BAB 1

SATU

Namanya, Diana Cessa Alfinza. Gadis 27 tahun yang cantik dan mandiri. Pemilik sorot mata tajam dan senyum menawan. Angkuh, sinis, dan selalu tampak sombong. Setidaknya, begitulah kesan orang-orang terhadap gadis ini.

Nyaris setiap mata dibuat terpesona akan sosoknya yang jelita. Bulu mata lentik bermaskara. Kelopak mata ber-eye shadow. Wajah cantik berdempu bedak tebal. Pipi bersemu blush on, dan bibir ber-lipstick merah menyala. Hanya satu kata untuk wajah dengan riasan make up maksimal tersebut. Cantik. Maski terlihat agak berlebihan. Tapi, siapa yang peduli? Tidak ada.

Gadis yang biasa dipanggil Dee itu merapikan blazer-nya yang memang sudah rapi. Dia mendongak, menatap bangunan berlantai 28 dihadapannya.

Galileo's Group. Perusahaan multi nasional tempatnya bekerja. Perusahaan yang telah mempercayakan kedudukan sebagai Manager Keuangan terhadapnya. Apa lagi yang lebih membanggakan ketimbang mendapat posisi yang cukup penting di sebuah perusahaan besar pada usia muda, dengan kerja keras sendiri pula?

Diana menegakkan tubuh, mengangkat dagu tinggi-tinggi dan meneruskan langkahnya yang tadi sempat terhenti untuk memasuki gedung pencakar langit itu.

"Pagi, Bu," sapa Pak Naryo. Satpam setengah baya yang berdiri di sisi kiri pintu masuk perusahaan dengan seulas senyum cerah seperti biasa. Kumis tebalnya tampak bergerak lucu seiring dengan senyumnya yang makin melebar. Namun, belum bisa memecah tawa Diana. Entah karena Diana yang memang tidak memiliki selera humor, atau karena memang pada dasarnya dia yang kaku. Yang pak Naryo tahu hanyalah ... Diana. Manager paling sombong yang pernah ia kenal di perusahaan ini.

Mengangguk, Diana melirik pak Naryo dengan ekor matanya sekilas, sebagai isyarat bahwa ia menerima sapaan beliau. Terkesan dingin memang, bahkan petinggi perusahaan tak seacuh dia. Tapi, begitulah Diana. Bagai setangkai mawar dalam kotak kaca. Tak tersentuh.

Sepanjang kaki jenjangnya melangkah, puluhan mata yang ia temui menyapa dengan sapaan yang sama seperti yang pak Naryo lakukan, dan respon yang diberikan Diana untuk menanggapi sapaan merekapun juga sama. Kecuali jika yang menyapanya adalah jajaran petinggi perusahaan, barulah ia akan memberi respon yang berbeda. Seperti menyapa balik atau mengangguk dengan senyum basa-basi, atau sekedar senyum sopan yang tak sampai ke mata. Bukan untuk mencari muka, melainkan sebagai bentuk formalitas saja.

"Pagi, Bu." Suara merdu itu berhasil menarik perhatian Diana. Dia menoleh dan mendapati seorang gadis seusianya tengah tersenyum manis. Diana melirik dari ujung kepala sampai ujung kaki dengan tatapan menilai. Lantas mengangguk dan kembali menghadap ke depan, memperhatikan pantulan dirinya di dinding aluminium lift yang sedang bergerak ke atas. Mencoba membadingkan antara ia dan gadis itu melalui bayangan keduanya. Kebetulan, hanya ada mereka didalam lift yang cukup luas tersebut.

Diana mengenalnya, tentu saja. Dia bernama Claudya Sinta. Berwajah oval, cantik, dandanan sederhana, memiliki lesung pipi yang dalam, bertubuh sintal setinggi 165 cm. Tubuh yang berhasil membuat Diana merasa iri, karena dia hanya memiliki tinggi 157 cm-yang cukup beruntung bisa tertolong oleh stiletto 15 cm yang kini ia kenakan sehingga tinggi keduanya nampak sejajar, sebab, Sinta menggunakan heels yang cuma setinggi 4 cm.

Kembali lagi pada Sinta. Ia merupakan staf di bagian keuangan. Salah satu anak buah Diana. Tapi, bukan itu alasan Diana mengenalnya. Diana tahu, karena Sinta adalah objek yang sering ia perhatikan. Bukan karena Sinta yang berparas cantik dan menyainginya. Namun, lebih kepada karena Sinta adalah kekasih dari Abimanyu. Pemuda tampan yang diinginkan oleh Diana. Oh, bukan hanya Diana saja, melainkan puluhan gadis lain yang bekerja digedung ini juga. Akan tetapi, justru Sintalah gadis beruntung itu, yang berhasil mencuri hati pemuda bernama Abi, yang kebetulan adalah seorang Manager Pemasaran perusahaan ini. Dengan paras tampan, posisi lumayan, dan sikap yang teramat baik. Siapa yang tidak menginginkan lelaki seperti itu? Nyaris sempurna. Kata yang cocok untuk menggambarkan sosok Abimanyu.

Ting.....

Bunyi yang cukup nyaring sebagai petanda mereka telah sampai dilantai tujuan, sukses membangunkan Diana dari lamunan. Gadis itu berdehem sebelum melangkah lebih dulu untuk keluar dari dalam lift. Tujuannya adalah ruangan paling pojok dilantai 7 ini. Ruang kerjanya.

"Selamat pagi, Ibu Diana yang terhormat?"

Diana memutar mata jengah saat baru membuka pintu ruangan dan langsung disambut oleh suara menyebalkan yang berasal dari meja sekretaris. Siapa lagi pelaunya kalau buka Rissa.

"Stop nambah kata terhormat di akhir nama gue, Ris!" Dengusnya pada Rissa, yang dibalas hanya dengan cengiran tanpa dosa seperti biasa." Atau nggak usah nyapa selamat pagi sekalian." Tambahnya, berhasil membuat tawa Rissa pecah seketika. Bahkan gadis itu sampai harus memegangi perutnya yang terasa mulai kram, karena tawanya yang berlebihan. Dia suka melihat Diana ketika sedang jengkel. Tampak lucu, menurutnya.

Diana mendelik sebelum membuka pintu ruangannya sendiri, kemudian membantingnya sehingga menimbulkan bunyi berdebam yang cukup keras agar sekretarisnya yang kurang ajar itu tahu kalau dia sedang tidak ingin bercanda.

"Hei! kenapa buru-buru banget, sih?" Rissa menghentikan tawanya melihat reaksi Diana yang terlihat benar-benar kesal. "Gue ada breaking news ini!" Teriaknya tanpa sungkan. Dia langsung mengejar Diana ke dalam ruangannya.

"Ada apa lagi?!" Diana membanting berkas-berkas yang hendak ia periksa demi mendongak menatap Rissa dengan pandangan horor. Entah mengapa, pagi ini mood-nya sedang buruk. Mungkin efek bertemu dengan Sinta yang notabene-nya adalah pacar dari lelaki yang ia incar.

"Lo kenapa, sih?" Rissa menarik kursi di seberang Diana dan mendaratkan bokongnya dengan nyaman tanpa izin. Jangan judge Rissa sebagai sekretaris tidak tahu diri, karena menurutnya ini adalah hal wajar. Iya, wajar. Selain sebagai sekretaris, gadis setengah Arab itu juga merupakan sahabat baik Diana semenjak kuliah. Entah takdir atau apa, tapi sejak Diana diangkat sebagai Manager dua tahun yang lalu, tahu-tahu sekretarisnya adalah Rissa. Teman kampusnya yang menurut Diana setengah gila.

"Lagi bad mood gue! jadi kalo lo nggak ada hal penting yang mau diomongin, mending keluar, gih!" Gadis itu mengempaskan punggungnya pada sandaran kursi sembari menghela napas panjang dengan mata terpejam. Ada gurat kelelahan di wajahnya yang membikin raut wajah Rissa berubah sendu.

"Kabar yang gue bawa ini lebih dari sekedar penting, tahu!" Rissa kembali menampakkan ekspresi ceria seperti sedia kala. Berusaha mengajak Diana bicara dan sejenak melupakan masalahnya.

"Ya udah. Cepet bilang, apaan?!" Tanya Diana tanpa minat. Dia bersandar nyaman pada punggung kursi saraya memijit pelipisnya. Masih dengan mata tertutup rapat.

"Besok, direktur keuangan baru kita akan datang!" Kata Rissa dengan kilat antusias yang terlihat jelas dari pancaran matanya. Gadis itu sengaja memberi jeda untuk kalimat penjelas selanjutnya demi melihat respon dari Diana. Namun, sahabatnya itu hanya bergumam tanpa memberi respon yang berarti. "Dee, lo dengerin gue, nggak, sih?!" Gerutunya kesal. Rissa tahu, sahabatnya adalah orang yang paling tidak peduli terhadap sekitar. Tapi, bukan berarti Diana boleh tidak peduli pada calon Direktur baru mereka, bukan?

"Iya, gue dengerin. Terus kalo direktur barunya datang, kenapa?" Mendengar tanggapan sang lawan bicara, meski raut dan nada bicara Diana sungguh menyiratkan ketidaktertarikan akan pembicaraan kali ini, tapi tak urung memunculkan kembali kilat antusias di mata Rissa yang tadi tampak redup. Gadis itu kembali menjelaskan dengan menggebu-gebu. Bahkan ia sampai memajukan tubuhnya ke arah Diana supaya suaranya terdengar lebib jelas di telinga sang lawan bicara.

"-Denger-denger sih, orangnya masih muda. Ganteng juga. Sebelum memutuskan memimpin perusahaan di sini, dia tuh ternyata udah menjabat sebagai General Manager di cabang perusahaan yang ada di Surabaya. Keren, kan?!"

"Ya!" Sahut Diana, meski dia tidak benar-benar menyimak penjelasan yang dipaparkan Rissa. Yang berhasil ia tangkap hanyalah tentang calon direktur mereka yang masih muda, selebihnya tidak ada.

🍂🍂🍂

Jam menunjukkan angka 19:07 pm begitu Diana memutuskan untuk pulang. Jam pulang kantor sebenarnya telah usai sedari tiga jam yang lalu. Tetapi, gadis lajang itu sepertinya lebih betah dikyantor untuk menyibukkan diri dengan berbagai berkas-berkas keuangan ketimbang berada di rumah.

Seperti biasa. Setiap pulang kantor, Diana akan duduk santai di halte untuk menunggu bus datang.

Jam sudah berpindah angka menjadi 19:51, saat bus yang ditunggu akhirnya muncul. Bahkan waktu yang lebih dari empat puluh menit itu terasa begitu cepat bagi Diana.

Hanya satu jam gadis itu mendekam dalam kendaraan umum yang menjadi alat transportasinya malam ini. Kini Dee telah menginjakkan kaki di halte yang berjarak tak jauh dari rumahnya berada. Dari sini, Diana masihlah harus berjalan kira-kira 200 meter untuk mencapai kediamannya.

Gang sempit itu masih terlihat ramai oleh lalu lalang beberapa orang yang entah mengerjakan apa. Diana tak peduli. Tapi, tidak dengan mereka yang secara terang-terangan menunjukkan rasa tidak suka terhadapnya. Kehadiran Diana di gang tersebut selalu berhasil menarik perhatian pasang-pasang mata sekitar lantaran pakaian yang ia kenakan. Setelah kantor berkelas, lengkap dengan riasan make up ala artis, tentu selalu menarik perhatian orang-orang penghuni kawasan kumuh itu. Meski sudah lebih dari tiga tahun Diana menjadi salah satu dari mereka, tapi tatapan mereka masih sama. Mencela.

Tidak ada satu pun dari para warga yang percaya bahwa Diana adalah seorang manager keuangan dari perusahaan sekelas Galileo's Group. Tentu saja mereka tidak percaya. Mana mungkin seorang manager tinggal diperumahan kumuh yang dekil macam tempat ini. Mustahil. Dan bagi mereka, Diana tak ubahnya seorang pemuas nafsu bagi para lelaki hidung belang di luar sana. Hanya karena semua yang melekat pada diri Diana adalah barang-barang yang tampak mahal.

Sekali lagi, Diana tidak peduli akan penilaian orang akan dirinya. Selama mereka tidak mengganggu teritori pribadinya dan keluarga, maka selama itu pula ia akan mengacuhkan mereka.

Diana tetap melangkah angkuh di sepanjang jalan gang yang barangkali cuma bisa dilewati oleh satu mobil itu, tanpa sedikit pun merasa risih akan tatapan penuh penilaian dan cibiran-cibiran dari bibir-bibir tak terkontrol akan dirinya. Langkah Diana terhenti beberapa meter di depan sebuah bangunan kecil yang catnya sudah mengelupas di sana-sini. Bagunan paling bersih di antara bangunan-bagunan yang lain. Meski demikian, bagunan tersebut tetaplah terlihat tidak layak huni, apalagi untuk ukuran seorang manager seperti dia.

Seharusnya seorang manager tinggal di sebuah bangunan yang walaupun tak terlalu besar, setidaknya masih bisa disebut sebagai rumah, atau di apartemen, mungkin. Bukan di tempat kecil nan reyot yang lebih pantas disebut gubuk. Ya. Seharusnya begitu. Seharusnya. Namun entah mengapa, kata seharusnya telah bertransformasi menjadi kata seandainya dalam kamus kehidupan Diana. Dan, Diana benci satu kata itu.

Karena, kata Andai memiliki makna tentang ketidak mampuan seseorang. Tentang suatu pengharapan yang tinggi. Dan tentang kemustahilan sebuah mimpi.

Diana menggeleng keras. Apa yang ia pikirkan, mengapa dia jadi mellow begini?

Menarik napas panjang, Diana kembali meneruskan langkahnya untuk masuk. Pintu memang tertutup rapat, tapi tak terkunci. Sebab sang ibu tak pernah mau mengunci pintu depan dengan alasan konyol. Takut cintanya pulang.

Ah, cinta!

Entah kenapa, perut Diana mendadak mulas saat satu kata itu terlintas dibenaknya.

Diana memutar kenop pintu dan mendorongnya perlahan. Hal pertama yang dijumpainya adalah keadaan ruang tengah yang berantakan. Kursi kayu yang sudah reot dalam keadaan terbalik, posisi meja tamu setengah terbanting, dan pecahan piring bertebaran di mana-mana. Penyambutan seperti biasa.

Mata Diana bergerilya keseluruh penjuru ruangan 5x5 itu untuk memindai keadaan. Hingga akhirnya ia terpaku pada satu titik dipojok ruangan.

Seorang bocah kecil sedang memeluk lutut dan menenggelamkan wajahnya pada lutut yang ia tumpu. Darah merah yang hampir mengering bercecer di bawah kaki-kaki kecilnya.

Hati Diana mencelos. Rasa lelah setelah satu hari penuh bekerja, berubah menjadi amarah. Lelaki itu. Bajingan itu. Dia pasti datang lagi.

Melupakan tasnya yang meluncur ke lantai, kaki Diana bergerak cepat, berlari ke pojok ruangan dan merengkuh sosok kecil di hadapnnya ke dalam pelukan.

"Sayang!"

🍂🍂🍂

Ini tulisan pertama saya di dunia orange. Jadi kalo alurnya sedikit gimana gitu, mohon maklum, ya😂

Bdw, ini udah pernah di publish sebelumnya. Udah pernah dicetak juga dan ada juga di karyakarsa.

Tenang, selama masa republish bisa dibaca gratis kok di sini, tapi nggak dapet spesial part ya😘



Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top