27. Lidah Berbisa Lida

Uang dua ratus juta dibelanjakan apa? Sekarang sisa berapa? Atau ... malah sudah habis dan menanti transferan selanjutnya? Please, jangan tanyakan itu padaku. Jujur, mau menggunakan uang pemberian Mas Dimas yang katanya nafkah buatku itu maju mundur sudah seperti lagu andalannya Syahrini. Belum apa-apa aku sudah takut dimintai pertanggungjawaban. Alhasil, uang itu tidak bergerak sama sekali alias masih utuh mengendap di tabungan.

"Belanjanya buat yang penting-penting aja, Moy. Sayang banget kalau sudah dibeli apalagi kalau harganya mahal, tapi malah nggak terpakai." Begitu kata Mas Fatih setiap kali membelanjakan uangnya buatku. Dulu, kuanggap itu sebagai peringatan agar aku lebih selektif memilah dan memilih mana yang memang kebutuhan dan mana yang sekadar keinginan. Sekarang, aku jadi berpikir itu wujud protes halus Mas Fatih atas sifat konsumtifku. Wajar tidak aku merasa demikian?

Sebenarnya, selama enam tahun
berumahtangga dengan Mas Fatih, dia tidak pernah membatasi pengeluaranku. Tanpa pernah kuminta pun secara rutin dia memberikan Mama uang bulanan. Hanya saja, mantanku itu lumayan cerewet kalau aku terlalu akrab sama aplikasi belanja online. Tahu, kan, kalian alasannya? Sekali klik, sat set, hanya menunggu waktu Bang Kurir atau Kang Paket sampai dan memanggil dengan mesra di depan rumah. Mas Fatih suka geleng kepala sama kebiasaanku yang satu ini. Makanya, untuk menghindari ceramahnya, kadang aku memilih orderanku diantar ke kantor saja. Lebih penting lagi, aku belanja tidak menggunakan uangnya.

Sayang sekali, kejadian mi dua ratus juta mengubah pola pikirku. Akhir-akhir ini aku jadi mulai membandingkan Mas Fatih dengan Mas Dimas. Renunganku menyeretku pada kesimpulan: Mas Fatih tidak seloyal Mas Dimas. Setelah dipikir berulang kali, ya, mereka memang beda level, sih! Konyol banget, kan, aku?

Walau awalnya tidak sedikit pun tebersit niatan membandingkan mereka, tetapi nyatanya pikiran itu muncul dan betah bertahan di otakku. Bahkan setelah berhari-hari lewat, cetusan itu enggan hengkang dari ingatan.

Ibaratnya, nih, Mas Dimas bernapas saja jadi gunung berlian. Sementara Mas Fatih harus kerja memelintir otak dan memeras keringat dulu baru bisa menghasilkan cuan. Mas Dimas yang memang keturunan sultan, jelas berbeda dengan Mas Fatih yang memulai usahanya dari nol walaupun tergolong keluarga berada. Poin terakhir, Mas Dimas tidak pernah merasakan bagaimana rasanya jadi pegawai rendahan seperti Mas Fatih di awal kariernya, karena Mas Dimas sejak awal memang didesain untuk menjadi pemimpin perusahaan.

Ya ampun, Yulita! Bisa-bisanya kamu punya pikiran jahat seperti itu. Tuhan, tolong ampuni hamba-Mu ini. Menjadi OKB alias Orang Kaya Baru ternyata berat. Ujiannya tidak hanya dari segi materi, tapi juga psikis. Sudah tahu membandingkan Mas Fatih dan Mas Dimas adalah hal yang tidak pantas, tapi tetap saja dilakukan. Pikiranku telanjur berisik hanya gara-gara uang yang bahkan tidak pernah aku lihat wujudnya.

"Astaghfirullah," ucapku sambil mengurut dada.

"Baru juga telat sepuluh menit, udah nyebut sambil ngelus dada," celetuk Nadia seraya menepuk pelan lenganku. Usai berpelukan singkat dan cipika-cipiki khas bestie masa kini, dia langsung menempati kursi di seberangku.

"Suka suuzan temannya setan, loh, Na!" selorohku dengan mimik serius.

"Aku cuma temenan sama setan, Ta. Lah, kamu malah kawin sama Raja Setan." Sejurus kemudian Nadia tergelak, mentertawakan lawakannya yang tajam.

"Heh, janda dilarang julid!" balasku pura-pura galak.

Tawa Nadia makin kencang. Aku cemberut, tetapi juga senang di waktu bersamaan. Tidak memungkiri, aku lega Nadia sudah berdamai dengan masa lalunya. Status single yang disandangnya kini adalah simbol kebebasan yang bagi sebagian besar orang merupakan aib. Aku tahu betul, berjuang melawan rasa sakit, kekecewaan dan amarah itu tidak mudah. Ditambah lagi penghianatan dan luka fisik yang Nadia terima. Berdamai dengan masa lalu juga sangat melelahkan. Namun, Nadia berhasil membuktikan kalau dia bisa melalui itu semua dengan senyum dan tawa. Dia tampak jauh lebih bahagia dengan kehidupannya saat ini. Itu yang paling penting.

"Gimana kehidupan sebagai ibu negara api? Happy, nggak? Atau capek tiap hari ngapusin notifikasi uang masuk di rekening?" tanya Nadia sesaat setelah pelayan restoran mencatat pesanannya.

"Biasa aja, Na. Nggak ada yang spesial." Kecuali duit dua ratus juta yang lagi pengin aku belanjakan mulai hari ini. Sayang banget duit segitu banyak dibiarkan menganggur. Walaupun tidak mungkin basi, takutnya tiba-tiba raib karena kejahatan digital merajalela di mana-mana. "By the way, kamu sama Pak Raihan gimana?"

"Gitu, deh! Kayak yang dia ceritain ke kamulah, pokoknya!"

"Memangnya kamu tau gimana cerita dia ke aku?"

Nadia cengengesan. "Kalau kebetulan dia ke rumah terus ngobrol sama ayah, aku suka diam-diam ngecek hapenya."

"Heh, nggak sopan banget!"

"Awalnya aku iseng doang nodong minta password hapenya, eh, malah dikasih tau. Karena penasaran, kok, bisa dia selempeng itu, tanpa babibu langsung aku coba buka, dong! Dan, taraaaa! Terbuka beneran."

"Seriusan, Na?"

Dengan semangat Nadia melanjutkan ceritanya. "Aku cek semua pesannya di What'sUp bahkan semua sosmed, tapi semuanya wajar. Nggak ada kontak yang dia simpan dengan nama aneh-aneh. Aku juga nggak nemuin aplikasi kalkulator kayak di filmnya Mas Laris sama Mbak Kanan."

"Anteng nggak dia waktu lihat kamu ngubek-ngubek hapenya?"

"Hapenya kebuka aja langsung dia tinggal main catur sama Ayah. Makanya aku berani dan leluasa buka sana-sini. Beneran memuaskan rasa penasaran yang nggak pernah kesampaian waktu sama Kafir."

"Wah, definisi cowok baik, lurus nan polos di dunia ini masih ada." Aku berdecak kagum, sekaligus menyimpan sedikit kekagetan karena Nadia menirukan sebutanku pada mantan suaminya dulu. Kafir, singkatan dari Kak Firman. Lelaki dengan sifat manipulatif dan hobi banget playing victim itu dengan mantap didepak Nadia dari kehidupannya setelah ketahuan menyimpan banyak kebohongan.

Nadia manggut-manggut. Bibirnya melengkungkan senyum bahagia khas perempuan kasmaran. Aku turut berbahagia mendengar segala kemajuan hubungannya dengan Pak Raihan. Lelaki itu jauh lebih pantas dijadikan pasangan hidup ketimbang Firman.

Pelayan datang mengantarkan pesanan. Aku dan Nadia mengucapkan terima kasih secara bersamaan. Melihat hidangan yang tersaji di meja, kami saling pandang. Dari binar matanya, aku seolah mendengar Nadia berucap, "enak banget, Ta!". Aroma masakannya saja memancing tetesan air liur.

Sambil makan, Nadia mengedarkan pandangan ke sekeliling. Saat tatapannya berhenti di wajahku, dia tersenyum. "Seriusan naik level semenjak jadi Nyonya Dimas Arisatya! Dulu mentok di kafe atau rumah makan yang harganya ramah di kantong, tapi sekarang makannya di resto bintang lima," celetuknya tanpa dosa.

Aku balas tersenyum seraya mengedikkan bahu tak acuh. "Ya kali, punya laki tajir melintir nggak dimanfaatin?" Walau bukan itu yang sebenarnya aku pikirkan.

"Sayang banget alasan Pak Dimas yang terkenal dingin mau menjadikan kamu istri  cuma sebatas menghapus status dudanya." Dari arah belakang seseorang menginterupsi obrolanku dengan Nadia, membuat kami sama-sama menoleh dan kompak tersenyum masam melihat Nyi Blorong bersedekap menantang dengan tatapan tidak bersahabat. Tumben sekali Nyi Pelet yang biasa menemaninya tidak terlihat batang hidungnya. "Fakta di lapangan, Pak Dimas lebih doyan batangan daripada kehangatan perempuan," imbuhnya sinis, tetapi penuh penekanan.

"Bisa nggak, sih, kalau ngomong jangan suka asal keluar? Nggak puas jadi biang gosip, terus nebar racun di rumah tangga orang. Hidup, kok, kerjaannya cuma numpuk dosa?" Nadia yang berperangai kalem terpantik emosi menampik tuduhan tidak berdasar Lida. Biasanya dia yang paling anti menanggapi kalau Duo Bigos menebar bisa.

Lida tertawa mengejek. "Kamu aja yang nggak tau gimana aslinya Pak Dimas, Nad. Sohib kamu yang mata duitan ini nggak bakal cerita kalau selama ini sebenarnya dia sering banget ditinggal-tinggal. Karena apa? Lakinya yang kaya raya punya orientasi seksual menyimpang dan mereka nikah cuma buat menutupi aibnya itu."

Astaghfirullah. Keterlaluan sekali! Aku meremas kuat-kuat serbet di pangkuan untuk menyalurkan kemarahan yang telanjur menyentuh ubun-ubun. Andai tidak ingat tempat, sudah kusumpal mulut pedas Lida dengan gumpalan kain ini. Namun, aku harus bisa menahan emosi. Salah-salah, keributan ini bisa saja viral. Tidak hanya aku, nama baik Mas Dimas juga jadi taruhannya.

"Terserah mau percaya atau nggak, yang jelas ...." Lida mengedikkan bahu. Bibirnya mencebik seperti bebek. Setelah melambai, dia memutar balik tubuhnya dan melenggang pergi. Perempuan berpantat tepos itu sengaja menggantung kalimatnya, meninggalkan aku yang kerepotan menghalau suara-suara di otakku yang mulai berisik mempertanyakan kebenaran ucapannya.

"Ada masalah apa, sih, dia sampai segitu jahatnya memfitnah Pak Dimas?" Nadia bersedekap dengan punggung melekat di sandaran kursi. Dari caranya melepas dan melempar serbet ke atas meja, tampak sekali kalau dia telah kehilangan minat pada hidangan yang tadi begitu menggugah selera makannya.

"Nggak tau juga, Na." Kejadian sore hari saat Silvia menyambangi kantor kembali berkelebatan di ingatanku. Apa mungkin karena itu Lida jadi dendam? Mungkinkah dia merasa dipermalukan? Namun, Lida resign atas kemauannya sendiri, tidak ada tekanan dari pihak mana pun apalagi Mas Dimas. Bahkan, dari Mbak Ratih aku tahu kalau Lida sudah kembali bekerja di perusahaan lain dengan gaji yang tidak kalah tingginya.

Mas Dimas ... karena alasan itukah kamu tidak pernah menyentuhku?
.
.
.
.
Apa kabar semua? Senang sekali akhirnya aku bisa kembali kemari. Semoga nggak pada lupa sama Kaita dan Mas Dimas, ya...
Thanks for reading 🥰
Samarinda, 13 Januari 2025
Salam sayang,
BrinaBear88

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top