7. Jadi Mama Buat Bona
"Aku benci sekolah," ungkap Arka, begitu yang tertera di name tag seragam bocah lelaki tampan yang mengusikku dengan permintaan konyol; menjadi mama dadakan. Dia kuminta duduk di sampingku agar kami bisa lebih santai mengobrol. Kakinya yang menjuntai bergoyang-goyang. Entah karena gelisah atau memang bocah ini tidak bisa diam.
"Kenapa nggak suka? Padahal di sekolah bisa ketemu banyak teman. Ada ibu sama bapak guru yang ramah. Seru, kan?" tanyaku sambil terus menyelisik dirinya. Lawan bicaraku ini, meski kecil, tapi tampak menanggung banyak beban. Tidak ceria seperti anak-anak pada umumnya. Wajahnya murung, persis orang dewasa saat banyak pikiran.
Arka menggeleng. Dia menoleh, memaku diriku dengan tatapannya yang sendu. Ada kegelisahan dan ketakutan terpeta. Seharusnya tidak begitu, kan? "Kenapa anak kecil harus belajar?" tanyanya setengah merengek. Terdengar putus asa.
"Siapa bilang cuma anak kecil yang harus belajar?" Sepanjang hidup adalah proses pembelajaran, kan? Ah, mana dia mengerti!
Arka cemberut. "Selain ibu dan bapak guru, nggak ada orang dewasa di kelasku. Lagian, apa nggak aneh? Masa sudah tua sekolah?" cetusnya lugu, menyeret khayalanku pada lelaki berperut buncit dengan kumis dan cambang menghiasi wajah yang sangat atau perempuan bermuka lusuh akibat kurang tidur karena harus bergadang semalaman menunggui bayi yang rewel memakai seragam merah putih duduk di kelasnya untuk menimba ilmu. Tawaku pun menyembur, otomatis membuat bibir bocah itu makin mengerucut. "Nggak ada yang lucu, tapi ketawa. Aneh!"
Ups! Dia terdengar merajuk.
"Maaf, ya, kalau Tante bikin kamu kesal. Dan, Tante nggak bohong, kok! Orang dewasa juga belajar. Tapi ... bukan di sekolah dasar seperti kamu. Namanya perguruan tinggi. Atau lebih umum disebut universitas. Biasa juga disebut kampus. Sebelum belajar di sana, harus lulus SD dulu, terus SMP lalu SMA." Semua kosakata yang kukeluarkan bukannya membuat dia mengerti justru mengerutkan kening. Whatever! Namanya juga lagi ngobrol sama bocil.
"Tante dulu juga sekolah?"
Dengan semangat—yang sedikit dilebih-lebihkan—aku menyahut. "Iya, dong!"
"Asyik, nggak?"
Aku mengedikkan bahu. Sambil tersenyum, aku menjawab, "Begitulah!" Yah, walau kadang capek juga saat pekerjaan rumah menumpuk. Apalagi kalau gurunya killer. Masa-masa indah, yang andai bisa, ingin kembali kuulang karena hidup sebagai orang dewasa itu sangat melelahkan.
Arka mendengkus. "Pasti karena Tante nggak punya teman seperti Meredith dan Dylan."
"Memangnya Meredith sama Dylan kenapa?"
Arka melipat kedua tangannya di depan dada. "Mereka nyebelin!" cetusnya ketus. Sorot matanya menyala.
"Mereka suka gangguin kamu?"
"Mereka suka ledekin aku karena belum lancar membaca." Dia tampak sangat kecewa. "Padahal aku sudah belajar susah payah. Tapi ...."
"Tapi ... apa?" tanyaku hati-hati.
Wajah Arka memerah. Tangannya turun ke pangkuan terus mengepal kuat. Rahangnya mengetat. Kakinya yang tadi sibuk pun berhenti bergerak. "Siapa, sih, yang bikin huruf-huruf itu? Nggak kreatif banget!" Nada bicaranya meninggi. "Kenapa banyak banget bentuknya yang mirip? Aku jadi kesulitan bedainnya." Lagi-lagi dia terdengar kecewa. Sedetik kemudian bahunya melorot lesu.
Aku diam, terus menyimak curahan hatinya. Kalau disela, mungkin saja ceritanya akan terputus. Bisa jadi dia tidak nyaman lagi kalau sadar sudah banyak bercerita pada orang asing.
"Aku bosan dengar Dylan ngeledekin aku. Tiap hari. Jadinya aku pukul dia sampai bibirnya berdarah. Padahal ... seingatku, aku nonjoknya pelan aja, tapi dia nangis kayak aku gebukin. Dasar cengeng! Mulutnya itu ... kayak anak perempuan. Bawel! Meredith juga gitu. Padahal dia cantik, tapi suka banget bilang aku dungu kayak keledai. Aku benci dia."
"Kamu juga pukul Meredith?"
Arka menggeleng. "Kata Papa Bram, nggak boleh pukul perempuan. Perempuan itu harus dilindungi dan disayangi." Dia mengelap keringat dengan punggung tangan. "Tapi ... kalau besok-besok dia masih mengolok-olok aku, mungkin aku bakal bikin dia nangis juga kayak Dylan."
"Lah, tadi katanya nggak boleh nyakitin perempuan. Kok, mau bikin Meredith nangis?" tanyaku menahan gemas.
Arka berdecak sebelum menjawab, "Meredith nggak suka kalau barangnya disentuh." Sebelah bibirnya naik, membentuk seringai licik. "Aku bakal umpetin kotak bekalnya biar dia kelaparan."
Anak zaman sekarang ... kenapa gemar sekali mem-bully dan memupuk dendam, sih? Masih SD, loh, ini! Kelas satu, pula! Mau seperti apa mereka di masa depan nanti?
"Itu sebabnya kamu minta Tante buat jadi mama kamu?" Lewat cerita singkatnya barusan aku jadi tahu, tadi itu pasti surat panggilan untuk orang tua.
Seketika wajah tampan itu semringah. Sudut-sudut bibirnya melengkung tinggi. "Tante mau, kan, jadi mama aku?"
Aku menggaruk pelipis. Binar penuh harap di sepasang mata itu menimbulkan gelenyar aneh di hatiku. Aku tidak tega, tetapi di sisi lain menolak permintaannya karena tahu hal itu salah. "Kenapa nggak minta mama kamu sendiri aja yang datang? Takut dimarahi, ya?"
Arka menggeleng. Senyum tiga jarinya pudar. "Mama aku nggak ada."
"Memangnya mama kamu ke mana?" Ini pertanyaan sensitif.
"Mamaku sudah meninggal."
Ulu hatiku seperti dicubit mendengar pengakuannya. Yang punya mama seperti aku saja masih haus kasih sayang. Lantas, bagaimana dengannya? "Kalau papa kamu?"
"Papa sibuk. Semuanya nggak ada waktu buatku." Senyumnya hilang tak berbekas.
"Kalau kakek nenek, gimana?"
Arka membuang pandang. Tatapannya menerawang. "Opa hampir nggak pernah di rumah. Oma nggak suka sama aku. Dia bilang aku anak haram. Lain waktu dia bilang aku anak setan yang lepas dari neraka."
Astaghfirullah. Ada orang tua begitu? Ah, tidak jauh beda sebenarnya dengan mamaku. Hanya saja, makian mama sedikit lebih halus dan lebih ramah di telinga meskipun sama berpotensinya membuat hati terluka.
"Jadi, selama ini siapa yang ngurusin kamu?" Kalau lihat penampilannya, sih, aku yakin dia anak orang kaya. Kemungkinan pengasuhannya diserahkan pada babysitter atau asisten rumah tangga.
"Biasanya ada Mbak Inez. Tapi, beberapa bulan lalu dia pulang kampung. Kata Tante Tiv, orang tua Mbak Inez sakit. Sampai sekarang nggak balik lagi. Di rumah aku cuma sama Bik Narti."
Kasihan sekali. Aku mulai bisa memahami perasaannya. Kesepiannya. Lukanya. Anak ini hanya satu dari sekian banyak anak lainnya. Di luar sana, ada begitu banyak anak mengalami nasib serupa. Pengabaian dari orang terdekat. Secara materi mereka terpenuhi, tetapi jiwa mereka mati. Tangki cinta yang harusnya penuh, kosong melompong.
"Padahal aku punya dua papa, Bubu, Om Dokter Baik dan Tante Tiv. Tapi aku merasa mereka nggak peduli sama aku. Semuanya nggak sayang sama aku." Mendung di matanya berubah menjadi bulir hujan. Tetes demi tetes air matanya merembes. Kuraih cepat tubuhnya ke dalam pelukan. Anak ini rapuh. Dia berguncang dalam dekapanku.
"Tante mau, kan, jadi mama aku?" Sekali lagi dia bertanya. Di sela isak, ucapannya terbata.
Arka Syailendra namanya. Bona alias Bocil Merana, begitu aku akan memanggilnya. Teman baru beda usia yang ternyata nasibnya tidak kalah nelangsa.
.
.
.
Terima kasih sudah membaca dan meninggalkan jejak 😊
Btw, ada yang familier nggak sama nama-nama tokoh yang barusan disebut di atas? Pembaca lama mestinya tau, sih! 🤭
Samarinda, 29 Mei 2024
Salam sayang,
BrinaBear88
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top