11. Tamu Tak Diundang

Sisi kemanusiaan yang sejatinya kerdil memanggil. Semakin aku ingin tak acuh, semakin ia ricuh. Karena takut Pak Dimas kenapa-kenapa jika kutinggal sendirian, akhirnya kuputuskan mengantarnya pulang. Awalnya, sangat susah membujuknya bertukar tempat. Memaksanya membuka mata yang terlanjur berat saja, kami sampai menghabiskan sekitar 10 menit untuk berdebat. Dia khawatir, bukannya sampai rumah, kami justru berakhir menjadi arwah. Namun, setelah kuyakinkan bahwa aku pengemudi yang baik, bahkan memiliki surat izin resmi, dia mengalah. Pasrah.

"Simpan ini baik-baik," katanya saat mengembalikan SIM-ku. Wajahnya tampak tak ramah. Mungkin efek kubangunkan paksa.

"Nggak usah Bapak suruh, saya tau caranya menjaga barang milik saya." Menjaga suami agar tidak berpindah ke lain hati yang aku tidak bisa. "By the way, Pak, tolong SIM saya dimasukkan ke dalam tas."

"Ngelunjak, ya, kamu!" Pak Dimas cemberut. "Saya suruh kamu, kamu balik main suruh-suruh saya!" gerutunya kesal.

"Kan, saya lagi nyetir." Aku menyengir. "Lagian tas itu letaknya di luar jangkauan saya," ucapku memonyongkan bibir ke bawah kakinya.

"Fokus, Yul! Jaga pandangan tetap lurus ke depan. Jangan sembrono!" Tidak hanya ucapan, Pak Dimas juga menghardik dengan pelototannya. Syukurnya, dia memenuhi perintahku walau terlihat enggan.

Ucapan Pak Dimas tidak kugubris. Tanpa meminta persetujuan aku mengakses MP4 mobilnya, mencari-cari lagu yang lebih enak didengar daripada kicauan si empunya. Ternyata, selera lelaki ini tidak buruk. Pak Bos mungkin terlihat kaku dan membosankan, tetapi lagu-lagu di playlist-nya termasuk hits meski tidak bisa dibilang kekinian.

My pride, my ego, my needs, and my selfish ways
Caused a good strong woman like you to walk out my life
Now I'll never, never get to clean up the mess I made, ohh...
And it haunts me every time I close my eyes

Pak Dimas memang tidak mengomentari pelafalanku yang amburadul atau nada yang meleset, tetapi lelaki berkulit putih itu kembali buka suara, seolah tidak rela membiarkanku tenang mengekspresikan diri dengan menyanyi. "Kamu yakin tau alamat rumah saya?"

Aku memutar bola mata. "Bapak istirahat yang tenang aja, deh! Nggak usah bawel!" cetusku kesal, balas memelotot padanya. Kalimat serupa sudah tiga kali keluar dari mulutnya.

"Kalau kamu nyasar, gimana?" Dia masih menatapku sangsi.

"Yaelah, Pak! Anteng dikit, kenapa, sih?" Emosiku mulai terpantik.

"Sebenarnya saya ragu kamu memang sebaik ini. Bisa aja, kan, kamu berniat balas dendam. Sengaja menunggu saya lengah terus—"

"Bapak jangan ngaco, deh! Makanya biasain berbaik sangka sama orang, Pak. Memangnya apa yang Bapak pikirkan? Saya menculik terus mau memutilasi Bapak? Ogah, Pak! Sudah capek, ngotor-ngotorin tangan saya, risiko di penjara lagi. Andai lolos di dunia, di akhirat nggak akan bisa lari dari tanggung jawab. Sudah gitu, besar kemungkinan ketemu Bapak lagi di pintu neraka. Apes dunia akhirat itu, sih, namanya!" omelku sedikit blak-blakan. Pengin banget bibirnya yang nyinyir itu kujepit pakai binder clip ukuran paling besar biar tidak asal bicara.

"Kamu kenapa galak gitu, sih, Yul? Saya lagi sakit, loh! Saya juga nggak minta kamu antarin saya kalau memang keberatan."

Ya Tuhan, tolong sabarkan hati hamba menghadapi makhlukmu yang satu ini. Tarik napas, embuskan. Tarik lagi, buang lewat jalur yang benar. Aku menoleh sebentar, tersenyum—dipaksakan—padanya. "Lah, Bapak yang mulai duluan. Coba aja Bapak nggak ngomong asal, saya nggak akan nyerocos kayak barusan. Buang-buang energi aja," balasku sebelum mendengkus, membuang sisa amarah lewat embusan napas.

"Oke, maaf," ucapnya tidak terdengar sungguh-sungguh. "Pastikan saya sampai dengan selamat di rumah. Jangan nyasar ke mana-mana, apalagi sampai ke alam gaib," celetuknya lagi seolah tidak kehabisan bahan.

"Nggak usah parno gitu, Pak." Setan sama Bapak juga, lebih seram Bapak, kok! Jadi, kedatangan Bapak sekalipun itu akibat menyasar, tidak akan diterima di alam sana.

"Saya tidur dulu, Yul. Dengar suara kamu bikin kepala saya berdenyut lagi."

Aaargh, suka-suka Bapak! Capek, deh!

-***-

Pak Dimas langsung beristirahat sesampainya di rumah. Namun, dia sempat berpesan agar aku menunggunya bangun. Buat apa? Mau mengucapkan terima kasih? Kelamaan! Jadi, setelah memastikan tidak ada barangku tertinggal di mobilnya, aku pamit undur diri. Sang asisten rumah tangga bernama Narti sempat menahanku. Mengingat pesan Tuan, begitu katanya. Namun, aku beralasan ada urusan mendesak siang ini. Tidak bohong, sih! Perutku sudah mengheningkan cipta sejak tadi.

"Kami nggak mau tahu! Pokoknya Ibu harus bayar sekarang juga!" Seorang lelaki berbadan besar berdiri angkuh di teras rumah. Ojek daring yang mengantarku sampai terlonjak kaget saat lelaki itu menggebrak pintu rumah yang menganga. Lekas-lekas driver berjaket kuning—yang kebetulan sesama kaum hawa—itu tancap gas. Persis setelah aku melakukan pembayaran.

Beberapa tetangga mengintip dari rumah masing-masing, tampak ingin tahu apa yang tengah terjadi. Menghindari pertanyaan ini itu, aku segera mengayun langkah memasuki pekarangan. Salam yang kuudarakan tidak mendapat sahutan. Termasuk oleh mama yang duduk tergugu di ruang tamu.

"Ada apa sebenarnya ini?" tanyaku dengan jantung berdentam bak genderang. Dari lelaki sangar dengan tato kapak merah di lengannya, pandanganku beralih ke mama.

"Ibu ini nggak mau bayar hutangnya!" Lelaki itu menuding mama dengan telunjuknya, membuat kepala mama menunduk semakin dalam.

"Hutang apa?" gumamku tak percaya. Jantungku rasanya mencelus ke usus. Buat apa mama berhutang? Besarkah pinjamannya sampai ditagih debt kolektor begini?

"Saya janji secepatnya akan saya bayar," janji mama lirih dan bergetar.

"Kalau sampai waktu yang sudah Ibu janjikan tetap nggak ada pembayaran yang masuk, kami akan datang lagi dan obrak-abrik rumah ini!" ancam lelaki lain yang baru kulihat keberadaannya. Turun naik matanya bergerak mengulitiku dengan tatapan menilai. Tatapan yang membuat bulu halus di sekujur tubuhku meremang. Lelaki bertubuh sedikit lebih kurus itu tersenyum miring, mengayun langkah keluar dan melewatiku. Tidak sepatah kata pun keluar dari mulutnya, tetapi aku bisa merasakan betapa buruk auranya.

"Ma?" Aku segera menghampiri mama, bersimpuh di kakinya.

"Coba kamu nggak cerai sama Fatih, nggak akan kejadian begini, Ta!" Mama mendorongku kuat-kuat hingga aku jatuh terjengkang. "Dasar anak pembawa sial!" hardiknya.

Setelah sekian lama, kalimat itu kembali keluar dari mulutnya. Aku bahkan lupa rangkaian kata itu pernah ada. Untukku, dari ibu kandung yang telah melahirkanku.

"Berapa jumlah pinjaman mama? Lita masih punya tabungan—"

"Berapa memangnya yang kamu punya? 150 juta, Ta! Ada kamu duit segitu, hah?" Tatapan nyalang mama membakarku.

Aku terhenyak. "150 juta ...?"
.
.
.
Thanks for reading..
Jangan lupa tinggalkan jejak ⭐💬
See you di bab selanjutnya
Samarinda, 18 Juni 2024
Salam sayang,
BrinaBear88

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top