14. Putus Asa
"Semua gara-gara kamu, Ta! Kalau kamu nggak cerai sama Fatih, kita nggak akan terpuruk macam ini!" Hari masih pagi, tapi mama sudah mencercaku dengan amarah. Wajah putihnya tampak sepucat mayat. Mama sepertinya kurang sehat. "Kamu bikin mama stres!"
Nafsu makanku merosot drastis. Rasa laparku terkikis perlahan hingga menguap tak bersisa. Pelan, kutelungkupkan sendok ke atas piring. Sesi sarapanku berakhir menyisakan lebih dari separuh nasi goreng darurat-hanya nasi yang diaduk bersama kecap manis dan kaldu ayam bubuk tanpa topping apa pun-yang kubuat tergesa setengah jam lalu. Pandanganku mulai berkabut. Jujur, aku lelah dan tertekan.
"Mama bisa nggak, sih, biarkan Kaita makan dengan tenang? Nggak kasihan apa, Ma, lihat Kaita mengering gitu? Walaupun sudah berumur, Akhyar rasa mata Mama masih cukup awas melihat badan Kaita makin lama makin habis." Akhyar lagi-lagi membela, tidak ada lelahnya berkonfrontasi dengan mama.
Mama mendengkus. Mengindahkan teguran Akhyar, mama kembali mencerca, "Sudah janda, pengangguran pula! Nggak tau ada nggak, sih, di dunia ini yang lebih goblok dari kamu!"
"Ya Allah ... istighfar, Ma," ucap Akhyar mengelus dada.
"Pokoknya kalau para debt kolektor itu datang kemari lagi, kamu mesti tanggung jawab!" Mama berbalik usai menggebrak meja. Ibu kandung yang kurasa lebih pantas disebut ibu tiri itu melangkah menjauhi dapur. Tidak lama berselang, debam pintu terdengar nyaring. Mama membanting pintu kamarnya. Kasihan, benda tidak bersalah pun menjadi sasaran kemarahannya.
"Kaita ...."
Aku memaksa sudut bibirku naik tinggi. "It's okay, Dek," kataku sambil membereskan piring. Sayang sekali makanan ini harus berakhir di tempat sampah. Seperti yang sudah-sudah, kalau dipaksa makan pun, bukannya kenyang yang ada semua yang sudah berhasil masuk justru termuntahkan.
"Kaita mau ke mana?" tanyanya sambil terus memandangku.
"Mau cari udara segar." Bersyukur kalau nanti bisa mendapatkan pekerjaan. Apa pun itu. Jadi tukang cuci piring di warteg pun akan kulakoni, asal menghasilkan cuan. Tentunya hanya untuk sementara ini saja, sambil aku mencari pekerjaan yang lebih sesuai dengan latar pendidikanku.
Sebelum benar-benar menjauh, Akhyar menjajari langkahku. Dia menggenggam tanganku dan menyisipkan sesuatu. "Kakak bisa pakai itu buat jajan. Nggak banyak, tapi seenggaknya bisa buat ganjal perut supaya nggak keroncongan."
Aku mengerjap. Kalau begini, aku merasa ucapan mama tidak salah sama sekali. Aku aib. Menyusahkan. Beban keluarga. "Nggak, Dek." Usahaku mengembalikan uang pemberiannya gagal. Akhyar mati-matian menolak.
"Kaita terima, ya?" pintanya memelas. "Itu bukan uang jajan yang Kaita kasih, kok!" Akhyar mengedarkan pandang ke sekeliling sebelum memajukan tubuh dan berbisik, "Gajiku sebagai guru bimbel online baru masuk semalam. Mama jangan sampai tau." Dia mengedipkan mata, isyarat ini rahasia kami berdua.
"Tapi, Dek ...."
Akhyar tidak memberiku kesempatan bicara. Dia mengambil langkah seribu, lebih dulu pergi mendahuluiku. "Have a nice day, Kakakku Sayang." Dari ambang pintu dia mengerling seraya melambaikan tangan. Senyumnya mengembang ringan.
"Terima kasih," balasku lirih pada punggung tegap yang menjauh perlahan.
-***-
Mas Fatih:
Apa kabar, Moy?
Sudah makan, belum?
Aku kangen kamu
Kenapa chat-ku selama ini nggak dibalas?
Satu lagi pesan Mas Fatih yang kuabaikan. Sudah beberapa hari terakhir lelaki itu rutin mengirimiku pesan. Dimulai dengan pertanyaan sederhana dan umum "apa kabar?", sampai yang mulai menjurus pada perasaan "aku kangen kamu", seperti barusan. Semuanya, tidak satu pun membuatku berkeinginan memberi tanggapan. Buat apa? Mencari penyakit saja! Dia suami orang yang kebetulan pernah menghabiskan enam tahun hidupnya berbagi tempat tidur denganku. Sedalam apa pun perasaanku padanya, sekuat apa pun rinduku untuknya, tetap saja semua harus dipendam dalam kalbu. Titik, no debat!
Setelah membaca pesan itu, ponsel kembali kusarangkan ke dalam saku celana. Aku menoleh ke kanan kiri jalan hendak menyeberang. Minimarket sejuta umat yang baru buka bulan lalu adalah tujuanku. Di sana mungkin ada lowongan kerja yang sedang kucari.
"Heh, kamu!" teriakan seseorang membuatku berpaling dan urung melangkah. Mataku membola. Lelaki itu ....
Tubuhku tersungkur di jalan beraspal. Lelaki bertato kapak merah mendorongku kasar. "Ibu kamu bilang kamu yang bertanggung jawab atas semua utang-utangnya," katanya tanpa basa-basi sambil berkacak pinggang. Dia menyeringai sinis melihatku bergerak lamban membersihkan lutut dan meniupi telapak tangan yang terluka akibat bergesekan dengan jalan. "Ingat, tiga hari lagi!"
Aku termangu. Tiga hari lagi?
"Nggak ada alasan apa pun! Siapkan uangnya atau ...." Lelaki itu melempar kaleng soda kosong di tangannya ke jalan, terus maju, menginjak kaleng itu hingga penyok lantas mengacungkan telunjuknya ke benda itu. "Biar kamu punya gambaran seperti apa nasibmu kalau sampai melalaikan kewajiban."
Aku menelan ludah, getir. Kusembunyikan wajah dari tatapan penuh tanda tanya orang sekitar. Kerumunan yang ribut berspekulasi membentuk suara sumbang yang menusuk ulu hati. Namun, rasa malu akibat diperlakukan seperti sampah masih tidak sebanding dengan rasa takut yang tiba-tiba menghantui. Ke mana aku harus mencari uang sebanyak itu?
-***-
"Ngapain kamu di sini, Yul?"
"Bapak yang ngapain di sini?" Makin hari, mengapa dunia terasa makin sempit? Pak Dimas lagi, Pak Dimas lagi.
Aku membenahi duduk sambil mengulurkan tangan menutup bagian lutut celana yang robek.
"Beli ini," katanya sambil menyodorkan botol air mineral. "Migrain saya kambuh lagi." Sebutir parasetamol masuk cepat melewati tenggorokannya.
"Nggak bahaya, Pak, minum obat pereda nyeri terus? Migrainnya sering kambuh. kenapa nggak pergi periksa aja ke dokter? Saya khawatir-"
"Saya senang kamu mengkhawatirkan saya." Dia tersenyum tiga jari.
Ucapannya barusan membuatku tidak tahan untuk tidak mencibir. "Narsisnya di waktu yang nggak tepat, Pak."
"By the way, kamu belum jawab pertanyaan saya."
"Ah, ini ...." Aku kebingungan mencari jawaban.
"Ini ... apa?"
Aku mengulum senyum, canggung. Sambil mengarahkan jempol ke minimarket di belakang kami, aku berucap, "Tadi tanya-tanya kerjaan. Tapi ternyata nggak ada posisi yang lowong."
Pak Dimas diam, terus menatapku dengan sorot mata yang tidak kupahami maknanya. Apa dia merasa bersalah? Tidak enak? Atau justru tertawa dalam hati karena kebodohanmu menyia-nyiakan kesempatan seperti yang dia bilang tempo hari?
"Saya minta maaf karena sudah membuatmu susah." Dia menunduk, sedikit membungkuk dan menggenggam botol plastik di tangannya kuat-kuat.
"Kasihan botolnya Pak kalau dicekek begitu. Bengek nanti," candaku seraya menunjuk botol di tangannya.
"Saya lagi serius, kamu masih sempat-sempatnya ngelawak." Tubuhnya tegak lagi dan kini sedikit menyerong menghadapku. "Kamu bisa administrasi? Mengatur jadwal kerja, membuat surat kerjasama, dan mengerti soal pengarsipan?"
"Bapak nggak lagi nawarin saya buat jadi sekretaris, kan?"
Bibir pak Dimas membentuk senyum tipis. "Ratih mau cuti melahirkan dua bulan lagi. Saya butuh seseorang buat meng-handle kerjaan dia selama rentang waktu itu. Kalau kamu bisa mengerjakan semua yang saya bilang tadi, kamu bisa mulai masuk besok buat di-training."
Bibirku terangkat tinggi. Beban yang sedari tadi bercokol dalam dadaku menguap tersapu harapan. "Saya memang awam banget soal desk job yang tadi Bapak sebutkan, tapi saya pembelajar yang cepat tanggap."
Pak Dimas manggut-manggut. Bibirnya juga tidak luput dari senyum, tampak lega. "Saya bisa kasih kamu kesempatan kali ini. Tolong, jangan kamu sia-siakan lagi."
"Saya janji kali ini nggak akan mengecewakan Bapak lagi." Tanganku terangkat, berjanji seperti pejabat yang tengah diambil sumpah jabatan.
"Ya ampun, Yul, itu tangan kamu kenapa?"
Aku meringis, menarik undur tanganku sebelum sempat disentuh Pak Dimas. Lelaki itu memelotot, mungkin terkejut dengan penolakanku. Kenapa aku bisa seceroboh ini memamerkan luka baret kemerahan yang tadi kusembunyikan?
.
.
.
Samarinda, 05 Juli 2024
Salam sayang,
BrinaBear88
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top