26. Nonsense
Akhir pekan yang membosankan! Mas Dimas pergi sejak sebelum petang, lagi-lagi meninggalkanku dalam rasa sepi tanpa tepian. Usai menemani Arka bermain hingga bocah itu tertidur, kesepian ini makin kuat mencengkeram. Apa yang harus kulakukan untuk membunuh jenuh yang mencekam? Mungkin di dapur ada sesuatu yang bisa membuat perasaanku lebih baik. Segelas susu, mungkin. Atau ... seporsi mi instan?
Dengan malas kuseret langkah meninggalkan kamar. Sampai di dapur, tidak kusangka Mbak Narti masih belum tidur. Dia berbalik, mungkin karena mendengar langkah kakiku.
"Kenapa belum tidur, Mbak?" tanyaku seraya menarik salah satu kursi di meja makan. Gelas kosong yang selalu sedia di meja kuisi dengan air putih dari jar kaca yang juga tidak pernah absen di dekatnya.
"Saya baru selesai beres-beres di sini. Tadi habis salat isya sudah sempat tidur sebentar." Perempuan asli Jawa itu mematikan keran, cepat-cepat mengelap tangannya yang basah dengan dasternya. "Ada yang bisa saya bantu, Nya?"
"Mbak memang biasa tidur jam berapa?" Aku meminum air putihku beberapa teguk.
Mbak Narti tersenyum. "Kalau Tuan sudah pulang, biasanya saya langsung pergi tidur."
Aku tercenung. "Berarti kalau pulangnya dini hari, sampai saat itu juga Mbak Narti nggak tidur?"
Mbak Narti terkikih. "Ya, nggak juga, Nya. Lagian, Tuan jarang pulang larut malam, kok! Saya tungguin kayak begini karena khawatir Tuan perlu sesuatu. Kan, kasihan kalau nggak ada yang melayani."
Aku manggut-manggut saja mendengar penjelasan Mbak Narti. Saat pandangku membentur kompor, aku baru ingat tujuanku datang kemari. "Mbak, ada mi instan, nggak?"
"Tuan nggak pernah makan mi instan, Nya. Jadi, saya nggak pernah stok. Den Arka juga nggak begitu suka. Kadang-kadang aja kalau pas lagi pengin banget, baru beli."
Alamak! Baru kali ini aku tahu ada manusia yang tidak pernah mengonsumsi mi instan. Aneh, tapi nyata. Tanpa sadar aku berdecak-decak, heran sekaligus kagum tentunya.
"Nyonya mau makan mi? Saya bisa pergi belikan sekarang."
Aku meringis. Jangan sebut aku tidak tahu diri dengan menerima tawaran lawan bicaraku ini. "Nggak apa-apa, Mbak?" Kalau dia menolak pun, aku masih bisa pergi sendiri.
"Ya, nggak apa-apa, dong, Nya! Biasa, sih, ini memang kerjaan saya."
ART yang sehari-harinya selalu mengenakan daster panjang semata kaki itu pun memelesat pergi. Sambil menanti dia kembali, aku melanjutkan tontonanku yang terjeda tadi.
Baru beberapa menit tayang, kissing scene antara Lee Min Ho dengan Kim Go Eun—di The King: Eternal Monarch—menodai pandangan. Adegan romantis penuh penghayatan sepasang artis kenamaan itu menimbulkan desir aneh di hatiku. Padahal aku sudah berkali-kali menonton serial ini, tetapi baru sekarang perasaan asing ini menyelusup. Tak tanggung-tanggung, ingatanku langsung digiring pada ciuman Mas Dimas. Bahkan, rasa manis dan wangi mint segar dari mulut lelaki itu seakan masih berbekas.
Mungkin kita nggak akan butuh seks.
"Damn!" makiku seraya mengacak-acak muka dengan telapak tangan. Tidak butuh dari Hongkong! Nonsense-lah! Bagiku, cetusan itu tidak lebih dari isapan jempol belaka. Seks jelas kebutuhan. Mas Fatih yang punya banyak koleksi sex toys buat memenuhi hasratnya saja tetap butuh pelampiasan lain bernama perempuan. Ya, perempuan sungguhan yang bisa mengerang dan mengejang saat pelepasan.
Aku sadar, seperti bom waktu, masalah ini pasti akan meledak kalau tidak segera mendapat penanganan. Jika tidak sekarang, pasti di masa datang. Jujur saja, aku tidak lagi mau menemui kegagalan. Cinta yang saat ini tidak kami rasakan, punya harapan tumbuh dan berkembang. Entah kapan. Banyak, kan, pasangan yang tadinya tidak saling suka, tahu-tahu jatuh hati? Seperti kata pepatah Jawa, witing tresno jalaran soko kulino. Cinta hadir karena terbiasa.
"Nya," teguran Mbak Narti mengagetkanku. Dengan gelagapan, aku menghentikan film yang telah berganti adegan.
"Mau saya masakin yang mana, Nya?" tanya Mbak Narti. Wajahnya yang lusuh terlihat semakin lelah. Wajar saja, malam telah sangat larut. Jam di layar ponselku sebentar lagi menunjukkan pukul sebelas.
Dikuasai rasa bersalah, aku mengibaskan tangan. Kali ini menolak uluran tangannya. "Nggak usah, Mbak!" Cetek, sih, ini! Kalau cuma masak mi instan, bayi juga bisa, kan, ya?
"Yakin, Nya?" Mbak Narti ragu-ragu menyerahkan tas belanja berisi mi instan berbagai rasa dan beberapa kaleng minuman soda yang tadi dibelinya di minimarket sejuta umat di depan kompleks perumahan.
Saat tas belanja telah beralih ke tanganku, aku memasang senyum lebar untuk memupus keraguannya. "Aman, Mbak!" Aku mengacungkan dua jempol. "Istirahat, deh, Mbak! Biar saya yang tunggu Mas Dimas."
Mas Dimas datang di saat mi baru saja matang. Mi nyemek spesial, dengan topping berlimpah. Lelaki itu mengernyit melihat sajian di atas meja. Dia membungkuk, mengendus asap tipis yang meliuk di atas mi, terus menelengkan kepalanya sedikit ke arahku. "Kamu yang masak?"
Aku menggigit bibir. "Iya," cicitku singkat.
"Kamu sambut aku pulang, dengan ... ini?"
Heh, enak saja! Pede banget, sih, Anda!
Tanpa bicara lagi, Mas Dimas menarik kursi dan langsung mendudukinya. Sekali lagi dia memandang piring yang isinya tentu tidak tertata apik sebagaimana sajian restoran mahal yang sering dia kunjungi. "Serius, kamu nyambut aku dengan ini?"
Duh, jawab apa, dong? Bagaimana kalau dia tiba-tiba mengamuk karena aku masak makanan yang masuk dalam blacklist-nya?
Tidak menunggu jawabanku, Mas Dimas memenuhi mulutnya dengan satu suapan penuh. Disusul suapan berikutnya. Satu suapan lagi, lagi dan lagi. Dalam waktu sekejap, mi—yang sedari tadi kuimpikan mengisi kekosongan hati dan perutku—ludes tak bersisa.
"Enak ... apa lapar, Mas?" tanyaku takjub. Piring kotor kosong di depan lelaki itu seolah mengejekku.
Alih-alih menjawab, dia malah mengucap terima kasih. Bibir tipisnya mengembangkan senyum puas.
"Mas Dimas ...." Aku menunjuk perutnya yang sedikit menggunung, tidak lain tidak bukan disebabkan dua porsi mi beserta kawan-kawannya. "Bukannya Mas Dimas nggak makan mi instan?"
"Kata siapa?"
Mbak Narti.
"Kok, diam?"
Aku menggeleng.
"Nonsense, Yul! Manusia normal pasti makan mi."
Iya, saking normalnya, asal ngap tanpa tanya ini itu! Bibirku otomatis mengerucut. Sebal!
"Tidur, yuk!"
"Habis makan mana boleh langsung tidur, Mas!"
Mas Dimas mengernyit lagi, memandangku seperti aku barang langka di museum. "Kok, kamu ketus?"
Dasar tidak peka! Semua kekesalan kutelan dengan menyambar piring kotor dan—nyaris melemparkannya—meletakkannya ke bak pencucian.
"Oh, mau cuci piring dulu, ya? Aku tungguin, deh!"
Sabar, Yul, sabar .... Istri salihah balasannya surga.
"Yul, kamu nggak bosan apa di rumah terus setiap hari?"
"Menurut Mas, gimana? Aku mau kerja juga nggak dibolehin."
"Ya, pergi keluar bukan untuk kerja, Yul! Aku nggak mau aja kamu jadi bahan omongan. Imbasnya pasti ke aku juga, kan?"
Aku menghela napas panjang. Sementara mencuci piring, aku merenungkan ucapannya.
"Sini!" Mas Dimas menepuk kursi kosong di sebelahnya. "Maaf, ya?"
Aku menuruti perintah Mas Dimas, duduk menyamping berhadapan dengannya. "Kenapa tiba-tiba minta maaf?" Walaupun masih dongkol, tidak memungkiri kalau aku senang melihat dia mau makan masakanku. Meski cuma mi instan, sih! Mau memasak yang lain, aku juga tidak jago urusan perdapuran.
"Maaf karena sudah bikin kamu kesal." Mas Dimas menggiring tanganku ke pangkuannya. Jari-jariku dirangkum hangat oleh jari-jari besarnya. "Maaf karena aku sering banget ninggalin kamu di rumah. Ya, kerja, lah! Nge-gym, lah! Rapat di luar, lah! Sampai-sampai nggak ada waktu buat quality time berdua sama kamu."
Aku menyengir. Kalau sedang serius begini, dia lebih kelihatan manusiawi.
"Untuk yang terakhir, maaf karena sudah menghabiskan makan malam kemalamanmu barusan." Giliran dia yang cengar-cengir. "Kalau kamu mau makan mi, masak lagi aja. Aku tungguin sampai kamu selesai makan. Kalau mau disuapi, aku suapin, deh! Asal jangan ngambek."
Bibirku maju lagi.
Dengan tangannya yang bebas, Mas Dimas menyentuh bibirku. "Nggak mau makan, minta dicium?" Matanya mengerling jail. "Ketagihan, ya?"
"Apaan, sih?" Tuhan, wajahku panas sekali rasanya! Aku berpaling menyelamatkan pipi yang pasti merona.
Derai tawa Mas Dimas mengisi keheningan. "Aku nggak tau kamu bisa semanis ini."
Speechless. Diam adalah emas. Emas harganya mahal. Siapa tahu dengan diam, dia bakal—
"Ini!" Mas Dimas tersenyum. "Pin-nya tanggal kita menikah."
Bibirku terkunci makin rapat. Dari jutaan kata yang kupelajari sepanjang hidup, tidak satu pun berhasil kurangkai menjadi kalimat.
"Kok, malah bengong? Simpan ini, Yul!"
Aku mengerjap beberapa kali.
"Yul?" Tangan Mas Dimas bergoyang-goyang di depan mataku. "Jangan bilang kamu lihat penampakan." Lelaki itu bergidik terus menengok ke kiri, kanan juga belakang tubuhnya.
"Nggak ada apa-apa di belakang Mas Dimas."
"Terus kenapa melongo begitu? Nggak kedip sama sekali lagi! Bikin sawan aja."
"Aku cuma ...." Aku diam lagi, menatapnya. Bingung. "Ini buat apa, Mas?"
"Buat kamu jajan, lah!"
"Jajan ... apa?"
"Terserah kamu."
"Aku ...." Sebelum menikahiku Mas Dimas melunasi utang Mama pada rentenir. Tidak sedikit yang dia keluarkan karena sebelumnya aku hanya bisa membayar sebagian kecil saja. Itu pun tidak mengurangi utang pokok disebabkan bunga yang tiada hentinya.
"Kamu kenapa?" Mas Dimas balas menatapku.
"Waktu itu Mas Dimas sudah membayarkan—"
"Nggak usah ungkit masalah itu. Uang itu bukan buat membeli kamu." Mas Dimas memasukkan kartu ATM ke genggamanku. "Ini nafkah buat kamu. Uangnya bisa kamu gunakan buat membeli apa pun yang kamu mau. Skincare, make up, baju, sepatu, perhiasan. Pokoknya apa pun yang kamu mau."
Mataku berkabut. Duh, berdosa banget aku tadi mendongkol cuma gara-gara mi.
"Isinya nggak banyak, cuma 200 juta."
Dua ratus ... juta? "Ah, Mas bercandanya nggak asyik banget!"
Mas Dimas menanggapi omonganku dengan gelengan dan senyum miring.
"Sementara itu dulu. Bulan depan aku transfer lagi." Setelah diam sejenak, Mas Dimas menambahkan, "Kalau habis sebelum bulan depan, bilang aja. Kutransfer secepatnya."
Mimpi apa aku semalam?
.
.
.
Semoga nggak masalah aku slow update, karena memang begini yang aku bisa sekarang. Mohon maaf banget kalau semisal sudah jenuh menunggu, eh, ceritanya malah garing. Aku berusaha semampuku 🙏🏻
Thanks for reading 🥰
Samarinda, 30 September 2024
Salam sayang,
BrinaBear88
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top