18. Bikin Heboh

Sudah seminggu ini Pak Dimas tidak masuk kerja. Seharusnya aku tenang karena tidak perlu bertatap muka dengannya. Canggung, hanya rasa itu yang terbayang sejak permintaan menikah dengannya kubiarkan menggantung. Sejak itu pula—entah sengaja memberiku ruang untuk berpikir dan merenung atau justru marah dan menanggung kecewa yang menggunung—semua masalah berkaitan pekerjaan tidak langsung berhubungan dengannya melainkan melalui tangan kanannya yang bernama Agung.

Dari dalam tas, aku mengeluarkan ring box beledu berwarna biru. Dengan ibu jari aku menyusuri setiap lekuk benda itu. Tanpa kusadari, sudah satu minggu ia mendapat pengabaianku. Kubawa ke sana kemari, tapi tak kusentuh barang sekali waktu. Pak Dimas dan lamarannya yang tiba-tiba ....

"Apa ini kesempatan kedua untuk meraih bahagia atau justru bentuk ujian baru dari-Nya?" gumamku seraya menatap pantulan diri yang tampak kuyu. Benih-benih harapan muncul perlahan, tetapi tidak sempat berkembang karena selalu musnah diamuk ragu.

Dengan gemetar aku membuka kotak dalam genggaman. Pandangku langsung tertumbuk pada si cantik bermata satu. Kilau yang memukau dari berlian mungil yang tersemat di tengah lingkaran seakan memanggil persetujuanku untuk segera mengenakannya. Bagai tersihir, tanganku bergerak sendiri memasang benda mungil itu di jari manis tangan kanan. Untuk sesaat aku kesulitan bernapas. Tampaknya oksigen tak mampu menyentuh paru-paru akibat tertahan di tenggorokan. Pas sekali, saudara-saudara! Bagaimana bisa? Apa ini tanda aku memang berjodoh dengannya?

"Percaya sama aku, Mbak! Itu bukan kutukan, tapi sepenuhnya penyakit yang bisa disembuhkan." Wajah Mbak Ratih dan ucapannya berdesing di otakku. "Mbak bisa pegang omonganku. Mbak Yulita harus percaya karena aku seorang penyintas."

Bayangan Mas Fatih mendepak pikiran tentang Pak Dimas dan Mbak Ratih. Mantan suamiku itu semalam datang secara tiba-tiba tanpa memberiku kesempatan menghindar. Seperti biasa, tangannya tidak kosong, dia membawakan berbagai macam buah tangan. Tidak tanggung-tanggung, semua camilan favoritku! Selain makanan, ada parfum, beberapa lembar pakaian juga setelan kerja. Tidak ketinggalan satu set skincare keluaran brand kenamaan asal Korea yang tidak pernah kuimpikan untuk mencobanya lantaran harga yang mencekik leher perempuan berstatus janda miskin sepertiku.

Setelah melewati basa-basi yang benar-benar basi, dengan gugup dan sedikit terbata Mas Fatih mengucapkan alasan di balik kunjungannya. Apalagi kalau bukan mengajakku rujuk? Dia bahkan berjanji untuk melunasi seluruh utang mama andai aku mau kembali padanya. Dia pikir, iming-iming demikian bisa meluluhkan hatiku? Mengubah keputusanku? Huh, jelas tidak semudah itu!

Sayangnya benih harapan lain tumbuh dengan cepat. Kali ini benihnya lebih tangguh dan kuat. Jika omongan Mbak Ratih benar, bukankah masalah di antara aku dan Mas Fatih menemukan solusi? Aku bisa kembali padanya dengan penuh percaya diri karena bisa menjalani kewajiban utama seorang istri. Lalu ... bagaimana nasib Silvia dan Tama? Mau dikemanakan mereka?

Otakku semakin riuh. Lamunanku kububarkan paksa. Saat itu aku baru sadar kalau bibirku mengerucut. Embusan napas lelah tercetus setelahnya. Sebaiknya aku pulang sekarang! Meskipun jam dinding baru menunjukkan pukul lima kurang lima belas menit. Sekali-kali nakal tidak ada salahnya. Toh, bosku yang absurd itu sedang tidak di tempat. Korupsi seperempat jam tidak akan membuatnya rugi banyak.

Beberapa orang yang berpapasan denganku melirik sinis. Entah apa sebabnya, aku pun tidak mau ambil pusing. Diberi senyuman, aku balas juga dengan bibir tersungging. Dia cemberut, jangan salahkan kalau kubalas dengan bibir mengerucut. Pokoknya, kamu akan menerima sesuai pemberianmu. Valid, no debat!

Di lift, aku bertemu dengan Pak Raihan. Kami sama-sama menuju lantai dasar. Di sela menanti lift yang membawa kami sampai ke tujuan, kami mengobrol singkat. Lelaki itu mengeluhkan penjajakannya dengan Nadia yang berjalan alot padahal status mereka saat ini—sudah—sama-sama single. Dapat dimaklumi, luka batin dan trauma yang dialami Nadia sangat berat. Sahabatku itu pasti memerlukan cukup banyak waktu untuk menyembuhkan luka dan mengembalikan kepercayaannya akan cinta. Namun, aku percaya High Quality Jomblo di depanku ini mampu memenangkan hati Nadia. Siapa yang tidak akan luluh berdekatan dengan lelaki sehangat dan selembut Pak Raihan? Ah, aku sampai lupa! Masalah hati tidak pernah semulus dan segampang kelihatannya.

Sesampainya di lantai dasar, aku dan Pak Raihan berpisah. Menuju pintu keluar, aku melewati semakin banyak orang yang melemparkan belati lewat tatapannya.

"Orang-orang ini kenapa, sih?" Kupelototi mereka satu per satu. "Dasar aneh!" gerutuku tak bisa menahan geram. Lelah fisik juga psikis pasti membuat rautku semakin tidak enak dilihat. Bodo amat!

Tepat di ruang tunggu depan lobi, aku melihat Silvia. Adik angkatku itu duduk di sofa sambil mendekap erat Tama—yang sepertinya tengah lelap—dalam gendongannya. Air mata meleleh di sepanjang pipinya. Tubuhnya yang semakin berisi semenjak melahirkan tampak gemetar. Wajah-wajah yang familier di mataku mengelilinginya.

Seketika dadaku bergemuruh. Inikah penyebabnya? Mungkinkah tatapan tajam menghunjam orang-orang itu disebabkan dirinya? Drama apa yang tengah perempuan itu lakonkan?

"Well, ini dia si Pelakor!" sambut Lida, satu dari Duo Bigos berpantat tepos.

Sorry, siapa yang dia sebut pelakor? Aku? Tidak salah? Kalau aku pelakor, lantas apa sebutan yang pantas untuk perempuan yang ada di tengah-tengah mereka? Namun, sekuat apa pun pertanyaan itu menggema di otakku, aku usahakan untuk tidak terlontar. Sabar, Yul, sabar ....

"Silvia," sapaku dengan senyum terpaksa pada perempuan yang memandangku dengan tatapan terluka.

"Ini waktu yang tepat. Kamu boleh ceritakan semua, Sil! Semuanya! Biar semua orang di sini tau gimana gatal dan nggak tau dirinya si janda angkuh ini!" Erin si dada rata, mengarahkan telunjuk ke mukaku, melayangkan kalimat penuh penghakiman menimpali tudingan rekannya. Dasar kompor!

Hening. Spasi yang cukup panjang merentang. Aku bersiap mengayun langkah meninggalkan panggung sandiwara saat Silvia buka suara.

"Dia ...." Silvia menatapku dengan air mata membanjir. "Perempuan ini mencoba merebut suamiku."

"Really, Sil? Si anak pungut ini tega melakukan itu?" Lida unjuk kebolehannya mengipasi bara yang menyala di dada Silvia.

"Dia yang notabene kakak angkatmu sampai hati melakukan itu?" Erin tak mau kalah.

"Mbak Ita nggak malu menggoda Mas Fatih di saat masih banyak laki-laki lain yang berstatus single berhamburan di luar sana?"

Kedua tanganku terkepal erat. Gigiku bergemeletuk menahan emosi yang sudah menyentuh ubun-ubun. Kesabaranku di ambang batas.

"Mas Fatih itu milik aku dan Tama. Dia kepunyaan kami, Mbak! Jangan mentang-mentang Mas Fatih berduit jadi kamu menghalalkan segala cara buat—"

Oke, aku tidak tahan untuk tidak menyela, "Siapa yang merebut siapa, Sil?" tanyaku dingin.

Setan cilik itu tersentak. Bibir mungil yang entah sejak kapan mulai dilapisi lipstik merah menyala itu terbuka tanpa bisa melempar sepatah pun kata.

"Sorry, bisa diperjelas nggak, siapa yang merebut siapa?" tantangku dengan kedua tangan terlipat di bawah dada. Sebelah kakiku mengetuk-ngetuk lantai sembari menunggu jawabannya.

Silvia terus bungkam. Ya Tuhan, demi apa dia mempermalukan dirinya sendiri begini? Aku jadi kasihan padanya.

"Ngobrolnya sudah selesai, Sayang?" Lelaki yang telah sepekan ini menghilang tahu-tahu menampakkan batang hidungnya. Dengan fasihnya Pak Dimas menempelkan bibirnya di pipiku. Sekilas, tapi cukup membuat sekujur tubuhku membeku.

Aku melongo. 

"Pak Dimas?" Lida, Erin dan pegawai lainnya yang sengaja menyempatkan diri menantikan puncak drama ini menundukkan kepala. Plot twist, ya? Ending yang tidak pernah disangka-sangka.

Pak, ehm, Mas Dimas menggenggam tanganku. Tatapan setajam elangnya bergulir menyapa satu per satu orang di sekitar kami. Penuh penekanan lelaki berjas krem itu berkata, "Yang bilang Yulita perempuan gatal, perayu yang menghalalkan segala cara buat merebut suami orang, silakan ajukan surat pengunduran diri ke Pak Raihan." Kali ini dia mencium pelipisku. Kupikir, lelaki ini sengaja mengambil bayaran atas pembelaannya secara kontan. Dasar culas! Mengambil kesempatan dalam kesempitan. "Lancang kamu mengata-ngatai Yulita. Saya calon suaminya. Pengusaha 'kinyis-kinyis' dengan omzet puluhan juta seperti suami kebanggaan kamu nggak ada apa-apanya. Dia jelas bukan saingan saya." Matanya menyorot tajam. Keangkuhannya terpancar bak mesin penggilas yang bersiap meluluhlantakkan siapa saja yang menghalangi jalannya.

Oh, jelas! Mas Fatih kebanggaan mama—dan tentu saja Silvia—tidak akan bisa menyaingi dirinya. Sudah lima tahun terakhir Mas Dimas masuk dalam Top Ten Pengusaha Muda Sukses sekaligus Orang Terkaya se-Indonesia Raya versi majalah Forbes.

Silvia semakin kehilangan kata. Duo Bigos dan kawan-kawannya hanya bisa menganga mendengar atasan yang selama ini mereka sebut sebagai tirani tak punya hati mengakui aku, si janda sinis, sebagai calon istrinya.

Jangankan yang lain, aku saja kicep dibuatnya!
.
.
.
Jangan lupa ramaikan kolom komentar dan tinggalkan jejak dengan menekan bintang di pojokan.
See you next part 🥰
Samarinda, 24 Agustus 2024
Salam sayang,
BrinaBear88

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top