KaseHana - 9

MINGGIR KALIAN SEMUA AKU MAU NGASUP /heh

[montblanc]

Matahari sedang kuat-kuatnya menyengat. Semua orang yang berlalu-lalang di pertokoan berkeringat. Tak sedikit yang memutuskan berteduh sembari rehat. Gerah, menyeka kening yang tak henti bercucuran, mengibaskan kerah pakaian untuk mencari sedikit kesejukan, bahkan membawa kipas digital untuk mengusir rasa kepanasan.

"Untung tempat ini punya AC berkekuatan super." celetuk Fukase sembari menyeruput red velvet.

"Kau selalu bilang begitu setiap musim panas." balas Flower sembari memutar sepasang mauve.

"Apa iya?"

"Hah. Kau tidak sadar? Tak penting juga, sih."

"Sadar tidak sadar, sebenarnya." Fukase tersenyum kecil. "Kita tidak menyadari sesuatu karena selalu kita lihat, kita dengar, itu hal yang wajar, 'kan?"

Flower memotong mont blanc yang dipesannya. "Kau mau bicara apa lagi sekarang?"

"Pertama kali kita menemukan tempat ini, rasa makanannya selalu sama.  Istilahnya, quality control di sini sempurna, tak main-main. Porsi yang tak pernah dikurangi. Topping yang konsisten baik jumlah, penempatan, maupun rasa. Minumannya juga, tak pernah kudapati mereka mengurangi gula, mengganti jenis cokelat, maupun menambah es sehingga volumenya bertambah signifikan. Dekorasinya pernah diganti, namun entah mengapa, mereka selalu bisa menemukan kertas dinding atau stiker yang sama. Sedetail itu." cerocos Fukase bersemangat.

"Kau menganggap hal seperti ini menarik?"

"Memangnya kenapa?"

"Yah, tidak kusangka saja." ucap Flower. "Sejauh yang aku tahu, kau orang gila yang senang mencoba hal-hal baru, melakukan hal-hal yang di luar nalar."

"Mempertimbangkan inflasi, pandemi, dan lain-lain, menurutku fakta bahwa toko ini masih bertahan dengan segala quality control yang mereka terapkan adalah hal yang di luar nalar." Senyum terukir di wajah seputih porselen Fukase. "Tidakkah itu luar biasa?"

"Yah ... bisa jadi." Flower menyuapkan mont blanc, meresapi manisnya cokelat susu. "Kau juga sepertinya tidak pernah berpikiran untuk mengajak orang lain ke sini, selain aku?"

"Entahlah, rata-rata temanku tidak suka manis." jawab sang pemuda berhelai merah. "Bagaimana denganmu? Pernahkah kau mencoba mengajak Yuu kemari? Aku tahu dia mahasiswa boga yang menggemari dessert, aku yakin ia akan berterimakasih banyak padamu kalau kau membawanya ke tempat ini."

"Tidak."

"Tidak ada salahnya, kan?"

Kalimat terakhir sebelum keheningan.

Ya, mereka berdua menelan mont blanc itu, lagi.

Menelan bulat-bulat rasa itu untuk kesekian kalinya.

Berkali-kali Fukase mengajak Flower pergi ke toko kue itu, kata-kata yang ingin ia sampaikan tak pernah terungkap.

Berkali-kali Flower memesan mont blanc, panganan manis itu selalu tertelan bersama dengan perasaan yang ingin ia utarakan.

Semuanya masuk kembali, bersama setiap suap manisan.

[selendang]

Seisi desa tak henti menyebut suaminya sebagai pria yang beruntung.

Fukase. Pemuda baik dengan tutur kata yang sopan. Pekerja ladang yang ramah dan ringan tangan. Pemuda beruntung yang berjumpa dengan gadis anggun bak bidadari. Berhasil menjalin cinta dan mempersunting gadis itu menjadi istrinya. Ia mendapatkan hati perempuan muda secantik bunga, meski sebagian besar wajahnya terbalut luka bakar—jauh dari kata rupawan. Tak masuk akal rasanya jika Fukase berhasil memiliki Flower, sang kembang desa.

Banyak yang kagum, namun tak kalah banyak yang dengki. Menyebar ujaran kebencian, desas-desus tak mengenakkan. Mengaitkan keberuntungan Fukase dengan jampi-jampi, kecurangan, manipulasi, bahkan kekerasan dan pemaksaan. 

Putri sang kepala desa adalah salah satu orang yang tak henti-hentinya berkicau tentang hal itu. Hari masih pagi saat indra pendengar Flower menangkap suaranya. Membicarakan—lagi-lagi—kabar burung mengenai ia dan Fukase. Mengaitkan perjumpaan keduanya dengan salah satu cerita rakyat yang kondang di wilayah desa mereka.

Seorang pemuda cabul mengintip bidadari-bidadari yang sedang mandi, lalu menyembunyikan selendang milik salah satu dari mereka. Saat bidadari-bidadari itu merasa sudah saatnya pulang, salah satu dari mereka kebingungan mencari selendang ajaib, tak bisa kembali ke khayangan bersama saudara-saudaranya. Pemuda itu pura-pura menawarkan bantuan untuk mencari, namun hasilnya nihil—jelas, ia menyembunyikannya. Menyimpannya di gubuk rumahnya, menutupinya dengan jerami. Bagai kisah-kisah romansa pada umumnya, kedekatan terjalin di antara mereka, berbahagia dan membangun bahtera rumah tangga. Sayangnya, suatu hari sang gadis menjumpai selendang sakti miliknya tatkala sang suami berladang mencari nafkah. Mengetahui akal-akalan sang suami untuk menjebaknya, bidadari itu pun murka, meninggalkan pria malang itu dan kembali ke tempat asalnya.

Salah satu gadis yang muak dengan bualannya menanggapi dengan ketus. Meminta sang nona untuk menjaga mulutnya, menyuruhnya bungkam.

Flower menunjukkan ekspresi terusik saat mendengarkan seluruh bualan gadis itu. Ah, wanita ular. Mendesis saja terus, seolah ada yang peduli padamu.

Legenda itu tak salah, Flower salah satu bukti nyata—ya, pesona bak bidadari yang diungkapkan warga desa sesungguhnya bukanlah kiasan, andai mereka tahu. Flower memang salah satu dari mereka, salah satu makhluk yang kerap disebut dalam kisah-kisah fantasi, diceritakan memiliki paras dan tata krama yang memukau, dengan kekuatan sihir yang menjadikan sosoknya hampir sempurna.

Mereka salah tentang Fukase—beberapa tentang Flower juga.

Flower tak senang hidup di alam nun jauh di sana. Ia tak mau dipersunting seorang pujangga yang tak dicintainya. Ia tak mau meneruskan takhta kerajaan, meski ayahanda bilang ialah yang layak menjadi sang penerus, meski rakyat memintanya. Ia sudah muak hidup bergelimang harta dan kuasa. Ia mendambakan hidup yang sederhana, menjumpai orang-orang yang memang mau hidup bersamanya tanpa embel-embel putri raja.

Ia kabur, membuang selendang saktinya, menjalani hidup seperti rakyat jelata, hingga menemukan sesosok manusia yang membawanya pada kehidupan sederhana yang selama ini ia nantikan. Memang, parasnya tak berubah, namun pemuda ini tak mengeksploitasi kecantikannya—alih-alih merusak, ia tahu bagaimana memelihara. Flower sebagai orang yang hidup dan menyaksikan perilaku orang-orang alam lingkup pemerintahan, tahu persis bagaimana ia harus menilai pemuda bersurai bak mawar yang dijumpainya.

Dan ia bahagia.

[truth]

"Kau mau membawanya pada Duke Tonio sekarang, Kapten?"

Fukase meletakkan gelas bir ketiganya hari itu, lalu berpaling pada sumber suara. Len "Golden Monkey" Kagamine, sang anak buah kepercayaan, memanggilnya sembari melihat jam.

"Panas sekali di luar. Kau tidak mau menunggu nanti sore?" ujar Fukase sembari menyeka keringatnya. "Aku baru saja mengantar Oliver ke kediamannya, dan bocah itu sempat minta dibelikan es krim dulu. Ada-ada saja."

"Justru aku mengingatkanmu untuk melakukannya sekarang saja—perasaanku mengatakan bahwa gubernur itu akan sibuk dengan selir-selirnya nanti sore." bisik Len.

"Benar juga." Sang kapten yang terkenal dengan sebutan iblis merah terkekeh. Teringat suatu hari saat mereka menunggu selama dua jam di depan rumah dinas sang gubernur, yang ternyata sedang asyik berpesta dengan istrinya—entah istri keberapa—di basement rumah dinas.

"Baiklah, akan aku bangunkan Wild Flower sekarang." Len beranjak.

"Biar aku saja." cegah Fukase.

"Hmmm?" Len menaikkan alisnya. "Sebenarnya aku antara peduli dan tidak, namun karena fakta yang kita temui hari itu bahwa Wild Flower ternyata adalah seorang perempuan, aku jadi merasa perlu mengawasimu."

"Percayalah, aku jauh lebih menghormati wanita ketimbang gubernur-gubernur yang selama ini kita jadikan ladang uang." Fukase terkekeh lagi.

"Semoga ucapanmu benar. Baiklah, jangan sampai terlambat—aku malas menambah uang sewa penginapan lagi. Pelayan penginapan ini tidak ramah." gerutu Len.

Fukase memutar iris bak mawar yang tak tertutupi eyepatch. "Katakan itu pada dirimu sendiri—kau sama saja."

Len tak menggubris kalimat terakhir sang kapten. Nampaknya pemuda itu melangkah ke kedai minum untuk kesekian kalinya. Fukase menghela nafas melihat kelakuan sang first mate yang tak pernah berubah.

Ia pun kembali ke tujuan utamanya, menengok penyamun kelas kakap yang sukses ia taklukkan, seorang—yang baru diketahui—wanita, dikenal sebagai Wild Flower.

Sepasang matanya masih terpejam, menyembunyikan lembayung berkilau bak kristal. Tak akan ada yang menyangka bahwa sosok yang tengah terlelap ini merupakan momok bagi sebagian besar penjelajah laut, makhluk mengerikan yang siap meluluhlantakkan kapal yang berpapasan dengannya, merampas seluruh harta berharga, membiarkan sang empu terkatung-katung di lautan—oh, entah berapa jiwa yang harus menempati samudera sebagai peristirahatan terakhirnya.

Fukase akan dicap gila seluruh pelaut jika membiarkannya hidup. Namun, entah mengapa, ia melakukannya. Kesempatan kedua? Sejauh ini tak ada yang tahu isi otak sang penyamun berjuluk mata merah sesuai fisiknya.

Akankah ia mengeksploitasi Wild Flower? Menjadikannya anak buah kapal atau malah lebih rendah dari itu, mengingat Fukase kini telah mengetahui jenis kelaminnya yang sesungguhnya?

Kedua kelopak mata sang gadis perlahan terbuka. Flower berusaha mengumpulkan keping demi keping ingatan, merangkai kejadian demi kejadian. Agaknya tak masuk akal jika dirinya berada di surga sekarang—di luar permasalahan percaya atau tak percaya kepada Tuhan, Flower cukup sadar bahwa ia sedang berada di penginapan, entah bagaimana caranya.

"Sudah sadar?"

Rasa pening dan nyeri menghujam, terlebih pada pahanya yang belum lama ini ditembus peluru. Flower mengerjap dalam-dalam, mengumpulkan tenaga untuk bangkit. Memar membiru di sekujur tubuhnya belum sepenuhnya pulih, namun ia menyadari kondisinya yang sudah lebih bersih. Alih-alih terseret ombak dan terdampar di tepi pantai, seseorang pasti telah menemukannya—bahkan merawatnya.

Menebak-nebak, Flower yakin yang merawatnya ialah orang biasa, rakyat jelata yang tak tahu-menahu tentang reputasinya. Andai saja sosok yang menemukannya adalah pelaut atau penyamun lain, mungkin ia sudah binasa. Ia tahu persis nominal uang yang dianggarkan seorang petinggi wilayah sebagai apresiasi bagi bajak laut yang menangkapnya—lima puluh juta keping emas, hidup atau mati. Mengingat agaknya mustahil menangkap Wild Flower hidup-hidup.

"...ah—"

"Minumlah dulu."

Suara lembut yang tak asing. Flower berusaha mengingat sang empu. Apakah itu salah satu dari bawahannya? First mate? Quartermaster? Gunner?

Flower menegakkan tubuhnya, bersandar di kanopi ranjang. Berusaha menjangkau secangkir teh yang diletakkan di meja kecil entah oleh siapa. Kamar yang disewakan untuknya ternyata memiliki spesifikasi yang tak main-main, bisa dibilang ini adalah salah satu kamar termewah di penginapan—berdasarkan pengalamannya. 

"Biar kubantu."

Sosok bersurai merah, penutup mata di mata kiri, tangan yang penuh perban—Flower ingat sekarang.

Kapten tangguh berjuluk Iblis Merah, bajak laut yang baru saja mengalahkannya.

"Ini tidak mungkin. Kau membiarkanku hidup?"

"Memangnya tidak boleh?" tukas pemuda itu.

"Terserah padamu, sebenarnya." jawab Flower sembari menyesap teh chamomile. "Toh, kau akan menerima hadiah yang sama, dead or alive."

Fukase berbalik badan. "Kau ingin aku menyerahkanmu pada Duke Tonio?"

"Lagipula, apa lagi yang mungkin akan kaulakukan?"

"Kau bertanya padaku, Nona Wild Flower?"

Flower tercekat. Hampir saja teh chamomile menyembur dari hidungnya. Jantungnya seolah melorot, terlepas. Ia baru menyadari bahwa pakaiannya sudah berganti menjadi gaun tidur dari sutra—mengapa harus gaun penuh renda nan feminim, sih?

"Ah, maaf. Aku janji tidak melihat terlalu banyak hal—" Fukase pun kelabakan juga dengan keheningan yang tiba-tiba.

"Tunggu. Duke Tonio tidak menceritakannya padamu?"

"Mengenai apa?"

"Baiklah..." Flower meletakkan cangkir teh miliknya di sisi ranjang. "Aku memang buronan Duke Tonio, seperti yang kau tahu."

"Lalu?"

"Aku salah satu mantan istrinya, wahai One-eyed Red Devil. Ia menikahiku saat usiaku 16 tahun."

Kini Fukase yang tercekat. Ia tahu bahwa  bangsawan yang satu itu memang terkenal karena harem yang ia bangun, namun mempersunting gadis di bawah umur?

Fukase berusaha mengingat-ingat nasibnya di umur yang sama—oh, memang hidupnya juga tak sebahagia kaum darah biru, ia berasal dari kalangan pedagang yang hampir bangkrut kala itu. Ia pikir hidup berpindah-pindah karena dikejar-kejar pemungut cukai dan penagih hutang sudah yang terburuk.

"Tentu saja pernikahan itu sudah diatur. Dilatarbelakangi harta. Kekalahan ayahku dalam berjudi membuatku bernasib seperti ini, hahaha."

"Lalu, kau kabur?"

"Seperti tebakanmu. Aku masih ingat berapa gulden yang kucuri darinya, berapa pedagang pasar yang kuporakporandakan dagangannya kala itu sehingga mereka menjadi anak buahku. Aku masih ingat kaca mansion yang kupecahkan untuk akses, jeritan salah satu selirnya saat aku kabur, setelah aku mengancam akan memenggal mereka satu persatu. Aku ingat bagaimana aku lepas dari belenggu dan segala kuasanya, perlakuan tidak menyenangkan darinya."

"Kau cukup berani untuk melakukannya, Nona."

"Yah, menyusuri pelabuhan demi pelabuhan, pertaruhan nyawa di laut lepas, aku tak menyangka akan menjalani hidupku seperti itu. Tapi, itu lebih baik daripada—"

"Hidup demi kepentingan orang-orang yang tak menyayangimu, kan?"

"Begitulah." Flower menghela napas. "Selama ini, para pelaut yang diperintahkan untuk menangkapku, semuanya mengetahui bahwa aku adalah mantan istri sang Duke, gadis sialan yang kabur dari genggamannya, berkhianat dan menjadi bajak laut. Anehnya, ia tidak memberitahumu."

"Dari penampilanmu aku pun tak menyangka. Meskipun demikian, kau petarung yang hebat, Wild Flower. Entah pelaut lainnya meremehkanmu karena kau seorang perempuan lalu mereka tidak sungguh-sungguh saat menjalankan misi itu atau bagaimana. Menurutku, kau lawan yang tangguh, bahkan ketika aku belum tahu kau seorang perempuan. Pertarungan kala itu benar-benar tak terduga, jika harus kukatakan." ucap Fukase sembari tersenyum.

"Jadi, kau akan menyerahkanku pada sang Duke atau bagaimana?"

"Aku punya ide yang lebih bagus."

[bounty]

Tatkala mentari mulai condong ke ufuk barat, Fukase bertandang ke kediaman sang gubernur. Seperti biasa, Duke Tonio terlihat 'sibuk', duduk di meja kerja dengan bertemankan kertas-kertas yang berserakan di atasnya, pena bulu di tangan, memberi kode kepada ajudannya untuk menyingkir sejenak.

Menyembunyikan beberapa misi kotor, bisa dibilang begitu.

"Tuan. Aku telah mengalahkan Wild Flower, namun..."

"Mana dia?" Sang gubernur bertanya.

"Ah, maaf. Aku tak bisa membawanya hidup-hidup, ia memilih menenggelamkan diri di lautan. Sebelum itu, ia meninggalkan surat ini untukmu."

Duke Tonio menyambar surat tersebut dengan kasar. Membaca kata demi kata. Penuh dengan ujaran kebencian dan ucapan selamat tinggal untuknya.

"Kau tidak berusaha menangkapnya hidup-hidup? Apakah kau sedang memperdayaku demi mendapatkan uang, atau apa?"

"Tentu saja tidak, Yang Mulia. Yang bisa kubawa hanya surat itu, bendera kapalnya, dan ini." Fukase menunjukkan bendera kapal yang ia maksud dan sepotong kemeja putih. Kemeja yang dikenakan Wild Flower hari itu.

"Ah, sayang sekali. Bunga cantikku memilih mengakhiri hidupnya. Aku bahkan tak sempat melihat wajahnya lagi, yang aku yakin, akan tetap cantik meski sudah tak bernyawa itu—"

Fukase bergidik ngeri. Ah, ia harusnya membawa sang first mate bersamanya—minimal ia punya orang yang bisa diajaknya bertatapan dan berkomunikasi perihal rasa jijik terhadap sang tuan, alih-alih merasakannya sendirian.

"Duke Tonio? Maaf?"

"Ah, sudahlah. Anggap saja kau tidak mendengar yang tadi. Karena kau tidak membawa tubuh fisiknya, aku akan memotong gajimu."

"Baiklah." Fukase bisa saja berdebat bahwa syarat membawa tubuh fisik jika Wild Flower dinyatakan meninggal tidak masuk dalam kontrak sayembara, namun ia juga sudah tak betah berlama-lama dengan sosok yang masih berani-beraninya mengobjektifikasi sang gadis malang.

"Bedebah."

Fukase tak henti mengucap sumpah serapah sejak meninggalkan kediaman sang Duke. Len, first mate sang kapten, hanya bisa menatapnya dengan ekspresi heran.

"Sekarang siapa yang ucapannya tidak ramah, Kapten?"

"Mungkin ini terakhir kalinya aku akan mengambil misi dari Duke Tonio."

"Apakah sesuatu yang buruk terjadi saat kau di sana?"

"Jika memotong uang hadiah dengan alasan tak masuk akal adalah sesuatu yang buruk, maka jawabannya adalah iya."

"Hmm? Tidak biasanya raut wajahmu sekusut itu jika masalahnya hanya uang." Len menaikkan salah satu alisnya, masih curiga. "Ngomong-ngomong, kau memutuskan untuk membiarkan buronan itu hidup, ya?"

Sungguh saat yang tepat. Flower turun, masih terpincang-pincang, dari kamarnya dan bergabung dengan Len serta Fukase di meja bar. Sang gadis telah berganti pakaian, mengenakan pakaian bajak laut laki-laki pada umumnya. Lengkap dengan perban membalut pahanya dari luar celana, melindungi bagian yang terluka.

Fukase memandangnya dengan tatapan yang sungguh berbeda dari saat mereka bertemu pertama kali.

Ia ingin melindunginya.

"Kau mau makan sesuatu? Pesanlah apapun itu. " Fukase tanpa basa-basi langsung menawarkan.

"Biar kulihat dulu menunya. Aku sedang menghitung pengeluaran untuk kapal, pakaian, lalu—"

"Memangnya kau masih punya harta yang tersisa?" tukas sang kapten merah.

"Aku masih punya uang di rekeningku, kau tahu? Tak usah repot-repot." jawab Flower.

"Hei, bersenang-senanglah, kalian berdua. Aku rasa, aku akan menemui Wil dan Mikuo dulu." Len memutuskan untuk pamit sebelum kehadirannya semakin terlupakan oleh sang kapten.

"Begini, Nona. Aku sudah memesan paket termahal di penginapan ini selama seminggu, mengapa kau tidak menggunakannya? Kau juga masuk dalam daftar pengguna, kau tahu."

"Aku tidak suka merepotkan orang lain."

"Begitukah? Sebenarnya, kau sudah menggunakannya paling banyak jika kau ingat seperti apa kamar hotelmu, jadi tak usah sungkan. Seluruh makanan enak ini termasuk dalam paket penawaran."

"Terserah, kau saja yang memesan." Flower menghela napas.

"Baiklah. Beri aku kalkun panggang, dua botol Smirnoff, alkoholnya tak perlu tinggi-tinggi, maksimal dua puluh persen." ucap Fukase kepada sang pelayan. "Sampai mana tadi?"

"Kita belum ada pembahasan lain selain urusan makanan. Memangnya kau ingin mengatakan sesuatu padaku?"

"Sebaiknya kita pindah ke tempat yang lebih nyaman. Meja counter ini tidak memberiku cukup privasi." Fukase beranjak dari kursi, mengajak Flower untuk berpindah dengan gestur tangannya.

"Memangnya kau mau membahas apa? Dokumen rahasia Raja Bajak Laut?"

"Hal lain, mungkin lebih penting."

Seperti penginapan bintang lima pada umumnya, tempat tersebut dilengkapi dengan restoran. Area luar dan dalam. Area luar yang luas dengan pemandangan matahari terbenam menjadi pilihan Fukase saat itu.

"Tidak terlalu ramai, di sini saja." ujar Fukase sambil menarik kursi. "Silakan."

"Tak usah repot-repot."

"Bukankah kita harus hormat pada bangsawan? Terlebih istri seorang penguasa."

"Mantan istri." jawab Flower dingin. "Jangan sebut kata itu lagi, kalau bisa. Pokoknya jangan sekali-kali membahas masa lalu itu."

"Baiklah, baiklah." Fukase tersenyum, lalu mengalihkan pandangannya kepada sang surya yang tengah beranjak ke peraduan. "Setelah ini, apa rencanamu?"

"Mengapa kau bertanya begitu?"

"Oh? Apakah ini termasuk hal-hal yang tidak boleh dibahas?"

"Tidak juga. Aku hanya terkejut." balas Flower. "Setelah ini, mungkin seperti biasa. Mencari kru, menjalankan misi, berdagang, peperangan lagi. Secepatnya."

"Kakimu masih terluka, tunggulah sampai kau bisa berjalan dengan benar terlebih dahulu." Fukase berujar dengan lembut. "Kembali dengan nama panggung Wild Flower?"

"Tentu saja."

"Oh, kebetulan sekali, Nona." ujar Fukase. "Aku sudah berbaik hati berbohong pada Duke Tonio, memalsukan kematianmu agar kau tak perlu menginjakkan kakimu lagi di mansion saksi bisu kebejatannya."

"Tunggu. Apa?"

"Kau—dinyatakan—meninggal. Setidaknya ia percaya."

"Lalu bagaimana dengan kehidupanku setelah ini ... ?" Suara Flower mengecil di akhir kalimatnya. Ia kerap kali mendengar cacian dari lawan-lawannya, meremehkan dan merendahkan dirinya. Menyuruhnya untuk berhenti mengarungi tujuh lautan. Lebih baik berkebun saja, menjadi akuntan saja, menjadi pelayan bar saja.

Oh, tentu saja ia tak mau.

Meskipun nyawa menjadi taruhannya, entah mengapa ia menyukai pelayaran dan segalanya. Seburuk-buruknya nasib Flower, akan lebih buruk jika ia berhenti dari kehidupannya sebagai pelaut.

"Kau benar-benar tak ingin berhenti mengarungi samudera, hmm?"

"Memangnya itu hal yang buruk?"

"Tidak juga. Sekarang mungkin aku yang harus bertanya, apa rencanamu?"

"Mau ikut berlayar denganku, Nona?"

Flower terkesiap. "Apa kau tidak salah?"

"Hadiah lima puluh juta gulden tidak ada apa-apanya—serius, Duke Tonio benar-benar merendahkanmu dari segala aspek! Lagipula, aku tak keberatan jika salah satu kapten terkuat di Kepulauan Karibia menjadi orang dengan jabatan tinggi di kapalku."

"Tadi, kau baru saja membunuhku di mata Duke, dan sekarang kau mengajakku menjadi bagian dari kapalmu? Kau pikir jalan hidupmu semacam film-film aksi yang tokoh utamanya selalu selamat dan dicintai semua orang?" bisik Flower, memberi kode bahwa beberapa pasang mata mulai mengamati mereka, pertanda pembicaraan mereka terdengar cukup kencang.

"Aku berjanji akan melindungimu."

Ucapan Fukase tadi membuat Flower terkesiap lagi. Betapa tidak?Bertahun-tahun hidup di bawah tekanan dan kemalangan, menjadi istri simpanan di usia yang masih sangat muda, menghabisi orang-orang tak berdosa, menjadi buronan dengan nyawa yang dihargai lima puluh juta gulden, dan kini?

Seseorang yang baru saja meluluhlantakkan kapal dan anak buahnya, membiarkannya hidup, bahkan merawatnya?

Flower mengira bahwa ia baru saja akan memulai penderitaan lain—dipenjara atau dijadikan budak adalah hal-hal yang ia perkirakan sebelumnya.

Namun, kali ini berbeda. Sang Kapten sendiri yang mengajaknya untuk bergabung, dengan ajakan yang sungguh tulus. Tak ada ancaman maupun kekerasan.

"Kau mau menerimaku di kapalmu?"

"Mengapa tidak—aku mengajakmu, bahkan! Kau bisa memilih posisi senyaman apa pun, kebetulan aku membutuhkan seseorang untuk menulis log perjalanan, atau menggantikan Wil di posisi quartermaster! Ia akhir-akhir ini mengeluh bahwa ia kerap ribut dengan tunangannya, seperti biasa, gadis itu cemas—ah, jangan, peran itu terlalu berbahaya! Mungkin posisi lain, seperti—"

"Aku akan ikut denganmu, tapi beri aku posisi quartermaster atau first mate."

Kini, Fukase yang terdiam.

Permintaan Flower sesungguhnya masuk akal mengingat reputasinya. Keahliannya dalam menggunakan senjata tak bisa diragukan lagi, ia berhasil mengacaukan pelayaran terakhirnya. Duel pedang yang mereka lakukan benar-benar mengesankan bagi Fukase. Kelincahan dan teknik berpedang gadis itu benar-benar memukau. Ia tahu bagaimana mengalihkan perhatian lawan sementara pihaknya mempersiapkan senjata mematikan.

Flower akan sangat puas dengan perannya, namun hal itu bertentangan dengan panggilan jiwa sang kapten—melindungi gadis itu.

"Apa? Tapi—"

"Jika berlayar saja sudah cukup, aku tak keberatan menjadi pedagang biasa, sungguh. Namun, bertarung adalah salah satu aspek yang membentuk hidupku. Aku tidak akan berhenti menjadi petarung di kapal. Jika kau tidak mengizinkanku melakukannya, aku tidak akan ikut."

Iris lembayung dan merah bertatapan. Hening sesaat tercipta di antara mereka.

Flower tak menyerah pada tekadnya. Fukase pun tak ingin kehilangan Flower.

"Ayolah, Kapten Fukase ... Bukankah tadi kau bilang, kau ingin melindungiku? Kita akan bertarung bersama."

"Baiklah. Tapi, kita berangkat ke tujuan selanjutnya sampai kau benar-benar pulih, dan satu hal lagi..."

"Apa itu?"

"Berjanjilah padaku. Kau tidak akan tewas di tangan siapa pun sampai kita mengalahkan Sang Raja Bajak Laut. Kau harus tetap hidup sampai kita menenggelamkannya."

"Berjanjilah hal yang sama padaku, Kapten."

"Kau berani memerintahku?" Fukase berucap tegas, namun masih lembut. "Tak apa, aku tak keberatan. Aku yakin aku akan tetap hidup, untuk melindungimu."

"Baiklah. Kita sepakat."

"Aku akan beritahu Wil setelah ini. Bulan depan, kau quartermaster di kapalku, Flower. Kau senang?"

Mereka berjabat tangan, tepat saat pelayan restoran membawakan hidangan.

Dan seperti biasa, petualangan baru menanti mereka.

[taurus]

"Kapan ulangtahunmu?" tanya Fukase pada Flower. Tiba-tiba banget. Bagaikan telepon dari kurir makanan di saat pemesannya lagi push rank.

"Tanggal 9 Mei, kenapa dah?"

"Taurus, ya. Pantes mukanya kaya banteng."

[aquarius]

Tidak terima, Flower membalas. "MUKE LU KAYA EMBER!"

[venomania]

"Sukses besar sih project kita kali ini!" Gumi cengar-cengir mesum dari backstage.

"Emang gila produser fujo kita semua. Parah. Tapi keren." balas Iroha, menahan diri sekuat tenaga untuk tidak melakukan teknik voli passing bawah pada kepala lumut Gumi.

Singkat cerita, seperti masa-masa awal masuk kampus pada umumnya, setiap unit kegiatan mahasiswa berkesempatan untuk unjuk gigi di puncak acara pengenalan lingkungan kampus. Semua unit kegiatan mahasiswa difasilitasi sesuai caranya masing-masing—mulai dari membangun stand, atraksi, hingga pertunjukan.

Klub teater benar-benar tak ingin kehilangan kesempatan emas. Tahun lalu, mereka telah gagal meraup anggota sesuai target, alhasil program kerja dan kegiatan jadi macet. Mencari pemain figuran tiba-tiba sulit. Peran sekecil pohon yang biasa dimainkan belasan orang, kini hanya diperankan oleh lima sampai enam orang.

Untung Gumi cerdik—film pendek mereka pun mengangkat tema deforestasi.

Film saja tak cukup bagi barudak teater. Energi yang diperoleh ketika menonton teater tentu tak sama dengan menonton film hasil rekaman, reka ulang, dan editan sana-sini.

Lebih bersensasi bagi pemainnya, sebenarnya. Disoraki dengan seribu satu kata, dihujat, dihujani cie-cie, pokoknya segala cuap-cuap dari yang biadab sampai biadab banget, semuanya masuk ke telinga. Kurang tahu kalau masuk hati. Benar-benar mengganggu berlakon di atas panggung—di skrip jarang tertulis bahwa pemain bebas melempar penonton dengan grimmace shake.

Semoga ketua produksi yang baru kepikiran untuk menampilkan lenong. Walau belum boleh jotos-jotosan, setidaknya para pemain drama bebas nyolot balik ke penonton.

Kembali ke project yang dikata keren hingga gendeng oleh anggota, kali ini, Gumi memutuskan untuk mengangkat dongeng mengenai salah satu dari tujuh dosa besar.

Dosa nafsu.

Mahasiswa mah udah 18+ semua harusnya. Aman lah ya—begitu ucapan Gumi tatkala ditanyai koordinator acara pengenalan kehidupan kampus. Toh, memang sudah saatnya mahasiswa sadar mengenai isu-isu masyarakat, salah satunya mengenai kesehatan seksual.

Lagi-lagi dari Gumi, skrip Venomania ini disulap habis-habisan olehnya. Venomania yang dikenal sebagai lelaki kontraktor iblis nafsu, bervisual gagah nan tampan, dengan istri sekampung, lalu terkena azab karena ditusuk crossdresser amatir yang mencari kekasihnya, diubahnya sedikit.

Masih gagah nan tampan, dengan sedikit sentuhan homo.

SEDIKIT—katanya.

Gumi berdalih dengan isu awareness terhadap homoseksual, predator seksual, kekerasan seksual, perselingkuhan, azab, pokoknya apalah yang positif-positif. Aslinya, dia hanya mau melihat adegan nganu-nganu dari anak teater yang kebetulan beberapa memiliki visual shota.

Tidak begitu disarankan untuk menonton video klip asli dari Venomania terlebih bagi kalian yang masih di bawah umur, tapi kira-kira gambarannya seperti ini—persentase adegan yang patut dipertanyakan dalam video berdurasi empat setengah menit tersebut adalah lebih dari tujuh puluh persen. Sementara scene azabnya paling sepuluh detik doang.

Ya, mesum.

Gumi berusaha menyamarkan fanservice dalam pertunjukan homo-homoan tersebut—mengubah genrenya menjadi humor dan parodi. Komedi.

Bagi orang-orang yang mengikuti Evillious Chronicles sampai ke akar-akarnya, mereka tahu seberapa traumatis kisah hidup semua tokoh dalam fandom tersebut. Mereka tahu seberapa pusing melihat benang merah satu arc dan yang lainnya. Mereka tahu jika fandom ini memiliki genre fantasy berbalut psychological, utamanya di arc-arc sebelum dan setelah dosa nafsu.

Yah—lagipula target Gumi bukan itu. Ada sejuta variasi Madness of Duke Venomania, jadi kalau suatu saat Mothy sang pengarang original ngamuk karena ciptaannya direcoki, ia bukan satu-satunya orang yang kena tempeleng.

Fukase si badut keliling—bukan profesi, lebih ke sarkas—diangkatnya sebagai pemeran utama. Agaknya semi canon mengingat wajah Fukase yang dulu bonyok kini sudah berseri-seri karena salep dan facial treatment selama tiga semester.

Fukase Venomania dibersamai harem jomok dengan line-up sebagai berikut: Piko Octo, Ryuto Greeonio, Len Beelzenia, dan Oliver Glassred. Keempatnya lulus jalur scouting oleh Gumi sendiri.

Secara tidak langsung, Gumi baru saja mengatakan bahwa empat entitas di atas berstatus sebagai boti—lebih boti dari Fukase.

Iroha yang kebagian peran sebagai dukun yang muncul di awal cerita doang—punchline-nya sebagai berikut: terima santet dan pelet, tidak terima penggandaan uang—awalnya protes dengan peran nista yang diperolehnya. Namun, setelah membaca skrip penuh, ia hanya bisa bersyukur, mendoakan keempat entitas cowok imut sebelumnya agar diberi ketabahan.

Meski dilanda seribu satu halang rintang selama latihan—diusir satpam, pemeran kesiangan, pemeran lupa, pemeran ketawa mulu, sutradara ngamok, pemeran diputusin gara-gara kegep beradegan, pemeran terlalu menghayati hingga menakuti pemeran lain, pemeran pinjam seratus, dan sebagainya, pertunjukan berjalan sangat mulus di hari H.

Semulus paha Oliver.

(Tidak perlu khawatir. Miki yang notabene pacar Piko dan sangat homophobic sudah dialihkan ke UKS—setelah ditonjok Meiko sampai pingsan—dan Rin sudah disogok dengan sekeranjang jeruk agar turut merahasiakan kelakuan tidak senonoh sang adik kembar. Kaai Yuki yang notabene serakah—menjalin HTS dengan Ryuto dan Oliver bersamaan—kini sedang mengasingkan diri dari panggung, perang batin, masa iya dari dua orang yang diajak HTS, dua-duanya belok.)

Setelah diberondong adegan-adegan memanjakan mata selama tiga sampai empat scene—Fukase mencium rambut gondrong Piko, Fukase bermain-main dengan leher Ryuto, Fukase memegang pipi Len, hingga Fukase menelanjangi bagian atas Oliver—tibalah mereka di scene azab.

"Udah scene azab belom?" bisik Luka.

"Bentar lagi!" jawab Gumi.

Luka langsung mendekat ke panggung sambil smirk-smirk gaje.

Terlihat Flower, manusia yang sempat viral di tingkat fakultas bahkan kampus gara-gara uniseks, seperti bisa diduga, berperan sebagai crossdresser yang akan mengakhiri skandal mantap-mantap sang Duke.

Flower memasuki area panggung sesuai bruefing—tujuh puluh persen gagah, tiga puluh persen manis. Dalam balutan kemeja putih berlengan balon ala bangsawan kuno, vest beludru hitam, celana abu-abu, sepatu pantofel, cover boots putih, dan dasi ungu ala pelayan, tak akan ada yang menyangka bahwa Flower adalah perempuan.

Salahkan potongan rambut dan bentuk tubuh yang mendukung. Bahkan suara Flower juga uniseks.

Ngomong-ngomong tentang outfit, di luar panggung pun, cara berpakaian Flower sehari-hari juga kelewat boyish sehingga minimal satu cewek dari tiap fakultas di kampus mereka tergocek dan berakhir syok serta patah hati. Belum yang beneran belok.

"ASSALAMU'ALAIKUM, ATOK? OOO ATOK!"

Jangan heran sama dialognya. Sudah disampaikan bahwa genre drama ini komedi.

"Waalaikumsalam cinta. Masuk sini."

Beberapa penonton yang sudah mengenal Fukase maupun Flower ngakak guling-guling. Entah menertawakan akting jomok cringe Fukase maupun fakta bahwa jenis kelamin Flower yang sesungguhnya adalah wanita. Atau yang nge-ship garis keras macam Luka.

"Oh ini, Tuan Muda Fukase, yang katanya cakep pisan itu teh?" Flower menyeringai sambil memainkan maskot boneka putih khas Duke Venomania ala-ala, diklaim bernama Point oleh Fukase.

"Hehe, sa ae lu tong. Sini sama om~"

Adegan berpelukan terlihat begitu natural. Pegang-pegang dan elus-elus cabul. Beberapa sorakan seperti 'FUKASE MODUS!' mulai bergema.

Berdasarkan skripnya, Flower harusnya segera mengeluarkan pisau (properti kok, gak pisau beneran, walau sebenarnya pengennya gitu) yang disimpan dalam Point. Sialnya, resleting boneka itu tiba-tiba macet. Mungkin karena saat gladi bersih Flower menutupnya bar-bar sehingga resletingnya seret. Nggak ding—hampir tiap latihan kejadian. Namanya juga low budget production.

Aduh, harus pelan-pelan ini. Kalau copot bahaya.

Fukase menyadari gelagat Flower yang tak kunjung melepas pelukannya. Sepertinya ada yang tidak beres. Apakah pelet-peletan Iroha benar-benar manjur atau memang ia super menggoda jadi Flower modus—kepedean sih kalau yang ini.

Sekalian klarifikasi kalau masih lurus.

Serius. Fukase masih menjaga harga dirinya sebagai sesepuh teater yang aktif sampai lima semester, ditambah lagi nalarnya masih bekerja baik pada saat itu—andai ia mengikut nafsu, mungkin namanya besok akan viral di akun-akun gosip platform burung berkicau. Bukan gancet sih, tapi kan tetep malu. Ia pun memberi kontak mata, seolah mengatakan 'macet-lagi-kah?'

Menyadari kode-kode sang lawan main, Flower seolah bilang 'iya-anjir' lewat tatapan mata juga. Kalau angguk-angguk dikira film India. Meskipun skrip yang kali ini mereka tampilkan gajenya melebihi sinetron negara tersebut—jauh lebih aneh bin ajaib daripada skrip yang ditulis oleh pengonsumsi narkoba.

(Jangan react dengan 'kok tau?")

Agar adegan mereka tak terkesan kaku, Fukase mengajak Flower berdansa. Mengatur posisi pelukan, memegang pinggang ramping sang pelaku crossdress lalu mengitari panggung dengan romantis. Boti-boti—maaf, pemuda-pemuda bertampang boti ngaku lurus yang berperan sebagai 'istri' duke Venomania dengan patuh mengatur jarak. Agaknya tak hanya pemain utama yang hapal dengan error satu ini.

Dengan mulus, Point berpindah ke tangan Fukase. Sebagai bumbu akting yang sedikit hiperbola, Fukase mendekatkan wajahnya ke wajah Flower, memberi isyarat 'pegang-bonekanya-buruan'.

Kode-kode mulu. Memang sangat diperlukan chemistry antar pemain. Karena terdapat istry dalam chemistry.

(Maksa amat.)

Untungnya Flower cerdas, ia memegang bonekanya dengan resleting yang dihadapkan ke arah Fukase. Dengan mudah, Fukase membuka resleting boneka tersebut karena Flower membantu memegang dari kedua sisi boneka. Agar penonton tidak salfok dengan aksi mereka, Fukase membukanya sambil mengelus pipi Flower, lalu memegang dagu dan sekali lagi mendekatkan wajahnya.

Kalau bukan karena profesionalitas, Flower sudah melayangkan bogem mentah ke pipi kiri Fukase. Dengan sigap—lebih tepatnya, ingin adegan anu ini segera berakhir—Flower menarik pisau dari dalam boneka itu, lalu menghunjamkannya ke sela-sela lengan dan punggung Fukase.

"Aduhai, jomoknya~" celetuk Flower, masih sesuai dialog.

"AAAAAAAH! AAAAAAAARRRGGHHH! UAAAAAHHHHHH—" Fukase teriak-teriak brutal ala penyanyi metal. Kebetulan yang bersangkutan memang gemar menonton grup idola Babymet*l dan bercita-cita jadi screamer sejak lama. Direstui sih belum, dimarahi tetangga sih sering.

"KABURRRRR GANNN!" Len sebagai koordinator harem pun memberi komando.

Piko lari sambil diseret Flower, sendal jepitnya copot satu. Tentu saja tak dipungut Fukase, ini bukan Cinderella.

Ryuto lari-lari ala titan abnormal. Beberapa anak terlihat mengabadikan, antusias menjadikan stiker GIF.

Len lari paling depan, bawa-bawa lightstick, mungkin terinspirasi tukang parkir pesawat. Sempet wotagei-an selama sepuluh detik

Oliver selaku 'istri' kesayangan pergi paling akhir. Mengacungkan jari tengah sambil senyum ala bocil esper bersurai merah jambu.

Penonton bersorak riuh. Entah menyoraki pertunjukannya atau pemainnya.

Pokoknya, bagi Gumi, penampilan kali ini sukses besar.

Beres—tinggal urusan Flower dan Fukase jotos-jotosan di balik tirai.

Ah, itu urusan mereka.

[shiritori]

Shiritori; permainan sambung kalimat Jepang, pemain tidak boleh mengakhiri kalimat dengan huruf mati (n).


"Kita mulai, Flower." ujar Fukase. "Ingat, yang kalah harus mentraktir yang menang, begitu?"

"Tuan, lihat saja, ya! Aku yakin aku akan menang kali ini." Flower menimpali sembari menyeringai.

"Niatmu bagus juga. Sayangnya aku tidak percaya." Fukase terkekeh.

"Ya, aku tidak peduli pendapatmu. Kau hanya perlu siap-siap bangkrut." Seringai Flower semakin lebar, seolah yakin seratus persen akan memenangkan pertandingan sambung kata ini.

"Rutinitas ini harus sering-sering kita lakukan. Apalagi kalau aku menang nanti." jawab Fukase tangkas.

"Tiap kali kau menantangku, selalu itu kata-katamu." Flower berujar agar suasana semakin panas.

"Muakkah dikau? Wahai nona tak berdada?" Kali ini, Fukase benar-benar menyulut api.

"Dapatkah kau menghinaku begitu, wahai mayat hidup?" Lagi-lagi menggunakan akhiran sulit, Flower mengajak adu mekanik.

"Dupa tersakti penyihir lokal tak bisa membuat dadamu besar." Fukase masih mampu menyambung kalimat, menyelipkan ejekan di dalamnya.

"Sarang dosa memang mulutmu. Aku harap kau tidak dikejar-kejar ormas karena bicara seenaknya." Flower sebenarnya gatal ingin menggebuk Fukase dengan objek terdekat—kebetulan laptop Piko terletak di meja sebelahnya.

"Nyatanya, aku masih hidup sampai detik ini, catat jamnya, dua belas lewat lima belas." jawab Fukase sambil melirik jam.

"Laskar Pelangi rilis tanggal berapa? Aku lupa." Flower bisa menjawab setelah dirinya tak sengaja melihat poster film tersebut di iklan televisi.

"Pasti kau akan mengganti topik." Fukase memutar bola mata.

"Pikir-pikir lagi kalau mengajakku adu mekanik." Flower terkekeh.

"Nikah? Ayo."

"Yo—EH? APA-APAAN—"

"HAHA! KENA KAU!" Fukase langsung bergoyang ala tarian penghambat rezeki saat Flower akhirnya melanggar aturan dalam permainan mereka. Pertarungan sengit ini akhirnya selesai juga. Leganya bagai Pandawa yang berhasil menang perang dari Kurawa. "Sekarang aku mau roti gembong red velvet."

"Gampang." Flower langsung membuka ponsel pintar, memesan cemilan yang dimaksud melalui aplikasi belanja daring berlogo jingga.

"Tapi makannya sambil disuapin."

PLAK!

Alih-alih Fukase, Piko menjerit.

"LAPTOP GUE!"

{chap 9 — end}

it's been gatau berapa years and they're still my comfort otp <3

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top