5. Tidak Seindah Angan
Memang sudah jadi rahasia umum kalau di dunia ini bertebaran orang sok suci. Populasi mereka juga terus subur dari waktu ke waktu. Sedemikian menariknya, kah, hidup orang lain sehingga harus terus diamati? Apa diri mereka sudah benar-benar bersih sampai tak segan menghakimi?
Adakalanya juga mereka menjelma menjadi orang-orang munafik. Di depan tersenyum dan bertutur ramah, di belakang mereka menjadikanmu bahan gibah. Sudah lumrah. Atau bagian dari budaya yang sengaja dilumrahkan?
Kenapa juga orang suka banget punya banyak muka? Padahal satu saja susah banget merawatnya. Ah, tapi untuk yang satu itu memang nggak perlu modal skincare atau biaya besar buat perawatan di salon kecantikan, sih! Cuma perlu bermodal banyak topeng saja. Ya, topeng!
"Dulu nikah muda, sekarang jadi janda muda!"
"Cantik, sih! Tapi ... kelihatan banget sombongnya. Mungkin suaminya enek disinisin."
"Kabar burung yang beredar, suaminya nikah lagi sama daun muda. Bahkan sudah punya anak."
"Nah, bisa jadi karena perkara keturunan. Sudah lama, kan, ya, nikahnya?"
"Itu bukti kesempurnaan cuma milik pencipta. Muka boleh cantik, kulit putih bersih, lulusan perguruan tinggi, tapi ... percuma kalau mandul."
Kalimat-kalimat serupa sudah tak terhitung berapa kali menyambangi telinga. Setiap kali itu pula kutulikan pendengaran, walaupun hati panas membara. Kalau diladeni, yang ada mereka malah makin bersemangat mengata-ngatai. Aku yang rugi. Cuma buang-buang tenaga dan waktu. Sayangnya, mama tidak bisa menanggapi dengan kepala dan hati yang dingin. Sudah ribut di luar sampai jadi cibiran, di rumah mama menumpahkan semua kemarahan. Tidak hanya padaku, bahkan pada Akhyar yang tidak tahu-menahu.
"Cari pasangan hidup nanti yang benar, Yar! Jangan kayak kakakmu! Sudah nggak bisa membahagiakan orang tua, malah bikin malu keluarga." Pamit dari rumah untuk membeli mi instan dan telur, pulang-pulang mama malah mengomel.
"Memangnya Kaita bikin malu gimana, Ma?" Akhyar yang tengah menyeduh kopi instan melirikku.
"Lah, jadi janda memangnya bukan aib?" Mama menyahut dengan nada tinggi. Perempuan yang mewariskan kulit putih dan wajah cantiknya padaku itu masih menenteng kresek bening berisi belanjaan dari warung sembako Bu Yatmi.
"Mama sendiri janda, kan?" tembak Akhyar.
Mama mendengkus. "Beda, Yar! Laki-laki pengecut itu ninggalin kita karena nggak siap menanggung beban keluarga. Sedangkan kakakmu ...." Runcing tatapan mama padaku, tetapi kuabaikan. Percuma, di matanya aku selalu salah. Apalagi dalam hal ini aku memang bersalah.
Akhyar meletakkan kembali termos air panas berwarna mint di samping gelas. Dia berbalik menghadap mama yang memelotot garang sambil berkacak pinggang di ambang pintu. "Memangnya ada orang yang suka rumah tangganya kandas? Karena diselingkuhi pula. Kurasa waktu memutuskan menerima lamaran dulu, Kaita juga nggak sekalian bercita-cita untuk jadi janda, Ma."
Mungkin kalau telur sekeras batu, mama sudah melayangkan satu butir ke kepala Akhyar. Tidak peduli jika itu bisa membuat kepala bungsunya bocor dan berdarah-darah. "Susah banget, ya, ngomong sama kamu! Bela aja terus kakakmu yang nggak berguna itu!" Jawaban adikku jelas membuat emosi mama semakin tersulut. Bak pemantik menyala yang dilemparkan ke kubangan bensin.
"Lah, Kaita memang nggak salah, kok!" Akhyar tidak mau kalah.
"Kamu, ya!" Mama menggeram. Entah sadar atau tidak, kresek di tangannya diempaskan di atas meja makan hingga berbunyi 'kretek'. Kapan mama bergeser? Aku tidak melihatnya bergerak. Otakku yang kacau mulai berpikir mama punya kemampuan teleportasi. "Besar kepala kakakmu dibela terus!" imbuhnya, tak puas menyudutkanku.
"Aku curiga, bukannya papa dulu nggak siap menanggung beban keluarga, tapi karena nggak kuat hari-hari mendengar omongan mama yang tajam dan pedas itu." Akhyar terengah. Emosi telah membuatnya hilang kendali diri.
"Akhyar, keterlaluan kamu!" hardik mama. Tatapan tajamnya beralih ke Akhyar. Bola matanya terlihat ingin melompat keluar.
Dadaku berdebar kencang, tidak menyangka Akhyar bisa berucap demikian, lebih lagi pada perempuan yang telah melahirkan kami ke dunia. Sudah tahu bagaimana kerasnya mama, mengapa juga dia harus meladeni? Perang besar mungkin saja terjadi andai mama tidak memilih balik badan. Beliau pergi.
Akhyar mengembus napas, terlihat lega. Raut tegangnya luntur seketika. Dia menoleh padaku, menyuguhkan senyum tawar. Tanpa berucap sepatah kata, lelaki 19 tahun itu menatapku prihatin. Lewat sorot sendu, mata sehitam jelaga itu berucap, "Kaita harus bersabar menghadapi mama."
Selain degup jantungku, suara denting yang diciptakan sendok beradu dengan gelas berhasil mengisi keheningan yang menggigit. Akhyar rupanya melanjutkan kegiatannya sebelum beradu mulut dengan mama. Tidak berapa lama kemudian, aroma kopi yang nikmat menguar memenuhi ruangan yang tidak seberapa besar.
Sambil bersandar di tepi meja bar, memegang cangkir dengan dua tangan, Akhyar berkata, "Kurasa Kaita sudah tau kalau Bu Sofia dirawat di Rumah sakit." Dia diam, menghirup kuat-kuat aroma kopi seolah baru sadar telah kecolongan berbagi aroma yang memberi efek menenangkan ini denganku.
Aku diam menatap kompor bermata dua seolah itu benda paling indah di dunia, seraya menanti ucapan Akhyar selanjutnya. Sebenarnya, kabar sakitnya bunda—begitu aku memanggil Bu Sofia—sudah menyambangi runguku sejak beberapa hari lalu. Meskipun suaminya sendiri yang mengabari, tetapi aku yang keras kepala ini masih kukuh tidak mau menemui mereka.
"Aku nggak bisa membayangkan kekecewaan macam apa yang Kaita rasakan. Yang pasti sangat besar dan menyesakkan. Tapi ... menjadikan mereka pelampiasan pun, kurasa bukan keputusan bijak. Kita sama-sama tahu, hal itu sia-sia. Pengabaian Kaita nggak akan merubah keadaan," ucap Akhyar lagi.
Setelah berhasil menekan segala macam emosi yang berkecamuk dalam hati, aku mengangkat muka dan melihat dirinya. Pandang kami bertemu detik itu juga. Gejolak kalbuku juga terlihat di matanya, walaupun samar. Mulutku terbuka sedikit, tetapi kata-kata yang ingin kukeluarkan tidak mampu tersusun dengan benar, terus berlarian dalam benakku yang sibuk dan sesak.
"Temui mereka, paling nggak sekali ini lagi aja. Jangan sampai Kaita menyesal kalau semuanya terlambat. Jauh di lubuk hati Kaita, rasa sayang buat mereka tetap ada, kan?"
Aku tercenung. Kalimat-kalimat itu riuh di rongga telinga, berputar-putar di sana sangat lama seolah mengumpulkan tenaga buat mendobrak otakku, menghidupkan kewarasan yang tersisih sekian lama. Akhyar benar, ini bukan salah ayah dan bunda. Sekali lagi, ini salahku.
Debas keras Akhyar tertangkap pendengaranku. "Andai papa nggak pergi ninggalin kita gitu aja, takdir mungkin nggak akan menyeret langkah Kaita bertemu Bu Sofia dan Pak Ridho. Semua ini mungkin nggak akan terjadi." Pelan, tapi ucapannya terdengar sangat jelas. Kalimat terakhirnya sukses menamparku. Takdir. Inilah jalan yang harus kulalui.
Lantas, mengapa masih tidak terima, Ta?
Tepukan pelan Akhyar mampir di bahuku dua kali. Kubiarkan dirinya melangkah, meninggalkanku tepekur sendirian di dapur. Aroma kopi samar terendus hingga hilang sepenuhnya bersama perginya sosok jangkung itu.
Entah apa dosaku sampai harus menanggung kutukan ini. Demikian berat dan menyiksa, sampai aku berharap ini semua hanyalah mimpi. Mimpi buruk yang berakhir jika aku membuka mata nanti.
Tadinya kupikir, mengalah adalah jalan keluar terbaik. Kuturunkan ego-ku sedemikian rupa. Mengabaikan sayatan demi sayatan yang tertoreh pada sukma. Aku hanya ingin lepas dan bebas, menata kembali hati dan hidupku, membangun puing-puing yang runtuh meski kutahu tidak akan pernah kembali utuh. Dimulai dari perceraian ini, mengikhlaskan Mas Fatih bersama Silvia. Mendoakan kebahagiaan mereka bersama si kecil Tama dari jauh. Namun, kenyataannya tidak semudah itu. Lingkaran gelap ini terlalu erat memeluk. Lewat ayah dan bunda, sepertinya benang takdir ingin mengembalikanku pada rajutan yang terjalin bertahun-tahun lamanya.
Mungkinkah kebebasan ini semu semata? Apakah aku tidak pantas bahagia?
Aku benci kamu, Yulita Anggraini!
.
.
.
Samarinda, 21 Mei 2024
Salam sayang,
BrinaBear88
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top