9. Voldemort in Real Life
Mampus kamu, Ta! Kapokmu kapan ...?
Lima kata itu berputar-putar seperti gasing di otakku. Terus dan terus sampai aku bosan dan tidak habis-habisnya merutuk dalam hati karena sudah salah melangkah; menjadi mama gadungan buat si Bocil Merana. Andai tahu papanya Arka adalah Dimas Arisatya a.k.a Voldemort versi hidung perosotan—begitu teman-teman di kantor menjulukinya—aku jelas menolak mentah-mentah permohonan anak itu. Namun, nasi sudah menjadi bubur. Mau menyesal seperti apa pun tidak berguna sama sekali.
"Ngapain kamu dari tadi mandangin saya?"
"Eh?" Aku gelagapan, baru sadar kalau sudah sebegitunya memandangi Pak Dimas. Lekas-lekas aku berpaling, membuang pandang pada sisi kiri jalan yang ditumbuhi pepohonan rindang.
"Saya terganggu diperhatikan seperti itu. Takut kalau-kalau liur kamu menetes terus mengotori mobil saya."
Kampret, kan? Tidak heran, sih! Sebagai mantan bawahan, aku sudah khatam dengan wataknya. Satu kantor juga tahu! Pak Dimas, pengusaha kaya raya yang kehidupan asmaranya penuh misteri, tidak pernah terlihat punya gandengan padahal hampir tiga tahun berlalu semenjak kematian sang istri. Walaupun berstatus Dugan alias Duda Ganteng, tidak satu pun berani mendekat. Masing-masing dari kami selalu menghindar agar tidak berinteraksi langsung dengannya. Di jidatnya seperti ada peringatan tak kasatmata, "harap jaga jarak'. Apalagi kalau bukan karena sikapnya yang dingin, tatapan tajam bak elang disertai ucapan yang pedasnya mengalahkan Bon Cabe level 50 Max End. Salah sedikit saja, beuh! Bisa-bisa menyesal tujuh turunan, delapan tanjakan, sembilan tikungan.
"Khilaf tadi, Pak. Berasa lagi mimpi." Mimpi buruk pas mata lagi segar-segarnya. Duh, sial banget, sih, aku! Bikin dosa apa, coba, di kehidupan sebelumnya sampai apes, kok, tidak ada habis-habisnya?
"So, Yulita," katanya. Aku melirik. Ternyata dia bicara tanpa melihat ke arahku. Lebih baik begitu, sih! Dia fokus pada jalan saja, aku merasa sedang menuju neraka. Bagaimana kalau terang-terangan kami bertatap muka? Bisa lewat detik ini juga. "Saya nggak tau mesti berterima kasih atau justru marah karena kelancangan kamu yang sudah mengaku-ngaku sebagai mamanya Arka."
"Anu, Pak. Maaf banget. Saya nggak tau kalau Bo—" Aku berdeham, hampir saja keceplosan. Dengan kedua tangan terkatup di depan dada aku berujar, "Arka maksud saya." Aku berhati-hati menyebut nama anak ganteng itu agar lidahku tidak terpeleset lagi. "Saya nggak tau kalau dia anak Bapak."
Sialnya, dua detik kemudian lampu merah pada traffic light membuat Pak Dimas menghentikan laju kendaraan. Dengan begitu, dia juga jadi punya waktu mengalihkan perhatian padaku.
"Terus andai Arka bukan anak saya, kamu tetap bisa seenaknya ngaku-ngaku jadi mamanya? Kamu sadar nggak, sih, kalau tindakan kamu itu berisiko dan berdampak buruk—"
Aku memotong cepat ucapannya. "Saya mana sempat kepikiran hal kayak gitu, Pak. Habisnya saya kasihan sama dia. Sudah piatu, di sekolah di-bully, terus dapat pengabaian dari orang di sekitarnya." Puppy eyes dan wajah lugu Arka di awal pertemuan kami bermain-main di pelupuk mataku. Terngiang-ngiang pula di telingaku ucapannya saat dia memohon dengan suara mengiba.
Pak Dimas diam. Dia tampak begitu kaget mendengar pemaparanku. Aku tidak bisa menyembunyikan senyum sinisku saat dia mengerjap lalu memalingkan wajah. Untuk beberapa saat hening. Mau hening yang panjang pun tidak masalah, aku suka, kok!
"Kalian ketemu di mana?" Pak Dimas memegang setir dengan satu tangan. Tangan satunya berpindah—entah sejak kapan—ke pelipis.
"Di taman dekat sekolah dia. Bapak tau?"
Pak Dimas mengangguk-angguk. "Saya tau dari Pak Budi. Arka kadang-kadang suka main dulu di taman itu sebelum balik ke rumah. Tapi, kamu ... memangnya kamu dari mana, kok, bisa-bisanya ketemu Arka di situ?" Pak Dimas menoleh padaku sesaat sebelum kembali ke arah depan karena lampu telah berganti hijau.
Menunduk karena malu, dengan jujur aku menjawab, "Dari kantor Pengadilan Agama, Pak."
Untuk beberapa saat Pak Dimas diam. Kupikir obrolan ini berakhir sampai di sini. Namun, nyatanya dia kembali bertanya, "Ngapain kamu di sana?"
Aku berdecak sebal. "Ikutan audisi stand up comedy, Pak," sahutku asal. Hadeh, Bapak Dimas Yang Terhormat bisa juga telmi rupanya.
Pak Dimas berdecak. "Saya serius, Yulita ...."
"Sidang putusan cerai, Pak." Gemas banget aku jadinya.
Pak Dimas bergeming. Namun, sekali lagi kekagetannya tertangkap indra penglihatanku.
"Sorry," katanya, tampak menyesal dan bersimpati.
Aku tersenyum miris. "It's okay, Pak. Bukan salah Bapak. Memang jalannya harus begitu."
"Itu yang bikin performa kamu di kantor menurun drastis?" Pertanyaan itu terdengar terlempar dengan penuh kehati-hatian. Memang, ini bahasan yang cukup membuat akward, terlebih status kami mantan atasan dan bawahan. Ini terlalu personal.
"Kalau saya bilang 'iya', apa Bapak menarik kembali surat pemecatan saya dan menerima saya buat kerja di kantor Bapak lagi?"
"Ya, nggak juga, sih!" jawab Pak Dimas cepat tanpa pertimbangan.
Kampret! Bibirku maju lima senti. Memang seharusnya berharap itu cuma sama Tuhan. Kalau berharap sama manusia, apalagi yang jadi-jadian macam dia, ya, begini ini akhirnya. Menangis dalam hati.
"Bapak nggak nyesal gitu, sudah nambah-nambahin beban hidup saya? Sudahlah saya janda, terus di-PHK pula."
Pak Dimas menghela napas panjang, tangannya yang tadi memijat pelipis sudah kembali memegang setir. "Saya cuma menolerir beberapa kesalahan. Kalau semua pegawai berpikir seperti kamu, apa jadinya perusahaan saya? Semua pada minta dimengerti. Gimana kalau itu nyaris bikin saya bangkrut 3M seperti yang sudah kamu lakukan? Bisa-bisa gulung tikar saya, Yul."
Aku mengerutkan kening. "Kapan saya mau bikin Bapak bangkrut? Saya bahkan nggak melakukan apa pun yang—"
"Laporan yang harusnya kamu kerjakan malah dibuat sama anak baru pengganti teman kamu yang resign karena kasus pelecehan. Anak itu fresh graduate, nggak berpengalaman di lapangan dan jelas butuh banyak bimbingan."
"Kan, ada Duo Bigos, Pak. Mereka—"
"Maksud kamu Erin dan Lida?"
"Iyalah, Pak! Siapa lagi kalau bukan mereka?" Selain itu ada Bu April, kepala divisi keuangan.
Pak Dimas memijat lagi pelipisnya. Mungkinkah dia jadi sakit kepala karena mengobrol denganku? Dia memang terlihat tertekan, sih! Tapi ... dibanding dia, aku jelas lebih sengsara.
"Yulita Anggraini," katanya sambil menekan setiap suku kata saat menyebutkan nama lengkapku. "Kamu nggak ada sedikit pun rasa bersalah, gitu? Sudahlah kamu masuk kerja Senin Kamis, ditambah melimpahkan kerjaan sama rekan kamu yang juga punya kerjaan sendiri. Job desc-nya, kan, sudah jelas sejak awal. Kayaknya nggak ada perubahan dari kamu gabung di perusahaan saya." Pak Dimas menahan emosi di setiap katanya. Aku menunduk, tidak punya keberanian membalas lagi. Wong, aku memang salah.
"Jujur, saya kecewa. Sebagai pegawai yang beberapa kali mendapat predikat karyawan teladan, saya menaruh harapan besar sama kamu. Tapi, kesalahan kamu terbilang fatal. Jadi, dengan berat hati saya mengambil keputusan itu. Nggak fair kalau saya tetap bertahan sementara di luar sana banyak orang dengan kualitas yang sama oke-nya berlomba-lomba mendapatkan posisi yang kamu sia-siakan. Selain itu, kasus kamu berpotensi besar jadi contoh buruk buat yang lainnya."
Mingkem. Itu adalah jalan terbaik yang saat ini bisa kulakukan.
"By the way, Yul." Pak Dimas memperlambat laju kendaraan terus menepi di depan sebuah apotek. "Tolong belikan saya obat sakit kepala. Ngobrol sama kamu bikin migrain saya makin parah."
.
.
.
Belum apa-apa Pak Dimas sudah migrain aja 😅
Terima kasih sudah membaca. Jangan lupa tinggalkan jejak yang banyak ⭐💬
Samarinda, 09 Juni 2024
Salam sayang,
BrinaBear88
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top