BAB 02

PRAAANNGGG!!!!

Suara keras dari pecahan beling sukses membangunkan Diana yang baru terlelap beberapa jam yang lalu. Gadis itu sampai terduduk saking kagetnya. Diana mengelus dada untuk menenangkan detak jantungnya yang tiba-tiba terpacu melebihi batas normal.

Ada apa lagi?

Dia melirik jam bundar yang menempel di dinding kamar. Empat tiga puluh. masih pagi buta begini, tapi diluar sudah ribut. Diana kemudian memutar bola matanya ke arah ranjang kecil yang hanya muat satu orang. Syukurlah Doni sama sekali tidak terusik dengan suara pecahan beling tadi. Pandangan Diana kemudiam terarah pada kaki mungil Doni yang terbungkus kasa. Saat itu juga, dia menahan ringisan jika mengingat adiknya yang terluka karena berusaha menolong ibu mereka. Betapa malangnya dia. Di usia yang seharusnya asyik bermain dengan teman-teman sebaya, Doni justru mengalami hal semacam ini.

Diana menghela napas panjang sebelum akhirnya memutuskan untuk bangkit dari alas tikar yang ia tempati untuk tidur. Diana tidur di lantai, karena kasur yang ada di kamar ini tidak muat untuk dua orang. Kamar mereka sangat minimalis, berukuran 3x2 meter dan hanya mampu menampung ranjang kecil seukuran tubuh Doni, serta lemari berpintu ganda yang mulai keberatan menampung isinya. Jadi, wajar jika setiap bangun pagi sekujur tubuh ringkih itu terasa pegal-pegal.

Diana bangkit dari tikar sembari memijit bahunya sendiri yang terasa ngilu. Ia harus mengecek keadaan di luar.

Yang dilihat Diana pertama kali saat membuka pintu kamar adalah ruang tengah yang kembali berantakan. Diana menarik napas panjang untuk menekan emosi yang seketika muncul. Padahal, tadi malam gadis itu sudah membereskannya hingga larut. Tapi, lihat sekarang. Kegiatan yang ia lakukan sia-sia.

Tingalkan dulu suasana kapal pecah di ruang tengah. Diana kembali melangkah menuju kamar sebelah yang terbuka lebar. Tatapannya berubah nanar ketika menemukan sang mama yang duduk di pingir ranjang. Wajah keriput wanita paruh baya itu ditelungkupkan pada sepasang kakinya yang ia peluk dengan erat. Punggungnya terguncag dengan isak tangis memilukan.

Tenggorokan Diana tercekat. Ini bukan pemandangan langka, tapi dia masih belum imun dengan keadaan yang sekarang.

Menghembuskan napas kasar, Diana mendekat ke arah mama. Dia diam beberapa saat di samping tubuh ringkih beliau yang makin hari makin kurus. Diamatinya wanita paruh baya itu lekat-lekat sebelum akhirnya ia berjongkok dan menyentuh pundaknya dengan hati-hati. Takut menyakitinya.

"Ma...," Panggilnya dengan suara rendah nan parau. Nyaris seperti bisisikan angin yang berembus di tengah malam.

Seakan tersadar akan sesuatu, mama mendongak. Buru-buru dia menghapus jejak air mata di sekitar pipinya agar Diana tidak mengetahui bahwa ia menangis, meski hal tersebut percuma saja. Diana sudah terlanjur melihat bukti kesakitan itu lebih dulu.

"Kamu sudah bagun?" Tanya Maura dengan seulas senyum palsu, jelas sekali dipaksakan. Ia merutuk suaranya yang terdengar serak lantaran kelamaan menagis. Pasti Diana mengetahui kondisinya.

"Mau sampai kapan, Ma?" Suara Diana amat lembut nan menenangkan. Tatapan gadis itu sayu, mengarah lurus pada mata Maura yang bengkak dan memerah.

"Apa maksud kamu, Dee?" Ia bagkit berdiri dan  berbalik memunggungi Diana, berpura-pura membereskan kasurnya yang berantakan. Beliau mengerti maksud Diana. Amat sangat mengerti. Ini bukan kali pertama mereka membahas hal yang sama, tapi Maura selalu berhasil mengelak dengan seribu alasan.

Ikut bangkit berdiri, Diana mencengkeram kuat kedua pundak Maura dengan gemas dan membaliknya secara paksa. "Berhenti berpura-pura bodoh, Ma. Dee tahu Mama mengerti maksudku!" Kini tidak ada lagi kelembutan dalam suara Diana. Cukup sudah. Selama ini dia berpura-pura tidak tahu apa-apa dan selalu mengalah. Tapi, tidak untuk saat ini. Kontrol diri Diana tak sekuat baja yang selalu bisa memghalau serangan.

"Apa kamu baru saja mengatakan bahwa Mamamu ini bodoh, Dee?" Mata Maura memicing tajam. Menghunus retina Diana dengan tatapannya. Selimut yang tadi ia lipat dilempar dengan kasar ke lantai semen di bawah mereka.

Diana terkesiap akan pertanyaan retoris Mama. Tidak seharusnya ia berkata kasar pada wanita ini. Perlahan, kemarahan Diana mereda seiring dengan cengkeraman tangannya yang mulai melemah dan terlepas sepenuhnya dari pundak Mama. Dia menunduk penuh penyesalan atas ucapannya yang tidak terkontrol karena emosi.

"Maaf, Ma. Dee enggak bermaksud begitu." Gadis itu mendongak kembali dengan tatapan lembutnya. "Dee cuma nggak tega lihat Mama kayak gini."

"Memangnya Mama terlihat seperti apa?" Nadanya masih tajam seolah menghakimi Diana. Tidak seharusnya ia marah pada Diana. Dee tidak salah apa-apa. Hanya saja, saat ini beliau butuh pelampiasan atas sikap suaminya yang selalu semena-mena. Dan untuk yang kesekian kali, Diana kembali menjadi sasaran.

"Seperti ini!" Diana meraih tangan kanan Maura dan menunjukkan luka bekas cambukan gasper di sana. Bekas luka yang masih merah itu terlihat sangat menyakitkan, terbukti dari ringisan tertahan yang berhasil lolos dari bibir Mama. "Apa ini Mama bilang baik-baik saja?" Berbeda dengan raut wajah lembut yang ditampilkan, nada suara Diana rendah nan tajam.

"Itu bukan urusanmu." Mama menarik kembali tangannya sembari membuang muka ke samping. Ia tahu anak gadisnya sudah dewasa sekarang. Bukan  lagi bocah kecil yang mudah dibohongi.

"Tentu itu urusan Dee juga, Ma. Lelaki berengsek itu su—"

PLAK!

Sebuah tamparan berhasil mendarat dengan mulus di pipi kiri Diana. Dan tindakan itu berhasil membungkam mulutnya.

"Dia itu Papamu, Diana!" bentak Mama murka. "Berani kamu mencap Ayahmu sendiri dengan kata sekotor itu?!"

Diana menelan ludah kelu. Rasa perih dan panas di pipinya tidak sebanding dengan apa yang terasa di hatinya saat ini. Mamanya sendiri lebih memilih pria itu ketimbang dia yang merupakan anaknya. Miris! Apa cinta sebuta itu? Menggelapkan hati, bahkan mampu mengikis kasih seorang Bunda terhadap buah hatinya sendiri?

Diana menangkupkan sebelah tangan ke pipi yang tadi menjadi objek tamparan Maura. "Papaku sudah mati beberapa tahun yang lalu, Ma!" Bantahnya dengan suara bergetar. Perkataan yang lagi-lagi salah—menurut Maura dan berhadiahkan tamparan kedua yang lebih kasar. Kali ini di pipi kanan.

"Kamu!" Maura menunjuk Diana dengan tangan kiri. Tepat di depan wajah gadis itu. "Jika kamu tidak mau mengakuinya, kamu boleh pergi dari rumah ini kalau kamu mau. Tapi, jangan bawa Doni!" kecam Maura yang kemudian pergi berlalu. Meninggalkan Diana dan luka baru yang bahkan sudah bosan tersakiti.

Diana meluruh dengan tubuh gemetar. Maura tidak pernah semarah ini sebelumnya, bahkan sampai menampar Diana dua kali dan menunjuk dengan tangan kiri. Sebegitu tidak berartinyakah dia ketimbang lelaki itu?!

Diana menunduk dalam. Tidak. Dia tidak menangis. Air matanya sudah mengering sejak beberapa tahun yang lalu. Tapi, kenapa rasa sakit di hatinya serasa seribu kali lebih perih dari yang sudah-sudah? Dan kenapa pula paru-parunya terasa penuh begini?

Diana menarik napas melalui mulut karena hidungnya tak mampu menghirup oksigen dengan normal, seakan kehilangan orientasi akibat kejadian ini. Mungkinkah efek tamparan bisa mengganggu sistem pernapasan?!

"Didee...." Suara panggilan khas anak kecil itu menyadarkan Diana, dia tidak sendirian di sini. Ada satu orang lagi yang merasakan sakit yang sama dengan sakitnya. Meski dengan pemahaman yang berbeda.

Detik berikutnya, Diana merasa ada tangan mungil yang menyentuh pundak. Tangan itu terasa hangat dan nyaman, bahkan kehangatannya terasa merambat sampai ke hati Diana. Mengalirkan sebuah rasa nyaman secara perlahan. Gadis itu mendongak hingga tatapannya bertemu dengan mata bening Doni.

"Didee nggak apa-apa?" Pertanyaan yang sederhana, sarat perhatian dan kepedulian. Perlahan, kedua sudut bibir Diana terangkat membentuk senyum. Ini bukan jenis senyum paksa atau senyun basa-basi yang biasa Diana pamerkan kepada orang-orang di luar sana. Tapi, ini jenis senyum tulus. Senyum yang hanya akan muncul untuk orang tertentu yang berhasil membuatnya merasa damai.

"Didee baik-baik saja."

🍂🍂🍂

Jam tujuh pas. Diana sudah duduk manis di ruangannya, padahal jam kantor biasanya dimulai jam delapan.

Diana bukan pekerja yang terlalu rajin ataupun orang yang kurang kerjaan. Dia hanya merasa tidak betah berada terlalu lama di rumah yang tak bisa ia sebut sebagai surganya, apalagi sekarang ia sedang bertengkar —lagi dengan Maura.

Diana memijit pelipisnya yang terasa pusing. Sepertinya tidur adalah pilihan yang tepat. Gadis itu bangkit dari kursi kebesarannya dan bergerak ke arah sofa panjang berwarna cokelat susu yang berada  ruangan. Gadis itu berbaring dengan kepala menyandar pada lengan sofa.

Diana hobi tidur. Karena dengan tidur, ia bisa bermimpi. Mimpi indah yang tidak bisa ia gapai didunia nyata.

🍂🍂🍂

Untuk kesekian kali, Rissa mengecek jam yang melingkar dipergelangan tangan kirinya. Sudah jam 09:45, dan Diana belum kelihatan juga.

Gadis itu mondar-mandir di depan meja sekretaris yang biasa ia tempati. Di mana Diana? Tidak biasanya dia terlambat seperti ini, apa lagi lima belas menit lagi meeting akan segera dimulai.

Ini memang bukan jenis meeting penting. Hanya meeting bagi para dewan direksi, pemegang saham perusahaan, dan semua manager dari setiap divisi. Namun, bukan berarti Diana bisa datang terlambat. Bisa-bisa image Diana yang sudah buruk menjadi makin buruk—di samping hasil kerjanya yang menuaskan, tentu saja.

Rissa mendesah pasrah sebelum akhirnya memutuskan untuk masuk ke dalam ruangan Diana guna meminjam toilet di sana. Gara-gara menunggu Diana, dia bahkan harus menahan kencing.

Rissa hampir berjenggit kaget saat menemukan seseorang yang dengan lelapnya tertidur di ruangan sang atasan andai dia tidak mengenali siapa orang itu. Diana.

Sejak kapan Diana berada di sana? Kenapa Rissa tidak sadar kalau atasannya sudah datang? Tidak mungkin semalam Diana menginap di sini, bukan?

Akhirnya setelah menimang-nimang sebentar, Rissa memutuskan untuk membangunkan Diana, meski sedikit tidak tega melihat sahabatnya yang tidur begitu nyenyak.

"Dee, bangun. Udah siang." Bahkan hanya dengan tepukan ringan di pipi saja, Diana sudah mengerjap bangun.

"Jam berapa sekarang?" tanyanya yang kemudian menguap Lebar. Diana menggeliat sebelum mengubah posisi berbaringnya menjadi duduk.

"Hampir jam sepuluh. Dan sebentar lagi meeting akan dimulai." Terang Rissa. Padahal gadis itu sudah memberitahu mengenai hal ini lewat Whats App semalam, tapi sepertinya ponsel Diana mati—sampai saat ini.

"Meeting?!" ulang Diana setengah menjerit. Matanya yang tadi separuh terpejam kini membuka lebar, bahkan kantuknya sudah hilang entah ke mana.

"Iya, meeting. Makanya cepat bangun!" perintah Rissa yang lansung diikuti oleh Diana. Gadis itu berlari pontang panting ke arah toilet untuk cuci muka dan memperbarui make up diwajahnya yang sudah berantakan.

Rissa sedang asyik bermain game online di sofa yang tadi ditiduri oleh Diana, saat seseorang menarik paksa pergelangan tangannya yang menyebabkan tab yang ia pegang terjatuh ke sofa. Rissa bernapas lega karena tab barunya selamat sebelum beralih ke siapa pun yang hampir membuatnya kehilalangan tab yang baru seminggu ia beli.

"Lo apa-apaan sih, Dee! Lepasin nggak?!" kesalnya.

Diana melepaskan cekalan pada lengan Rissa dengan dahi mengernyit dan sebelah alis terangkat bingung. "Lo bilang ada meeting. Bukannya salah satu tugas sekretaris itu, mencatat hal-hal penting dalam meeting, ya?" Sarkasnya.

"Emang!" Rissa mendengus seraya mengelus bekas cekalan tangan Diana di tangan kanannya yang sudah memerah. Ternyata meski terlihat feminim, temannya itu memiliki tenaga kuda juga. "Tapi, ini cuma meeting perkenalan Direktur Keuangan yang baru, aja!"

"Oh!" Hanya itu respon yang diberikan Diana sebelum pergi keluar dari ruangan.

Pintu lift sudah hampir tertutup saat Diana menyelipkan tangannya di sela pintu, hingga pintu ganda tersebut kembali terbuka. Dengan napas yang sudah tinggal satu-satu, gadis itu memasuki lift tanpa mempedulikan tatapan aneh dari seorang berstelan Armani yang telah lebih dulu masuk.

"Pagi, Pak!" sapa Diana setelah napasnya kembali normal. Ia pikir, pemuda di sampingnya ini mungkin saja salah satu pemilik saham perusahaan, dilihat dari tampilannya yang eksekutif. Jadi, Diana setidaknya harus berlaku sopan.

Pemuda itu hanya mengangguk sekilas tanpa bersuara.

Setelah pintu lift terbuka, buru-buru Diana keluar mendahului pemuda itu dengan memberi senyum basa-basi sebelumnya. Ia sudah terlambat lima menit. Jadi harus bergerak cepat.

Ruangan tampak hampir penuh oleh jajaran para petinggi dan manager dari setiap divisi saat Diana memasuki ruang meeting. Hanya ada tiga kursi yang masih kosong, termasuk kursi utama. Diana bernapas lega. Setidaknya, meeting belum dimulai. Baik presiden direktur atupun calon direktur keuangan yang baru belum datang.

Diana memamerkan senyum permintaan maaf saat beberapa orang melihat ke arahnya. Senyum Diana berubah menjadi seringai begitu melihat satu kursi kosong yang terdapat di samping Abi.

Melangkah seanggun mungkin, Diana mendekat ke arah posisi Abi dan menempati kursi kosong itu.

"Hai, Bi." Sapanya. Dia dan Abi memang cukup akrab, atau lebih tepatnya, Diana yang awalnya sok mengakrabkan diri terhadap Abi, sehingga mereka biasa saling menyapa dengan sebutan nama masing-masing tanpa embel-embel 'Pak' atau 'Bu'.

Abi menoleh dengan senyum. "Oh! Hai, Dee," balasnya, singkat seperti biasa.

Diana sudah hendak kembali bersuara untuk membuka pembicaraan dengan Abi saat dia mendengar suara deheman dari arah depan. Dia pun kembali bungkam dan menoleh ke sumber suara. Suasana di ruang meeting seketika mendadak sunyi. Rupanya yang berdehem adalah Pak Rudi Galileo, selaku Presiden Direktur GG.

Ruang meeting ini berada dilantai dua belas. Bernuansa simple namun elegan. Luasnya 20x10 meter dengan satu meja besar ditengah-tengah ruangan yang dikelilingi hampir lima puluh kursi, dan dikepalai oleh satu kursi khusus presiden direkrtur yang berada di ujung meja. Layar proyektor terbentang luas di dinding yang berlawanan dengan kursi kepala. Ini adalah ruang meeting terbesar di gedung GG yang biasa digunakan sebagai tempat pertemuan para petinggi seperti saat ini, atau digunakan saat RUPS (Rapat Umum Pemegang Saham).

"Selamat pagi, semua." Suara Pak Rudi memecah keheningan. Terdapat seulas senyum ramah diwajah yang mulai dipenuhi keriput itu. Pak Rudi memang dikenal sebagai bos yang ramah terhadap semua pegawainya. Tetapi, dia juga teramat tegas dan serius dalam pekerjaan.

"Pagi, Pak!" Sebagian ada yang menyahut, dan bagian yang lain hanya mengangguk dan tersenyum formal—salah satunya tentu saja Diana.

"Mohon maaf mengganggu waktu anda sebentar." Lanjut beliau. "Tanpa membuang banyak waktu. Langsung kita mulai saja. Di sini saya akan mengenalkan seseorang.

"Kita tentu sudah mengetahui kekosongan posisi direktur keuangan, karena Pak Syarif, yang menduduki jabatan itu sebelumnya harus pensiun. Maka dari itu, posisi tersebut akan saya percayakan pada saudara Alfian Galileo Pratama." Pak Rudi melirik ke arah kanan dengan senyum bangga yang tercetak jelas di bibirnya.

Semua mata di ruang meeting  mengikuti arah pandang Pak Rudi, termasuk Diana. Gadis itu bahkan sudah membulatkan matanya begitu melihat siapa yang akan menjadi DK  perusahaan ini ke depan. Orang itu!

"Masalah pengalaman kerjanya, kalian tidak usah khawatir. Dia sudah pernah menangani cabang perusahaan yang ada di Surabaya selama dua tahun ini." Terang Pak Rudi yang berhasil membuat beberapa manager berdecak kagum. Sementara para petinggi dan pemegang saham perusahaan yang lain hanya manggut-manggut mengerti.

Diana menoleh kembali ke arah direktur keuangan yang baru dengan kening berkerut samar. Well, ternyata tebakannya benar tentang pemuda lift yang ia temui tadi. Dia benar-benar salah satu petinggi perusahaan, meski dalam artian masih baru bergabung.

Sialnya!

Diana mengkeret di kursi duduknya. Bola matanya merebak hingga pupil hitamnya membesar seketika saat pandangan Pak Alfian tanpa sengaja mengarah padanya. Dan saat itu pun tatapan mereka bertemu. Diana buru-buru mengalihkan perhatian pada arah Pak Rudi yang masih menerangkan entah apa. Jangan sampai Direktur yang baru itu berpikir yang tidak-tidak. Menyangka Diana tertarik padanya, misal.

Oh! tertangkap basah sedang memperhatikan orang lain itu sungguh memalukan.

🍂🍂🍂

Yang kepo pengen baca update lebih cepat, bisa juga ikuti di karyakarsa, ya ^^

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top