BAB 04
BAB 04
Menarik napas panjang, Diana menyeret kakinya untuk masuk ke dalam lift. Dia memberi seulas senyum kecil sembari mengangguk sekali hanya untuk sekedar salam hormat pada atasan. Gadis itu berdiri di sisi kiri Alfian dengan jarak beberapa senti dari koper biru tua milik sang bos baru yang ada di antara mereka.
Detik berikutnya, pintu lift tertutup dan mulai bergerak ke bawah. Membawa dua anak manusia itu ke lantai dasar dalam keadaan sunyi. Tak ada yang berinisiatif untuk memulai percakapan lebih dulu.
Alfian berdiri, menyandar pada dinding lift sambil bersilang tangan di depan dada. Pun begitu dengan kakinya, membentuk pose yang akan berhasil membuat banyak wanita memesona, andai Diana mau melirik walau beberapa detik saja. Sayang, gadis itu lebih memilih untuk mematung dan memfokuskan arah pandangan ke depan tanpa ada objek yang benar-benar ia nikmati.
Tak Diana sadari, sedari tadi Alfian memperhatikan dirinya lekat-lekat. Mulai dari ujung kaki hingga ujung kepala. Kening pemuda itu berkerut samar, menandakan bahwa otak cerdasnya tengah bekerja untuk memutar memori sebanyak mungkin tentang perempuan ini.
Diana Caesa Alfinza. Alfian berlafal dalam hati. Dia pernah mengenal gadis ini. Meski Diana di sampingnya saat ini berbeda dengan Diana belasan tahun lalu. Tapi Alfian yakin, mereka adalah orang yang sama.
Ya! Diana berubah. Simpul Alfian pada akhirnya.
Diana belasan tahun lalu adalah seorang gadis manja, polos, penuh semangat, cerewet dan tidak tahu malu. Meski terkesan centil, tapi dia tak pernah sekalipun tampak dengan make up tebal dan baju ketat seperti sekarang. Bahkan Alfian nyaris tak mengenalinya jika saja dia tidak mengingat nama panjang gadis ini.
Sekarang, lihatlah dia. Dingin, angkuh, sobong, tak banyak omong dan sulit didekati. Nyatanya, dalam waktu kurang lebih dua belas tahun, Diana sudah berhasil bertransformasi sejauh ini. Sebenarnya apa saja yang sudah terjadi pada gadis itu?
Satu hal lagi yang sedikit mengganggu pikiran Alfian. Apa Diana tak mengingatnya? Bagaimana bisa? Dulu mereka memang tak begitu akrab, karena memang ia yang berusaha menjaga jarak. Namun mengingat semangat Diana yang begitu mengerjarnya dulu, rasa-rasanya tidak mungkin kalau gadis ini bisa lupa. Atau Diana hanya pura-pura tak pernah mengenalnya? Entahlah.
Alfian masih bisa mengingat dengan jelas kejadian tadi pagi. Pertemuan pertamanya dengan Diana setelah sekian lama. Alfian syok, tentu saja. Tapi dia terlalu pandai memainkan ekspresi hingga yang tampak hanya raut wajah datar. Saat itu dia mengira, Diana akan langsung berjingkrak kesenangan karena perjumpaan mereka. Namun, ternyata perkiraannya melesat jauh. Alih-alih merasa senang, Diana justru hanya mengangguk dan tersenyum kecil sebagai tanda kesopanan. Tak ada satupun emosi ganjil yang bisa ditangkap Alfian dari wajah Diana. Ekspresi gadis itu malah lebih datar darinya.
Ehm!
Alfian berdehem pelan. Bukan untuk membersihkan tenggorokan, melainkan untuk menarik perhatian. Diana menoleh. Buru-buru Alfian memperbaiki posisi berdirinya dan memasukkan kedua tangan ke dalam saku celana.
"Apa kamu benar-benar tidak mengingatku?" Ditatapnya sang lawan bicara hanya untuk melihat ekspresi balasan, tapi yang Alfian dapat hanya kening Diana yang mengernyit kebingungan.
Diana memperhatikan Alfian lebih detail. Berusaha mencari ponsel atau headset yang mungkin dipakai oleh pemuda itu. Ia tak yakin Alfian berbicara padanya. Tapi, tak ada alat komonikasi apapun yang menempel ditelinga Alfian.
Diana sudah membuka mulut untuk menjawab pertanyaan tadi, bahwa ia tak mungkin melupakan Direktur Keuangan perusahaan mereka meski baru sekali bertemu. Namun, suara yang hendak keluar dari mulut Diana tertahan di ujung tenggorokan saat mendengar kelanjutan dari pertanyaan bos barunya.
"... Ana?"
Bibir Diana mengatup kembali. Entah apa alasannya, tapi Diana merasa tak bisa menjawab pertanyaan sederhana itu. Rasanya terlalu sulit, hingga ia harus beberapa kali menelan ludah sendiri demi mengatasi gejolak yang bahkan Diana sendiri pun tak tahu apa sebabnya.
Ting!
Pintu lift terbuka. Tanpa mau menunggu jawaban Diana, Alfian menyeret koper birunya dari lift. Pergi meninggalkan Diana yang masih mematung di dalam kotak mesin itu dengan sejuta rasa yang tak bisa ia jabarkan.
Tepat saat lift hendak menutup, kesadaran Diana kembali. Buru-buru ia bergegas keluar.
Ana ....
A-na ....
A-n-a ....
Apa yang aneh dengan sepenggal dua suku kata itu?
Diana sudah biasa dipanggil dengan beberapa sebutan. Seperti; Dee, Dian, Diana, dan bahkan ada teman lelaki semasa kuliahnya dulu memanggil Diana dengan sebutan Caesa. Tapi semuanya terdengar biasa. Tidak ada yang istimewa. Itu hanya sekedar potongan dari namanya.
Tapi entah mengapa, saat Alfian menyebutnya dengan ANA, serasa ada yang aneh. Semacam ada lubang hitam yang menyedot paksa kinerja otak Diana untuk kembali mengingat masa lalu. Tapi masa lalu yang seperti apa?
"Mbak, sudah sampai!" Satu tepukan yang mendarat di pundaknya membuat Diana terperajat kaget. Ia mengerjap untuk mengembalikan kesadaran, kemudian menoleh dan mendapati seorang pemuda kurus tinggi tengah menatap bingung ke arahnya.
"Mbak, sudah sampai!" ulang si pemuda lagi. Dia adalah kondektur bus yang kini ditumpangi Diana.
"Oh!" Hanya itu, karena setelahnya Diana langsung berdiri dan melangkah keluar dari dalam bus.
Gadis itu memijit kepalanya yang terasa pening hanya karena memikirkan masalah sebutan nama. Konyol. Tidak seharusnya ia memusingkan masalah ini.
Berusaha menekan rasa keingintahuannya, Diana kembali melangkah pasti melewati gang sempit kawasan kumuh di mana rumahnya berada.
Krieettt ....
Suara derit pintu yang terbuka berhasil menarik sudut bibirnya. Seringai kecil muncul, menghiasi wajah paruh baya yang sudah terlihat mulai keriput itu. Tidak sia-sia ia menunggu hampir dua jam. Karena pada akhirnya, sang putri yang dinanti akhirnya kembali juga.
"Sudah pulang?"
Ayunan pintu triplek yang baru setengah membuka berhenti bergerak. Tubuh Diana mendadak beku. Alarm tanda bahaya dalam otaknya berbunyi memberi peringatan. Merintah Diana untuk segera menjauh dari iblis tak berperasaan satu ini. Namun, ia justru menghiraukan peringatan tersebut.
Pelan tapi pasti, Diana menoleh ke sumber suara dan mendapatinya di sana. Di ujung ruang tengah, duduk di kursi kayu sambil menselonjorkan kaki ke atas meja. Gaya angkuh seperti biasa.
"Kenapa diam di situ? Kemarilah. Papa merindukanmu."
Bulu roman Diana meremang. Apa katanya tadi? Papa? Rindu?
Cih!
Diana tidak sudi menganggapnya Papa, apalagi harus dirindukan olehnya. Amit-amit!
Diana mendengus kasar. Ia melebarkan celah daun pintu dan masuk ke dalam rumah tanpa menutupnya kembali. Berharap dengan isyarat ini, si Iblis mengerti dan tahu diri untuk segera pergi. Baru selangkah maju, suara berat dari iblis itu kembali mengintrupsi.
"Aku butuh uang lagi," katanya santai, seolah tanpa beban.
Rahang Diana mengetat. Lagi! Aku bukan mesin uang! Teriaknya dalam hati. Setelah menimbulkan kekacaun, dia datang cuma karena ingin memerasnya.
Perlahan kelopak mata Diana terpejam, seiring dengan kepalan kuat jari-jari tangannya sebagai bentuk pertahanan, berharap dengan begitu emosinya akan berkurang. Setelah dirasa hatinya sudah lumayan tenang, barulah ia membukanya kembali. Kemudian merogoh dua lembar uang seratus ribuan dari dalam tas dan diletakkan di atas meja tepat di samping ujung kaki lelaki paruh baya yang sangat ia benci.
"Jaman sekarang, uang segitu dapat apa?" Nadanya santai tanpa emosi. Kemarahan Diana yang mulai reda kembali menggelegak. Namun, kali ini ia tidak boleh terpancing.
Menarik napas panjang, Diana mengakkan tubuhnya. Berusaha untuk tak menghiraukan perkataan lelaki paruh baya yang berstatus sebagai suami dari mamanya ini, ia kembali melangkah. Akan tetapi pergerakan Marko—-ayahnya, lebih cepat. Lelaki itu segera berdiri dan menyabet tas yang menggantung di bahu Diana tanpa disangka-sangka. Diana memekik tertahan karena kaget, dan kekagetan itu langsung berubah menjadi rasa panik ketika menyadari siapa yang mengambil tasnya. Apalagi saat melihat uang tujuh ratus ribu yang kini sudah keluar dari dompet kulitnya dan sudah berada dalam kuasa Marko.
"Apa yang Anda lakukan!" bentak Diana murka. Emosi yang sedari tadi mati-matian ia tahan mencuat keluar, hingga dadanya naik turun tatkala ia menghirup dan mengembuskan napas panas dari rongga dada. "Kembalikan uang saya!" Tangannya bergerak ke udara, berusaha meraih tujuh lembar seratus ribuan itu dari tangan Marko, tapi gagal. Gerakan lelaki itu begitu lihai.
"Jangan ambil uang saya!" mohonnya, berharap sedikit rasa iba, tapi tak Marko hiraukan. Dengan gerakan mengejek, ia justru melempar tas Diana ke lantai semen hingga seluruh isinya berceceran.
"Papa cuma ngambil sebagian, kok." Senyumnya mengembang. Bukan jenis senyum ramah, apalagi tulus. Senyum itu mengerikan dan penuh aura intimidasi. Membuat tubuh Diana kaku, tidak mengenali siapa orang yang kini berada di hadapannya. "Jangan lupa kunci pintunya. Malam ini, Papa tidak akan pulang." Adalah kalimat terakhir yang diucapkan Marko sebelum pergi. Apa yang dia mau sudah ia dapati.
Diana menggigit bibir keras-keras, tak menghiraukan rasa asin yang mulai berbaur dengan saliva dalam mulutnya. Ia marah dan membutuhkan pengalihan dengan membikin sakit lain secara fisik. Sungguh ia benci terhadap dirinya sendiri. Mengapa lagi-lagi ia hanya diam mendapat perlakuan begini? Sampai kapan ia tak akan melawan? Seharusnya, ia bisa kalau hanya sekedar menendang tulang kering Marko agar lelaki itu mendapat pelajaran. Seharusnya, ia bisa mengambil uangnya kembali dari tangan Marko.
Seharusnya.
Se-ha-rus-nya. Tapi apa yang dia lakukan?
Diam.
Pasrah.
Dan tak berdaya.
Kelopak mata Diana membuka ketika satu jawaban muncul. Sebuah jawaban yang sangat ingin ia hilangkan. Namun tak bisa. Tubuhnya meluruh. Diana bisa melihat uang tiga ratus ribu yang disisakan marko bertebaran di lantai semen sekitarnya.
Hhh ... tiga ratus ribu?
Gajinya bulan ini masih seminggu lagi. Apa uang segitu cukup untuk makannya, mama dan Doni untuk satu minggu ke depan? Belum lagi untuk ongkos tranportasi ke kantor.
Diana menelan ludah susah payah. Ini bukan pertama kali Marko bersikap semena-mena. Tapi, kenapa rasa sesaknya masih sama?
Perlahan, tangan Gadis itu mulai bergerak untuk memunguti barang-barangnya yang berserakan. Sabar Diana, bisik suara batinnya. Gerakan tangan Diana terhenti saat mendengar bunyi derit pintu terbuka. Ia menoleh ke sumber suara dan menemukan sosok Maura yang baru keluar dari dalam kamar. Tatapan mereka bertemu selama dua detik. Karena, pada detik ketiga Maura segera membuang pandangan ke arah lain, seolah menghindari kontak mata terjadi antara mereka. Namun dalam dua detik itu, Diana masih bisa melihat sorot iba yang terpancar dari onix ibunya.
"Apa Papamu sudah pergi?"
Diana hanya mengangguk sekali sebelum kembali membereskan barang-barangnya. Begitu selesai, ia segera bangkit berdiri lalu masuk ke dalam kamar tanpa membuka sepatah kata pun. Diana tak yakin masih bisa menahan emosi jika mengeluarkan suara.
Maura mencengkeram keras kusen pintu begitu tubuh Diana berlalu. Air matanya menetes lagi. Sungguh, dia benar-benar merasa tak berguna sebagai seorang ibu. Ia ingin merengkuh Diana, menenangkan putri kebanggaannya dengan pelukan. Tapi tidak bisa. Dirinya merasa terlalu malu. Malu pada diri sendiri yang tak berdaya di bawah bayang-bayang sang suami.
"Maafkan Mama, Diana. Maaf ...."
***
Yang kepo pengen baca update an lebih dulu, bisa langsung ke karyakarsa, ya. Di sana udah bab 15 loh ^^
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top