28. Padahal Sudah Pasrah
Sudah dua hari ini Mas Dimas tidak ke kantor. Yang dia lakukan seharian hanya leyeh-leyeh bak pengangguran. Selain untuk makan, mandi, ke toilet, dan beribadah, dirinya mengurung diri di kamar. Dari ranjang, kembali ke ranjang. Entah mengapa, aku merasa dirinya tidak seperti Dimas Arisatya yang biasanya. Mas Dimas yang kukenal adalah penggila kerja dan menjadikan pekerjaan sebagai belahan jiwa. Namun, yang ini ... kenapa jadi mirip mantannya Nadia?
Dua hari lalu Mas Dimas pulang sangat larut. Dia tidak membawa mobilnya karena diantar oleh .... Sial! Aku tidak ingat namanya. Padahal Mbak Ratih pernah menyebutkan nama lelaki berparas bule itu. Hanya wajah tampan dan tubuh atletisnya saja yang menempel di ingatanku. Sama yang bening, memang susah lupa. Dasar payah!
Sudah berjam-jam lamanya Mas Dimas membaca buku yang—menurut terkaanku—isinya pasti sangat jauh dari roman picisan kesukaan Nadia. The Wealth of Nation, tajuknya saja sudah melenyapkan minat bacaku yang tidak lebih besar dari upil kolibri. Baru membaca satu paragraf saja mungkin aku sudah terseret kantuk ke alam mimpi.
Mas Dimas berdeham beberapa kali seolah ada yang menyangkut di tenggorokannya. Hebatnya, fokusnya tetap pada buku karya Adam Smith yang tengah dia baca. Semakin memperhatikan, semakin aku dibuat penasaran olehnya.
Masa iya, Mas Dimas gay? Dari perilakunya, kesehariannya, sampai caranya berpakaian, tidak sedikit pun terlihat kalau dia penyuka sesama jenis seperti yang Lida bilang. Kharismanya luar biasa. Aku tahu kalau lidah Lida berbisa dan ucapannya, apa pun itu, berpotensi besar mengandung racun mematikan. Namun, apa untungnya bagi Lida berbohong seperti itu?
Duh, Yulita ... sudah tahu begitu, kenapa masih dipikirkan? Sudah merasakan sendiri, kan, bagaimana lihainya Mas Dimas menggunakan bibir dan lidahnya untuk melenakanmu? Masih kurang cukup? Mau bukti seperti apalagi? Haruskah kamu mendatanginya sekarang? Lalu ... apa? Kamu menggali kuburanmu sendiri kalau sampai Mas Dimas bersemangat menyambut undanganmu!
Tiba-tiba saja bibir basah Mas Dimas terbayang-bayang di pelupuk mataku. Embus napas hangatnya saat menyapa lekuk leherku dan desah tertahan yang ....
Plop!
Dengan keras Mas Dimas menutup buku yang tengah dibacanya. Tindakan di luar prediksi itu membuatku terlonjak kaget hingga nyaris melepaskan gelas berisi es markisa dari genggamanku. Melihat dari keseriusannya membaca, siapa saja pasti tidak akan menyangka dengan kejadian barusan. Dasar usil! Ada masalah apa, sih, dia?
"Nggak ada kerjaan kamu, Yul?" Mas Dimas bersedekap usai meletakkan bukunya di atas nakas. "Atau ... sebenarnya lagi menunggu dikerjai?" Bibir tipis lelaki itu mengukir senyum sinis.
Kata di akhir kalimatnya penuh penekanan, seakan menantang dan terdengar sangat menggelitik, hingga tanpa sadar aku bergidik. Baru kali ini aku melihat Mas Dimas bertampang ... mesum. Padahal bukan setan, tapi betulan bikin merinding ini orang!
"Jadi, kenapa kamu lihatin aku terus?" Mas Dimas beranjak dari ranjang mendatangiku.
"Ka-kapan? Nggak tuh!" elakku gelagapan. Aku tidak pernah menyangka akan tertangkap basah. Tatapan menyelidik Mas Dimas membuatku jadi salah tingkah. Segera kualihkan pandangan pada tirai yang melambai tertiup semilir angin malam. Tengsin, cuy!
"Dari tadi malam, tadi pagi, kemarin, kemarinnya lagi, juga sejak kamu masuk ke kamar ini."
Ya ampun, ternyata selama dua hari ini Mas Dimas sadar kalau diperhatikan! Ayo, Yulita ... berpikir cepat cari jawaban tepat supaya dia tidak salah paham.
"Kamu mau nawarin aku itu?" Mas Dimas menunjuk gelas di tanganku dengan dagunya.
"Ah, iya!" sahutku bersemangat. Thanks, God! Orang secerdas Mas Dimas masih bisa berpikir positif. Dia baru saja membebaskanku dari kecanggungan. "Aku tuh dari tadi mau nawarin Mas Dimas ini. Tapi nggak enak banget mau ngomong. Kelihatannya Mas Dimas serius banget bacanya."
"Memangnya itu apaan?" Mas Dimas sudah duduk di sampingku. Demi apa, jantungku berdentam ribut seperti lesung yang beradu dengan alu.
"Es markisa soda," sahutku dengan senyum mengembang yang teramat dipaksakan.
"Heh, malam-malam malah minum es. Awas meler!" ketus Mas Dimas sambil mencubit hidungku. "Kalau meler, tidur di luar!"
"Ish, teganya!" gerutuku sambil mengusap-usap hidung dengan tangan yang dingin. Gelas es-ku sudah berpindah tangan ke Mas Dimas. Sekalian isinya ikut berpindah ke perutnya. "Loh, loh, loh, kenapa malah dihabiskan?"
"Nggak, kok! Ini masih nyisa es batu," sahutnya enteng menunjuk dasar gelas. Dia mengulum senyum jail sambil menoel-noel pipiku kala aku menanggapi ucapannya dengan bibir mengerucut. "Terus yang kemarin, kemarinnya lagi, tadi pagi, juga tadi malam, kamu ngelihatin aku kenapa?" Bukannya minta maaf dia malah kembali ke topik awal.
Dasar kutu beruang kutub!
"Kenapa Mas Dimas nggak kerja?"
"Jadi, kamu nggak suka aku di rumah?"
Mana berani aku menjawab tidak suka. Lah, ini kan rumahnya! "Mas Dimas nggak lagi sakit, kan? Atau cuma lagi malas ngantor aja?"
"Makanya ... suami itu jangan cuma dipandangin. Disentuh dong sekali-kali!"
Seketika aku mencibir. "Dih, pengin banget kayaknya di-grepein!"
Entah kesambet apa, Mas Dimas mengakak kencang. Dalam keadaan tubuh berguncang hebat, sempat-sempatnya dia menempelkan gelas di tangannya ke bibirku.
"Dingin, Mas!"
Mengindahkan protesku, dia malah berkata, "Duit aja diterawang, dilihat, diraba-raba, Yul! Masa suami sendiri nggak?"
"Aku baru tau Mas Dimas semesum ini," gumamku seraya merenggut gelas dari Mas Dimas lalu meletakkannya ke atas meja.
"Yul!"
"Hm?" Aku menoleh padanya.
"Duduk di sini." Mas Dimas menepuk pahanya. Wajahnya terlihat sangat serius dan tidak ingin dibantah.
"Nggak, ah! Kayak anak kecil aja," tolakku menahan detak jantung yang tiba-tiba tak beraturan. Dia mau apa coba?
"Yulitaaa, aku nggak lagi pengin adu urat leher yang konyol sama kamu."
Nada bicaranya bikin merinding. Jadi, walaupun segan, tidak nyaman dan ... sedikit takut, mau tidak mau tetap kuturuti perkataannya. Hamba bisa apa memangnya?
Dengan gerakan sangat canggung aku beringsut dari sofa untuk duduk di pangkuan Mas Dimas dengan kaki terbuka. Dapat kulihat dia menghela napas berat saat bobot tubuhku tertumpu sepenuhnya di pahanya. Untuk beberapa saat kami hanya saling pandang dengan tubuh menegak kaku. Khususnya aku. Mau bergerak bagaimana? Posisi ini sangat rentan. Bergesekan sedikit saja ... tamatlah riwayatku.
"Sudah berapa lama kita menikah?"
Keningku berkerut, tapi mulai mengingat-ingat. Enam September, sudah berapa lama hari itu terlewati?
Mas Dimas tersenyum. "Nggak perlu serius dihitung beneran, Yul. Aku nggak lagi ngajakin kamu belajar matematika."
Aku cuma bisa meringis. Otakku buntu banget saat ini. Fokusku cuma sama wajahnya, khususnya bibir tipis Mas Dimas yang kissable itu. Apakah memang selembut dan semanis ingatanku?
"Yulitaaa, kamu mikirin apa? Diajak ngobrol malah melamun." Mas Dimas tersenyum jail, lagi. Apakah dia tahu yang kupikirkan? Duh, Gusti! "Stay focus, Yul! Pikiran kotornya tolong dipinggirkan dulu sebentar."
Sumpah, malu banget aku!
"Kamu bahagia?" tanya Mas Dimas. Tatapannya lurus mengunci tatapanku.
"Kapan?" tanyaku berbisik. Hatiku mulai dipenuhi rasa yang ... aku bingung bagaimana mendeskripsikannya.
"Selama kita menikah."
Aku diam sesaat. Sebelum menjawab pertanyaan itu, aku menghela napas. Itu jenis pertanyaan sederhana yang jawabannya sangat rumit buatku. Semenjak kecil aku tidak tahu pasti bahagia itu seperti apa. Apa hanya sekadar bisa tertawa sudah bisa dikatakan bahagia? Andai ada standardisasinya, mungkin aku tidak akan sebingung ini.
"Jujur, aku nggak punya jawabannya." Aku meneguk ludah saat melihat bibir Mas Dimas membentuk garis datar. Dia bukannya terlihat tidak suka dengan jawabanku, tapi lebih seperti menelan kekecewaan. "Dari aku kecil sampai seusia ini, perasaan itu bias buatku," imbuhku supaya dia tidak salah paham.
Beberapa detik setelahnya, kami diam lagi. Aku suka keheningan ini. Tidak ada suara apa pun yang kudengar selain detak jantungku sendiri. Sayangnya, momen itu terlalu singkat untuk dinikmati. Mas Dimas tiba-tiba melingkarkan kedua tangannya di pinggangku lantas menarikku maju. Tubuh kami jadi semakin dekat, berimpitan seolah kami terjebak di tempat sempit.
"Maaf, karena sudah menyeretmu dalam kehidupanku yang pelik."
"Hidupku pun nggak kalah rumit, Mas."
Tawa kami pecah bersamaan. Lucu! Kami seperti sepasang manusia bermasalah yang dipersatukan dalam ikatan pernikahan.
"Kita pernah sama-sama gagal di bahtera sebelumnya. Dan, niat awalku menikahimu pun terasa salah saat ini," cetusnya dengan tatapan menerawang. Jari-jarinya di belakang tubuhku bergerak abstrak. Dia tampaknya tengah meredam kegelisahan.
Apa ... ini maksud ucapan Lida? Mas Dimas menikahiku hanya untuk status, menutupi kondisi sebenarnya yang ....
"Selama kita menikah, seiring berjalannya waktu, sekian lama yang aku habiskan cuma dengan melihatmu, memperhatikanmu, di dekatmu, aku merasa nggak butuh kamu cuma jadi ibu buat Arka."
"Aku nggak ngerti maksud Mas Dimas."
Bibir Mas Dimas bergerak-gerak seperti hendak mengucapkan sesuatu, tetapi tidak ada kata apa pun yang keluar dari mulutnya. Dari tatapannya, dia terlihat jelas sedang gelisah.
Apa ini tandanya aku sebentar lagi akan kembali menjanda? Mas Dimas mau menceraikan aku, kan? Tadi dia bilang tidak memerlukan aku lagi. Jadi ....
"Aku nggak mau kita cuma jadi pasangan di atas kertas." Tangan Mas Dimas bergerak naik. Jari-jari besarnya menyusup di helaian rambut lalu berhenti di tengkukku. Sedikit tekanan dari telunjuknya membawa bibirku bersentuhan dengan bibirnya. Lembut. Wangi. Hangat. Sensasi yang timbul saat dia menciumku ternyata tetap sama seperti saat pertama kali dia melakukannya. Entah dia yang terlalu mahir, atau aku yang terlalu lemah sampai-sampai tidak ada yang bisa kulakukan selain menempelkan telapak tanganku di dadanya. Pasrah, hanya itu yang memenuhi otakku.
"Aku sebisa mungkin berusaha menjadi suami yang baik, yang bertanggung jawab, yang memenuhi setiap harapanmu tentang seorang pelindung sebagaimana mestinya." Posisi kami sudah berubah. Tidak lagi aku mendudukinya, melainkan dia berada di atasku. Yulita, tolong sadar! Dia berada di antara kedua kakimu! Bukankah ini waktu yang paling tepat untuk menolak? Damn, lidahku terlalu kelu untuk bicara sekadar mengeluarkan kata 'tidak'!
"Yul, apa yang sudah menjadi milikku nggak boleh diusik orang lain." Mas Dimas mulai melucuti kancing piamaku. Sementara itu, aku tidak bisa berbuat apa-apa selain bergeming memandang takjub detail wajahnya yang kini tampak mengeras angkuh. Inilah sosok yang kukenal selama bertahun-tahun. Aku sangat hafal dengan ekspresinya saat ini. "Yulita Anggraini ... milik ... Dimas Arisatya."
Mas Dimas membungkuk, kusambut penuh suka cita ciumannya. Aku tidak tahu kali ini akan berakhir seperti apa. Aku hanya ingin dia tahu, bahwa aku bukan perempuan sempurna seperti yang ada di pikirannya. Entah dia kecewa, marah atau apa pun itu aku siap menanggung konsekuensinya.
"Papa ... Mama!" Di luar kamar Arka berteriak. "Aku nggak mau tidur sendiri! Aku mau tidur di sini!"
Aku dan Mas Dimas berpandangan.
"Papa ... cepat buka pintunya! Keburu Young Hee dan Chul Su tau aku masih hidup. Aku nggak mau ditembak, Pa!" Arka terus berteriak sambil menghujani pintu dengan kepalan tangannya.
.
.
.
Padahal sudah pasrah ... Eh, malah nggak jadi.
Btw, bab depan problem meruncing. Siap-siap bengong dan kesal sama jalan ceritanya.
Thanks for reading 🥰
Samarinda, 8 Februari 2025
Salam sayang,
BrinaBear88
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top