12. Terima Kasih
Sepanjang siang hingga sang surya tergelincir ke peraduan, aku terus mengurung diri di kamar. Meringkuk di atas ranjang lantas merutuki diri yang tidak sekali pun jadi seperti yang mama harapkan. Rasanya sangat menyakitkan. Benar-benar mengecewakan!
"Kaita," panggil Akhyar diiringi bunyi ketukan di daun pintu.
Aku diam saja. Jika tidak mendengar sahutan, Akhyar pasti akan segera pergi. Aku tidak mau bertemu dengannya dalam keadaan kacau seperti ini. Mataku bengkak dan tampangku awut-awutan akibat terlalu lama menangis. Dia pasti akan bertanya-tanya dan aku enggan bercerita. Lagipula, mama sudah mewanti-wanti untuk merahasiakan kejadian tadi siang.
"Kaita!" Akhyar berseru seperti bocah yang sedang mengajak kawannya bermain.
Aku tetap bungkam, menenggelamkan diri dalam perenungan di bawah bantal. Hidungku yang mampet makin susah bernapas karena terbatasnya persediaan oksigen di ruang sempit. Sekalian mati saja mungkin lebih baik. Toh, cuma Akhyar yang peduli padaku. Mungkin dia akan beberapa saat berkabung, tapi tidak akan lama dia pasti bisa mengikhlaskan kepergianku.
"Kaita ... makan, yuk!" Sial! Dugaanku salah. Akhyar begitu keras kepala. "Aku beli mi ayam kesukaan Kaita, loh! Itu, tuh, mi ayam di kedainya Bu Bantet!" Iming-iming makanan favorit membuat imanku goyah dengan mudah.
"Akhyar bawel!" Aku memekik kesal. Makin kesal lagi karena bayangan mi ayam membuat perutku yang semula tenang mendadak berisik minta diisi. Dasar perut tidak tahu diri! Di saat genting begini malah tidak bisa diajak kompromi.
"Ka—"
"Berisik banget, tau!" omelku saat membuka pintu. Cengiran lebar Akhyar langsung menyambutku.
"Makan dulu, yuk!" Dia menarik tanganku keluar dari persembunyian. "Ngegalau itu butuh tenaga! Kalau nggak makan, yang ada cuma bikin ambyar ke mana-mana."
Begitulah ...! Ternyata menjaga rahasia dari Akhyar memang tidak mudah. Apalagi kalau bukan karena hidup berdampingan dengan para tetangga yang hobinya gibah. Ada saja yang dengan sukarela mengajukan diri jadi penyambung lidah.
"Waktu dengar dari Bu Hamidah, aku juga bingung. Masa, iya, mama punya utang? Ke rentenir pula. Nggak masuk akal aja gitu." Akhyar menghela napas panjang. Sambil mengaduk sisa kuah yang sudah kehilangan seluruh mi-nya, lelaki yang berkuliah mengambil jurusan teknik elektro itu pun menambahkan, "Apalagi sampai ratusan juta kayak yang Kaita bilang. Ke mana uang sebanyak itu menghilang? Nggak pernah kelihatan wujudnya, tau-tau bikin heboh."
"Kakak punya tabungan sekitar 30-an juta di rekening. Meski masih jauh dari kata cukup, tapi bisa digunakan buat mengangsur," kataku untuk menenangkan Akhyar. Dari raut wajahnya, kentara sekali dia menahan gusar. "Kakak juga bisa menjual motor—"
"Apaan, sih, Kaita?" Nada bicara Akhyar meninggi. "Aku nggak setuju, ya, Kaita punya pikiran kayak gitu!"
Aku memandang gelas kosong bekas minumku dengan pandangan menerawang. "Di saat kepepet begini, kita nggak punya banyak pilihan." Masih lebih baik kehilangan satu-satunya kendaraan daripada merelakan hunian ini yang telah mama jadikan jaminan. "Kakak masih bisa naik angkot atau jalan kaki. Lagian, untuk sekarang, motor itu lebih banyak nganggurnya. Kenapa nggak dimanfaatkan aja sekalian?"
Lagi-lagi Akhyar menghela napas. Dia menggeleng tidak setuju. "Sewaktu-waktu Kaita ada perlu—"
"Nggak akan, Dek," bisikku menenangkan. Kuraih tangannya dan menggenggam jemari besar yang dulu suka sekali digunakan menarik kunciran rambutku. "Kamu lupa, ya, kalau Kakak ini pengangguran sekarang?"
Tatapan Akhyar menyengatku. Dingin dan menusuk kalbu. "Kaita nggak perlu berkorban sebanyak ini. Gimana pun, aku nggak setuju sama usulan Kaita. Pasti ada cara lain yang masih bisa kita lakukan."
Apa? Sekali lagi, kita tidak punya banyak pilihan.
-***-
Kamu di mana, Ta? Ketemuan, yuk! Boring, nih, di rumah terus.
Pesan Nadia yang masuk setengah jam lalu belum kutanggapi. Jujur, aku tidak cukup memiliki kepercayaan diri untuk bertatap muka dengannya. Tidak di saat sekujur hatiku babak belur menanggung perihnya ribuan luka menganga. Aku yang tegar dan kokoh di matanya sekarang berada di titik terendah. Tidak banyak tenaga yang kupunya untuk memasang topeng dan berlakon seolah aku baik-baik saja. Aku terlalu rapuh dan menderita.
Di tengah jerihnya menenangkan riuh pikiran, ponselku berdering. BESTie memanggil. Aku menggigit bibir menatap layar ponsel yang menyala terang. Apa mungkin Nadia mengendus bau bangkai yang satu per satu kusembunyikan darinya?
Tanganku gemetar saat menggeser bulatan hijau ke kanan untuk menerima panggilan. "Halo, Na," sapaku—berusaha terdengar—riang.
"Kamu di mana, Ta?" Seolah tahu akan mendengarku menjawab 'kantor', Nadia sudah lebih dulu menambahkan, "Pengangguran jam segini harusnya nggak sibuk, kan, ya?"
Aku merasakan kepalaku mulai berdenyut. "Di rumah aja, Na." Selang beberapa detik baru aku bisa memberinya jawaban.
"Rumah mana, Ta?"
Rumah mana? Apa mungkin Nadia ....
"Kamu punya banyak banget utang penjelasan, ya! Nggak mau tau, kita mesti cepat-cepat ketemu!" tegas Nadia. Si anak manja yang berhati selembut puding sutra mulai menyalak. Baru kali ini dia terdengar galak. "Share lokasi sekarang juga! Aku tunggu, nggak pakai lama!"
-***-
Banyak yang aku bicarakan dengan Nadia, tetapi tidak semua. Aku cuma mengiakan yang sudah dia tahu dan tetap bungkam untuk hal yang seharusnya menjadi rahasia.
"Please, kapan pun itu, saat kamu kesusahan, jangan dipendam sendiri. Kamu tau pasti kalau aku selalu punya waktu mendengarkan ceritamu atau bahkan kalau kamu cuma perlu tempat buat menangis. Aku juga nggak akan hitung-hitungan saat mengulurkan bantuan. Kita saudara, kan?" Nadia memeluk tubuhku erat. Lama. Hangat. Dia membuatku merasa berharga. "Jaga diri baik-baik, Ta. Chat-ku harus dibalas dan teleponku harus diangkat! Nggak ada alasan apa pun kalau diajak ketemuan. Jangan menghindar!" pesannya lagi sebelum mengurai pelukan.
Aku cuma tersenyum dan mengangguk, tidak benar-benar mengiakan. Meskipun baik hingga ke sumsum tulang, bukan berarti Nadia orang yang tepat untuk menjadi tempat berbagi kesusahan. Dia sudah sangat menderita dan aku tidak mau menambah kesusahannya. "Thanks a lot untuk traktiran makan siangnya."
Nadia mengedikkan bahu. "You are welcome," sahutnya. Sambil menatap mataku, dia bertanya, "Yakin, nggak mau aku antar?"
Aku menggeleng, lagi-lagi menanggapinya dengan senyuman. Nadia tersenyum kecut. Dia mencubit lenganku, kesal.
"Kita sudah bicarain ini tadi, kan?" Sebelumnya aku sudah menolak tawaran Nadia mengantarkanku pulang. Selama ini yang dia tahu cuma rumahku bersama Mas Fatih dan rumah bunda, tetapi tidak dengan rumah mama. Aku lega dia menerima keputusanku. Sekalipun dengan alasan persahabatan, dia tetap menghormati dan tidak berusaha melanggar privasiku.
"Bye, Ta!" Nadia melambaikan tangan.
"See you, Na," jawabku seraya membalas lambaian tangannya.
Cukup lama aku berdiam diri, memastikan Nadia benar-benar sudah pergi. Saat kutengok jam di pergelangan, waktu sudah menunjukkan pukul 5 sore. Aku beranjak, merangkul seberkas harapan untuk dibawa pulang.
"Ah!"
"Aduh!"
Aku dan seseorang memekik berbarengan. Si pemilik suara yang familier di pendengaran mengerang usai memastikan tidak satu pun bawaannya tercecer di lantai. Sementara aku tertegun, diam-diam merapal doa tolak bala. Mulutku terbuka, tapi tidak bisa berkata-kata saking terkejutnya.
Pak Dimas! Dia bukan Voldemort, melainkan hantu. Dia seakan tahu di mana pun keberadaanku.
"Yulita ...!"
"Ya, Pak Dimas. Ada yang bisa saya bantu?"
"Kamu ngikutin saya? Hobi banget kayaknya tiba-tiba muncul di saat saya lagi sakit kepala." Aku merasa Pak Dimas menatapku dengan sorot berjuta makna. Saking banyaknya, aku tidak mampu meraba-raba perasaannya.
"Mungkin Bapak yang mulai ketergantungan sama saya."
Pak Dimas berdecak. "Kamu kenapa kemarin pulang?"
"Lah, memangnya saya harus nginap di rumah bapak?" Aku meringis. "Apa kata dunia kalau tau seorang Yang Mulia Dimas Arisatya menyelundupkan janda di rumahnya?"
Pak Dimas ikutan meringis. Dia geleng-geleng terus melayangkan telunjuknya menyentil keningku. "Kamu mulai stres kayaknya."
Iya, aku stres karena ketemu Bapak terus!
"Saya serius, kenapa kamu pulang kemarin? Dengar, kan, waktu saya suruh tunggu sampai saya bangun?"
"Iya kalau bapak bangun. Kalau nggak, gimana?" gumamku sambil menunduk dan lagi-lagi Pak Dimas menyentil keningku.
"Doa kamu kenapa jelek begitu, sih? Serius banget kayaknya pengin saya cepat-cepat lewat."
Bibirku mengerucut. Saat mengangkat wajah, tatapan kami beradu. "Maaf, Pak. Tapi kalau saya jujur, jangan marah, ya?"
Pak Dimas berdeham. "Go ahead!" titahnya sambil tersenyum.
"Habisnya bapak nyebelin."
Bukannya marah seperti kekhawatiranku, Pak Dimas malah tersenyum. "Maaf." Dia terdengar tulus.
"Karena saya baik sejak orok, saya maafkan, deh, Pak."
"Omongan kamu barusan malah terkesan nggak ikhlas." Sudut-sudut bibir Pak Dimas terangkat sedikit lebih tinggi dari sebelumnya.
"Jadi, kenapa, toh, Bapak ngebet banget pengin bangun tidur terus lihat saya masih di sana?"
"Omongan kamu barusan mengesankan saya punya ketertarikan sama kamu." Senyum Pak Dimas berantakan.
Duh, salah lagi! "Bapak kenapa jadi hobi banget memperbaiki tata bahasa, sih?" tanyaku sebal.
Pak Dimas tidak lagi tersenyum, tetapi sorot matanya terasa lebih teduh dan bersahabat dari yang selama ini pernah kulihat. "Saya mau berterima kasih sama kamu." Dia menyentuh pelan bahuku. Singkat. Tangannya turun dengan cepat. "Terima kasih untuk banyak hal baik yang sudah kamu lakukan buat saya dan Arka hari itu."
.
.
.
Thanks for reading... Jangan lupa tinggalkan jejak yang banyak. See you di next chapter.
Samarinda, 25 Juni 2024
Salam sayang,
BrinaBear88
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top