KaseHana - 8
[mansion]
Hari yang damai di kawasan pertokoan Kasukabe. Beberapa orang gadis tengah berjalan santai, menyusuri jalan sembari membawa beberapa jajanan di bawah sengatan matahari.
"Panasnya..." keluh Miku sembari mengibaskan kerah polo tak berlengan yang ia kenakan.
"Iya, panas banget." Zatsune Miku, sepupu dari Hatsune Miku, turut mengeluh. "Berapa derajat, sih?" Ia menoleh pada Akita Neru yang telah mengeluarkan ponselnya, meminta sang kawan untuk mengecek suhu.
"Tiga puluh lima." Neru menjawab singkat.
"Haaaaaah. Puncak musim panas, pantesan..." Hatsune Miku menyeka keringatnya.
"Kalian juga maksa banget, jalan-jalannya harus sekarang!" seru Mayu. Ia juga salah kostum—pilihan yang benar-benar salah memakai atasan lolita dengan bahan yang tak menyerap keringat. Mayu yakin badannya sudah bau kambing—terlalu ekstrim, ah, bau ya bau. Mungkin bau matahari.
"Daripada wacana." Neru masih menjawab singkat—apakah sedang PMS? Bad mood kali.
"Liburnya bentar banget soalnya." Flower turut berkeluh kesah—kini menyalahkan kebijakan kampus mereka.
"Flower, arah jam lima, siaga satu, jangan lihat belakang." Zatsune tiba-tiba mengucapkan sederet kode rahasia. Sialnya, Flower mendengarkannya sepotong saja, tidak menangkap instruksi Zatsune untuk tidak melihat ke belakang.
"Hah—"
"MILADY FLOWEEEEER~ BONJOUR~"
Aduh.
Kan.
Fukase, mahasiswa freak jurusan Sastra Perancis. Keturunan ningrat asli—pernah naik kuda putih ke kampus, berujung bingung parkir di mana. Akhirnya kudanya dipinjam mahasiswa jurusan peternakan yang tengah kuliah praktik.
Menganggap Flower sebagai tuan putri, apple of the eye, kekasih hati sampai mati.
KUSO. AKU SUDAH MEMOTONG RAMBUTKU SAMPAI KAYAK LAKI BEGINI DAN DIA MASIH MENGENALIKU.
Flower membatin, emosi.
"Apa yang Madame lakukan di kalau mentari tengah membakar seluruh dunia dengan segenap kekuatannya, haaa? Meski api cintaku yang membara ini masih lebih kuat, huuu~"
"Jalan-jalan saja. Memangnya tidak boleh?"
"Aaaaah, panas sekali, Madame~" Fukase berujar dengan ekspresi mengiba—yang sebenarnya layak untuk dipukul. "Kulit Madame yang seperti sutra nanti terbakar, tidak~"
"..."
"Rambut Madame kemana, ma chère~ Apakah sepanas itu sampai ma chère harus memotongnya seperti laki-laki begitu? Ah, tetap saja, Madame yang ada di hatiku, bagaimanapun rambutnya~"
"Bisa diam tidak?" Flower sedikit berteriak, merasa risih. Apakah putra semata wayang keluarga ningrat ini boleh dibiarkan berkeliaran dan merusuh begitu saja? Kehidupan keluarga ningrat sangat ketat, seharusnya masa liburan pun dipenuhi dengan pelatihan dan pelajaran yang berat. Tapi itu lebih baik demi kesehatan mental Flower—siapa, sih, yang tidak risih mendengar ocehan bahasa Perancis bucin nan medok dari badut berambut merah?
"Ah, Madame, kau kepanasan, ya~ Tinggallah bersamaku, kita bisa hidup berdua saja di mansion besar milikku—"
"Males bersihinnya."
Flower, 20 tahun. Tidak mempan dengan sogokan harta.
[memar]
"Yo, Flower." sapa Fukase.
Yang disapa hanya bergeming. Tidak memberikan balasan barang satu kata. Flower diam saja, menyusuri koridor di sisi utara lorong dengan hening. Fukase masih memperhatikan, mungkin ia kurang keras memanggilnya.
"Hei."
"Ah—" Flower memekik pelan, menoleh ke belakang untuk melihat siapa yang memegang bahunya. Ia mendapati sosok berhelai bak mawar, tengah membawa bola basket di tangan kirinya.
"Ayo, one-on-one denganku."
Flower menatap Fukase datar. Ia tak ingin bermain basket hari itu. Lagipula, ia tak membawa jersey miliknya—hari itu bukanlah hari di mana klub basket mengadakan latihan rutin, dan kebetulan ia tidak meletakkannya di loker. Di sisi lain, Flower lebih dari sekedar tahu kalau teman seangkatannya ini akan sangat berisik jika tantangannya tidak ditanggapi.
Flower menghela nafas, lalu mengiyakan. "Satu kali saja, ya."
Fukase menyeringai. "Biasanya kau akan minta tambah, aku tahu itu."
Jika ada orang berpikiran nonpolos yang membaca percakapan sebelumnya, otaknya sudah dipenuhi dengan bayangan perbuatan asusila, sepertinya.
(Mungkin cuma authornya saja.)
Fukase dan Flower saling bertatapan di lapangan indoor—hanya ada mereka berdua kala itu. Hujan deras di luar membuat mereka tak bisa bertanding di lapangan.
Bola pertama dilemparkan. Flower berusaha menghadang, namun Fukase mampu merebut dengan sigap. Fukase melakukan dribble, namun setelah dua langkah, Flower berhasil menyusul dan mengambil alih bola. Fukase tak pernah meremehkan kecepatan Flower—gadis itu pelari yang cukup cepat. Fukase berusaha mengambil kendali, namun Flower melakukan pivot dengan lihai.
Flower meningkatkan kecepatannya, melakukan dribble dengan pantulan jauh agar segera mencapai sisi lain lapangan. Fukase berusaha menyusulnya. Naasnya, dribble Flower sedikit meleset sehingga bola tergelincir dari jangkauan tangannya. Melihat peluang yang mungkin tak datang dua kali, Fukase melesat dan merebut bola basket kembali dalam kendalinya. Terima kasih kepada kecepatan Flower dalam berlari, Fukase tak perlu menggiring bola jauh-jauh—ia sudah masuk dalam zona yang cukup aman untuk melakukan shooting. Akurasi tembakan si rambut merah luar biasa—satu angka untuk Fukase.
"Lagi?" Fukase menyunggingkan senyum puas.
"Cih." Manik amethyst Flower mendelik. Si keparat satu ini—ya, Fukase adalah sosok yang selalu bisa memantik emosinya.
Flower melepas atasan seifuku yang ia kenakan—mungkin pertanda ia serius bermain. Memperlihatkan tank top hitam berbahan katun. Fukase terbelalak—kali ini di luar konteks mesum.
Bekas memar yang cukup besar di bahu sampai lengan kanan atas Flower kini terpampang nyata.
"Kenapa itu?" Fukase menunjuk memar yang baru saja ia lihat—sedikit cemas, terlebih ia baru saja menyentuhnya, berharap ia tidak menambah rasa sakit.
Flower tak menggubris. Ekspresinya datar, tanpa emosi.
"Utatane sialan itu lagi?"
Flower masih diam. Ekspresinya masih datar, namun sorot matanya seolah melemah.
"Bukan urusanmu, Fukase."
"Tidak adil rasanya bertanding dengan lawan yang cedera." Fukase menatap ke luar jendela, memandang hujan yang tak kunjung reda. "Kenapa kau tidak bilang?"
"Buat apa aku bilang?"
Fukase mengeratkan kepalan tangannya.
Utatane Piko, kekasih Flower. Seorang siswa yang bisa dikatakan mengerikan—punya seribu satu cara untuk menghancurkan reputasimu berkeping-keping. Hacker yang memanfaatkan keahliannya untuk mendapatkan apa yang ia inginkan serta menundukkan—menindas—orang-orang. Tidak ingin aibmu disebar? Jadilah budaknya selama seminggu. Kekuatan fisiknya juga tak bisa dianggap remeh—seolah menjadi hacker belum cukup, ia juga memiliki keahlian beladiri sebagai anak kedua dari seorang pemilik dojo.
Flower, menyandang status sebagai kekasihnya.
Budak berkedok kekasih.
Piko biasanya sangat ceria—raut wajahnya yang manis, suara dengan pitch tinggi, dan rambutnya yang panjang melambai kadang membuat orang salah sangka pada jenis kelaminnya. Flower salah satunya—ia tak sengaja menumpahkan kopi pada seragam sang hacker prince. Sialnya lagi, ia tertipu dengan visual si pemilik heterokrom—Flower membawakannya seragam perempuan sebagai ganti.
Piko yang sudah terlanjur bad mood pun memberi Flower 'status spesial', dengan beberapa serangan fisik rutin—Flower tak diizinkan menghindar, melawan, apalagi melapor.
Flower menutupi memar di bahunya. "Sudah dulu permainannya."
Iris ruby Fukase mengekor sosok Flower yang melenggang, memakai atasan seragamnya lagi, lalu pergi meninggalkan lapangan indoor. Flower berhenti sejenak di depan pintu, lalu menghela nafas.
"Jangan berpikir untuk menyelamatkanku. Ruangan ini dipasangi kamera CCTV, ia mungkin sudah memantau—dan aku sudah berjanji akan menemuinya lima belas menit lagi. Jika terlambat, ia akan menghukumku."
"Ke mana kau akan pergi?" Fukase berucap, nada suaranya menyiratkan kemarahan meski ia sudah berusaha meredamnya.
"Hacker Prince's Territory, kurasa kau tahu di mana." Flower menutup pintu.
Fukase tertunduk dalam diam.
Apakah ia ditakdirkan untuk kalah dari sang Hacker Prince?
Ia mampu mengajak Flower untuk bertanding satu lawan satu dengannya, tapi tak mampu mengajak Flower menjalani hubungan romansa yang ia inginkan.
Ia mampu merebut bola dari tangan Flower, namun tak mampu merebut sang gadis dari tangan lelaki yang tak bisa memperlakukannya dengan baik.
Ia mampu menghalangi langkah Flower untuk mendapatkan angka, namun tak mampu menghalangi Flower dari penyiksaan yang setiap hari diterimanya.
Ia mampu menembakkan bola tepat ke dalam ring...
dengan akurat, namun...
Mulai hari ini, tak ada lagi 'namun-namun' itu.
Fukase bergegas keluar, membawa sebuah bola basket.
Dan sebuah pisau lipat dalam sakunya.
[queer]
(warning: lgbt thingy)
Fukase gay!
Flower itu non-binary!
Fukase aromantic!
Flower genderfluid!
Fukase asexual!
Flower trap!
"Ya, banyak sekali asumsi atau mungkin headcannon penggemar mengenai sexuality anda dan Flower. Mungkin Fukase-san bisa memberi klarifikasi tentang itu?" tanya Meiko selaku pembawa acara di sebuah acara talkshow—hari ini tamu undangannya Fukase dan Flower.
Asumsi-asumsi terkait isu LGBTQIA bertebaran—mungkin karena sudah memasuki bulan Juni, yang dikenal di zaman ini sebagai pride month, atau karena visual dua artis tersebut yang sedikit merepresentasikan hal-hal berbau queer—Fukase dengan pakaian panjang-panjang berbentuk A-line sehingga terkesan seperti dress dan Flower dengan potongan rambut cepak bak lelaki.
"Asumsi yang gimana dulu, Meiko-san?" Fukase menjawab dengan tenang.
"Saya sih penasaran ya, dengan asumsi gender dan orientaasi yang menurut fans masih abu-abu ini, ship KaseHana nanti termasuk ship apa dong?"
"Apapun orientasi seksualnya kan yang namanya couple tetep couple." Fukase cengengesan sementara Flower menutupi wajahnya dengan bantal sofa.
Mana siaran langsung, lagi. Duh.
[di jalan]
"Kalian sampai mana sih?" Wil berteriak-teriak frustasi di telepon.
"SABAR! Sampe perempatan kampus sebelah nih. Macetnya parah banget kaya elu kalo belom minum Vegetang." amuk Fukase.
"BURUAN YE! LU BAWA KABEL MALAH NYAMPENYA GAK DARI TADI! JADI KETUNDA KAN INI URUSAN TEKNIS!" Wil membalas dengan tak kalah ngegas. Stress parah jadi ketua panitia event laporan pertanggungjawaban pengurus himpunan mahasiswa.
"IYA IYA SABAR KETUA GENDENG! GUA JUGA MASIH DI JALAN INI!" teriak Flower dari belakang Fukase.
"Hah? Oh lu berdua boncengan? KOK ORANG-ORANG JADI PANITIA BISA PADA CINLOK SIH-"
"KALO GA GINI GA ADA YANG BAWAIN KABEL SEKARDUS WOI!"
[bonceng]
Selesai acara, seluruh panitia bergegas kembali ke tempat tinggal mereka masing-masing--mengingat rangkaian acara yang sebenarnya masih panjang.
Dimulai pukul satu siang, berlangsung selama beberapa hari sampai para senior puas mendebat semua divisi dan pengurus inti.
Flower celingukan di parkiran, mencari sesuatu. Ia mondar-mandir, menyusuri seluruh parkiran fakultas ujung demi ujung. Tidak kunjung menemukan apa yang ia cari—raut wajahnya menunjukkan kebingungan.
"Cari apa?" Fukase yang baru selesai menata kabel di dalam kardus bertanya.
"Gua lupa parkir dimana. Di fakultas, parkiran terpadu, apa koperasi ye? Kok motor gua ga ketemu..."
"KITA TADI BERANGKATNYA BONCENGAN TOLOL!"
"OH IYA GOBLOK!"
[burung]
(warning: ambigu, mention of f-word, this part could rated 17+ for safe)
"Papa, Papa~" Oliver, bocah SD kelas tiga, berlari menuju sang ayah yang tengah menyeruput kopi sambil menonton televisi di ruang tamu.
"Kenapa, Son?" sang ayah, Fukase, menjawab dengan keminggris.
(Saya ingatkan kalau Fukase punya voicebank English yang bagus.)
"Tadi aku lihat James gosok-gosok itunya di besi." cerita Oliver dengan polos.
Hah?
Fukase menurunkan gelas kopinya—tidak ada adegan menyemprotkan minuman dari mulut karena sudah mainstream dan sayang kalau kopinya terbuang sia-sia—dan menatap putra semata wayangnya dengan alis terangkat sebelah.
"James kenapa, Son?"
"James gosok-gosokin burungnya di besi sangkar." Oliver mengulang ucapannya dengan polos.
Gusti.
Fukase membatu.
Hal nista macam apakah yang telah dilihat oleh anaknya yang tersayang bin tercinta ini? Sebiadab dan seamoral itukah manusia di zaman sekarang sehingga melakukan tindakan asusila yang—menurut apa yang ia dengar dari deskripsi Oliver—tidak wajar tersebut?
Besi loh. Fetish baru lagi ini? Besi baru atau karatan? Sangkar burung pula. Nggak ada barang lain yang lebih bisa dimaklumi?
Pria mana yang melakukan adegan tidak senonoh tersebut hingga merusak kepolosan putranya? Dan mengapa Oliver bisa tahu nama pelakunya? Atau jangan-jangan sosok bernama James yang dimaksud oleh Oliver adalah teman sepermainannya sendiri? Sesama anak SD? Apakah puber memang terjadi secepat itu di masa kini—atau Oliver terjerumus dalam lingkaran pertemanan yang anak-anaknya terlalu cepat dewasa?
Saat Fukase tengah dilanda syok stadium 4, Flower menghampiri mereka.
"Mommy!" Oliver berseru, memanggil sang ibunda.
"Iya?" respon Flower dengan tenang—tak menyadari keadaan sang suami yang cukup aneh kala itu.
"Tadi James gosok-gosokin burungnya di besi sangkar, itu kenapa ya?" tanya Oliver. Masih sabar mengulang satu pertanyaan tiga kali—memang rasa ingin tahu pada anak sangat luar biasa.
"Ooooh, berarti James gatel, ada kutunya. Burung peliharaan 'kan harus mandi juga." terang Flower sambil tersenyum.
"Ooooooh gitu? Ayo Mom, besok kita mandiin!"
"Nggak sekarang aja?"
"Ollie mau main tembak-tembakan sama Ryuto! Dadah Mom!" Oliver berlari kecil, mengambil pistol mainan di dalam kamarnya, lalu meninggalkan rumah.
Flower melambai pada anaknya. Fukase masih menjadi patung.
"Kenapa diam gitu?" Flower melempar satu pertanyaan tatkala menyadari raut muka sang suami sangat tak nyaman dipandang.
"Uhhh... James itu nama peliharaan kita?"
"Iya. Oliver yang kasih, biar kayak nama kereta warna merah di film katanya."
"O-oooooh." Fukase bangkit berdiri, mengusap wajahnya, berharap sang istri tidak mencurigai pikirannya yang sempat kacau. "Bagus banget namanya."
James berkicau di dalam sangkar, seolah mengatai Fukase—mungkin memang, dan kebetulan Fukase tak bisa bahasa burung.
Fukase menyesal teramat dalam, meratapi prasangka buruk yang berkomplot dengan pikiran tak suci—membuatnya terlalu jauh berasumsi pada putra semata wayangnya sendiri. Flower masih menatap aneh pada Fukase yang kemudian beranjak dari sofa, pergi ke kamar mandi—sepertinya ingin mandi atau sekadar mendinginkan kepalanya.
(Sesuai janji ya. Saya mau tag beberapa orang nih, tapi wattpad laptop agak lemot, jadi males. Paling juga nanti muncul sendiri /heh)
[warna]
"Musim semi akan segera tiba. Mari kita bersama-sama melakukan yang terbaik untuk mempersiapkannya!" ucap Merli, sang ratu peri.
Kata-kata itu terus terngiang di telinga Flower. Ia menatap sekaleng cat yang kini dibawanya—pewarna khusus untuk memberikan semburat-semburat cantik pada bunga-bunga yang akan mekar di musim semi.
Flower merasa gugup. Mempersiapkan musim semi berarti ia harus bekerja lebih keras dari hari-hari biasanya. Ditambah lagi, ini musim semi pertamanya.
Masalahnya, Flower sendiri belum tuntas setiap diminta mewarnai bunga. Semua tugas lainnya berjalan lancar—mengumpulkan dan mempersiapkan benih tanaman hingga menjaga dan merawatnya sampai bertumbuh. Flower tak menemui kesulitan apa pun dalam menumbuhkan buah-buahan yang ranum dan lezat, namun ia tak bisa memberikan satu titik pun warna di makhota bunga, apapun jenis bunganya.
Entah mengapa, Kokone, kepala peri bunga, memberinya tugas di bagian pewarnaan bunga. Ia sudah meminta untuk dipindah ke bagian lain dan menjelaskan kelemahannya sepanjang dan sedetail mungkin, namun Kokone tidak mengubah keputusannya. Sahabat karibnya, Meiji dan Renri, hanya bisa memandang Flower dari kejauhan, kali ini tidak memiliki waktu untuk menghiburnya—terlalu sibuk melakukan pekerjaan mereka untuk mempersiapkan musim semi.
Flower menggenggam erat kuasnya, mengusapkan pewarna kuning perlahan-lahan ke mahkota bunga mawar. Sebagian besar cat itu hanya menempel sebentar, lalu akhirnya mengalir dan jatuh—menyisakan warna putih pada bunga tersebut. Flower menghela nafas, apakah peri-peri cahaya terlewat mengeringkan bunga ini? Telapaknya meraba objek putih yang baru saja ia coba warnai. Teksturnya sudah sempurna—sebagaimana kondisi sebuah mawar yang siap diwarnai.
Flower mencoba sekali lagi. Ia menggoreskan kuas dengan sangat hati-hati. Senyum terkembang di wajahnya, melihat setiap sapuan mulai berhasil meninggalkan warna. Flower sudah ingin bersorak saat mengetahui ia berhasil mewarnai satu kelopak—namun senyumnya hilang saat cat itu tiba-tiba terserap.
Mengembalikan warna kelopak menjadi putih.
Hatinya seolah teriris. Kebahagiaannya bahkan tak diizinkan bertahan selama satu musim semi—satu jam pun tidak. Merasa frustasi, ia melempar wadah pewarna yang terbuat dari tanah liat, sembari menjerit, "Tidak ada gunanya!"
Flower sendiri terkejut dengan jeritannya barusan—apakah ada peri lain yang mendengarnya? Ia mengedarkan pandangan, iris amethyst menyapu seluruh padang. Tak ada peri lain—ah, apakah mereka semua sudah pergi ke tempat lain? Meninggalkannya sendiri karena pekerjaannya tak terselesaikan?
"Baiklah, tebak siapa yang tidak berguna hari ini." Flower menghela nafas, memutuskan untuk duduk di atas daun. Sayapnya terkulai, wajahnya kusut, kepalanya tertunduk. Flower menghela nafas lagi, lebih pelan dari sebelumnya. Jemarinya mengelus tulang daun, mengikuti pola menyirip ke luar. Tak lama, suara kepak sayap peri terdengar, lalu Flower mendapati sebuah suara—sepertinya mengajaknya bicara.
"Kau tidak apa-apa?"
Flower menoleh, mendapati peri bersurai merah yang membawa beberapa sekotak perkakas. Dari barang yang ia bawa dan pakaian serba hijau yang dikenakannya, Flower mengetahui bahwa sosok yang menemuinya adalah peri pengrajin. Peri yang merancang dan merakit alat-alat yang dibutuhkan untuk membantu pekerjaan peri lain.
"Tidak apa." Flower menjawab cepat.
"Aku mendengar suara kendi terjatuh, jadi aku kemari." Peri itu mendarat di daun yang sama, lalu duduk di sisi Flower. "Pekerjaan yang melelahkan, ya?"
"Ah, tidak. Pekerjaanmu lebih banyak, dan aku bahkan tidak melakukan apa-apa..."
Sang peri pengrajin terdiam. "Apa maksudmu? Tidak ada peri yang bisa bersantai saat persiapan musim semi."
"Kecuali ia tidak bisa melakukan apa-apa."
"Hm?"
Flower bangkit, lalu mengambil kuas yang tergeletak. Menyapukan sisa-sisa cat yang masih menempel. Terjadi lagi, kelopak bunga tak menguning sedikit pun, setiap tetes pewarna justru terserap sempurna dan tak meninggalkan setitik pun pigmen warna.
"Mungkin catnya sudah kering?"
"Dari tadi hasilnya sama."
"Uhhh, mau ganti kuas? Atau ganti warna? Merah? Ungu?"
"Tidak ada bedanya, ayolah."
"Bagaimana kalau kaucoba alat baru kami? Pewarna dalam bentuk spray, mewarnai dua kali lebih cepat." Si rambut merah menawarkan sembari mengeluarkan sekaleng pewarna berwujud mirip cat semprot dari kotak perkakasnya.
Flower menerimanya, lalu menyemprotkan pewarna tersebut masih ke bunga yang sama. Dalam hitungan detik, ia mampu meratakan warna merah jambu ke seluruh permukaan bunga. Flower senang bukan kepalang—lagi-lagi tidak bertahan lama. Zat warna merah jambu perlahan rontok, meninggalkan rona putih pucat lagi pada bunga tersebut.
Sang rambut putih menggerutu. "Kau lihat?" Flower terbang kembali ke daun, duduk bersila dengan wajah muram.
"Hmmm. Kurasa aku tahu sesuatu tentang ini..." sang peri pengrajin mengeluarkan buku dari kotak perkakasnya. Flower menaikkan alisnya sebelah. Seberapa banyak barang yang selalu dibwa peri-peri pengrajin? Apakah mereka memerlukan debu peri ekstra, atau tidak?
"Sebentar." Sang peri pengrajin mengambil kacamata, lalu membolak-balik halaman di buku—seperti sebuah almanak tentang peri-peri di bawah wilayah yang dinaungi Ratu Merli—yang ia bawa. Setelah sekian waktu, ia menemukan sesuatu. "Ini. Coba kau baca."
Flower menerima buku yang diulurkan padanya. Cukup berat, ia berkata dalam hati. Buku itu menunjukkan artikel tentang peri bunga, salah satu kelas peri dari sekian jenis—klasifikasi yang ia peroleh dan jalani sejak lahir. Bagian pojok kanan atas halaman dua ratus empat puluh tiga, sang peri pengrajin menunjuk di sana.
"Peri bunga... putih?"
"Ya." Sang peri pengrajin tersenyum, merapikan topi kulit yang ia kenakan. "Kau seharusnya tahu kalau di setiap jenis bunga, ada kemungkinan mereka berwarna putih."
Flower memandang sang peri pengrajin, seolah memintanya bercerita lebih lanjut.
"Manusia mengenalnya dengan sebutan hereditas. Sifat seperti warna diwariskan secara turun-temurun dari induk. Warna putih bersifat resesif terhadap warna-warna lain. Jika homozigot dominan dan resesif bertemu, yang akan tampak adalah sifat dominan, sedangkan homozigot resesif akan tertutupi—bunga tidak akan berwarna putih. Untuk memperoleh bunga putih, dua homozigot resesif harus bertemu, jadi tidak ada warna yang akan terlihat—bunga akan berwarna putih. Bahkan ada kasus-kasus yang sangat langka, dari makhota, daun, batang, semua bagian dalam satu bunga semuanya berwarna putih—manusia menyebutnya albino."
"Aku tak mengerti logika manusia. Jelas-jelas kita, para peri, yang bekerja."
Si rambut merah tertawa. "Kalau mau dihubungkan dengan keadaan kita di dunia peri... Peri bunga putih sangat langka. Di wilayah Ratu Merli, mungkin hanya ada lima dari seratus peri bunga."
"Kau tidak sedang mengada-ada, kan?" Flower mengubah posisi duduknya, menekuk lutut. "Aku tidak pernah bertemu satu pun dari mereka."
"Tidak pernah bertemu bukan berarti tidak ada." tukas peri pengrajin. "Aku kenal satu dari mereka, Utatane Piko."
"Sepertinya aku pernah mendengar nama itu." Flower mencoba mengingat. "Kalau tidak salah, Ratu Merli melalui chief Kokone pernah mengirimnya untuk melakukan suatu tugas..."
"Benar. Ia bertugas di luar wilayah, memproduksi bunga putih untuk manusia yang membuat karangan bunga untuk pernikahan. Manusia membutuhkan bunga putih, kau lihat?"
"Ah. Jadi itu alasan chief membuatku melakukan hal ini."
"Begitulah, Nona Peri Bunga."
"Kenapa memanggilku begitu?"
"Aku belum tahu namamu."
"Benar juga, sekian panjang kita mengobrol, tapi tidak berkenalan sama sekali, hahaha. Namaku Fukase."
"Ini mungkin lucu, tapi namaku Flower."
"Akan lebih lucu kalau kau tidak ditempatkan sebagai peri bunga." Fukase menyimpan kembali bukunya sambil tersenyum.
"Lagipula, aku sempat merasa gagal sebagai peri bunga..." Flower memilin rambutnya dengan jari telunjuk. "...sampai aku bertemu denganmu."
"Ah, kau ini. Seingatku, peri bunga putih harus memberitahu atasannya jika mereka mengalami masalah dalam mewarnai—harus diperiksa dan dikonfirmasi jika mereka ternyata adalah peri bunga putih. Seharusnya chief Kokone memberitahumu tentang itu, kan?"
"Aku tidak ingat aku memperhatikan atau tidak." Flower membuang muka.
"Dan sekarang kau terjebak dalam kesulitan karena tidak memperhatikan." Fukase tertawa.
"Sudah. Omong-omong, apa yang harus kulakukan setelah ini? Maksudku, detail pekerjaanku."
"Lucu kau bertanya pada peri pengrajin." Fukase tertawa lagi. "Kau konfirmasikan dulu pada chief, lalu ia akan memberikanmu alat-alat yang seharusnya kau gunakan—peri bunga putih punya zat khusus untuk bunga mereka, yang membuatnya cukup sulit, haha."
"Baiklah." Flower bangkit berdiri. "Kau tahu banyak tentang peri yang langka. Menarik sekali, Fukase."
"Aku salah satu penanggungjawab produksi pewarna untuk bunga putih." Fukase ikut berdiri, menyamakan tingginya dengan Flower. "Sudah kubilang produksinya sulit, mencari bahannya sulit, memprosesnya juga cukup memusingkan. Alat yang kubuat untuk itu masih dalam tahap pengembangan—aku sedang mencari cara agar pewarna yang dihasilkan bisa tahan lama dalam penyimpanan."
"Aku akan pergi sekarang. Aku yakin semuanya sudah bekerja sangat keras hari ini—seharusnya aku juga."
"Biar kutemani kau kembali."
"Heh?"
"Dan satu lagi—kita akan sering bertemu, jadi biasakan dirimu, Flower."
Flower tersenyum. "Aku tidak keberatan."
chap 8 - end
Part burung terinspirasi dari chat bodoh di grup, featuring LegendaryNeko yang cerita kalau burung bapaknya mesum. Burung peliharaan ya saudara setanah air, jangan ngeres kaya ArataKashi /run
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top