3. Kedatangan Mas Fatih
Kamu di mana, Ta?
Suami sama mertua kamu di sini.
Cepat pulang, nggak usah keluyuran nggak jelas!
Mama sungkan menghadapi mereka sendiri.
Kamu ini sudah tua malah makin merepotkan!
Pesan dari mama yang masuk sebelum aku beranjak meninggalkan meja kerja bertransformasi menjadi teror mengerikan karena kuabaikan. Mas Fatih maupun mama secara bergantian memburuku. Padahal sudah nyaris empat jam berlalu, tetapi mereka seperti tidak merasakan jemu.
"Makasih banyak, Ta. Kamu sudah mau nemanin aku," ucap Nadia sambil memangku kedua tangannya. Samar senyumnya terbit, agak sedikit dipaksakan. Dia menatap lurus ke belakangku. "Pulang malam begini, nggak bakalan dicari sama Pak Misua, kan?"
Aku melirik jam perak di pergelangan tangan. Kurang beberapa menit lagi pukul sembilan. Melihat kekhawatiran di raut wajah Nadia, aku tertawa pelan. "Aku bebas ke mana pun, Na. Mau pulang jam berapa aja, nggak bakalan ada yang nyari."
Nadia tertegun. "Loh, dia ke luar kota lagi?"
Aku tersenyum sambil mengangkat bahu, tidak mengiakan, tidak juga menyangkal. Bukan tidak percaya untuk menjadikannya tempat berkeluh kesah, tetapi aku hanya belum siap buka suara. Hubungan serupa benang kusut ini masih erat memintalku. Seperti jaring laba-laba yang memerangkap seekor nyamuk. Jika nanti aku telah bebas, barulah aku akan bercerita padanya. Lagipula sekarang bukan waktu yang tepat.
"Hati-hati di rumah." Aku berpesan seraya membelai lengannya. Ponsel, charger, dan dompet sudah kembali kusarangkan ke dalam tas. "Kalau memang Kak Firman nggak menghubungi kamu, coba kamu yang hubungi duluan. Bicarakan baik-baik, dari hati ke hati. Permasalahan kalian nggak akan selesai dengan cara begini."
Wah, Ta, bijak sekali kamu menasihati! Rumah tangga kalian sama-sama bermasalah, loh! Setan dalam diriku tertawa keras. Suaranya menggema di balik batok kepala.
Nadia diam saja, tampak merenung. Aku yakin, pasti berat untuknya memulai. Selama ini aku tahu selalu dia yang lebih dulu mengajak berbaikan jika terjadi perselisihan. Dia pasti lelah. Mungkin dia pikir, untuk sekali ini saja, dia ingin Firman yang memikirkan bagaimana caranya berdamai.
"Aku nggak bermaksud menggurui. Aku peduli sama kamu. Aku nggak mau kamu terus-terusan sakit." Seperti aku. Kelanjutan kalimat itu kubiarkan terus menggantung di ujung lidah.
Nadia tersenyum lantas menghambur memelukku. "Terima kasih banyak, Ta. Aku nggak tau gimana jadinya aku kalau nggak ada kamu," bisiknya lirih. Pelukannya kubalas dengan usapan lembut di punggungnya.
Aku berpamitan. Nadia mengantarku sampai ke pintu depan. Sambil melambaikan tangan, aku mengedikkan dagu, memberi isyarat padanya untuk segera masuk dan mengunci pintu. Keadaan kompleks yang sepi membuat perasaanku tidak nyaman. Untungnya, dia langsung menuruti perintahku.
Entah ke mana suaminya menghilang. Sudah cukup lama Kafir-begitu aku lebih suka menyebutnya, singkatan asal-asalan yang kubuat-tidak pulang. Lelaki yang diperjuangkan setengah mati oleh sahabatku itu tidak lebih dari pengecut tidak tahu diri! Pecundang! Sejak dulu aku selalu mengendus ketidakberesan jika berkaitan dengan lelaki itu.
Memangnya suamimu beres, Ta? Lagi-lagi setan dalam diriku tertawa. Tawa keras dan mengejeknya kali ini membuatku mulai sakit kepala.
Baru beberapa meter kendaraanku melaju, perasaan tidak enak yang bercokol di hatiku semakin kuat meremas. Karena menghormati ibu-panggilanku untuk perempuan yang sebentar lagi akan berubah status menjadi mantan mama mertuaku-saja, aku pulang. Padahal aku begitu enggan. Bisa-bisanya Mas Fatih memanfaatkan ibu dan sengaja menempatkannya di tengah-tengah badai yang dia ciptakan dalam hubungan kami. Dasar Kepala Batu! Ah, tidak. Dia licik!
Nadia akan baik-baik saja. Mungkin malam ini dia akan kembali merasakan kesunyian, tapi besok pagi kami akan kembali bertemu dan bertukar cerita. Begitu aku mengafirmasi diri.
Di perempatan, aku menengadah sebentar. Langit malam ini gelap tanpa kerlip bintang maupun cahaya bulan. Sangat sunyi. Seperti hatiku. Sejak keluar rumah pagi tadi, langit telah berganti warna beberapa kali persis manusia ekspresif yang tidak terhalang apa pun dalam menujukkan suasana hatinya. Namun, tidak demikian denganku. Topeng yang kukenakan sejak meninggalkan ruang privasiku di rumah tidak boleh tanggal meskipun aku bertemu dengan banyak orang. Tidak hanya hari ini, tetapi setiap waktu. Tidak ada kata muram, tidak boleh ada air mata. Yulita yang ceria, tetap setia menebar senyum ke seantero jagat raya-bukan hanya senyum ramah penuh kehangatan pada orang-orang tersayang, tetapi juga senyum sinis pada semua yang mencoba mengusik hidupku- sekalipun sekujur hatiku babak belur nyaris tak berbentuk.
Sepasang muda-mudi di pinggir jalan menarik atensiku. Dari bahasa tubuhnya, sepertinya mereka tengah bertengkar. Yang lelaki berteriak lalu dibalas juga dengan teriakan oleh yang perempuan. Kira-kira, apa yang mereka ributkan? Apa setelah ini mereka memutuskan berpisah, atau malah berbaikan? Ah, kalau masih berpacaran mungkin bukan pilihan yang sulit. Andai memilih putus, tidak berapa lama luka akibat perpisahan akan cepat mengering. Lain hal apabila mereka terikat tali suci perkawinan. Ada banyak hal yang menjadi pertimbangan sebelum memutuskan bercerai.
"Sadar, nggak, sih? Kata cerai, pisah, dan sejenisnya itu nggak boleh asal ucap? Apalagi yang ngomong itu suami. Bercanda aja bisa jatuh hukumnya, gimana kalau memang ada niat?" Kalimat yang kuucapkan pada Nadia tadi siang secara ajaib berputar-putar di telingaku seperti kaset rusak. Sementara Nadia yang begitu mudah mendengar kata cerai keluar dari mulut suaminya, mengapa tidak semudah itu bagiku? Mas Fatih, sesalah apa pun dia, sesadar apa pun dia telah melukaiku, semarah atau sekecewa apa pun dia padaku, kata cerai tidak sekali pun pernah terlontar dari bibirnya.
"Jangan biarkan cinta mengaburkan logika. Bucin boleh, bego jangan. Cinta, sih, cinta. Tapi kalau cuma bikin sakit, untuk apa?" Satu lagi kalimat yang meluncur mulus dari bibirku, dan nyatanya ucapan itu tidak hanya untuk Nadia, melainkan juga untuk mengingatkan diri sendiri.
Aku yang budak cinta pada Mas Fatih sempat menepikan semua kecurigaan, bahkan sampai tabir kebohongannya tersingkap pun aku terus menyangkal. Penyangkalan demi penyangkalan yang serupa bangkai. Baunya yang busuk akhirnya membuatku menyerah karena muak.
Baru aku menepikan kendaraan, sosok tinggi nan tampan menjulang di teras rumah. Mas Fatih beranjak dari kursi bambu untuk menyambutku. Pencahayaan yang baik menampilkan dengan sempurna wujudnya. Bahkan aku masih bisa merasakan tungkaiku melemas hanya dengan melihat senyumnya yang hangat dan ramah.
"Kenapa kamu baru pulang jam segini, Moy?" Sudah lama rasanya suara berat itu tidak menyambangi runguku. Suara yang membuat rindu di relung hati terdalam menggelagak. Aku ingin berhenti, menatap wajahnya meski sesaat. Namun, keinginan itu kuredam kuat-kuat. Tanpa menyahut, aku melewatinya seolah dia mahkluk tak kasatmata. Aku terus melangkah memasuki rumah usai mengucap salam.
Mama dan ibu yang kala itu mengobrol di ruang tamu menoleh cepat. Keduanya kompak berdiri. Ibu tersenyum, sementara mama mencecarku dengan omelan. "Fatih sama Bu Fathiya dari sore nungguin kamu, loh, Ta! Kamu ke mana aja, sih, sampai jam segini baru pulang? Ditelepon nggak diangkat, di-chat juga nggak dibalas."
"Maaf, aku lembur. Jadi, baru bisa pulang setelah kerjaan rampung," kilahku yang lagi-lagi ditanggapi ibu dengan senyuman penuh pemakluman.
Berbeda dengan ibu yang kalem, mama justru kembali memberondongku. "Terus itu kenapa Fatih-nya dicuekin begitu?" Dagunya mengarah ke belakangku. Rupanya Mas Fatih mengekor. "Jangan kayak orang buta! Nggak sopan kamu, Ta!" tegurnya dengan suara melengking. Khas mama sekali.
"Lita masuk dulu. Capek banget." Aku melangkah meski mama memelototi kekurangajaranku. Tujuanku satu-satunya adalah kamar tidurku di lantai dua, tempatku selama enam bulan terakhir pulang dan melepas lelah, menanggalkan topeng kepalsuan, mengadukan keterpurukanku pada kesendirian lewat sedu sedan.
"Kalau boleh, ibu mau bicara dulu sama Lita."
Aku memejam, mengepalkan tangan di kedua sisi badan. Permintaan yang paling kuhindari terlontar sesuai dugaan.
"Ibu janji nggak akan lama."
.
.
.
Akhirnya bisa update lagi. Btw, ada yang familier sama bab yang satu ini?
Terima kasih sudah membaca 😊
Jangan lupa tinggalkan jejak ⭐💬
Samarinda, 08 Mei 2024
Salam sayang,
BrinaBear88
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top