19. Malam Pertama

Belakangan, aku merasa hari demi hari berlalu dengan begitu cepat. Hari ini, tepat seminggu setelah masa iddahku usai, aku menikah lagi. Orang-orang bilang, ini nikah kilat. Pernikahan yang jelas mengundang berbagai macam spekulasi. Namun, Mas Dimas selalu meyakinkanku untuk bersikap tak acuh. Pun katanya, 'jalani saja, nggak perlu banyak mengeluh'. Di mana-mana, bicara memang jauh lebih mudah dari praktiknya. Sekuat apa pun aku ingin abai, hatiku dibebat oleh banyak rasa yang sukar diurai.

"Melamun aja kamu, Yul. Awas kesambet tuyul!" tegur Mas Dimas. Lelaki itu baru selesai mandi. Dengan hanya mengenakan selembar handuk yang menutupi setengah bagian tubuhnya, dia melenggang santai melewatiku menuju walk in closet.  Semerbak aroma maskulin dengan lancang menggelitik penciuman, kontan menimbulkan perasaan aneh yang memelintir perut dan mengganggu kinerja otakku.

Aku memutar bola mata, berusaha mengabaikannya dengan kembali menikmati pemandangan langit malam lewat jendela yang terbuka lebar. Sayangnya, bayangan Mas Dimas yang shirtless berlarian dengan riang gembira di benakku. Lebih sial lagi, wangi khas lelaki itu betah mengendap di rongga dada dan berhasil membuat jantungku mati rasa.

Aku kenapa, sih? Pemandangan barusan, kan, biasa! Dia bukan satu-satunya lelaki yang pernah kulihat bertelanjang dada. Mas Fatih, contohnya! Akhyar juga. Selain itu ada ayah yang hobi sarungan sambil main burung di taman belakang rumah. Mereka semua bertelanjang dada, tetapi tidak menimbulkan sensasi aneh di tubuhku. Apa karena Mas Dimas masih sebegitu asingnya dalam hidupku? 

Memang sampai saat ini perubahan paling kentara dalam hubungan kami hanya panggilanku untuknya. Itu pun butuh effort besar untuk menghapus kata 'Pak' di depan nama Dimas Arisatya lalu mengganti dengan 'Mas' seperti maunya. Pak atau bapak, jenis panggilan kaku, yang katanya bakal menggiring opini orang-orang kalau kami menikah karena terpaksa. Padahal aku menerima pinangannya dengan sukarela. Benar juga! Selain dari itu tidak ada yang berubah. Aku merasa dia masih berstatus atasanku. Ow, mantan atasan tepatnya! Aku resmi jadi pengangguran lagi setelah Mbak Ratih kembali menduduki singgasananya.

"Beruntung banget, ya, dia! Lepas dari tukang selingkuh malah kawin sama pengusaha kaya raya!"

"Nggak rugi cerai sama suami lama. Jauh bagusan ini, sih, ke mana-mana!"

"Sudah ganteng, kaya lagi! Pakai pelet apa, sih, Yulita?"

"Hoki banget, ya, Yulita! Dari sekian banyaknya perempuan di luar sana yang masih gadis, malah dia yang janda yang dipilih buat jadi istri."

"Nggak apa-apa juga duda, yang penting jelas status dan banyak duitnya!"

Begitu mudah orang berkomentar hanya melihat sesuatu dari sekelebat pandangan. Pokoknya, di mata mereka aku berhasil 'naik jabatan'. Ada juga yang bilang aku baru 'lulus ujian'. Yang mereka tidak tahu, daripada istri buat Mas Dimas, aku lebih dibutuhkan sebagai ibu tiri berhati peri buat si Bona. Mengenaskan!

"Yul!" seruan Mas Dimas menyentakku.

Aku menoleh dan terkejut menemukannya menjulang di sampingku. Pantas saja suaranya terdengar memekakkan. Aku bersyukur handuknya telah berganti setelan tidur. Pikiranku yang sempat melantur jadi tenang dan kembali teratur. "Kamu mau sampai kapan di sini? Nggak lagi berencana biarin aku tidur sendirian, kan? Malam pertama kita, loh, ini," terangnya dengan wajah datar.

Sialan! Giliran malam pertama saja ingat. "Tapi aku—"

"Bagian itu aku nggak lupa, Yul," sela Mas Dimas cepat seolah bisa membaca ketakutanku. Dengan penuh penekanan dia menambahkan, "Aku cuma ngajak kamu tidur. Beneran tidur. Ti-dur! T-I-D-U-R. Aku capek. Ngantuk berat. Dan, perlu dicatat, aku nggak ada hasrat dan niat buat menggagahi kamu."

Kampret! Aku melengos, menyelamatkan wajahku yang terasa panas membara. "Ya, sudah. Mas tidur aja duluan. Aku mau mandi dulu."

"Good!" katanya seraya balik badan. "Aku memang pengin tidur pulas, bukan pingsan apalagi tutup usia malam ini juga." Dia melangkah menuju tempat tidur, membenahi posisi bantal dan langsung merebahkan diri tanpa menarik selimut.

#@/+"!+/$!-!?";:-(

Ya Tuhan, ampuni hamba yang belum genap sehari jadi istri Mas Dimas, tapi sudah berulangkali mengumpatinya dalam hati.

"Heh, malah melamun lagi! Kalau dalam hitungan ke tiga masih nggak gerak, aku mandiin, ya!"

-***-

Selesai sudah urusan di kamar mandi. Sekarang, aku malah bingung harus berbuat apa? Langsung menuju pembaringan dan tidur di sebelah Mas Dimas? Kalau dia mengingkari janjinya untuk tidak menyentuhku, aku harus bagaimana? Ah, harusnya aku berobat dulu baru menerima pinangannya. Tapi ... mana ada waktu! Dia sendiri yang memburu untuk segera menghalalkanku. Apa lebih baik tidur di sofa saja?

"Mau sampai kapan kamu berdiri di situ, Yul? Sini, dong! Sudah sah, loh, kita!"

Aku menggigit bibir. Ini orang apa hantu, sih? Bisa-bisanya tetap tahu keadaan sekitar padahal matanya terpejam rapat.

"Satu ...." Mas Dimas mulai menghitung.

Hadeeeh! Sebel aku kalau dia sudah begitu.

"Duaaa."

"Iya, deh, iya! Sabar, kenapa?" Adek gugup ini, Mas! Nih, dengar jantung aku gedebag-gedebug kayak lagi rebanaan!

Rasanya napasku tersekat di tenggorokan saat memposisikan diri di tempat tidur. Apalagi saat ini Mas Dimas sudah membuka matanya. Lelaki itu memandangi dan terus mengikuti pergerakanku. Aku merasa tengah ditelanjangi padahal dia sama sekali tidak bergerak menyentuhku.

"Yul, boleh aku tanya?" Mas Dimas tiba-tiba buka suara.

Tumben banget izin! Biasanya juga ngomong, ya, ngomong saja!  "Tanya apa?"

Dia diam, terus memakuku dengan tatapan yang bikin bulu halus di sekujur tubuh meremang. Beberapa saat berlalu dalam hening hingga dia mengembuskan napas panjang dan berujar, "Forget it! Lebih baik kita tidur sekarang."

Dih, kok, begitu? Bikin penasaran saja! "Ah, nggak asyik!" seruku tanpa sadar. Mas Dimas lantas memelotot seperti tidak terima keputusannya kubantah. Aku pun mengerut karena tidak enak hati. Plus sadar diri dan posisi. "Yuk, ah, tidur!"

Mas Dimas menghela napas saat aku menarik guling yang berada di tengah dan memaksakan diri memejam. Dalam kegelapan aku dapat merasakan dia bergerak mendekat. Napasku tertahan saat jemarinya yang hangat menyentuh pipiku. "Begini aja dulu, Yul. Kita sama-sama masih asing. Jangan sampai keingintahuan yang besar bikin kita nggak nyaman saat jawaban yang kita cari nggak sesuai sama harapan. Alih-alih dekat, yang ada kita malah semakin asing." Sentuhan itu berubah menjadi usapan lembut. "Aku juga nggak tahu nasib pernikahan kita ke depannya akan gimana. Tapi aku berusaha untuk selalu jadi pribadi yang lebih baik. Bukan cuma jadi ayah yang baik buat Arka, tapi juga suami yang baik buat kamu. Semoga kamu nggak lelah dan kuat makan hati kalau ternyata progresku lambat."

Ucapan Mas Dimas barusan membuat perasaanku campur aduk. Kembali terombang-ambing tak tentu arah seperti layangan putus.

"Selamat datang dan bergabung dalam keluarga gila ini, Kakak Ipar." Ucapan Tivana tadi pagi terngiang dan mulai menggema di benakku. Nyaring dan berisik.

Aku tidak tahu kegilaan macam apa yang dia maksud. Namun, sepertinya aku harus siap sedia menyambut berbagai kejutan yang akan datang dan menyapa kehidupanku setelah ini. Jalanku masih panjang. Bersama Mas Dimas jelas tidak ada jaminan semua akan aman terkendali dan bebas hambatan. Aku tidak berharap banyak selain mendapatkan ketenangan dan kebahagiaan. Keinginan yang terdengar simpel, tapi kuyakin tidak semudah itu diwujudkan.

Mas Dimas terus memangkas jarak. Saking dekatnya, embusan napasnya terasa hangat saat menerpa wajahku. "Sleep tight, Yul." Bibirnya menempel di pelipisku. Satu. Dua. Tiga. Empat. Lima detik. Tolong, segera berhenti karena sepertinya sebentar lagi jantungku akan lepas dari rongganya.
.
.
.
Samarinda, 27 Agustus 2024
Salam sayang,
BrinaBear88

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top