23. Baper Dahulu, Jatuh Cintanya Kapan-Kapan
Mas Dimas sedang mematut dirinya di depan meja rias ketika aku keluar kamar kecil usai mengeluarkan 'ampas' sarapan pagi ini. Rambut bergelombangnya sudah disisir rapi, membangkitkan keinginanku untuk mengacak-acaknya supaya dia tidak jadi pergi. Aksi terakhir dari persiapan paripurnanya, beberapa semprotan dari parfum berharga jutaan menguar menggelitik penciumanku hingga menyesakkan dada. Bukan karena berahi yang tiba-tiba mengetuk, melainkan rasa iri yang mencapai ubun-ubun. Dia bebas berpergian ke mana saja, sementara aku terpenjara di rumah ini tanpa tahu harus melakukan apa.
"Kenapa ngelihatinnya gitu banget, Yul? Jangan bilang kalau kamu baru sadar punya suami ganteng. Karena kalau betul, terpaksa aku bawa kamu ke dokter mata. Takut aja kamu katarak." Bibirnya terangkat sebelah.
Aku menyambut ucapan narsisnya dengan cibiran. "Nggak usah kepedean, ya, Mas!" sahutku sambil duduk bersilang kaki di ujung ranjang.
Mas Dimas manggut-manggut saja, lantas kembali memandangku lewat kaca. Tak lama kemudian dia berbalik dan berdecak. "Daripada bengong, kenapa kamu nggak coba bersikap kayak istri beneran? Pakaikan aku dasi, kek! Atau bantu aku pakai jas. Hal kecil yang mungkin bisa bikin kamu kangen dan nggak sabar nunggu aku balik ke rumah."
Hoek! Demi apa Mas Dimas bicara seperti itu? Apa barusan dia merayuku? Rayuan yang payah! Memangnya selama ini siapa yang membantunya bersiap ke kantor kalau bukan dirinya sendiri? Dia, kan, sudah lama menduda. Namun, daripada berdebat, aku putuskan menuruti saja perintahnya.
"Disuruh gitu aja sudah manyun," tegurnya.
"Kenapa nggak to the point aja ngomong, 'Yul, sini pakaikan dasi sama jas'," gerutuku sambil mengencangkan dasi di kerah kemejanya.
"Kamu nggak punya dendam terselubung sama aku yang pengin dilampiaskan sekarang, kan, Yul?"
Aku mencibir, lagi. Mataku berotasi. "Kenapa Mas Dimas negatif thinking terus sama aku?"
Dia mendesis sambil menunjuk lehernya. "Kekencangan, Yul."
Oh? Aku menyengir seraya melonggarkan kembali simpul dasi yang membelit lehernya. Setelah beres, aku menyusuri dadanya dengan telapak tanganku. "Gantengnya! Suami siapa, sih, ini?" Ucapan yang diniatkan sebagai candaan, tetapi justru memberi sengatan asing di sekujur tubuh saat Mas Dimas menangkap kedua tanganku dan menggenggamnya erat. Aku menatap Mas Dimas takut-takut. Lelaki itu memandangku dengan ekspresi yang ....
"Jangan memancing di air keruh, Yul," bisiknya. Tatapan kami saling memaku. Mas Dimas meneguk ludah saat menurunkan pandang ke ... bibirku? "Bad idea, hah?" Suaranya terdengar serak.
Aku menarik diri, menjauh darinya seraya menekan dada yang nyaris meledak. Jantungku berdebar keras hingga aku merasa bisa mendengar bunyi detaknya yang mengentak.
"Mesti banget, ya, mulai kerja hari ini? Terus aku ngapain, dong, selama Mas tinggal?" tanyaku lirih, mengalihkan perhatiannya. Atau mungkin juga perhatianku. Aku merasa sangat konyol barusan.
"Kamu pengin aku di rumah aja sama kamu hari ini?"
Aku bingung harus menjawab apa. Kejadian memalukan tadi saja masih membekas dan belum mau hengkang dari ingatan. Seharian di rumah dengannya jelas ide yang buruk. Kalau kelepasan lagi bagaimana? Aku tidak sanggup mengulang mimpi buruk saat bersama Mas Fatih dulu. Walaupun aku tahu, cepat atau lambat, Mas Dimas pasti akan menuntut haknya sebagai suami. Omong kosong kalau dia sama sekali tidak punya pikiran menjamahku! Bukan sok cantik, sok molek apalagi sok seksi. Ibarat sapi, tidak akan tinggal diam, kan, melihat lapangan penuh rumput? Nah, begitu juga dirinya! Aku perempuan yang sudah sah di mata hukum dan agama untuk dia sentuh. Mana mungkin dia anggurin terus-terusan. Ya ampun, kenapa pikiranku ribet begini, sih?
"Kamu pengin keluar jalan-jalan?" Mas Dimas sudah berdiri di depanku. Hanya berjarak dua langkah. Kedua tangannya di dalam saku celana.
"Ya, nggak juga, sih," sahutku sambil memilin ujung piama. Semakin bingung saja.
"Kamu nggak mau aku tinggal kerja, tapi nggak mau keluar sendiri juga. Kamu mau kita pergi berdua? Bulan madu ...?"
"Bulan madu?" Aku membeo dengan wajah cengo.
"Iya." Mas Dimas memandangku dengan alis bertaut. "Kalau mau bulan madu—"
Dengan cepat aku mengibaskan tangan dan menggeleng panik. "Nggak, nggak!" elakku.
Mas Dimas geleng-geleng. "Aneh banget kamu, Yul."
Iya, aku memang aneh. Sudah tahu tidak bisa beraktivitas ranjang, malah nekat menerima pinangan. Sudah menikah malah pusing sendiri. Begini namanya penyakit yang dicari.
"Oke. Kalau begitu aku berangkat." Mas Dimas berbalik menuju pintu dan aku membuntuti sambil membawakan tas kerjanya.
"Mas," panggilku saat Mas Dimas bersiap naik mobil. Sebelum dia bertanya, aku lanjut bicara. "Boleh nggak kalau aku main ke kantor buat ketemu Mbak Ratih?"
"Sekalian bawa makan siang, ya?"
Aku tersenyum dan mengangguk. "Siap, Pak!" seruku memosisikan diri seperti prajurit yang memberi hormat pada komandan. "Hati-hati di jalan."
"Kalau sudah siap, chat atau telepon aja. Nanti biar Pak Samsul jemput kamu. Kita makan siang sama-sama."
Mas Dimas berpamitan sekali lagi usai menghadiahi kecupan singkat di keningku. Walaupun terasa kaku, aku senang dengan sikapnya yang manis. Dia tampak sekali berusaha menepati janjinya menjadi suami yang baik.
Aku bersyukur, setelah beberapa hari tersaput awan mendung, pagi ini Mas Dimas bangun dengan wajah dihiasi senyum cerah. Mungkin perasaannya sudah jauh lebih tenang usai bicara dengan Bram—adik iparnya—mengenai kondisi Arka. Tentu saja hal itu terjadi tanpa sepengetahuan Tivana. Perempuan yang tengah hamil trimester akhir itu bisa jadi akan tersulut amarahnya jika mengetahui sang suami mengurusi anak lain sementara dirinya tengah berjuang mengantarkan buah hati mereka ke dunia.
Sebenarnya Arka anak siapa? Pertanyaan itu masih belum menemukan jawaban. Mas Dimas masih setia bungkam dan tampak enggan memberi penjelasan. Dia juga bersikukuh bahwa ucapannya tempo hari suatu kesalahan, bukan karena keceplosan. Duh, bisa botak kepalaku memikirkan hal yang sebenarnya sama sekali bukan urusanku. Mau dilupakan, tapi, kok, mengundang rasa penasaran? Begini banget jadi kaum hawa yang diciptakan dengan kadar kepo luar biasa.
"Nyonya kenapa? Sakit kepala?" Mbak Narti tampak khawatir.
Aku buru-buru menurunkan tangan yang—baru kusadari—betah memegangi bagian yang tadi dikecup Mas Dimas. "Nggak, kok, Mbak." Keranjang anyaman di tangan Mbak Narti menarik perhatianku. "Baru pulang dari pasar, Mbak?"
Mbak Narti tersenyum, mengangkat bawaannya yang penuh sesak. "Iya, Nya. Ini buat beberapa hari. Kalau belanja banyak enak langsung ke pasar, soalnya pilihannya juga banyak."
Aku dan Mbak Narti berjalan beriringan memasuki rumah. "Rencana masak apa hari ini, Mbak?"
"Nyonya mau dibuatin apa buat makan siang?"
Sesaat aku termangu. "Mas Dimas sukanya apa?"
"Selama ini, sih, Tuan nggak pernah rewel makannya. Apa yang saya masak, pasti dimakan. Tapi yang jelas, Tuan hampir nggak pernah makan siang di rumah kecuali pas nggak ngantor kayak kemarin-kemarin."
"Siang ini Mas Dimas minta dibawain makan siang ke kantor. Katanya, pengin makan bareng di sana aja."
Dipandangi dengan tatapan heran oleh asisten rumah tangga berkulit gelap ini membuatku kikuk. Apa ada yang salah?
"Wah, kalau gitu mesti masak lebih istimewa." Mbak Narti bersemangat. "Masak rendang aja gimana, Nya?"
Tanpa terasa kami sudah sampai di dapur. Dengan gesit Mbak Narti mengeluarkan belanjaannya dan mulai memilah sesuai jenis. Sayuran hijau, buncis, kubis, daun bawang dan brokoli disimpan dalam plastik klip. Sedangkan kentang, wortel dan buah-buahan yang sifatnya lebih awet disimpan dalam wadah susun transparan berbentuk persegi panjang. Sementara perempuan di depanku bekerja, aku duduk manis memperhatikannya. "Cukup nggak waktunya, Mbak? Masak rendang, kan, lama, ya?"
Mbak Narti diam sesaat di depan lemari pendingin, sepertinya tengah memutar otak. "Kalau udang asam manis, gimana, Nya? Dimakan sama urap dan kerupuk udang, Tuan mesti suka."
"Apa aja, deh, Mbak. Yang penting sat set ngerjainnya. Soalnya saya nggak bisa bantu."
Mbak Narti tersenyum. "Nggak apa-apa, Nya. Kan, selama ini saya ngerjain semua sendiri." Perempuan itu menyusun dengan rapi bahan makanan yang telah dipilahnya tadi. "Nyonya Hana malah nggak pernah mau masuk dapur. Kayak jijik gitu. Beda sama Mbak Raina. Kalau Mbak Raina—"
Mbak Narti tiba-tiba berhenti bicara. Dia menatapku, tampak tak enak hati. "Maaf, Nya," ucapnya takut-takut.
"Lah, kenapa minta maaf, Mbak?"
"Saya kelepasan tadi. Saya—"
"Karena tadi ngomongin mantan-mantannya Mas Dimas?"
Perempuan itu menunduk. "Maaf, Nya," ucapnya lagi. Kali ini dengan suara lirih dan terdengar penuh sesal.
"Ish, nggak apa-apa kali, Mbak." Aku tertawa, terpaksa, supaya lawan bicaraku ini mengenyahkan kegelisahan dari pikirannya. Aku tidak mau satu-satunya orang yang bisa menemaniku melewati kebosanan setiap harinya menjaga jarak denganku. "Lagian mereka orang-orang dalam masa lalunya Mas Dimas. Yang satu sudah meninggal, satu lagi sudah punya kehidupan lebih baik dengan laki-laki lain, kan?"
Mbak Narti membenarkan dengan anggukan dan senyum semringah. "Saya senang ada Nyoya sekarang. Tuan nggak pernah lagi kelihatan murung. Malah beberapa bulan belakangan jadi rajin salat, berjemaah di masjid lagi. Itu mesti karena Nyonya bawa dampak positif buat Tuan, kan?"
Aku mengulum senyum, tetapi menolak mentah-mentah ucapannya dalam hati. Aku jelas tidak sehebat itu karena menurutku mengubah perangai buruk hanya bisa dilakukan oleh pribadi yang bersangkutan.
"Mbak, waktu nikahan saya, Mbak Raina datang, nggak?"
"Ada, Nya! Masyaallah tambah cantik berseri. Mbak Raina itu ...." Mbak Narti terus bercerita. Dari nada bicaranya, aku tahu dia menaruh simpati, rasa sayang dan hormat yang begitu besar pada mantan istri suamiku itu.
Mas Dimas dan masa lalunya. Sebenarnya aku tidak mau ambil pusing memikirkan perempuan bernama Raina, tapi makin ingin lupa, makin menjadi ingatan tentangnya. Ya ampun, Yulita!
.
.
.
Terima kasih sudah membaca.. jangan lupa tinggalkan jejak, ya...
See you di next chapter.
Samarinda, 17 September 2024
Salam sayang,
BrinaBear88
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top