25. Blank

Halaman belakang menjadi tempat favoritku di rumah ini. Seperti sekarang dan malam-malam yang telah lalu, tempat ini terasa begitu damai dan nyaman. Semerbak wangi melati belanda menjadi aroma alami pelepas penat dan bosan. Perdu dengan bunga-bunga cantik bergerombol itu merambat subur membentuk kanopi yang meneduhkan kala siang, sekaligus menjadi pemandangan menarik di waktu malam. Tanaman—yang menurutku—unik ini bunganya akan berwarna putih di hari pertama mekar, lalu berubah pink keesokan harinya dan berwarna merah pada hari ketiga.

Jika biasanya aku menghabiskan waktu hingga larut malam dengan membaca novel atau majalah, mendengarkan musik lewat earphone atau menonton drama di ponsel sambil selonjoran santai, malam ini aku absen melakukannya.

Secangkir teh chamomile buatan Mbak Narti serta beberapa potong brownies menjadi amunisiku menunggui Arka bermain balok susun. Di sampingnya, sepiring kudapan manis mendampinginya bermain. Sementara tangannya sibuk berkerja, mulutnya tidak berhenti mengunyah. Untuk hal kreativitas, anak ini terbilang sangat imajinatif, dan aku menyukai hasil karyanya.

Tumben sekali bocah gembul ini mau berpisah dari ponselnya. Elektronik pintar itu, kan, sudah membuatnya kecanduan sedemikian rupa, sehingga selalu berada dalam genggaman di mana pun dia berada. Namun, sejak pulang sekolah tadi Arka terus mengekoriku. Jadi, waktu langka seperti ini tidak pantas disia-siakan. Merajut kedekatan dengan anak sambungku itu pun kulakukan dengan melibatkannya dalam obrolan ringan.

"Gimana tadi di sekolah?" Pelan-pelan aku menyesap teh, menghidu aroma yang menenangkan penuh kenikmatan.

"Gitu-gitulah, B aja!" Arka menyahut tak acuh, tetapi raut wajahnya menyiratkan kesedihan. Seperti yang sudah-sudah, sekolah tampaknya belum bisa menjadi tempat yang dia suka. Sekalipun itu wadah bersosialisasi bersama teman sebaya, sekolah justru jadi momok menakutkan baginya. Jangankan kemajuan, anak ini justru terlempar jauh ke belakang. Karena hanya dia yang belum bisa membaca, dia pun masih menjadi bahan olok-olokan teman sekelasnya.

"Mama suka nggak kuenya?" Arka bertanya usai menenggelamkan sepotong besar brownies ke dalam perutnya. Itu potongan ke empat setelah sebelumnya dia menghabiskan tiga loyang kecil klappertaart.

"Suka banget! Kita mesti tanya Papa beli kuenya di mana. Jadi—"

Arka mencebik. "Ish, ini aku yang beli. Tadi pas pulang sekolah."

"Oh, ya? Memangnya kamu beli di mana?"

"Rain's Bakery." Arka bersendawa nyaring. "Semuanya buatan Bubu, loh!" Nada bangga terselip di sana. Wajahnya yang sempat murung, kini berbinar bahagia.

Aku tercenung, lagi-lagi merasa kerdil. Aku yang tidak mempunyai bakat apa-apa ini semakin terpojok oleh rasa iri yang tidak sepatutnya ada. Wajar kalau Mas Dimas masih menyimpan nama perempuan itu di hatinya. Siapa juga yang mampu dengan mudah melupakan perempuan berparas cantik dengan tutur kata santun, pandai memasak dan menjadikan dapur sebagai bagian penting hidupnya? Sedangkan aku, ke dapur cuma saat kepepet saja. Selain itu, dari cerita Mbak Narti, Mbak Raina itu tidak neko-neko orangnya. Dia juga berasal dari keluarga harmonis yang tidak aku punya. Langit dan bumi, seperti itulah gambaran singkat tentang kami berdua.

"Ma," tegur Arka. Saat aku kembali memusatkan perhatian pada anak itu, piring di sisinya sudah kehilangan seluruh isinya.

"Jadi ... tadi Arka ketemu sama Bubu?" Pelan, piringku kudorong menjauh ke tengah meja. Nafsu makanku raib entah ke mana.

Bocah itu menggeleng. Dia memainkan sendok kecil plastik yang tadi dia gunakan memakan klappertaart. "Bubu nggak ada. Kata Tante Uni, Bubu pulang cepat karena nggak enak badan."

"Siapa Tante Uni?"

"Tante Uni kerja di tempat Bubu. Dia suka kasih aku bonus tiap belanja di sana. Walaupun kalau sama Bubu, malah dikasih gratis semua. Tapi ... Papa nggak bolehin. Papa bilang, kalau aku mau jajan di tempat Bubu aku harus bayar. Soalnya aku suka kalap belanja. Ambil yang ini, ambil yang itu. Semuanya enak-enak, sih! Kalau aku nggak bayar, nanti Bubu bisa gulung tikar." Arka menerawang untuk sesaat lantas berubah cemberut. "Gimana mau gulung tikar? Gelar tikar aja, nggak! Bahkan nggak ada satu pun tikar di sana," gerutunya kesal, tidak mengerti makna guling tikar yang papanya sebutkan.

Aku terkikih mendengar celotehan polosnya.

"Ma?" Arka melepaskan satu per satu balok susun yang tadi sempat dirangkainya menjadi sebuah helikopter.

"Kenapa?"

"Mama nggak bakal kerja lagi, kan?"

Aku menggeleng. "Nggak dikasih izin sama Papa," sahutku, sedikit sedih. Sudah dua minggu ini kerjaanku hanya mengurung diri di kamar, semakin mirip pesakitan yang dibui. Bedanya, penjaraku mewah dan serbaada.

Arka manggut-manggut, tampak bersimpati. "Mama jangan sedih, ya? Kan, ada aku!" Dia menepuk-nepuk dadanya jemawa. "Aku bakal temanin Mama sering-sering, karena kita sama-sama pengangguran."

Sikap Arka yang hangat sedikit banyak membuatku terhibur. Dadaku mengembang karena rasa haru. Perhatiannya sangat tulus. Bibirku pun tidak kuasa menahan senyum. "Terima kasih, Arka Sayang."

Arka beranjak menjauhi balok susunnya dan beringsut mendekatiku. "Aku juga sayang Mama." Dia memelukku beberapa saat, menyuguhkan senyum lebar bak bintang iklan pasta gigi saat melepaskan diri, lalu merebahkan kepalanya di pangkuanku. "Mama suka makan buah, nggak?" Makin ke sini, obrolan kami makin tidak jelas arahnya.

"Suka!" Jemariku menelusuri rambut lebat Arka yang hitam berkilau. Anak itu pun memejam, menikmati yang kulakukan padanya.

"Suka buah apa?"

"Kelengkeng."

"Cuma itu?"

"Durian juga suka."

Arka memekik, "Sama, dong, kayak aku!" Dia terdengar sangat senang karena menemukan kesamaan denganku. "Habis itu suka apa lagi?"

"Kayaknya semua buah, deh!"

Arka berdecak. "Itu, sih, namanya maruk!"

"Eh, ya, nggak itu, dong!" Aku tidak terima. Agak terkejut juga dengan ucapannya. Dari mana dia belajar berkata seperti itu? Menurutku, itu ucapan kasar yang tidak pantas diucapkan anak seusianya.

"Oma suka ngomong gitu kalau aku banyak maunya."

Hatiku menjerit nelangsa. Tidak habis pikir, bagaimana mungkin ada orang tua yang berkata seperti itu, terlebih pada cucu yang merupakan darah dagingnya? Ternyata di dunia ini mamaku tidak sendiri, dan mungkin juga banyak perempuan di luar sana yang sama kerasnya dalam bertindak dan setajam itu dalam berkata.

"Arka, nggak boleh kayak gini! Arka nggak boleh gitu, ya! Makan yang ini aja! Nggak boleh minum yang itu! Jadi orang nggak boleh serakah! Dasar maruk! Anak setan nggak tau adab!" Arka berucap dengan telunjuk menari di udara, menirukan gaya bicara seseorang yang pasti sering dilihat dan didengarnya.

"Serius, Oma ngomong gitu ke kamu?"

Dari diamnya, aku tahu Arka berkata apa adanya. Matanya tampak berkaca-kaca. "Makanya aku nggak suka ketemu Oma."

"Nggak apa-apa. Kan, ada Mama," cetusku, balas menghiburnya.

Arka tiba-tiba bangkit. "Aku tidur dulu, ya, Ma." Bocah itu sekali lagi memelukku.

"Mimpi yang indah, Sayang." Kukecup sayang keningnya.

Arka berjalan gontai meninggalkanku sembari melambaikan tangan. Terlalu tiba-tiba dia pamit tidur padahal terlihat jelas dia sama sekali tidak mengantuk. Seakan-akan tindakannya itu sengaja untuk mengakhiri obrolan yang ... membuatnya teringat akan luka batin yang ingin dia lupa?

"Belum tidur, Yul?"

Belum sampai lima menit Arka menghilang, Mas Dimas datang. Lelaki itu mengenakan kaos press body seperti sengaja memamerkan otot dan perutnya yang rata.

"Mas lihat sendiri aku masih segar begini, masih juga nanya!"

Mas Dimas meletakkan tasnya di lantai. Dari pakaiannya, aku tahu dia baru pulang dari nge-gym.

"Kenapa nge-gym di luar, Mas? Bukannya di rumah ini juga ada peralatan buat nge-gym? Lengkap lagi!"

"Ya, nggak apa-apa. Sekali-kali buang duit untuk hal positif." Giliran Mas Dimas mendatangiku. Tanpa aba-aba dia berebah di pangkuanku, seperti yang tadi Arka lakukan.

Aku yang telanjur kaget, tidak bisa berbuat apa-apa selain menatapnya bingung.

"Pijatin, dong!" Mas Dimas menunjuk pelipisnya.

"Mas Dimas sakit kepala lagi?"

Dia malah menghela napas panjang. Matanya dipejamkan saat berucap, "Sedikit pusing. Tadi Bram telepon, katanya habis berantem sama Tivana."

Sambil memijat kepala Mas Dimas, aku keluarkan pertanyaan yang selama ini cukup sering mengusikku. "Sebenarnya Arka itu anak Mas Dimas, bukan, sih?"

Mas Dimas diam, membuka lagi matanya dan terus memandangku. Entah sudah berapa lama, adu tatap ini rasanya menghabiskan waktu yang sangat banyak dalam kebisuan.

"Kalau aku bilang aku nggak mungkin punya anak, apa kamu bakal menuntut cerai?" tanyanya lirih.

"Ditanya apa, jawabnya malah apa!"

Mas Dimas bangkit, langsung duduk menyerong menghadapku. Sebelah kakinya dilipat di kursi jati yang saat ini kami duduki, sedang satunya menjuntai di lantai. "Sekali lagi aku tanya, kalau aku nggak bisa punya anak, apa kamu bakal menuntut cerai?"

Aku menggigit bibir. Deru napasku sudah tidak lagi teratur. Dengan mata yang mulai berkabut, aku balas bertanya, "Kalau aku perempuan lemah, yang terus menangis sambil mengeluhkan sakit setiap kali bersenggama, apa Mas Dimas akan menceraikanku?"

Kami kembali saling pandang dalam diam. Sekali lagi jeda yang sangat panjang terentang.

"Itu alasan kalian bercerai." Jakunnya bergerak saat pandangannya turun, ke bibirku.

Aku menggeleng, tersenyum hambar. "Itu alasan dia berselingkuh." Rasanya separuh jiwaku terbang, terombang-ambing dalam dimensi lain yang tak mungkin bisa kugapai.

Mas Dimas menarikan telunjuknya di wajahku. Dari kening, berakhir di ujung dagu. Dia juga menyingkirkan helaian rambutku yang terlepas dari ikatan ke belakang telinga lantas melabuhkan tangannya tepat di tengkukku. Kepalanya bergerak mendekat, memupus jarak dengan menyapa bibirku. Mencumbu dengan lembut. Merayu tanpa menuntut.

For God's sake! Aku tidak bisa bergerak! Jangankan membalas ciumannya, aku bahkan lupa bagaimana cara bernapas!

"Kamu nggak lemah, Yul," bisiknya usai melepas pagutan. Senyumnya tenang. "Kamu hebat. Kamu kuat. Sayangnya, selama ini kamu diperalat."

Aku mengernyit, tidak paham maksud ucapannya.

"It's okay. Kita mungkin nggak akan butuh seks. Selagi kamu berdiri di sampingku, menerima semua kekuranganku, itu sudah cukup."
.
.
.
Yakin, nih, Mas Dimas nggak butuh seks? Terus nikahin Yulita buat apa, dong? Mencurigakan, gak, sih?
Thanks for reading. Jangan lupa tinggalkan jejak 💬⭐
See you di next chapter...
Samarinda, 01 Oktober 2024
Salam sayang,
BrinaBear88

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top