22. Disleksia
"Tante tadi itu siapa, sih? Kok, banyak tanya? Kepo banget!"
Mas Dimas hanya menggaruk pelipis mendengar pertanyaan polos sang anak. Dari mulut yang terkatup rapat, sepertinya dia tidak berniat menjawab. Memang selama satu jam ini dirinya tidak banyak bunyi. Pikirannya pasti sedang berisik sekali.
"Tapi Tante Putri baik, kan?" tanyaku.
Arka mengangguk cepat. "Agak bawel, sih! Tapi dia ramah. Sudah gitu cantik lagi!" imbuhnya dengan wajah semringah. Keceriaannya tidak luntur sedikit pun, persis di awal perjalanan tadi. Sayangnya, berbanding terbalik dengan sang papa. Mas Dimas sejak tadi murung bagai nakhoda yang kapalnya baru saja diterpa badai.
"Iya," sahutku mengamini celotehan Arka yang sudah menyaingi semaraknya petasan banting.
Arka memakan dengan lahap burger di tangannya. Beberapa gigitan besar membuat roti berdaging itu pun berjubelan memenuhi mulutnya. "Walaupun nggak secantik Bubu, sih!"
Aku memelotot. Untung soda yang kuminum sudah tertelan sempurna. Kalau tidak, minuman itu pasti sudah membuat hidung dan kerongkonganku panas.
"Telan dulu makanannya, Ka, baru kamu bicara. Bicara saat mulut penuh itu nggak sopan." Bocah itu pun mendapat teguran dari sang papa.
Tidak secantik Bubu, tadi katanya? Aku termangu menatap Arka. Secantik apa, sih, perempuan bernama Rena itu? Eh, tadi pagi Mas Dimas bilang perempuan itu bernama Rena, kan, ya? Atau Rina? Runa? Rana? Ah, mirip-mirip itulah pokoknya! Aku jadi penasaran, kalau sama aku, apa tetap masih lebih cantik dia?
"Heh, malah melamun!" Mas Dimas menoyor keningku. Sebal! Mengganggu orang lagi merenung saja. "Nggak usah penasaran secantik apa Raina. Aku nggak mau kamu jadi membanding-bandingkan diri sama dia."
Bibirku maju lima senti. "Ish, sok tau banget deh! Kayak Mas Dimas bisa baca pikiranku aja," sangkalku. Oh, iya, Raina! Untung Mas Dimas sebut namanya! Raina. Raina. Raina. Harus kuingat betul biar nanti bisa tanya-tanya sama Mbak Narti. Dia pasti kenal sama mantan istri bosnya yang aneh ini. Eh, yang barusan kubilang aneh itu suamiku sendiri.
"Kalau mau tanya-tanya soal Raina, langsung ke aku aja. Nggak perlu jadi wartawan dadakan dengan mewawancarai Narti apalagi Tivana. "
Heh, kenapa bisa dia tahu semua yang aku pikirkan, sih?
"Tadi aku ajak ngobrol papa diam aja. Sekarang malah asyik bisik-bisik sama mama!" protes Arka, mendistraksi obrolanku dengan sang papa. Aku dan Mas Dimas saling pandang beberapa saat sebelum kembali memusatkan perhatian padanya. "Pa, Tante tadi teman Papa, ya? Kok, dia tanya-tanya gitu, sih? Kok, Papa mau temanan sama orang yang hobinya pengin tau urusan orang kayak gitu?"
"Tante Putri tadi psikiater. Kerjanya, ya, memang banyak tanya. Nah, dari jawaban-jawaban yang kamu kasih tadi, dia jadi bisa tau dan bantu memecahkan masalah kamu." Mas Dimas menjelaskan dengan sabar dan bahasa sederhana. Kalau lembut dan baik begini, dia tidak terlihat macam psikopat.
"Oh, gitu!" Arka manggut-manggut. Dia menyedot red velvet bobanya hingga habis tak bersisa. Setelah mengentakkan gelas plastik ke atas meja, bocah tampan berkulit putih itu kembali melemparkan tanya. "Memangnya aku ada masalah apa? Kok, aku nggak tau?"
Duh, polosnya anak ini ....
"Arka sudah kenyang?" Mas Dimas mengalihkan obrolan. Meskipun memberengut karena pertanyaannya tidak mendapat jawaban, bocah berbaju biru itu mengangguk. "Kita pulang, yuk!"
"Yaaah." Arka terdengar lesu. "Kenapa nggak jalan-jalan lagi?"
Mas Dimas memandangku gamam. "Kamu mau lanjut jalan-jalan, Yul?"
Aku mengedikkan bahu. "Terserah Mas Dimas aja."
Dariku, Mas Dimas kembali mengalihkan tatapan ke sang anak. "Memangnya mau ke mana lagi?"
"Taman bermain!" seru Arka semangat '45 sambil mengangkat kedua tangannya tinggi-tinggi di udara.
Mas Dimas kembali menoleh padaku. "Kepalaku masih sakit, reaksi obatnya kali ini lebih lambat dari biasanya. Kalau kamu yang nyetir sementara aku tidur sebentar, nggak apa-apa?"
Aku tersenyum maklum. "It's okay, Mas. Kalau Mas mau pulang dulu, terus aku yang ajak Arka jalan-jalan juga nggak apa-apa."
Mas Dimas menolak mentah-mentah usulanku dengan gelengan tegas. "Nggak perlu. Kita tetap jalan bertiga," putusnya.
-***-
Arka sibuk ke sana kemari mencoba satu demi satu wahana permainan sementara aku dan Mas Dimas menunggu—tentunya sambil mengawasi—anak itu dari pusat jajanan. Karena melihat papanya masih tampak lemas meskipun sudah beristirahat sepanjang perjalanan, Arka sama sekali tidak keberatan harus main sendirian.
"Yul," panggil Mas Dimas. Saat aku menoleh, rupanya dia tengah menatapku. Aku tahu dia gelisah dari sorot matanya yang sendu.
"Kenapa, Mas? Kepikiran kata dr. Putri tadi, ya?"
Mas Dimas menggumam mengiakan. "Aku nggak tau gimana ke depannya kalau Arka beneran disleksia seperti yang dr. Putri bilang. Aku merasa nggak cukup sabar buat menghadapi anak kecil, apalagi dengan kondisi khusus seperti itu," paparnya lesu.
Kuelus pundaknya memberi semangat. "Mas nggak sendirian, kok! Kan, ada aku. Kita pasti bisa membimbing Arka kalau bekerjasama. Seperti kata dr. Putri tadi, walaupun menyebabkan penderitanya mengalami kesulitan belajar, tapi disleksia sama sekali nggak memengaruhi tingkat kecerdasan."
"Disleksia ...." Mas Dimas menerawang.
dr. Putri mengatakan bahwa masih terlalu dini menyimpulkan kesulitan belajar yang Arka alami karena disleksia. Diperlukan lebih dari sekali sesi konsultasi dan tidak menutup kemungkinan dokter berkerudung itu—nantinya—memberi rujukan ke psikolog anak atau dokter spesialis tumbuh kembang anak.
"Sudah, jangan terlalu dipikirkan. Kita jalani aja dulu." Aku berusaha menghibur Mas Dimas sebisaku. Dia membalasku dengan senyum tipis yang sangat kaku. "Jangan sampai Mas Dimas sakit karena menjadikan masalah ini beban pikiran," ucapku mengingatkan.
"Aku sedang mempertimbangkan, baiknya kondisi Arka ini aku simpan aja atau mesti dibagi sama Tivana dan suaminya?" Kerut di sepanjang kening lelaki itu terpahat jelas, tanda dia tengah berpikir keras. "Sebagai ayah biologis Arka, Bram perlu tahu kondisi anaknya. Apalagi dia seorang dokter, yang sedikit banyak—mungkin— tau tentang penanganan yang tepat untuk anak penderita disleksia. Tapi ... aku mengkhawatirkan kondisi Tivana. Beberapa bulan terakhir, kentara sekali dia menjauhi Arka. Bahkan dia menutup rapat-rapat akses komunikasi mereka. Rasa bencinya sama Arka membabi-buta dan nggak jelas juntrungannya."
Giliran aku yang mengerutkan kening. Ada yang janggal dari cerita Mas Dimas barusan. "Gimana, sih, Mas? Aku jadi gagal paham, deh!"
Mas Dimas berdecak. "Gagal paham apanya, Yul?"
"Arka ... anak siapa?"
Wajah Mas Dimas mendadak kaku. Tubuhnya menegak beku. Lelaki berhidung mancung itu lantas mengibaskan tangannya di depan wajahku. "Forget it, Yul! Omonganku mulai ngawur karena sakit kepala kayaknya." Dia berpaling menghindariku.
Kenapa Mas Dimas jadi tegang begitu? Intuisiku mengatakan, dia sedang menyembunyikan sesuatu dariku.
.
.
.
Insyaallah besok kita akan ketemu Mas Dimas versi Red Flag garis keras, ya.. jangan lupa siapkan hati dan obat tekanan darah tinggi supaya tetap nyaman mengikuti alur cerita Dimas-Raina yang (Tak) Sempurna.
See you there, Guys 👋😊
Thanks for reading....
Samarinda, 10 September 2024
Salam sayang,
BrinaBear88
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top