KaseHana - 6

[dompet]

Pukul sepuluh pagi menjelang siang, di sebuah kedai.

"Mau makan apa?" tanya Fukase sambil menatap lurus pada Flower yang membuka-buka buku menu dengan tatapan datar. Flower membalas tatapan iris sewarna batu mirah milik Fukase, masih dengan datar, lalu kembali melirik ke buku menu.

Fukase mencoret embun di jendela dengan jari, hasil dari hujan sejak pagi yang tak kunjung berhenti.

"Sebelum aku memilih..." Flower meletakkan buku menunya perlahan. "Coba cek dulu dompetmu."

"Aku yakin aku membawanya."

"Jangan membantah."

Fukase mendesis kesal, lalu meraba saku bagian belakangnya. Raut wajahnya menyiratkan rasa terkejut, lalu Flower membalasnya dengan tatapan penuh kemenangan.

"Sudah kubilang." Flower mendengus bangga, menyibakkan poninya dengan penuh gaya.

Fukase menggerutu, lalu mengambil kunci mobilnya dan keluar dari kedai.

[kejutan]

Gerutuan Fukase meningkat, bagi dari segi intensitas, amplitudo dan frekuensi suara, hingga ragam kata-kata kasar yang dikeluarkan dari mulutnya.

Rintik hujan yang kini tak sederas sebelumnya mengiringi langkah kaki Fukase menuju tempat ia memarkir kendaraan.

Fukase semakin bersemangat mengumpat ketika air semakin banyak meresap dalam sepatunya.

"Keparat." Masih mengucap sumpah serapah, Fukase membuka pintu mobil yang terkunci, lalu masuk dan mengambil dompetnya.

Ia yakin dompetnya tergeletak di jok karena keluar dari saku celana tanpa sengaja, namun ternyata tidak.

Dompet miliknya terletak di bagian tengah mobil, tepat di atas dua kaleng susu yang terikat dengan pita. Fukase menaikkan alis, lalu mengambil dua kaleng susu tersebut setelah mengantongi dompetnya terlebih dahulu.

Tolol.

Hanya satu kata tertulis di post-it yang menempel sisi kaleng tersebut, namun Fukase tahu siapa yang memberikannya.

"Manis."

[ceroboh]

"Hei."

Flower mendongak, mendapati Fukase yang telah kembali dari mengambil dompetnya. Menatap cengiran bodoh si rambut merah yang entah sejak kapan nampak menawan.

(Kalau Fukase membaca ini, dia akan dengan semangat bilang, SEJAK DULU!)

"Terima kasih susunya." Fukase tersenyum. Benar-benar tersenyum kali ini, bukan wajah bodoh yang biasanya ia tampakkan saat melakukan hal-hal aneh dan merepotkan.

"Susu?" Flower mengangkat alisnya, menyiratkan perasaan tak mengerti maksud dari sang pemuda.

"Yang di mobil."

"Astaga, itu susu yang kuberikan sejak festival seni musim semi." Flower memutar matanya, lalu menepuk keningnya. 

Kelanjutannya? Bisa ditanyakan pada kamar mandi kafe dan kamar mandi rumah Fukase.

[surat]

Flower meletakkan sebuah karung di tanah, yang berisikan surat-surat dari segala penjuru dunia. Entah untuk siapa saja surat yang harus ia antarkan hari ini. Jumlah surat yang harus ia sebarkan nampak tak sebanding dengan postur mungilnya, namun apa hendak dikata, ia salah satu dari hanya belasan pengantar surat di kerajaan ini. Kerajaan yang tak begitu besar, namun cukup terpandang di belahan bumi yang ia tinggali.

Sepasang mata bak batu mirah milik sang gadis terus bergulir membaca daftar penerima yang harus ia kunjungi. Setelah sekian waktu habis untuk membaca, ia mulai memikul karung surat itu dan melanjutkan perjalanannya mengantar surat.

Surat dari sanak saudara yang tinggal di pulau sebelah. Surat dari pedagang di kerajaan lain yang ingin bekerja sama. Surat dari kekasih seseorang–berisikan ungkapan rindu, setelah sekian lama tak bertemu.

Setelah menyambangi rumah demi rumah, Flower pun tiba di kediaman sang ksatria berambut merah.

Bukan pertama kalinya Flower harus mengantar surat pada Fukase, salah satu pendekar handal di kerajaan tempatnya tinggal. Salah satu orang kepercayaan Raja Tonio.

Flower merogoh karung, mengambil sepucuk surat berlapiskan amplop hitam dengan dekorasi keemasan di sisi kanannya. Surat itu disegel dengan lilin, lengkap dengan lambang resmi kerajaan yang terukir pada lilin–hasil segel cap.

Surat resmi kerajaan, lagi.

Flower hendak memasukkan surat itu ketika Fukase memanggilnya, memintanya mampir sejenak ke kediamannya.

"Apakah tidak mengganggu keseharianmu?" Flower bertanya sembari mengaduk teh yang dihidangkan sang tuan rumah untuknya.

"Kau sudah bekerja keras, beristirahatlah sejenak." ujar Fukase.

"Ini sudah biasa. Aku bahkan baru melalui seperempat dari rute harianku," jawab sang gadis sembari merapikan rambutnya, "lagipula sudah tanggungjawab kami sebagai pengantar surat."

"Begitulah Yang Mulia, sedang gencar-gencarnya melakukan ekspansi, namun lupa hal-hal kecil seperti ini. Apakah menurutmu beban kerjamu tidak keterlaluan?" tanya Fukase sambil membuka surat yang dialamatkan untuknya.

"Tanyakan hal itu pada dirimu sendiri. Aku yakin aku sudah mengantar surat kerajaan untukmu lebih sering dari yang kuingat." 

Fukase tersenyum tipis. "Sudah tanggungjawabku."

Flower menyesap tehnya tanpa mengalihkan pandangan dari sang pemuda bersurai merah yang tengah memahami isi surat miliknya. "Pekerjaan apa lagi?" tanya Flower yang mulai penasaran.

"Ekspansi wilayah–lagi. Padahal dari diskusi terakhir yang kusimak saat menemani Yang Mulia dan Perdana Menteri menyambangi kepala suku di pulau sana, mereka tidak ingin bergabung dengan kerajaan kita."

"Orang-orang itu pasti punya alasan," ucap Flower. 

"Begitulah..." respon Fukase singkat. "...waktunya kembali bekerja."

"Bekerja, katamu? Maksudmu bertaruh nyawa? Tidak mungkin tidak ada unsur kekerasan setelah sekian negosiasi yang gagal." Flower meletakkan cangkir yang telah kosong dengan sedikit kasar, termakan emosi.

"Aku hanya melakukan apa yang diperintahkan padaku. Begitu juga kau, kan?" ujar Fukase tenang.

"Yah, awas saja jika besok aku tidak mengantar surat kemari lagi."

"Maksudmu?"

"Awas kalau kau tidak kembali."

Fukase terkekeh, lalu mengusap rambut pucat Flower. "Tentu saja aku akan pulang."

[penghalang]

Flower menenggak sampanye sampai habis. Gelas keempat yang ia habiskan malam ini. Flower mengerang, lalu meletakkan gelas–setengah dibanting. Erangan frustasi lainnya dikeluarkan oleh sang gadis sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. 

"Jangan minum terlalu banyak." Fukase menghela nafas, suara lembutnya menyiratkan kekhawatiran.

Flower tak menggubris. Ia mengusap wajahnya dengan kasar. Menenggak lagi minuman keras seolah tak ada hari esok untuk menikmati setiap tetesnya.

"Flower." Fukase berucap sedikit lebih keras, sembari bersedekap. Guncangan emosi yang telah dialami sang kawan memang selalu membuat tingkah lakunya semakin impulsif. Fukase tak hanya merasa iba–ia lebih banyak merasa malas membopong sang gadis berhelai pucat ke apartemennya karena terlalu banyak minum. Terlebih kamar Flower ada di lantai 14, satu lantai di bawah lantai teratas apartemen yang ia huni.

"AKU TIDAK PERNAH MENGHALANGI HUBUNGANMU DENGAN MAYU!" Flower berteriak kencang, melempar gelas di hadapannya secara asal. Untungnya bar yang mereka kunjungi tak begitu ramai. Untungnya lagi, karpet dan pelapis dinding yang memberi efek kedap suara juga terbuat dari bahan yang mampu mencegah pecahnya gelas yang dilempar oleh Flower.

Fukase memijat keningnya.

Furukawa Mayu, salah satu model lolita yang sudah tiga tahun lebih bekerja dengannya. Paras cantik, postur yang memadai, serta kemampuan melenggang di catwalk yang dimiliki sang model adalah alasan Fukase tetap meneruskan kontrak dengannya.

Itu saja.

Fukase membenci kontroversi yang dibuat Mayu.

Fukase, sang desainer lolita muda berbakat, tentu saja menyadari bahwa Furukawa Mayu terus-menerus berusaha mendekatinya. Bahkan dengan cara-cara yang tidak lazim–menyebar foto rekayasa atau foto yang diambilnya diam-diam dan mengatakan sesuatu tentang kedekatan mereka–dari sudut pandangnya, tentu saja, meninggalkan barang-barang pribadinya di ruangan sang desainer sehingga memicu pertanyaan, bahkan mengangkat isu seksualitas–membuat pernyataan bahwa dirinya yang dulu berorientasi tak lurus dapat kembali menyukai lawan jenis sejak bertemu sang desainer.

Kali ini Mayu tak segan menjatuhkan Flower, seorang bintang rock dan musisi kondang, sekaligus kawan akrab Fukase. Sobat kental sang desainer ini merintis karirnya di dunia musik sejak lama, namun baru setahun belakangan ini Flower mulai menyusun karya-karyanya sendiri. Sebagai bentuk dukungan, Fukase mengizinkan sang kawan memperdengarkan instrumental rock dengan sentuhan piano klasik gubahannya di acara peragaan busana ciptaannya. Menambah lengkapnya suasana gothic lolita di ballroom lokasi diselenggarakannya pameran karya Fukase.

Mayu melempar pernyataan di mana kisah cintanya terganggu oleh Flower dalam salah satu episode podcast  Kagamine bersaudara–satu dari sekian wadah Mayu untuk menuai kontroversi selain talkshow–di mana setelahnya, episode tersebut melambung dan terus memanjat peringkat trending, meskipun isi kolom komentarnya didominasi netizen yang sudah muak dengan ulahnya, kompak menghujat Furukawa Mayu.

Di sisi lain, Flower terguncang amat sangat, di otaknya terus berputar memori kelam tentang perundungan yang ia alami–tuduhannya sama, merebut lelaki yang disukai wanita lain, dan orangnya bahkan sama.

Pengeroyokan oleh suatu geng di sekolahnya kala itu menghasilkan beberapa memar–serta luka hati yang tak ada obatnya. Aksi mereka diketahui pihak sekolah dan petugas keamanan segera meringkus dan menginterogasi sang ketua geng, otak pengeroyokan yang menimpa Flower–atas nama Nakajima Gumi.

Sialnya, Gumi terkenal memiliki segunung prestasi–hukuman yang dijatuhkan padanya tentu saja tak seberat yang selayaknya ia terima.

Flower kala itu langsung memotong pendek rambutnya–dan berangkat ke sekolah dengan seragam laki-laki.

Membuat dirinya diterpa isu transgender.

Nyatanya, Flower tetap seorang perempuan, dengan segala rasa dan lembut dalam hatinya.

Ah, seharusnya, tanpa memandang gender pun, manusia selayaknya memanusiakan manusia lain, kan?

Cinta yang seharusnya menjadi anugerah justru membutakan mata. Tidakkah itu sedih?

Fukase menoleh, mendapati Flower sudah terkapar di meja. Dengan perlahan, lengan pucat Fukase terulur, mengecek desah nafas dan denyut nadi sang gadis. Fukase bernafas lega, tidak ada sesuatu pun yang berbeda–ia sudah biasa mengurus Flower dalam keadaan tak sadar akibat mabuk.

"Jangan khawatir, Flower..." Fukase menyangga sebagian berat tubuh sang gadis di bahunya, merengkuh pinggang langsing Flower, lalu membawanya sembari melangkah.

"Apapun yang kau dengar, aku disini."

[tawanan]

Tiga kapal berangkat dari pelabuhan.

Fukase mengusap keringat di keningnya dengan lega. "Jangan kemana-mana lagi." Ia menatap tajam pada bocah lelaki di hadapannya.

Yang ditatap seolah ciut. Kepala dengan rambut pirang lebat hanya bisa menunduk. Sang bocah meremas tangannya dengan takut-takut.

"Ayahku pasti akan marah padaku." Oliver, putra bungsu sang gubernur dari Merida, berucap dengan suara tercekat.

"Sudahlah, aku akan mengantarmu pulang." Fukase menepuk pundak Oliver sembari tersenyum. "Sulit sekali menemukanmu, aku harus mencari di setiap penginapan yang ada. Hampir semua pelabuhan yang kudatangi harus kuperiksa, tahu."

"Maaf sudah merepotkan Anda, Kapten."

"Tidak masalah." ujar Fukase sembari merapikan topi yang dikenakannya. "Perjalanan ke Merida biasanya menghabiskan waktu seminggu. Kau harus jaga kesehatan. Semoga tidak ada hal-hal buruk yang terjadi, ya..."

Waktunya sungguh tak tepat–terdengar suara dentuman keras di bagian geladak. 

"Kapten!" Teriakan kencang dari first mate Fukase, Len "Golden Monkey" Kagamine, seolah membelah atmosfer. "Serangan dari Wild Flower!"

"Di saat seperti ini!?" Fukase menggertakkan giginya, merasa geram. "Oliver, tetap disini. Jangan membuatku harus mencarimu lagi. Len, arahkan dia pergi bersama yang lain. Amankan kargo tekstil kita semampumu."

Len mengangguk, lalu menggandeng Oliver, mencari jalan kabur. Fukase meraih teropong di meja, lalu bergegas keluar ke geladak kapal. Para gunner sedang menembaki empat kapal di hadapan mereka–tipe kapal galleon ada dua, yang dua lagi tipe barque. Jumlah yang tidak berimbang, tetap sulit meski armada Fukase memiliki satu kapal dengan tipe frigate, satu tipe lebih mutakhir ketimbang milik Wild Flower–dan dua barque sama dengan milik sang lawan, Fukase tidak yakin mereka memiliki persediaan senjata yang cukup.

"Quartermaster! Bagaimana ketersediaan senjata?" tanya Fukase pada Wil, sang bawahan yang tengah mempersiapkan bahan peledak.

"Masih ada cukup bom untuk menumpas kapal-kapal itu. Yah, kuharap kita tetap bisa menggunakannya dengan efektif sebelum mereka merusak cannon yang kita miliki." ujar Wil dengan tenang.

"Baik. Segera persiapkan." Fukase beralih menuju gudang persenjataan, mempersiapkan pistol dan sebilah pedang.

Meriam terus beradu. Menghantam, merusak, membuat lubang di sekujur kapal. Satu peluru menghantam tiang kapal frigate milik Fukase, menjadikan semua yang ada di kapal berjuang mengatur keseimbangan. Salah satu gunner Fukase berhasil menembakkan peledak ke kapal galleon milik Flower, sukses membuatnya karam. Tembakan bola api dari meriam milik Wild Flower sukses mengenai salah satu kapal tipe barque yang mengangkut kargo berupa kayu bakar–mengakibatkan kebakaran meluas. Para awak kapal di sana berlarian tanpa kendali, berusaha menyelamatkan diri.

"Tch! Kiyoteru! Apakah ada jalur yang aman untuk kabur?"

"Aku rasa tidak, Kapten!" balas sang navigator sembari bertumpu pada tiang kapal yang masih utuh. "Pelabuhan Belize sedang dikuasai oleh Luka "Cursed Sapphire Eye" Megurine. Dia menginginkan tekstil kualitas tinggi yang kita bawa di kapal ini. Sama saja bunuh diri pergi ke sana, persenjataannya jauh lebih lengkap dari Wild Flower!"

"Tidak ada jalan lain?"

"Lima mil dari Trujillo sedang terjadi badai besar. Lebih baik jangan."

"Kapten!" Len sang first mate, masih membawa Oliver, berlari kembali ke geladak. "Anak buah Wild Flower berhasil naik ke kapal ini!"

"Brengsek! Siapkan senjata kalian! Sisakan lima belas gunner untuk menghabisi kapal yang tersisa! Gunakan semua bahan peledak yang masih ada!" raung sang kapten.

Derap langkah kaki anak buah Wild Flower bergemuruh. Siap mengepung Kapten Fukase yang terkenal dengan sebutan One-eyed Devil dan seluruh awak kapalnya.

Suara berdenting bergaung di seluruh penjuru geladak. Hampir semua anak buah sibuk beradu pedang. Beberapa yang berhasil merasuk ke tempat penembakan meriam mulai mengganggu para gunner yang tersisa. Para gunner berusaha bertahan, melawan dengan belati yang selalu mereka persiapkan.

"Kalian kalah jumlah. Sudahlah, menyerah saja." First mate dari Wild Flower, Piko "Ghost" Utatane, mengayunkan pedangnya ke arah Fukase. Fukase menangkisnya dengan sigap, lalu menatap iris heterokrom sang lawan dengan tajam. Mata kanan berwarna lazuardi–yang konon diperoleh Piko sejak membunuh saudara kembar Len–kini diperlihatkan oleh Piko setelah sekian lama ditutupi eyepatch.

Piko berpaling pada Len sembari tersenyum culas. "Aku memang berada di bawah perintah untuk mengalahkan One-eyed Devil..." ujarnya, "...namun aku lebih tertarik mempertemukanmu dengan kembaranmu." 

"Kau masih dendam, hm?" Len mencengkeram golok yang ia hunuskan pada Piko. "Aku juga membenci tirani Kagamine yang memonopoli perdagangan sehingga–"

"Keluargaku tidak akan hidup kembali," Piko menggeram, "begitu pula adikmu, kan?"

Len berusaha menghindari tusukan-tusukan yang dilayangkan Piko menggunakan belati, lalu melawan dengan mengayunkan goloknya ke depan. Piko berusaha menangkis, namun pipinya terkena bagian ujung golok dan terluka.

"AKU TIDAK AKAN MEMAAFKANMU BEGITU SAJA!"

Fukase mundur, menghindari Ghost dan Golden Monkey yang sedang berperang. Entah sejak kapan Wild Flower mengangkat Ghost sebagai wakil di kapalnya, namun yang jelas, hal ini semakin merepotkan. Dua musuh besar bersatu dalam satu kapal.

Ia menoleh, berusaha memastikan agar Oliver tidak terluka. Fukase terbelalak menyaksikan Oliver sudah diikat dan dibekap oleh kaki tangan sang musuh.

"Lepaskan dia!" raung Fukase. Ia berusaha mendekat untuk menyelamatkan Oliver, namun tangan seseorang berhasil menyeret Oliver dan menghempaskannya dengan kasar.

"Hadapi aku dulu."

Tidak diragukan lagi. Sang kapten kapal sendiri telah turun tangan. Wild Flower, bajak laut yang terkenal sebagai pencuri handal, telah berhadapan langsung dengan sang rival, One-eyed Devil Fukase.

"Tak biasanya kau mengincar nyawa orang lain." Fukase merespon datar.

"Bukan urusanmu." Flower mengambil belati yang menjadi senjata andalannya. "Kepalamu dihargai sebesar 100.000.000 golden oleh sang Raja Bajak Laut. Sudah jelas, bukan? Aku tak tertarik pada bocah ini."

"Kau tidak akan bisa membunuhku."

Fukase melesat dan menghunuskan pedangnya tepat ke bagian depan tubuh Flower. Flower menangkisnya ke arah atas. Flower segera berbalik, mengacungkan ujung belatinya ke dagu Fukase. Fukase menelan ludah.

"Hmm?" Flower tersenyum.

Fukase ternyata tidak lengah. Dengan tangan kosong, ia berhasil meninju perut sang lawan. Flower terjerembab. Sembari menahan sakit, ia meraih pistol di sakunya, lalu menembakkannya ke arah Fukase.

Fukase mati-matian menghindar. Masih dengan tangan kosong, ia berusaha melawan. Fukase berusaha menangkap tangan Flower, namun Flower berhasil bangkit terlebih dahulu, bahkan sempat berguling untuk menjauhkan jaraknya dengan Fukase. Masih dengan pistol, ia menembak pedang Fukase. Pedang itu pun terlepas dari tangan sang kapten. Fukase tak mau kalah. Ia mengambil pistol dari sakunya, dan menembak kaki kanan Flower. 

Beberapa percikan darah mengenai lantai. Flower memegangi pahanya, menjerit kesakitan. Fukase tidak berhenti di situ saja. Ia menembakkan pistolnya lagi, kali ini mengenai tulang kering Flower–masih di kaki kanan.

Jeritan Flower semakin memekakkan telinga.

Anak buah Wild Flower panik–semuanya berlarian tanpa arah. Mengira sang kapten telah binasa. Beberapa tanpa pikir panjang meninggalkan kapal dengan menceburkan diri di lautan, beberapa menyerahkan diri. Piko sang First Mate berhenti melakukan adu pedang dengan Len, berusaha mengevakuasi awak kapal Wild Flower yang masih tersisa–mengajak mereka menyelamatkan diri.

Di saat itulah, salah satu gunner Wild Flower berhasil menembakkan peledak.

Bom itu menghancurkan bagian tengah geladak.

Oliver berteriak minta tolong. Len dengan sigap membawanya ke kabin yang tidak mengalami kerusakan. Fukase menatap semua kekacauan itu, dan berucap pada sang navigator yang memegangi memar di lengannya,

"Cepat cari jalan pergi dari sini."

Para gunner masih berusaha menghancurkan kapal milik Wild Flower, sampai mereka menyadari bahwa kapal-kapal milik Wild Flower yang masih tersisa berusaha meninggalkan mereka.

"Mereka kabur!" teriak Mikuo, salah satu gunner.

"Sudahlah. Pertarungan ini sudah usai." Fukase berpaling, melihat sang nemesis yang terkapar, setengah sadar. Ia bisa saja langsung melemparnya ke laut, namun hati kecilnya merasa jika ia harus membiarkan Wild Flower hidup. Fukase menunduk, berusaha menyangga tubuh kurus sang rival dan menuntunnya menuju kabin.

Namun, tanpa sengaja, telapak tangannya menyentuh dada Wild Flower.

Fukase terkesiap. Mendadak ia tak bergerak selama beberapa detik.

"Kapten?" Wil, sang quartermaster, yang baru saja selesai mengamankan persenjataan dan kargo yang masih tersisa, menghampiri sang kapten yang air mukanya menunjukkan keterkejutan yang luar biasa. Satu hal yang tidak ia mengerti selain posisi sang kapten yang tengah membopong rivalnya.

"W... Wild Flower..."

Wil menajamkan pendengarannya dan bersiaga, dengan dugaan kalau Wild Flower telah menanamkan jebakan tanpa mereka ketahui.

"WILD FLOWER SEORANG PEREMPUAN!"

"APA!?"

-author's note

YAHOOOOO MINANAS MAKSUD SAIA MINNASAN! Maap lahir batin buat semua dan maaaaap banget updatenya 2 tahun kemudian /HEH

Semoga antum antum semuanya dalam keadaan baik sehat selalu. Eniwei, part ini diketik selama 2 tahun /alah/ jadi kalau tata bahasanya agak mencolok-mencolok gimana gitu ya maap, itu diri saya seolah time travel terus collab /OPOSIH

anw, maap banget lagi lagi, ga bisa bales komen satu satu awawawawa soalnya emang soksibuk sekali ini authornya. kaget juga masih ada yang baca ini sama murid stories hahahaha, buka wattpad kok masih ada notifnya aja /TERHURA DENGAN GOBLOK/

design ci flower cantik banget btw, saya lgsg sat set sat set nulis ini WKWKWKW

see ya at the next chapter! ati ati dijalan buat yang lagi mudik awawa

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top