21. Jalan-jalan Bertiga

"Pagi, Nyonya," sapa asisten rumah tangga berdaster katun semata kaki. Kami pernah bertemu saat aku mengantarkan Mas Dimas tempo hari. Sayangnya, kami tidak sempat berkenalan saat itu. Bukan karena dia tidak acuh, tetapi aku yang pergi secara terburu-buru.

"Pagi, Mbak ...." Aku membalas sapaannya. Sengaja kugantung kata terakhir, berharap dia segera memperkenalkan diri.

Mengembang senyum di wajah perempuan itu. "Saya Narti, Nyonya." Dia menangkap jelas maksudku.

Kubalas senyumnya. "Masak apa, Mbak?" Aku celingukan, mencari-cari sesuatu yang mungkin bisa kukerjakan.

"Nasi goreng seafood, Nyonya. Pesanan Tuan sebelum berangkat ke masjid tadi. Kalau Nyonya nggak suka atau alergi sama makanan laut, saya bisa buatin yang lain. Nyonya mau dimasakin apa?"

Aku menggeleng sambil meringis. Baru sehari masa sudah bertingkah? Sok banget minta dibuatkan ini itu mentang-mentang sudah jadi nyonya. Nyonya ... by the way, panggilan itu sedikit menggelitik di telinga. Terasa sangat asing, tapi—herannya—aku suka. Duh, sepertinya aku mulai 'bergaya' semenjak jadi istri orang kaya. Padahal saat masih berstatus istri Mas Fatih, dia sengaja tidak mempekerjakan asisten rumah tangga. Semua kami kerjakan bersama, walaupun kebanyakan Mas Fatih yang mengerjakannya. Biar lebih mesra, katanya. Pun katanya, dia lebih nyaman kami hanya berdua. Rahasia rumah tangga aman terjaga.

"Saya nggak ada alergi, kok, Mbak. Itu aja sudah cukup," jawabku akhirnya. "Ada yang perlu dibantu, nggak?" Sebenarnya, dapur dan aku punya hubungan yang kurang baik sejak lama, tapi sepertinya mulai sekarang aku harus mulai membiasakan diri akrab dengannya. Apalagi keinginanku lanjut mencari kerja ditolak mentah-mentah oleh Mas Dimas, resmi menjadikanku full ibu rumah tangga. Mau tidak mau, suka tidak suka menuruti titah suami wajib hukumnya.

"Semua sudah siap, Nyonya." Mbak Narti menunjuk meja makan dengan ibu jarinya. Ada nasi goreng yang mengepulkan asap tipis, ayam dan udang goreng krispi, stoples kerupuk, secangkir kopi, segelas susu dan secangkir teh. Kurasa kopi untuk Mas Dimas, susu untuk Arka dan teh buatku. Ada juga roti tawar dengan berbagai selai. Wih, kalau begini, berat badanku yang dulu bisa-bisa cepat kembali.

"Ma," panggil Arka. Bocah itu tiba-tiba muncul di depanku sambil mengucak mata. Di saat jam dinding sudah menunjukkan pukul 06.35, tubuh gempalnya masih berbalut piama.

"Ya Tuhan, Den Arka kenapa belum siap pergi, sekolah? Padahal sudah Bibi bangunin dari tadi, loh!" Mbak Narti terdengar panik. Dia memegang pundak Arka sambil berucap, "Ayo, Bibi bantu siap-siap. Sementara Den Arka mandi, biar Bibi yang—"

"Aku nggak mau sekolah," ucap Arka lirih lantas melingkari kakiku dengan kedua tangannya. Dia menengadah, mengerjap-ngerjap penuh harap. "Aku mau di rumah aja sama Mama."

Ucapan Arka menyentakku. Hari masih pagi, bocah ini malah memulainya dengan membuat masalah. Aku mulai mengkhawatirkan 'keselamatannya'. Pengakuan Mas Dimas tentang sifatnya yang temperamental membuatku khawatir kalau-kalau menu sarapan pagi ini berganti secara tiba-tiba. Nasi goreng seafood jadi sup iga Bona. Psikopat begitu, kan, ya?

"Den Arka jangan drama lagi, dong ...." Mbak Narti memelas. Dia tampak kentara menahan cemas.

"Kenapa nggak mau sekolah?" tanyaku seraya berjongkok, memosisikan diri agar pandanganku setara dengan Arka.

Arka menggeleng lemah. Mulutnya yang bau naga karena belum sikat gigi itu baru terbuka hendak bicara saat Mas Dimas datang. Duh, mati belanda!

"Kamu bikin masalah apa lagi di sekolah?" Mas Dimas bertanya sambil menempati kursi di ujung meja, tepat di depan cangkir kopinya. Suara dan ekspresinya, sih, tenang. Namun, siapa yang tahu apa isi kepalanya sekarang?

Arka mengerut dan langsung memosisikan diri di belakang tubuhku meminta perlindungan. "Nggak ada, Pa," cicit Arka, mengundang rasa curiga.

Tatapan Mas Dimas meruncing. Alarm tanda bahaya di kepalaku langsing berbunyi nyaring. Senyum miring lelaki itu membuatku merinding.

"Miss Annisa chat Papa Sabtu kemarin. Dia bilang kamu 'diliburkan' selama tiga hari karena berantem sama Faraz dan menolak minta maaf. Kamu juga berani meneriaki Miss Anne saat guru kamu itu melerai pertengkaran kalian. Nah, sekarang Papa mau dengar cerita versi kamu. Kenapa jadi bertengkar sama Faraz? Apa yang kalian ributkan? Dan, kenapa meneriaki Miss Anne?"

Arka mencengkeram ujung kausku. Dapat kurasakan ketakutannya walau tidak melihat langsung dirinya. "Arka ...." Dipanggil demikian saja oleh sang ayah membuat cengkeramannya kian kokoh.

"Mas, apa nggak sebaiknya kita sarapan dulu? Kalau perut sudah terisi, pasti ngobrolnya bisa lebih tenang." Aku memberanikan diri memasuki obrolan ayah-anak ini meskipun sadar atmosfer mencekam kuat mengelilingi di sekitar kami.

Mas Dimas menatapku. "Kamu lapar, Yul?" tanyanya seraya menyesap kopinya. Dari mata lelaki itu, mataku turun sedikit ke tangannya. Aku waspada tingkat dewa. Dalam benakku sudah terbayang cangkir kopinya melayang untuk melukaiku dan Arka. "Ayo, kita sarapan," ajaknya setelah menghela napas panjang.

"Serius, Mas?" tanyaku tak percaya.

Mas Dimas berdecak. "Apanya yang serius, Yul?"

"Aku boleh makan?"

Mas Dimas mengangguk.

"Arka juga?" tanyaku lagi.

"Iyaaa."

"Mas Dimas makan juga, kan?"

Mas Dimas berdecak lagi. "Ini kapan makannya kalau ngobrol terus? Aku juga sudah lapar ini."

"Arka beneran boleh ikut makan, Pa?" Takut-takut Arka bertanya.

"Iya. Tapi, habis itu kamu harus jawab semua pertanyaan Papa soal kejadian di sekolah Jumat kemarin."

"Siap, Pa!" Ketakutan si Bona sirna. Dengan penuh semangat anak itu menarikku menuju meja makan. Piring yang tadinya kosong langsung berisi makanan yang sangat banyak. Mungkin hampir setara porsi orang dewasa.

Mbak Narti sudah lebih dulu ngacir setelah mendapat isyarat dari Mas Dimas. Perempuan itu tampak sedikit linglung, tetapi tidak bisa menyembunyikan raut leganya.

"Makannya pelan-pelan. Nanti kamu tersedak." Mas Dimas menegur Arka. Sementara itu, aku mulai menjalani peranku sebagai istri yang baik. "Makan yang banyak, Yul. Habis ini kita jalan-jalan bertiga."

Mampus kamu, Ta! Demi apa ... jangan-jangan ini bakal jadi santapan terakhirmu.

-***-

Mas Dimas sama sekali tidak mau memberitahu ke mana kami akan pergi pagi ini. Bahkan sepanjang perjalanan dia tidak sedikit pun membuka mulutnya. Mobil terus melaju melewati banyak jalan, tetapi tetap tidak memberiku sedikit pun clue ke mana tujuan kami sebenarnya. Jantungku berdetak kencang, perutku melilit dan otakku terus ribut dengan berbagai kemungkinan. Aku meliriknya, dia menyetir dengan satu tangan sementara tangan lainnya bertumpu di kaca dan sibuk memijat pelipisnya.

Di kursi belakang, Arka sibuk dengan gawainya. Apalagi kalau bukan main game online kesukaannya? Usai menceritakan semua pada sang ayah, anak itu terlihat lega luar biasa. Persis narapidana yang kembali menghirup udara bebas setelah bertahun-tahun melewati masa hukuman di dalam penjara. Sementara Mas Dimas tampaknya ....

"Sakit kepala, ya, Mas?"

Mas Dimas berdeham mengiakan. Sudah, begitu saja! Sepertinya berniat kembali pada aksi tutup mulutnya.

"Sudah minum obat, belum?"

"Nanti aja. Selesaikan urusan ini dulu," sahutnya.

"Memangnya kita mau ke mana, sih, Mas?"

"Sebentar lagi sampai, Yul." Tepat setelah itu mobil berbelok menuju sebuah rumah. Atau ... klinik? Plang yang tertera membuatku mengernyit. Untuk apa kami ke sini?
.
.
.
Ke mana ya Mas Dimas bawa Yulita dan Arka? Ada yang bisa tebak?
Btw, ada nggak yang mau kenalan sama Mas Dimas lebih jauh? Mengenal sosok dia di masa lalu gitu. Kalau banyak yang jawab 'mau', mulai Minggu depan bakal aku republish cerita (Tak) Sempurna di sela-sela apdetan cerita ini.
Thanks for reading, Guys...
See you di bab selanjutnya...
Samarinda, 03 September 2024
Salam sayang,
BrinaBear88

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top