16. Namanya Silvia
Aku menghela napas panjang sambil menengadah menatap langit malam dengan mata berembun. Tanpa bulan dan bintang, malam ini terasa sesunyi hatiku. Atau ... aku saja yang masih belum bisa keluar dari penjara ciptaanku sendiri? Bukankah pilihan untuk lepas dari jerat kesakitan ini sejak awal ada di tanganku, dalam genggamanku? Aku yang ingin lupa, mati-matian ingin lupa, tapi menolak melangkah dan memalingkan wajah dari masa lalu.
"Mbak?" Mbak Ratih menyentuh pelan pundakku dengan ujung jarinya.
"Waktu berumur enam tahun, aku diangkat anak oleh sahabat almarhum papa. Mereka orang-orang baik yang belum juga dikaruniai anak padahal menikah sudah cukup lama. Jika sebelumnya aku terbiasa memanggil Tante dan Om, sejak saat itu aku mengubah panggilan sesuai permintaan
mereka." Aku memulakan cerita setelah menghela napas panjang.
Mbak Ratih menunduk lalu mengusap lembut perutnya. "Mereka pasti sudah sangat rindu dengan hadirnya sosok anak." Perempuan itu kembali mempertemukan pandang kami. "Mereka pengin kamu benar-benar jadi anak mereka."
Aku mengangguk pelan. Hatiku mulai berdenyut-denyut untuk satu alasan. "Bunda dan ayah, begitu aku memanggilnya. Mereka membawaku ke rumah mereka yang besar, menyekolahkanku, memenuhi semua kebutuhan bahkan sebelum aku sempat meminta. Mereka memberi limpahan kasih sayang yang nggak aku dapat dari kedua orang tua kandungku." Dadaku kian sesak saat kilasan kejadian di masa lampau satu per satu menghampiri ingatan. Usapan lembut Mbak Ratih kembali menyentuh pundakku, bertahan di sana sebentar sebelum menyasar ke sepanjang punggung. Saat aku berpaling dan tatapan kami bertemu, senyum tulusnya menyentuh hatiku seolah berkata agar aku terus bicara tanpa perlu merasa ragu. Dia bisa menjaga rahasiaku.
"Sebelum itu, hubungan mama sama papa memang nggak baik. Mereka sering banget bertengkar. Mama sering mengataiku anak pembawa sial, lantaran katanya, bukannya membawa rezeki keuangan mereka malah seret sejak aku lahir. Padahal sebelum menikah, papa terbilang sukses. Usaha toko pakaiannya laris manis. Tapi, pendapatan papa terus turun saat aku hadir dalam kehidupan mereka."
Air mataku luruh perlahan. Kuharap beban hati yang sekian lama terpendam, bisa aku lepas dengan penuh keikhlasan. Jadi, daripada terus menahan, kuputuskan untuk membongkar habis semua dari bank kenangan. "Seingatku, papa orang yang gigih. Entahlah. Ingatanku soal itu nggak begitu baik. Buram." Bibirku membentuk garis datar. Kala itu terjadi, aku masih bocah ingusan. "Tapi aku sering dengar dari ayah, apa pun papa lakukan demi bisa pulang membawa uang. Yang dia jual sudah bukan pakaian lagi, tapi banyak jenis yang penting bisa jadi cuan. Sayangnya, buat mama itu semua nggak pernah cukup. Mereka jadi sering adu mulut. Menurut mama, papa nggak pernah serius kerja. Sementara di mata papa, mama terlalu banyak menuntut tanpa sedikit pun respect sama semua yang sudah papa lakukan. Apalagi saat itu mama sedang mengandung dan pastinya membutuhkan biaya besar buat lahiran. Biaya besar membuatnya semakin banyak menyuarakan tuntutan."
"Pasti berat banget di kamu, ya, Mbak. Sekecil itu sudah harus terjebak dalam problematika orang-orang dewasa."
Aku hanya bisa menanggapi dengan senyum getir. Setelah menyusut ingus, aku meneruskan ceritaku. "Sampai di penghujung usiaku yang ke lima, papa gulung tikar karena tokonya kebakaran. Semua habis dilalap api. Saking cepatnya, papa nggak punya kesempatan untuk menyelamatkan barang sedikit pun dagangannya. Itu benar-benar petaka buat kami sekeluarga."
Kurasa, itulah yang melatar belakangi keputusan papa menerima 'pinangan' ayah. Perekonomian keluargaku yang saat itu karut marut, terselamatkan karena bapak bersedia mengangkat satu beban dari pundak papa. Uluran tangan yang awalnya menyelamatkan masa kanak-kanakku, sayangnya, bertahun-tahun kemudian justru menyeretku pada luka lain bernama pengkhianatan.
"Setahun kemudian, bunda hamil. Katanya, pancingannya berhasil. Umurku delapan tahun saat adikku lahir. Bayi perempuan yang sangat lucu dan menggemaskan. Aku menyayanginya. Sangat menyayanginya, walaupun kami buah yang berasal dari pohon berbeda."
"And than? Kamu dicampakkan sama orang tua angkatmu?"
Aku menggeleng tegas, membantah cetusan itu bulat-bulat. "Ayah dan bunda nggak pernah membedakan kami berdua. Kasih sayang yang dulu cuma tercurah buatku, nggak berkurang sedikit pun meskipun mereka sudah punya Silvia. Sayangnya, saat tau aku bukan kakak kandungnya, Silvia mulai bertingkah. Dia membenciku karena menurutnya, aku nggak pantas sebahagia dan seberuntung itu. Katanya, selama ini aku merenggut banyak haknya sebagai anak tunggal."
"Terus ... Silvia nekat melakukan hal yang buruk buat menyakiti Mbak Yul?" Mbak Ratih melempar pertanyaan itu dengan penuh kehati-hatian. Dia mungkin sudah terbayang ujung dari cerita ini.
Aku mengangguk pelan. Hatiku kembali menjadi puing-puing yang berserakan. "Sayangnya, aku nggak pernah peka sama gelagatnya. Rajukan-rajukan dan protesannya dulu, kupikir itu semua cuma bentuk keegoisan seseorang yang tidak rela berbagi kepemilikan. Ternyata, jauh lebih dari itu, Silvia diam-diam terus memupuk dendam."
"Ngeri banget, Mbak. Padahal aku bisa melihat dia masih sangat muda."
Ya, Silvia memang masih sangat muda. Awal tahun tadi dia baru berusia 17 tahun. Aku meneguk ludah, kelat. Giliran wajah Mas Fatih yang menyambangi ingatan. Bayangan lelaki pertama yang berhasil menyentuh hatiku dengan kebaikan dan kejujurannya itu bermain-main di pelupuk mata. Air mataku jatuh lagi. "Silvia menagih bayaran atas semua kebaikan ayah bunda dengan mengambil suamiku."
Silvia merampas Mas Fatih dari pelukanku.
.
.
.
Samarinda, 23 Juli 2024
Salam sayang,
BrinaBear88
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top