10. Bertemu Bunda
Aku menadahkan tangan di samping lengan Pak Dimas, tetapi dia sepertinya tidak menyadari yang kulakukan lantaran matanya terpejam rapat. Lelaki itu sedang memijat kening juga pangkal hidungnya dengan tangan kanan sementara punggungnya menempel di sandaran kursi yang telah diatur lebih rendah.
"Kenapa belum pergi juga, Yul?" tanyanya lirih.
Tidak mampu menahan cengiran padahal sadar dia tidak akan melihat ekspresiku, aku balas bertanya, "Duitnya mana, Pak?"
"Pakai duit kamu, lah!" sahutnya ketus.
"Kok, gitu?" Aku menahan diri untuk tidak melarikan kuku-kuku runcingku ke wajahnya. Bukan jawabannya yang membuatku sebal, tapi cara bicaranya yang mengundang emosi.
"Sebagai pertanggungjawaban kamu sudah bikin kepala saya mau pecah."
"Bapak, nih, kayaknya baperan banget, ya? Seingat saya, obrolan kita nggak yang aneh-aneh, kok, sebegitunya sama saya? Bapak dendam gara-gara 3M itu? Kan, nggak kejadian, Pak! Perusahaan Bapak aman terkendali dan tetap beroperasi seperti biasa sampai detik ini." Aku terengah menahan amarah yang membumbung di ubun-ubun.
"Kamu yang baperan kayaknya, Yul." Pak Dimas membuka mata dan menoleh ke arahku. Padahal dari tadi mengeluh kepalanya mau pecah, tapi tatapannya tetap dingin dan tajam. Tidak ada lembek-lembeknya. Tidak terlihat semenderita yang dia bilang. "Harga obat sakit kepala berapa, sih, sampai kamu merepet panjang lebar gitu? Nggak ikhlas nolongin saya, hah?"
Aku memberengut. "Ikhlas, sih, ikhlas, Pak! Tapi-"
Dengan sangat tidak sopan, Pak Dimas menyela ucapanku. "Nah, itu! Karena kamu ikhlas, buruan pergi ke apotek itu dan beli obatnya sekarang. Atau kamu lebih suka lihat kepala saya beneran meledak dan otak saya terburai di mana-mana?" tanyanya masih dengan nada tinggi yang sama.
Ingin kugetok kepalanya dengan high heels biar dia sadar kalau-jangankan meledak-dipukul saja rasanya sakit luar biasa. "Istighfar, Pak." Aku mengingatkan dirinya, sekaligus diri sendiri. Berdua lama-lama dengan Pak Dimas ternyata sangat menguras emosi sekaligus menguji kesabaran. Heran, mengapa Mbak Ratih bisa betah banget kerja jadi sekretarisnya selama bertahun-tahun? Sepertinya hanya orang-orang pilihan dengan hati seluas samudera yang bisa hidup berdampingan dengan laki-laki ini dan jelas aku tidak termasuk dari golongan itu.
"Habisnya kamu lama banget," keluhnya melemah.
Tahan, Yul, sabar. Orang sabar rezekinya mekar menjalar. Aamiin ....
Segenap jiwa dan raga aku memaksakan diri untuk tersenyum. Setelah berhasil, aku menyahut, "Mohon kepada Yang Terhormat Bapak Dimas Arisatya agar menunggu sebentar. Permintaan Anda segera diproses. Tolong, kepalanya jangan meledak sekarang. Saya nggak mau diinterogasi polisi terus dipenjara dengan tuduhan melakukan hal yang nggak saya lakukan," balasku dengan nada manis dan lembut yang dibuat-buat.
"Bagus!" Dia menjentikkan jari. Bibirnya berkedut-kedut seperti menahan tawa. Atau sebenarnya sedang menahan ringisan? Karena setelahnya dia kembali memejam dan memijat kepalanya.
Rugi bandar, sih, ini namanya! Pak Dimas sedang mengerjai aku atau bagaimana, sih? Namun, dilihat-lihat, dia memang benar-benar sedang kesakitan. Setengah berlari aku menuju apotek yang di plangnya tertulis "Open 25 Hours a Day, 8 Days a Week". Suka ngaco memang orang-orang zaman now!
-***-
Pesanan Pak Dimas sudah ada di tangan, tetapi langkahku terpaksa harus ditahan. Di depanku, Bunda tersenyum. Segudang rindu berkelebat di sorot matanya. Perempuan 50-an tahun itu menubrukkan diri, melingkari tubuhku dengan dekapan hangat seperti yang senantiasa dilakukan. Dulu. Ya, dulu. Sebelum semua rasa harus ditekan dan ditelan paksa.
"Kamu apa kabar, Ta? Bunda kangen banget sama kamu." Bunda bicara dengan suara serak. Getar suaranya terdengar jelas runguku, membuat dadaku mendadak sesak.
Aku memejam rapat, menghalau air mata yang mengancam turun.
"Kamu sakit, Ta?" tanya Bunda lagi setelah mengurai pelukan. Dipandanginya aku dengan saksama. Gurat kekhawatiran menghiasi wajahnya.
Aku menggeleng. Sambil mengumpulkan kata yang berserak di benakku, aku mengontrol diri untuk terlihat biasa. Yang bunda harus tahu, aku baik-baik saja. "Lita beli obat buat Pak Bos," terangku sambil menggoyangkan tangan menunjukkan plastik berisi obat dan dua botol air mineral yang barusan kubeli. "Migrainnya kambuh. Katanya kepalanya mau meledak."
Bunda mengangguk ringan, tampak lega. "Kamu jaga kesehatan. Jangan sampai jatuh sakit."
Aku mengangguk kikuk. Seumur hidup, aku tidak pernah secanggung ini berhadapan dengannya. Di satu sisi, kecewa itu membekas dalam di hatiku. Di sisi lain, emosiku dalam bentuk gelombang rindu. "Maaf Lita nggak sempat jengukin Bunda di rumah sakit waktu itu."
Sambil menyusuri pipiku dengan telunjuk keriputnya, Bunda mengangguk. Senyum teduhnya membuat hatiku teremas. "Nggak apa-apa. Bunda tau, kamu pasti sibuk," sahutnya lirih. Mata tuanya memaku tatapanku. Pedih.
Ya, sibuk. Aku sibuk menata hati dan membangun kepercayaan diri.
"Bunda ngapain di sini?" Aku lihat ada praktik dokter di apotek ini. Kupikir, bunda sedang berobat jalan.
Bunda menunduk, tampak rikuh. Dengan dagu dia menunjuk ruang di sisi kiri bangunan. "Tama lagi vaksin. Baru aja masuk."
Napasku tercekat. Kalau ada Tama, berarti Silvia juga di sini. Aku berdeham sebelum berucap, "Lita pergi dulu, Bun. Kelamaan Pak Bos nunggu obatnya."
Berat hati bunda menarik mundur tangannya dari lenganku. Matanya tampak berkaca-kaca tidak rela. Namun, aku harus segera angkat kaki. Sekuat apa pun aku membentengi diri, yang namanya luka dalam hati tidak semudah itu mengering. Aku belum ada separuh jalan dari usahaku memulihkan diri.
"Maafkan Bunda." Dua kata itu cukup sebagai pengingat untuk segera minggat. Jangan sampai bunda melihatku menangis. Aku juga tidak sanggup melihatnya menangis.
-***-
"Maaf, saya nggak bisa mengantarmu pulang seperti janji saya sebelumnya." Pak Bos terlihat makin kuyu setelah menenggak langsung dua butir parasetamol sepuluh menit lalu. Apa mungkin dia overdosis?
"Nggak masalah saya pulang naik ojek daring," sahutku. Dibanding aku, keadaannya justru lebih patut dikhawatirkan. "Apa yang bapak rasakan sekarang? Mengantukkah? Napasnya sesak, nggak? Pandangan normal atau mulai buram?"
"Apa maksud kamu, Yul? Saya nggak ngerti."
"Bapak nggak merasa seperti yang saya sebutin tadi?"
Pak Dimas menggeleng lemah.
"Bapak nggak lihat yang aneh-aneh, kan?" Siapa tahu Malaikat Izrail sudah siap mencabut nyawanya. Aku bergidik ngeri sendiri.
"Kamu yang ngomongnya aneh-aneh, Yul." Pak Dimas masih setia terpejam. Malah, aku merasa kesadarannya hilang perlahan.
"Pak!" panggilku sambil menggoyang pelan lengannya. Aku mulai gemetar dan keringat dingin karena tidak ada sahutan. "Bapak jangan lewat gitu aja, dong, Pak!" Aku merengek.
Masih tidak ada sahutan. Dadaku berdebar makin kencang. Bayangan aku menjadi pesakitan dan disidang karena kasus pembunuhan wara-wiri di otakku. Duh, Gusti ....
"Pak!" Dengan panik kutepuk-tepuk pipi Pak Dimas. Sekuat tenaga. Air mataku sudah menggenang di pelupuk mata.
Pak Dimas menggeram murka. "Apa, sih, Yul? Saya baru aja mau tidur. Mana bisa saya istirahat kalau kamu berisik terus mukulin saya kayak tadi!" hardiknya dengan mata merah menyala.
Nah, ini baru Pak Dimas yang kukenal!
Aku sesenggukan sebelum menyahut, "Saya takut Bapak lewat karena kebanyakan minum obat."
"Kamu sarapan apa, sih, pagi ini jadi mikir serba kejauhan?" gerutu Pak Dimas dengan mata kembali memejam. Kali ini aku biarkan saja karena tahu dia tidak apa-apa. Mendengar dengkur halusnya mengudara, aku menghela napas panjang. Rasanya lega luar biasa.
So, Yulita, sekarang kamu mau apa?
.
.
.
Terima kasih sudah membaca ....
Happy weekend 😊
Btw, jangan lupa mampir ke Is There a Second Chance for Us?, ya... Cerita kolaborasi bareng Kak AhyaBee_ yang baru sempat ku-update semalam. See you There, Guys!
Samarinda, 15 Juni 2024
Salam sayang,
BrinaBear88
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top