-mentah.

Ryomen Sukuna mulanya terlihat ragu untuk sesaat tapi akhirnya mengangguk juga, menginjinkan Megumi menjelaskan terlebih dahulu mengenai tawarannya.

"Bantu aku mengerjakan penelitianku?"




TO BE CONTINUE 


a/n:
smoga g terlalu flat. dr kmaren udh ada ide tp g tau mau jabarinnya gmn.

thx for reading!!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top