Pro.lo.gue

Pantulan di cermin meja rias membuatku meringis. Gaun putih ini memukau, tapi keanggunannya membuat hatiku bagai diiris-iris. Pedih sekali hingga tanpa sadar aku pun menitikkan air mata. Seluruh hatiku berkata aku tidak pantas mengenakannya. Seharusnya tidak pernah memberanikan diri mengenakannya!

"Apa itu benar kamu, Ta?" Bukan tidak puas pada hasil sapuan tangan Mbak Diana. Sungguh, dia make up artist legendaris bertarif mahal yang tidak perlu diragukan lagi kepiawaiannya. Namun ....

"Kaita," panggil seorang lelaki dari balik punggungku. Suaranya terdengar samar. Setengah tubuhnya menyembul di sela pintu.

"Akhyar," ucapku tanpa suara lantas melempar senyum melalui kaca. Lewat media yang sama aku dapat melihat betapa rupanya begitu menawan. Jas biru dongker yang membalut tubuhnya terlihat begitu pas.

"Kaita sudah siap?" Dia lagi-lagi berbisik, entah karena apa.

Aku berbalik, menatapnya lekat lantas mengangguk meski hatiku berbisik tak yakin.

"Boleh aku masuk?" Kali ini pun aku menanggapi pertanyaannya dengan anggukan. Dengan cepat dia memasuki kamarku setelah sebelumnya celingukan tidak jelas seolah tengah bersembunyi dari seseorang, atau mungkin juga sesuatu. "Kaita cantik banget," pujinya begitu kami berdiri berhadap-hadapan.

Aku tersenyum miris. Pujiannya membuatku ingin semakin kencang menangis.

"Kaita kenapa kelihatan sedih?" tanyanya dengan suara parau. Dengan perlahan dan hati-hati ibu jarinya menyapu pipiku. Momen sentimentil ini membuat luka di hatiku semakin menganga. Adikku ini terlalu peka membaca suasana hatiku, seperti biasa. "Kaita nggak boleh nangis. Ini hari bahagia, loh!"

Hari bahagia. Hari. Bahagia. Dua kata itu menggema di otakku bergantian, terdengar seperti sebuah ejekan.

"Kaita harus senyum. Sudah dirias cantik begini, masa wajahnya kayak langit ketutupan awan mendung? Nggak pantas." Terlihat keras dia menghiburku. Padahal, kelabu serupa juga membias di wajahnya. Tatapannya yang biasa hangat kini menyorot sendu.

"Kakak nggak apa-apa," elakku sambil menangkap tangannya, lalu menyisipkan jari-jariku di jemarinya, tersenyum lebar—walaupun palsu—semata tidak ingin membuatnya semakin risau. "Kakak cuma merasa ... ini semua seperti mimpi." Mimpi buruk yang membuatku berusaha keras untuk segera membuka mata dan menjejak dunia. Sayangnya, ini bukan bunga tidur seperti yang barusan kukatakan. Ini realita. Realita menyakitkan.

"Aku yakin, Mas Dimas akan bikin Kaita bahagia."

Benarkah? Dulu, waktu bersama Mas Fatih juga aku mengira begitu. Namun, kenyataan ternyata tidak pernah seindah angan.

"Menyembuhkan luka akibat trauma itu memang butuh waktu. Tapi, aku yakin Kaita kuat. Luka-luka itu sudah menemukan penawarnya. Nggak akan lama lagi, cuma senyum dan tawa yang akan menghiasi wajah cantik Kaita."

Bolehkah aku berharap? Sekali lagi saja, bahwa aku pantas bahagia tanpa merasa itu utang yang suatu saat harus kubayar. Namun, mengingat alasan di balik pernikahan ini, keraguan mendera.

"Sorry, mengganggu." Tivana menginterupsi. "Tadi aku ketuk pintunya, tapi kalian sepertinya nggak dengar." Perempuan berhidung mancung yang tengah berbadan dua itu menerangkan, terlihat sungkan.

"Nggak apa-apa, Mbak." Akhyar yang menyahut, sementara aku mengulas senyum maklum.

"Cuma mau ngasih tau kalau penghulunya sudah datang. It means, sebentar lagi acara dimulai." Tivana melangkah melewati ambang pintu dan terus berjalan mendekatiku.

Akhyar menghela napas panjang. "Sudah waktunya," ucapnya sambil tersenyum. Tanpa aba-aba, dia memelukku lantas membisikkan kata-kata manis dan menenangkan yang kuyakin tidak hanya ditujukan buatku, tetapi juga untuk menenangkan gemuruh di hatinya. Hatiku berdenyut nyeri.

"Ya, sudah waktunya." Aku mengulang ucapan Akhyar, menegaskan pada diri sendiri bahwa babak baru dalam hidupku akan segera dimulai beberapa saat ke depan. Tidak ada jalan kembali sekalipun keinginan untuk putar badan menggaung semakin keras di benakku, seperti bujukan untuk meniadakan kewarasan di detik-detik terakhir.

"Mama pasti cemberut kalau tau aku ke sini. Dari tadi malam mama wanti-wanti supaya aku nggak nemuin Kaita sebelum tugasku selesai."

Ah, terjawab sudah alasan tindakan anehnya tadi. "Pergi sana!" perintahku yang tidak sedikit pun tebersit niatan untuk mengusir.

Akhyar melipir secepat kilat setelah mengecup keningku dan mengangguk santun pada Tivana.

"Jadi ...." Tivana memandangku. Ekspresi wajahnya berubah drastis. Tatapannya terlihat ganjil. Sedari awal pun memang begitu. Dia sepertinya bukan tipe orang yang mau bersusah payah menyembunyikan perasaannya, termasuk kecurigaan atau ... kewaspadaan? Aku hampir lupa, dia memang pantas berbuat demikian.

"Waktu Mbak nggak banyak. Kalau mau mengubah keputusan ...."

"Kenapa aku harus mengubah keputusan?" potongku cepat. Jujur saja, aku cukup kepayahan memangkas rasa gentar yang merambat dengan subur di setiap sel darahku.

Perempuan yang akrab dipanggil Vanya oleh calon suamiku itu berdecak sambil bersedekap. Dia berjalan dua langkah menjauh lantas menopang tubuhnya yang bulat pada tepian meja rias. "Aku tau betul gimana kakakku. Wataknya, kebiasaannya, bahkan hampir seluruh cerita cinta dan masa lalunya. Nama Yulita Anggraini nggak pernah ada di dalamnya. Kehadiran Mbak terlalu tiba-tiba dan seolah sengaja diada-adakan."

Aku meneguk ludah. Apakah aku akan berhasil menutupi kegugupanku jika menghadiahinya senyuman? Dia terus menatapku, tak berkedip, seolah menelanjangi, berdecak lagi lalu tersenyum sinis. Mungkinkah dia cenayang yang tahu apa yang sedang kupikirkan? Bisakah dia mengendus ketakutanku?

Di saat aku sibuk dengan pikiranku sendiri, suara Mas Dimas terdengar lancar dan lantang dari pengeras suara. "Saya terima nikah dan kawinnya Yulita Anggraini binti ...."

"Wah, kesempatan untuk mundur tertutup sudah!" Tivana bertepuk tangan sambil melangkah maju, lalu berhenti tepat di depanku. Jarak kami terlalu dekat, tidak lebih dari satu langkah. "Selamat datang dan bergabung dalam keluarga gila ini, Kakak Ipar," bisiknya.
.
.
.
Kok, cerita baru lagi? Padahal utang ceritanya masih ada, loh! Mungkin itulah yang kalian pikirkan saat ini.
Maaf banget...
Saking nggak enaknya, cuma itu yang bisa aku ucapkan ke kalian 🙏🏻🥺.
Simpan aja dulu cerita ini ke library atau reading list. Entah mana yang bakal kukerjain duluan, tapi aku selalu berkomitmen untuk merampungkan semua cerita yang kumulai.
Btw, ada yang ngeh ini tokohnya siapa aja dan dari cerita yang mana?
Terima kasih sudah membaca dan seperti biasa, jangan lupa tinggalkan jejak kalian 💬⭐
Samarinda, 29 April 2024
Salam sayang,
BrinaBear88

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top