17. Mabuk Kecubung?

Jam kerja berakhir dalam 45 menit ke depan. Kalau menurutkan hati, aku ingin pulang saja sekarang. Sayang sekali masih ada pekerjaan yang membutuhkan uluran tangan. Datang bulan kali ini membuat tubuhku tidak nyaman. Tidak hanya kram perut, tetapi kepala pusing, pandangan berkunang-kunang dan badan mulai meriang. Bersyukur Pak Dimas hari ini tidak ke kantor dan hanya memberikan instruksi terkait pekerjaan melalui pesan singkat WhatsApp, sehingga aku bisa bekerja dengan lebih tenang. Seringkali aku merasa was-was dan takut dia mengamuk kalau aku berbuat kesalahan. Namun, sejauh ini aman terkendali walaupun terkadang omelannya sepanjang jalan kenangan.

Dering ponsel membuatku segera sadar dari lamunan. Tanpa melihat layar, dari nada dering yang khusus kuberikan untuk kontaknya aku tahu siapa yang berada di ujung sambungan. Siapa lagi kalau bukan si Voldemort Hidung Perosotan? "Panjang umur ini orang," gumamku sambil menggeser bulatan hijau ke kanan.

"Yul, kamu di mana?" cerocos Pak Dimas sebelum aku mengucapkan salam. Dasar tidak sopan!

"Di kantorlah, Pak! Masa iya saya ngemol di jam kerja," jawabku sewot menanggapi pertanyaan absurd-nya.

"Terus, lagi ngapain kamu sekarang?"

"Ngerjain tugas yang Bapak kasihlah!" Mbak Ratih sudah resmi cuti sejak dua minggu lalu. Jadi, segalanya kukerjakan sendiri dan tentu saja berdasarkan yang sudah Mbak Ratih ajarkan di masa training dulu.

"Belum selesai?" Dia terdengar tidak senang.

Bola mataku berotasi. "Ini lagi di-print, Pak."

"Perhitungan saya, harusnya kamu sudah selesai sejak dua atau bahkan tiga jam lalu."

Aku mencebik. Itu, kan, perhitungan Bapak! Fakta di lapangan tidak sesuai yang Anda bayangkan, Bambang!

"Yul, kamu kenapa diam? Nggak ketiduran, kan?"

Ketiduran pala lu peyang! "Maaf, saya lagi nggak enak badan, Pak. Jadi, kerjanya sedikit lamban."

Terdengar helaan napas. Bisa kubayangkan lelaki itu tengah memijat kening dan tersenyum masam. Aku sampai hafal kebiasaannya. "Jangan kebanyakan alasan, Yul. Kamu harus profesional, dong, dalam bekerja."

Emosiku naik ke ubun-ubun. Seperti dia tidak pernah sakit saja! Sudah berjam-jam aku mengabaikan hawa panas yang meluncur dari lubang hidungku. Tidak hanya itu, mataku juga kian perih karena terus dipaksa menatap layar komputer. Kurang profesional apa aku, hah? "Saya sudah berusaha mengerjakan secepat yang Saya bisa, Pak," terangku sambil menahan intonasi yang ingin meninggi. "Yang bikin lambat tadi karena saya nunggu laporan dari bagian marketing. Setelah itu datanya juga nggak bisa langsung diproses karena saya mesti cross check lagi sama bagian keuangan. Begitu, kan, tadi yang Bapak minta?"

"Oh, oke."

Hanya itu? Pak Dimas ini maunya apa, sih?

"Selain mengecek saya masih hidup atau sudah mati, apa ada lagi yang Bapak Dimas Arisatya perlukan?" tanyaku sarkas.

"Yul, kalau sudah selesai nge-print-nya, cepetan keluar. Saya tunggu di parkiran."

Mulutku terbuka lebar. Ini maksudnya apa, ya? Belum sempat bertanya, sambungan telepon malah diputuskan sepihak. Dasar tidak sopan!

Usai meletakkan berkas yang barusan di-print di ruangan Pak Dimas, aku bergegas membereskan meja kerja dan mengunci semua lacinya. Tidak lupa kumatikan lampu dan pendingin ruangan. Hemat daya. Untuk hal yang bisa kulakukan sendiri, untuk apa menunggu orang lain yang melakukannya? Hitung-hitung meringankan pekerjaan office boy atau security yang selalu patroli usai jam kerja.

"Mama!" Si gembul Arka menyambutku dengan pekik kegembiraannya. Dia berlari menghampiri lantas memeluk kedua kakiku. Secara otomatis aku celingukan memerhatikan sekeliling, berjaga-jaga jika sampai ada yang melihatnya. Anak bos besar, loh, ini yang meneriakiku 'mama'. Gosip bisa dengan cepat menyebar ke mana-mana. Dinding yang dingin bisa jadi punya telinga. Retaknya pernikahanku-yang tidak pernah kubagi dengan siapa pun-saja bisa terendus. Hebat, kan?

Arka menggandengku menuju mobil sang ayah sambil berceloteh, "Papa bilang kita mau jalan-jalan terus makan-makan."

Kita? Duh, Pak Dimas kenapa suka seenaknya begini, sih? Badan meriang begini, maunya kutenggelamkan dalam selimut tebal nan hangat. Kenapa malah mau diajak bepergian?

Pak Dimas keluar dari mobilnya. Mata tajamnya menyelisikku. "Demam kamu, Yul?" tanyanya.

"Mama sakit?" Arka ikut bertanya. "Ah, iya! Telapak tangan mama panas."

Aku mengangguk pelan. Sorot kekecewaan Arka seketika tertangkap penglihatanku. "Sedikit nggak enak badan aja, kok!" kilahku tak sampai hati melihat bocah itu sedih.

"Nggak usah dipaksain, Yul. Saya antar kamu pulang aja kalau gitu." Pak Dimas menoleh pada Arka. "Lain kali aja, ya?"

Si Bocah Merana mengangguk lemah. Bahunya memerosot lesu. "Oke."

"Bapak punya parasetamol?"

"Ada. Yang kamu belikan dulu itu nggak pernah saya keluarkan dari laci. Seharusnya, sih, ada di dalam."

Senyumku merekah. "Aman kalau begitu, Pak!"

"Tapi kamu belum makan. Gimana mau minum obat?"

Aku cuma menyengir. "Yuk, ah! Nanti keburu ada yang lihat," kataku santai sambil mengitari mobil dan langsung duduk di kursi penumpang depan. Arka bersorak terus mengikutiku dan masuk lewat pintu belakang. Dari kaca jendela, aku bisa melihat Pak Dimas melengos.

Bibirnya membentuk garis datar saat membuka lanjut menutup pintu dengan agak keras. "Katanya demam, tapi dia malah jadi yang paling semangat jalan-jalan," gerutunya sambil menyalakan mesin.

Cengiranku makin lebar. "Namanya juga ditraktir, Pak!"

"Mama, Mama!" Arka menyembul di tengah-tengah. "Minum obat!" serunya mengingatkan.

"Minumnya nggak ada. Kita cari warung dulu," cetus Pak Dimas seraya melajukan kendaraan. Kami sudah keluar area parkir dan bergabung dengan pengguna jalan lain.

"Itu bagi minum Papa aja!" celetuk Arka polos sambil menunjuk botol minum di pintu samping papanya. "Nggak boleh pelit-pelit, loh, Pa! Kata Pak Guru Agama di sekolah, kalau pelit, nanti hartanya nggak berkah."

Pak Dimas menggaruk pelipisnya. "Bukan begitu, Arka. Masa Tante Yulita minum bekas Papa?"

"Nggak apa-apa, toh? Papa nggak rabies, kan?"

Pak Dimas berdecak. Dia melirikku.

"Nggak apa-apa, deh, Pak! Darurat ini."

Setengah hati Pak Dimas menyerahkan botol air mineral yang isinya telah hilang separuh. "Maaf, ya, Yul," ucapnya dengan nada rendah. Dia tampak tidak nyaman.

Aku hanya tersenyum. Cepat kuminum obat sebelum Arka kembali bawel dan memekakkan telingaku dengan ucapan-ucapannya yang ceplas-ceplos.

Sore hingga malam ini kami habiskan dengan jalan-jalan dan makan seperti kemauan Arka. Entah karena kelelahan atau kekenyangan, bocah bermata bulat itu tertidur di kursi belakang.

"Gimana keadaan kamu sekarang?" Pak Dimas memecah keheningan. Andai dia tidak buka suara, mungkin aku juga sudah memejamkan mata seperti Arka.

"Alhamdulillah jauh lebih baik, Pak. Ini sebenarnya bawaan lahir dapet aja."

"Oh, kamu on period, toh! Memang sering kayak gitu, Yul?"

"Nggak juga, sih, Pak. Kadang-kadang aja begini."

Pak Dimas mengangguk-angguk. "Oh, ya, tadi saya ke sekolah Arka," ungkapnya. Sesaat tadi dia mengalihkan pandangan ke spion dalam dan melihat Arka yang tampak pulas tenggelam dalam mimpinya.

"Arka bikin masalah lagi, Pak?"

Hela napas berat dilepaskan lawan bicaraku. "Kepala sekolah menyarankan saya bertemu psikiater, psikolog, atau apa pun itu. Pokoknya semacam ahli kejiwaan. Menurutnya, Arka butuh konsultasi dan bisa jadi malah berlanjut dengan sesi konseling. Anak ini kesusahan mengendalikan emosi."

Penuturan Pak Dimas membuatku tercengang. Secara refleks aku menoleh ke belakang. Anak sekecil itu bermasalah mentalnya?

"Mungkin bukan psikiater atau psikolog yang dia butuhkan, Pak. Tapi, kehadiran seorang ibu." Aku tersenyum miris. Terbayang di benakku keceriaannya, senyum yang merekah indah, serta tawa riangnya saat memanggilku mama. Hal itu membuatku merasa Arka hanya ingin punya keluarga lengkap yang melimpahinya dengan perhatian dan kasih sayang. Dia ingin seorang ibu, menggantikan kekosongan yang ditinggalkan mendiang mamanya.

"Yul," panggil Pak Dimas. Dia tampak ragu-ragu bicara. "Nggak tau kenapa, pikiran saya juga ke arah sana."

"Terus, Bapak nggak ada keinginan gitu buat mewujudkannya?"

Lelaki di sampingku mengedikkan bahu. "Jujur, saya beberapa kali terpikir ke arah sana." Dia melirikku lagi sebelum mendesah panjang. "Tapi ...."

"Tapi ... apa?"

"Saya nggak punya calon."

Aku tertawa. "Ya, ampun, Pak! Makanya jangan galak-galak jadi orang!"

Pak Dimas mendengkus. Ups!

"Sorry, Pak. Saya nggak bermaksud menyinggung Bapak. Saya cuma bicara sesuai fakta di lapangan."

Hening. Jalan ini ....

"Kita mau ke mana, Pak?" tanyaku tanpa bisa menahan rasa penasaran.

"Ke rumah kamu, lah!"

"Kok, Bapak bisa tau ini jalan ke rumah saya?"

Pak Dimas tidak menjawab. Dia malah menepikan mobil persis di depan minimarket tempat kami bertemu tanpa sengaja beberapa bulan lalu. Dia berdeham, lalu bertanya, "Yul, kamu mau, nggak, jadi Mama buat Arka?"

What? Aku melongo.

"Yul, saya nggak suka lihat ekspresi kamu sekarang." Pak Dimas tampak jengah.

"Lah, Bapak bercandanya garing banget, sih!" seruku setelah bisa menguasai diri. Siapa suruh bikin jantungan! Kutahan tangan yang ingin melayang menggeplak kepalanya. Apa mungkin Pak Dimas mabuk kecubung? Tapi ... dapat kecubung dari mana? Sejak tadi dia terus di sampingku, kok!

"Saya serius, Yul. Pernah kamu lihat saya ngelawak? Jelas saya bukan tipikal laki-laki humoris. Saya juga nggak pengin memaksakan diri buat jadi kayak gitu."

Aku ... kicep! Duh, speechless.

"Kalau setuju, kamu bisa mulai dengan mengubah panggilan buat saya sekarang." Pak Dimas tersenyum. Senyum yang justru membuat perasaanku terombang-ambing. Campur aduk. Jungkir balik. "Panggil saya Mas mulai sekarang."
.
.
.
Hai, I'm back! Maaf banget baru bisa apdet sekarang. Semoga bab ini mampu mengobati kerinduan kalian sama Pak Dimas 😁
Thanks for reading 🥰
Samarinda, 8 Agustus 2024
Salam sayang,
BrinaBear88

Oiya, sekalian promo boleh, kan, ya?
Jadi, setelah sekian purnama, akhirnya ceritaku yang berjudul Let Me Be Yours Open PO, dong!
Prapesan berlangsung dari tanggal 1 s.d 14 Agustus 2024, ya.. tebal buku sekitar 200an halaman. Saking ringannya, cerita minim konflik tapi bikin baper ini bisa dilahap sekali duduk, loh! Harganya cuma 75ribu! Yup, kamu nggak salah baca, kok! Harganya 75ribu doang! Murah kebangetan, kan? Cuss, order bukunya dan kekeupin Om Egan yang tamvan!


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top