24. Vaginismus

Sudah lebih setengah jam melewati jam makan siang, tetapi Mas Dimas tidak kunjung datang. Janji makan bersama pun sepertinya harus dilupakan karena dia tiba-tiba menghilang. Ponselnya bahkan tidak bisa dihubungi. Lebih baik makan di rumah dengan Mbak Narti kalau tahu bakal begini.

"Jam sebelas tadi keluar sama Pak Andrew, Mbak. Nggak ada janji apa-apa, sih, sebelumnya. Mungkin mendadak juga," terang Mbak Ratih, terdengar seperti pembelaan untuk bos-nya di telingaku.

"Pak Andrew yang mana, ya, Mbak?" Aku berusaha tetap tersenyum meskipun mendongkol sampai ke ubun-ubun. Angin yang berembus dari penyejuk ruangan pun tidak mampu mengusir gerah yang memerangkap ragaku. Duh, panas luar dalam pokoknya!

"Tau, kan, bakal pewaris Galendra Group? Yang ganteng itu, loh, Mbak!"

Aku mencoba mengingat-ingat sosok yang Mbak Ratih sebutkan. Tidak banyak klien apalagi teman Mas Dimas yang kukenal. Masa aku menjadi sekretaris dulu terbilang singkat, dua bulan. Hanya beberapa—biasanya karena punya keistimewaan—yang bisa kuingat. "Yang blasteran, bukan, Mbak? Tinggi, putih, berotot kayak binaraga, terus—"

Mbak Ratih menjentikkan jarinya dengan semangat. Senyumnya merekah. "Nah, itu dia! Duh, barter suamiku sama dia juga aku mau, Mbak," selorohnya ditimpali kikik geli seperti tawa Mbak Kunti.

"Dia-nya mau, nggak, tuh?"

Mbak Ratih tergelak-gelak. Dari luar dia tampak bahagia, padahal batinnya menyimpan banyak luka. Baru beres lahiran, sebentar lagi statusnya akan berganti jadi janda muda. Padahal dia susah payah berjuang mengobati penyakitnya, suaminya yang tampak setia malah berselingkuh dengan janda kaya raya.

"Eh, Mbak Yul!" Mbak Ratih menyentilku. "Ngelamunin apa? Asyik bener kayaknya."

Aku menggeleng sungkan. Sebaiknya aku diam, daripada bilang terus terang kalau dia yang tengah aku lamunkan. "Masih sebal aku, Mbak, sama bos-mu. Bisa-bisanya dia minta bawain makan siang, tapi malah pergi nggak bilang-bilang," dustaku. Bibirku sengaja kubuat maju.

Mbak Ratih diam memandangku, tampak menyelisik.

"Kenapa, Mbak?" Caranya menatapku membuatku kikuk.

Dari panjangnya sofa yang kami duduki, dia malah semakin dekat mengimpitku. Gosip mode on, nih, bau-baunya! "Kamu sama Pak Bos nikah beneran, kan, Mbak?"

Tuh, kan! Aku menepuk tangannya. "Ya iyalah, Mbak! Masa main-main sama janji suci di depan Tuhan?" Walaupun aku tidak tahu pernikahan macam apa yang tengah kujalani saat ini.

"Berarti sudah ...." Dia menoleh kanan kiri sebelum berbisik, "Itu, dong!" Telunjuknya bergerak-gerak seperti ayam yang saling mematuk.

Keningku berkerut. Pura-pura bego aku bertanya, "Itu ... apa?"

"Nyah nyoh," bisiknya dramatis.

Aku menggeleng lemah. Sedih rasanya diingatkan soal itu. "Mas Dimas nggak menuntut soal itu, Mbak."

"Tapi ...."

Debas keras terlepas dari celah bibirku. Percuma berkilah dan menutupi seolah tidak terjadi apa-apa. Realitanya, pikiranku kusut masai. "Aku takut kalau—"

Mbak Ratih menyambar omonganku karena umpan yang diberikannya telah kutelan bulat-bulat. "Mbak, sudah konsultasi ke dokter yang aku bilang kemarin belum?" Lagi-lagi aku menggeleng. Dia berdecak. "Kenapa belum, Mbak? Masih denial?"

Melihatku menunduk murung, Mbak Ratih menggenggam tanganku. "Mbak malu karena dokternya laki-laki? Atau masih nggak percaya kalau penyakit semacam itu ada di dunia ini?" tanyanya dengan intonasi lebih lembut.

Aku mengedikkan bahu, masih menunduk tak berani mengangkat kepala dan mempertemukan pandang dengannya.

"Sekali lagi aku tanya, apa yang Mbak rasakan waktu main sama suami terdahulu?"

"Sakit." Suaraku bergetar. Getirnya ludah yang melewati tenggorokan tidak segetir kenangan yang sudah susah payah kutenggelamkan ke dasar ingatan, tetapi dengan lancangnya kembali naik ke permukaan. "Nyeri yang luar biasa." Aku diam. Bayangan masa lalu semakin sibuk berkelebatan, hilir mudik, lantas menumpuk menyesakkan pikiran. "Panas seperti terbakar ...."  Tahu-tahu pandanganku mengabur oleh genangan air yang berkumpul di kelopak mata.

"Padahal Mbak sudah rileks, kan?"

"Iya."

"Sebelumnya pemanasan, nggak?"

Seingatku aku bahkan begitu menikmati foreplay yang kami lakukan. Cumbuan Mas Fatih yang begitu lembut, membuai angan, membuatku terbang menembus lapisan awan. Sentuhan-sentuhannya yang ringan, tetapi memberi sengatan yang merajam seluruh badan. Desahan kami bersahut-sahutan di keheningan. Cairan pelumasku pun membanjir, menghantarkan undangan bercocok tanam. Sayangnya, semua kenikmatan itu harus berakhir saat pen*trasi mulai dilakukan. "Aku nggak bisa tahan sakitnya, Mbak. Badanku seperti mau terbelah saat dia mencoba masuk. Sakit yang sama sekali tidak bisa kukendalikan. Seakan ada dinding tak kasat mata menolak kehadiran benda asing 'di sana'." Suaraku semakin kecil di ujung kalimat.

"Apa dia memaksa?"

"Sama sekali nggak ada paksaan." Bibirku bergetar, teringat kekecewaan yang terpeta dengan jelas di wajah Mas Fatih setiap kali kami gagal melakukannya. Sudah begitu, dia tetap memberi pelukan hangat nan menenangkan demi membuatku lega sambil berbisik, 'It's okay, Moy. Nggak apa-apa. Jangan terlalu dipaksa. Nanti juga bisa'.

"Berapa lama kejadian kayak gitu berulang? Sering dan ujung-ujungnya tetap menemui kegagalan, kan?"

Tiga bulan pertama kami mencoba hampir setiap hari, kecuali saat tamu bulananku datang. Enam bulan berikutnya kami masih mencoba meski tidak segigih dan seintens sebelumnya. Setelah itu, Mas Fatih sama sekali tidak menyentuhku, bahkan terlihat tidak lagi berminat untuk itu. Katanya, dia tidak tega melihatku menangis menahan sakit. Hatinya yang lembut ikut terluka melihatku menderita. Boneka s*ks pun menjadi alat untuk melampiaskan hasratnya. Kupikir, itulah cara teraman menghindarkannya dari zina sementara aku—istrinya—benar-benar tidak berguna. Kenyataannya, itu tetaplah omong kosong belaka. Dia yang katanya benar-benar mengerti keadaanku, tidak menuntut haknya yang utama, pada akhirnya tidak mampu membentengi diri dari besarnya godaan lantas diam-diam mendua dan berbagi cinta. Sialnya, tidak ada yang bisa dipersalahkan selain aku.

"Mau menyangkal gimana lagi, coba, Mbak? Fix, kamu vaginismus dan harus segera berobat kalau nggak mau kejadian yang dulu itu terulang!" Mbak Ratih memvonis dengan begitu yakinnya karena aku semakin gamam ketika diserangnya dengan pertanyaan bertubi.

-***-

Sepanjang perjalanan pulang aku membuang pandang ke sisi kiri jalan. Kepalaku yang pening kusandarkan pada kaca jendela.

"Kenapa diam aja, Yul? Kamu masih marah?" Mas Dimas yang duduk di balik kemudi menyentuh bahuku. Saat aku berpaling ke arahnya, ujung telunjuknya mengelus pipiku dengan lembut.

"Pusing, Mas," gumamku, tidak berbohong. Entah ini efek makan siang yang kesorean atau akhir obrolanku dengan Mbak Ratih yang membuatku kian tertekan. Perasaanku yang sudah kacau balau, makin tak karuan.

"Maaf, ya?" Ini ke tiga kalinya Mas Dimas mengucapkan itu. Tangannya sudah ditarik kembali untuk memegang setir. Untungnya, jalan sore ini tidak terlalu padat walaupun sudah mendekati jam pulang perkantoran.

"Iya, nggak apa-apa." Mau marah pun percuma. Tenaga yang sudah hampir tiris lebih baik disimpan untuk hal yang lebih berguna.

"Gimana caranya supaya aku dimaafin?"

Aku menghela napas panjang. "Aku sudah maafin Mas Dimas. Tapi, please, kejadian kayak tadi jangan sampai terulang."

"Iya, aku janji ini yang pertama dan terakhir," janji Mas Dimas.

"Good!"

"Kalau gitu, senyum, dong!"

"Lagi sakit kepala, loh, ini, Mas! Malah disuruh senyum-senyum nggak jelas. Daripada kayak orang gila, mending aku tidur aja." Mataku menutup, telingaku—berusaha—menuli, tetapi otakku yang sudah berisik, enggan membiarkanku rehat. Kalimat Mbak Ratih terus terngiang seperti kaset kusut. Andai bisa, ingin kujangkau sumber suara itu dengan tanganku dan mengenyahkannya jauh-jauh. Sayang sekali, hal itu terlalu mustahil untuk kulakukan.

Jangan denial terus!

Kamu nggak mau, kan, gagal untuk kedua kalinya karena akar masalah yang sama? Ingat, menyesal itu datangnya selalu di belakang, Mbak!

Segera hubungi dr. Robbi di Limijati untuk konsultasi dan pengobatan.

"Istirahat, deh, Yul! Aku bangunin nanti pas sampai rumah." Mas Dimas tidak lagi buka suara. Sepanjang sisa perjalanan dilingkupi keheningan yang sungguh menyiksa.

Vaginismus. Apa memang ada penyakit semacam itu di dunia ini? Bukannya aku yang terlalu lembek dan manja?
.
.
.
Thanks for reading..
Jangan lupa tinggalkan jejak.
Samarinda, 24 September 2024
Salam sayang,
BrinaBear88

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top