Setelah berbulan-bulan, akhirnya aku bisa tidur nyenyak semalam. Tidak ada Mas Fatih yang menyapa lewat mimpi. Tidak juga dengan bayangan Silvia dan Tama yang imut menggemaskan. Bahkan tawa mengejek dan kalimat-kalimat penghakiman yang kudengar di ruang sidang kemarin tidak sedikit pun berdampak. Kusambut pagi ini dengan senyum cerah. Ada begitu banyak harapan yang kusisipkan dalam untaian doa. Hari ini harus lebih baik dari kemarin. Pasti lebih baik!
Guyuran air dingin di puncak kepala membuat otakku makin fresh, seperti kaca yang baru dibersihkan. Cemerlang. Saat mengakhiri mandi, sedikit tidak rela harus menyingkirkan bulir-bulir air itu dari rambutku dengan hair dryer. Namun, aku harus bergegas.
Awalnya, blouse satin putih beraksen pita di bagian kerah dengan trousers pants high waist krem menjadi pilihanku. Kupikir setelan itu akan membuatku terlihat manis dan elegan. Namun, ternyata salah. Celananya kedodoran, dan aku sadar bawahan apa pun yang akan kukenakan hasilnya pasti sama karena semua celana dan rok yang kupunya satu ukuran. Pilihan aman akhirnya jatuh pada midi dress emerald yang juga berkerah pita, tetapi kali ini kesannya lebih kalem dan sederhana. Aku tidak mau membuat Bona malu jika aku muncul di sekolahnya dengan penampilan yang acak-acakan.
Setelah mencoba beberapa tatanan, kuputuskan hanya mengikat rambut sebahu bergelombangku dengan scrunchie. Simpel, tapi lagi-lagi aku terlihat cantik. Memang cantik sejak lahir, sih! Bahkan, tanpa perlu bersolek dan dempul sana-sini seperti kebanyakan kaum hawa. Sayangnya, banyak yang menilai aku sombong dan sinis. Well, tidak masalah. Hitung-hitung proteksi diri supaya tidak terlihat rapuh. Mereka tidak perlu tahu bagaimana hancurnya aku. Toh, orang-orang lebih senang menilai tampilan luar, kan?
Acara dandanku pagi ini ditutup dengan menyemprotkan parfum seperlunya. Aroma rose favoritku dengan anggunnya menyeruak indra penciuman hingga memenuhi kamar. Pantulan di cermin sangat memukau, mengundang terbitnya senyum puas di wajahku. It's new me!
"Pagi, Kaita," sapa Akhyar dengan senyum semringah. "Sudah cantik, wangi banget lagi!" Nasi pecel dengan rempeyek kacang menjadi menu sarapannya.
Sementara itu, di kursi sebelahnya, mama menyambutku dengan kernyitan panjang terpahat di sepanjang dahinya. Mungkin beliau takjub dengan penampilanku yang rapi, tidak seperti pegawai yang baru saja dirumahkan. Tidak ada sapaan atau obrolan basa-basi apa pun yang kami lemparkan saat tatapan kami bersinggungan. Seolah ada perjanjian tak tertulis yang membuat kami sepakat mengunci mulut rapat-rapat dan saling tak acuh.
Sebenarnya, bukan mauku kurang ajar begini. Aku hanya memperkecil potensi terjadinya adu kencang urat leher seperti yang sudah-sudah. Selain itu, tatapan mama makin tidak bersahabat. Aku bisa merasakan kebencian itu naik berkali lipat. Semakin kentara karena aku menolak rujuk dengan Mas Fatih dan memilih hidup menjanda. Seperti yang mama bilang pada Akhyar sebelumnya, status ini aib. Setidaknya, begitulah di mata mama.
"Hari ini jangan pulang malam lagi, Yar!" tegur mama menyudahi sarapannya. Kurasa nafsu makannya surut karena kehadiranku. Bisa dilihat dari isi piringnya yang tersisa masih cukup banyak.
Adikku menggeleng cepat karena mulutnya masih penuh makanan.
"Kenapa, sih, akhir-akhir ini kamu pulang malam terus? Apa yang bikin kamu nggak betah di rumah? Jangan bilang kamu keluyuran nggak jelas sama cewek!" Mama menatap tajam Akhyar, mulutnya terbuka siap memulai ceramah yang kuyakin memakan waktu yang tidak sebentar. "Kuliah aja yang benar, biar cepat lulus! Beasiswa kamu berlaku cuma 4 tahun. Lewat dari itu, ke mana kita mesti cari uang buat bayar semesternya? Lain halnya masih ada Fatih. Mas-mu itu nggak pelit! Dia pasti mengulurkan bantuan walau tanpa diminta. Tapi sekarang ...."
Aku menyesap santai teh melati yang kubuat dengan sedikit gula. Tidak mengambil hati sedikit pun ucapan mama. Beliau memang begitu, masih belum ikhlas aku melepaskan menantu kesayangannya.
"Akhyar nggak pacaran atau apa pun seperti yang ada di pikiran mama," bantah Akhyar. Sarapannya juga sudah selesai. Sebelum meminum air putih yang tertinggal separuh di gelasnya, dia kembali berucap, "Lagian, tanpa bantuan orang itu, Akhyar bisa sendiri, kok!"
Mama mencibir. "Lagakmu, Yar! Belum tau aja kamu gimana susahnya cari duit, apalagi sambil kuliah."
Aku mengulum senyum menyimak obrolan mereka. Bola mata mama bisa-bisa melompat keluar kalau tahu Akhyar sudah sebulan terakhir ini memiliki pekerjaan sampingan.
"Sudahlah, Ma, nggak usah bahas sesuatu kalau ujung-ujungnya cuma dikait-kaitkan sama laki-laki itu." Akhyar beralih ke aku, tidak peduli mama mencebik karena niatnya membalas harus kandas sebelum berlabuh. "Kaita mau ke mana, toh? Cakep begini, ada janji sama orang spesial kah?"
Sebelah bibirku terangkat. Sambil mengerling penuh rahasia, aku berkata, "Mau tau aja!"
Akhyar memukul meja. "Ah, Kaita nggak asyik!"
Sedikit mencondongkan tubuh padanya, aku berbisik, "Pokoknya spesial."
"Kak Nadia, bukan?"
Aku menggeleng mantap. "Ra ... ha ... si ... a."
"Heleh!" Rupanya mama tidak bisa menahan diri untuk tidak menimbrung. "Percuma spesial kalau nggak bisa bersaing sama Fatih."
"Nggak perlu dibanding-bandingkan. Kaita bukan orang bodoh yang masuk ke lubang yang sama." Akhyar yang menyahut. Andai dia bertemu Bona, dia mungkin menyesal sudah membelaku.
-***-
"Pagi, Bona!" sapaku ceria. Si Bocah Merana menyambutku dengan senyum tak kalah lebar. Sesuai kesepakatan, dia menungguku di luar area sekolah.
"Pagi, Ma," katanya sambil memeluk kedua kakiku. Akting anak ini alami sekali.
Aku mengedarkan pandang ke sekitar. Ada banyak orang, tetapi tampak sibuk dengan urusannya sendiri. Ada ibu yang menceramahi anaknya yang menguap lebar berkali-kali karena bergadang main game online, ada yang mengingatkan tentang kotak bekal, ada juga yang menanyakan tentang pekerjaan rumah yang mereka kerjakan semalam.
"Sudah lama?" tanyaku seraya mengikuti langkah kakinya. Kami baru saja melewati gerbang sekolah yang tinggi. Ada dua orang penjaga keamanan berbaju biru muda. Yang seorang duduk di pos jaga sedangkan yang satunya lagi berdiri dalam posisi siaga di samping gerbang sekolah.
Arka menggeleng. "Baru aja datang. Pak Budi juga baru balik." Pak Budi yang dia maksud pasti sopir yang bertugas mengantar-jemputnya. "Mama ke sini naik apa?" tanyanya lagi.
"Naik mobil daring." Entah mengerti atau tidak, dia mengangguk-angguk.
"Mama, tau? Tumben-tumbenan papa pulang cepat tadi malam. Aku kaget papa tiba-tiba masuk kamar."
Aku menoleh padanya. "Terus?"
"Suratnya ditemuin Papa, dong! Soalnya isi tasku, kan, berantakan di meja belajar." Dia menggigit bibir terus meringis, tapi tidak terlihat sedih atau menyesal.
"Papa kamu marah, nggak?"
Dia mengangguk, tetapi menggeleng cepat kemudian. "Papa tanya aku bikin masalah apa. Terpaksa aku cerita, soalnya mukanya papa sudah kayak Hulk yang mau ngamuk. Habis itu papa ngeluarin hape dari kantong celananya buat telepon Tante Tiv. Aku nggak dengar papa ngomong apa aja soalnya habis itu papa langsung ke luar kamar."
Sebenarnya aku bingung sama hubungan kekeluargaan anak ini. Mungkin karena tidak mengenal secara personal semua yang dia sebutkan. Aku tidak tahu akan seperti apa ke depannya, tapi berteman dengan Bona sangat menyenangkan. Anak ini ceriwis, tapi di balik itu dia menyembunyikan sisi gelap yang sangat pekat. Aku berharap, semoga saja ini kali terakhir Bona membuat masalah.
"Ma," panggil Arka.
"Arka!"
Seruan dari belakang, kontan membuat kami menoleh. Lelaki dalam balutan jas emerald berjalan tergesa mendatangi kami.
"Papa!" seru Arka senang. Bocah bertubuh gempal itu menggamit tanganku dan mengucapkan kata yang sama. Tawa bahagianya mendengung di rongga telinga. Aku bagai disengat ratusan lebah. Di sekujur tubuh. Otakku mati rasa untuk sesaat.
Laki-laki itu .... Aku meneguk ludah. It's a bad idea.
Mampus kamu, Ta!
.
.
.
Samarinda, 05 Juni 2024
Salam sayang,
BrinaBear88
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top