Bab 2 - Mertua Jahat

Rasa lelah menghantam Ara, dia baru saja selesai mencuci baju, seperti ibu rumah tangga pada umunnya, ia melakukan pekerjaan rumah. Sebenarnya Pras sering mengusulkan untuk mencari asisten rumah tangga, namun Ara menolong dengan alasan dia bisa melakukan sendiri selama mereka belum memiliki anak.

Setelah meminta cerai, Pras malah pergi meninggalkan Ara begitu saja bahkan tanpa pamit. Seperti tidak peduli dengan kalian maut yang dia ungkapkan.

Ara duduk bersender lelah, suara bel rumah berbunyi. Ia membukakan pintu utama dengan muka lemasnya. "Mami!"

"Pras sudah pergi?" tanya Sari merupakan ibu dari suaminya. Tentu saja sudah pergi, gak liat matahari sudah terik begini, Pras jarang sekali berangkat siang.

"Sudah, Mi. Mami mau ketemu Pras?" Sari tersenyum sinis, dia memang sengaja datang saat Pras tidak ada.

"Mami mau ketemu kamu. Besok Mami mau kenalkan Pras dengan anak sahabat Mami, dan dia masih gadis. Mami berencana menikahkan mereka." Ucapan Sari seperti tersambar petir di siang bolong. Apa maksudnya ini? Kalimat yang mampu menyayat hati Ara begitu pedih. Lima tahun ini dia berusaha mempertahankan pernikahan, meskipun Ara tadi mengucapkan cerai pada Pras, tapi dia tau Pras tidak akan pernah menanggapinya.

"Mi, aku ini masih istrinya Mas Pras. Mami gak bisa seenaknya seperti." Dengan berani Ara menantang Sari, dia tak peduli dianggap menantu durhaka.

Namun wanita paruh baya itu tampak cuek, dia tak peduli perasaan Ara. Mau Ara setuju kek, atau gak, ia gak ambil pusing. Tanpa menoleh reaksi marah Ara, Sari melihat foto pernikahan Pras dan Ara. "Kamu dan Pras di sini terlihat sangat bahagia, tapi kenyataan kalian sekarang sama sekali tak bahagia," komentar Sari.

Dan tepat sekali perasaan Ara semakin sakit. Entah bagaimana dia bisa memiliki mertua jahat seperti Sari. "Mami, tau apa tentang kebahagiaan aku dan Mas Pras?" Sari terkekeh, dia memang tidak tau apa-apa, tapi feeling ibu itu kadang selalu benar.

"Walaupun Pras gak pernah cerita, tapi Mami tau dia gak pernah bahagia hidup sama kamu. Rumah tangga itu tidak lengkap tanpa sosok anak, sedangkan kamu sendiri mandul." Ara diam tanpa ekspresi, dia berjalan ke arah dapur mengambilkan minuman dingin untuk sang mertuanya, kali aja otak mak lampir bisa waras, kata-katanya suka gak ada akhlak.

"Ara, Mami lagi bicara! Kamu main pergi-pergi aja," protes Sari mengekori Ara ke dapur.

"Aku mau bikin minum buat Mami," jawab Ara datar. Selama ini Ara bertahan karena cinta, bahkan dia sering kali mengajak Pras untuk ke dokter kandungan, paling tidak mereka bisa program hamil 'kan, tapi Pras selalu saja menolak, katanya belum sempat lah, masih sibuk lah, dan bla bla. Dia sampai bosan membujuk suaminya ke dokter.

"Kamu itu gak perlu sok baik sama Mami. Emangnya kebaikan kamu bisa mengubah keputusan Mami." Ara mendesah kesal, dia selalu saja diremehkan seperti ini. Ia capek menghadapi ibu dari suaminya yang egois, bukankah dia seorang wanita? Seharusnya paham dengan perasaan Ara.

"Mami pengen aku apa? Cerai sama Mas Pras?" gondok Ara dengan nada tinggi, dari tadi dia baik percuma juga gak dihargai.

"Itu kamu pintar. Ya, kamu bisa pilih mau cerai atau poligami." Dengan santainya Sari bicara seperti itu, dari dulu dia sudah lelah sabar menunggu Ara hamil, lebih baik dia melakukan ini.

"Mami, tega sekali. Mami itu gak punya perasaan atau gimana sih? Kalau Mami mau kenalkan Mas Pras dengan perempuan lain, silakan. Aku gak akan melarang," ujar Ara dengan marah. Ara sudah berusaha menahan air matanya agar tak tumpah, tapi dia manusia biasa, bisa marah, bisa nangis, bisa sedih, bisa bahagia, bahkan bisa kecewa.

"Wow … kamu baik sekali Ara, jarang lho ada istri pengertian seperti kamu," gumam Sari seolah bom bagi Ara. Dia ingin mengamuk rasanya, karena tahu marah-marah hanya gak ada gunanya, lagipula belum tentu Pras setuju usul dari mertuanya, lebih baik dia diam saja.

"Mami akan mengajak Pras malam ini, jadi Mami minta kamu gak usah ikut Pras," kata Sari lagi.

"Baik," gumam Ara dengan singkat.

*

Suaminya itu baru saja pulang, kali ini pulang lebih awal dari biasanya. Saat di kantor Sari menelpon mengajak makan malam, dia enggan menolak karena tidak enak. Lagipula sudah lama sekali Pras tidak bertemu Sari, terakhir kali bulan lalu ketika acara pernikahan sepupunya di Bogor.

"Kamu kok belum siap?" tanya Pras masuk kamar, dia melihat istrinya malah rebahan di ranjang. Seperti yang Sari minta Ara tidak boleh ikut, dan Ara hanya ikuti saja.

"Kamu aja yang pergi, aku nggak!" ujar Ara mulai memejamkan matanya, kali ini dia tak mau berdebat lagi dengan Pras, ceritanya bisa panjang.

"Tapi mami mengundang kita, Sayang." Ara mendesah kesal, dia duduk sambil bersandar di atas ranjang.

'Mami kamu itu nggak ngundang aku, dia Cuma kamu, Mas.' Ara membatin sebal. Jika saja Ara bisa mengungkapkan kata hatinya, dia tidak akan membisu seperti orang bego begini.

"Kamu itu udah gak hargai mami lagi, aku harus bilang apa ke mami kalau kamu gak ikut, kamu itu istriku." Ucapan Pras memang benar, tapi kehadiran Ara juga gak diharapkan untuk apa pergi.

"Emangnya mami kamu pernah hargai aku, udahlah kalau kamu mau pergi, pergi aja sana. Kalau perlu kamu ajak sekretaris gatel itu, pasti mami kamu suka." Entah sampai kapan kecemburuan Ara berhenti, selalu mengaitkan semua masalah mereka dengan Dona.

"Itu lagi … mau berapa kali sih aku bilang, kalau aku gak ada hubungan apa-apa dengan Dona. Kamu stop cemburu gak jelas gini."

"Aku cemburu gak jelas kamu bilang? Kamu itu sadar gak sih Mas, hubungan kalian itu bukan seperti bos dan bawahan, tepatnya sepasang kekasih," sergah Ara melototkan matanya, dia tak pernah suka dengan Dona sampai kapanpun. Tentu semuanya memiliki alasan, termasuk kebencian Ara pada Dona.

"Kamu pikir aku gak tau semuanya, janda gatel itu selalu chat, bahkan hari libur. Kamu sendiri diam-diam pergi memancing sama dia 'kan pekan lalu." Astaga, masa lalu itu cuma masalah kecil. Herannya Ara selalu membesarkannya.

"Rumah Dona dekat situ, dan aku gak sengaja ketemu. Dia itu dari desa Ara, dia gak tau apa-apa."

"Terus aja kamu belain janda desa itu." Memangnya kenapa kalau dari desa? Terus karena dari desa bisa seenaknya dekatin suami orang, itu sama aja pelakor kali. Dasar janda licik! Ara sudah muak dengan nama itu disebut.

"Aku gak belain Dona, aku cu—"

"Jangan pernah sebut nama dia di depan aku!" tukas Ara marah. "Udah deh Mas, lebih baik kamu pergi sana. Pasti mami udah nungguin kamu," tambahnya tanpa menoleh wajah suaminya lagi.

"Kamu itu jangan kayak anak kecil, hal sepele menjadikan alasan kamu gak ikut makan malam sama mami, aku tau kamu pasti kesal sama mami gara-gara pertemuan dengan mami tadi pagi." Kalau soal itu Ara sudah tahan banting, mana mungkin sih hanya karena dihina sedemikian dia membiarkan suaminya pergi sendiri. Ini kan masalahnya mami Pras sendiri nggak bolehin Ara datang, ya kali Ara muka tembok.

"Lebih baik pergi, aku capek mau tidur!" Ara menghempaskan tubuhnya kembali di ranjang.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top