2. Riuh Bergemuruh
Jam digital di atas nakas menunjukkan pukul 03.21 saat aku terjaga. Dengan susah payah aku membujuk mataku agar kembali terpejam, tetapi seluruh organ di tubuhku sepakat menolak mentah-mentah usulan itu. Meskipun letih luar biasa, akhirnya kuputuskan untuk bangun dan menjauhi pembaringan yang dingin nan sunyi. Kupikir, segelas teh atau susu hangat akan membuatku lebih rileks sambil menanti datangnya pagi.
Sesampainya di dapur, bukannya menyeduh teh atau susu, yang kubuat justru kopi hitam pekat tanpa tambahan apa pun. Tidak gula, tidak juga krimer. Herannya, aku tidak merasakan pahit sama sekali. Lidahku seolah kebas, seperti hatiku. Tidak masalah sebenarnya. Toh, pahitnya tidak sebanding dengan kenyataan yang telah menghantamku bertubi-tubi selama setahun terakhir.
Gelas dalam genggaman telah tandas isinya, hanya menyisakan ampas di dasar gelas. Mataku kian bugar, tetapi semangatku menjalani hidup tetap ambyar. Patah hati rupanya memang semenyakitkan ini. Bak pepatah, "hidup segan, mati tak mau".
Wajah tampan berhias senyum Mas Fatih tiba-tiba kembali menyapa ingatan. Dengan tidak tahu dirinya bayangan lelaki itu nongkrong di otakku, betah berlama-lama dan terus hilir mudik seperti seterikaan. Makin aku menepis, makin kuat dia bercokol hingga air mata pun gugur tak mampu kutahan.
"Kaita?"
Punggungku menegang. Lagi-lagi Akhyar hadir di saat yang tidak tepat seolah dia telah beralih profesi menjadi CCTV berjalan yang memantau gerak-gerikku. Andai tak ada ruang privasi, mungkin dia akan terus berada di sekitarku seperti bumi yang mengitari matahari.
"Kaita ngapain pagi buta duduk di sini?"
Aku mendengkus sebelum mendongak, menyapanya dengan nada ceria yang dibuat-buat. "Pagi, Dek." Aku tidak berminat memberi penjelasan tentang keberadaanku dan apa yang kulakukan di sini.
Sebelum membalas sapaanku, Akhyar menarik kursi di sebelahku lalu mendudukinya. Dia sengaja memosisikan diri agar kami duduk berhadapan. Dari jarak sedekat ini pasti akan mudah baginya menyelisik wajahku yang kuyu. Sial! "Kaita baik-baik aja?" Dengan sangat lembut dia membelai pipiku. Tampak kekhawatiran dalam sorot matanya. Aku benci mengakui, rasa iba yang mengendap di sana menyayat hatiku. Tatapan yang membuat keinginanku untuk mengakhiri hidup dengan melemparkan diri ke jurang atau menenggak jus mangga bersianida membesar dari waktu ke waktu.
"Kakak baik-baik aja," sangkalku.
"Kaita habis nangis, kan?"
Tadinya kupikir minimnya penerangan akan menyembunyikan jejak tangisku. Sialnya, Akhyar terlalu jeli. "Kakak kelilipan," kilahku lagi sambil menunduk. Dengan telapak tangan aku menghapus kasar kedua pipi. Setelahnya aku mendongak, mempertemukan tatapan dengannya seolah itu cukup untuk memberitahunya aku baik-baik saja.
Akhyar tertawa pelan. Tawanya terdengar tawar. "Nggak perlu berbohong buat menutupi perasaan Kaita. Apalagi dengan nyebutin alasan klasik kayak gitu. Aku bukan bocah tiga tahun yang gampang dibohongi."
Aku menunduk lagi, menghela napas panjang. Topik obrolan ini sangat menyiksaku.
"Ingat bajingan itu lagi?" Akhyar mendekatkan wajahnya ke wajahku, menyipitkan mata untuk menyelisik ekspresiku kian dalam. "Untuk apa, Kak? Kaita nggak lagi mikir mau ngasih kesempatan buat dia kembali, kan?"
Dicerca demikian, aku terus bungkam. Dengan sengaja aku mengalihkan pandang dari mata sekelam malamnya pada gelas kopi di atas meja.
"Jangan bilang kalau Kaita mau mengubah keputusan seperti yang Mama sarankan."
Aku menghela napas panjang. "Kakak sama sekali nggak mikir begitu."
"Justru harusnya kamu mempertimbangkan saran yang mama kasih." Mama menyela. Entah sejak kapan beliau mendengarkan obrolanku dengan Akhyar. "Nggak ada salahnya poligami, Ta. Lagian, bukan kamu sendiri di dunia ini yang ngerasain dimadu. Selagi dia terus memberi nafkah-"
"Ma!" Akhyar memotong ucapan Mama.
"Apaan, sih, Yar?" Mama memelototi adikku yang kini telah berdiri dengan kedua tangan terkepal.
"Mama perempuan juga seperti Kaita. Apa Mama nggak bisa sedikit aja menunjukkan rasa simpati? Ucapan Mama barusan seolah menyepelekan kejadian buruk yang Kaita alami. Harusnya Mama paham gimana hancurnya hati Kaita. Laki-laki bajingan itu sudah selingkuh, Ma! Menantu kebanggaan Mama itu bermain api di belakang Kaita!"
"Memangnya kejadian buruk apa yang kakakmu alami, hah?"
"Serius Mama tanya begitu?" Akhyar bertanya dengan nada tinggi. Terlihat dadanya turun naik menahan luapan emosi.
"Itu imbas dari ketidakbecusan kakakmu aja dalam merawat dan memanjakan suami. Makanya Fatih nikah lagi." Mama tak mau kalah.
Aku memejam rapat-rapat. Kalimat demi kalimat yang terlempar baik dari mulut Akhyar maupun mama berputar-putar di lorong telinga lalu menggema di otakku, membuat suasana di sana lebih riuh dari sebelumnya. Bagai pesta yang meriah, tetapi ini dalam konotasi buruk. Suara-suara itu terlalu bising hingga membuat kepalaku berdenyut-denyut. Ulu hatiku pun ikut merasa nyeri.
"Memang dasarnya dia bangsat, ya, bangsat aja, Ma! Nggak perlu menyalahkan Kaita atas kebejatan laki-laki itu. Selingkuh jelas bukan kekhilafan. Orang yang selingkuh itu bisa dipastikan seratus persen sadar sama perbuatannya," cerocos Akhyar menggebu seolah tidak memedulikan siapa lawan bicaranya.
"Kamu tau apa, sih, Yar, perihal rumah tangga? Bocah kemarin sore nggak perlu terlalu jauh mencampuri urusan orang dewasa." Telunjuk Mama menancap di dada Akhyar, memberi penekanan lebih pada setiap ucapannya.
Akhyar terpingkal-pingkal sambil menepuk jidatnya. "Kalau aku yang 19 tahun Mama sebut bocah, lantas apa sebutan yang pas buat pelakor itu, Ma? Dia bahkan-"
"Nggak ada asap kalau nggak ada api. Coba tanyakan sama Kakak kamu, gimana pelayanannya selama menjadi istri Fatih? Apa sudah cukup dia memberikan waktu dan perhatian? Apa kebutuhan perut suaminya terpenuhi dengan nyaman? Apa dia sudah memuaskan suaminya di ranjang? Apa dia-"
"Cukup!" jeritku sambil menutup telinga dengan telapak tangan. "Cukup!" Aku mundur beberapa langkah untuk mencari sandaran. Namun, dinding yang kutuju pun seolah bergerak menjauh, tak tersentuh. Akhirnya aku meluruh di lantai. Air mataku jatuh dengan lancang sekalipun sudah kutahan mati-matian.
"Kaita," kata Akhyar menyentuh pelan bahuku. Suaranya bergetar.
"Tolong, jangan bicara apa-apa lagi," pintaku mengiba sambil mengatupkan tangan di depan dada. Aku tidak sanggup lagi mendengar perdebatan mereka. Sementara ucapan-ucapan mama yang menyudutkanku itu menancap bak hunjaman pedang di hatiku dan membuat luka tak berdarah di sana semakin perih, pembelaan Akhyar tidak sedikit pun membuatku merasa lebih baik.
Mama mendengkus. Sebelum berlalu, dengan ketus beliau berkata, "Kamu mesti pikirkan baik-baik, Ta. Kalau kamu melepas Fatih, apa kamu bisa dapat yang lebih baik segala-galanya dari dia? Apa ada jaminan di masa depan kamu nggak akan diselingkuhi lagi? Jangan termakan emosi sesaat. Banyak-banyak introspeksi diri. Kesalahan itu pasti sebagian besar bermula di kamu!"
Ya, kesalahan itu memang bermula dariku.
.
.
.
Thanks for reading..
Jangan lupa tinggalkan jejak 💬 ⭐
Samarinda, 04 Mei 2024
Salam sayang,
BrinaBear88
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top