KaseHana - 5

[gunting] (GORE WARNING)

Malam yang sunyi di kota kecil Enbizaka.

Angin tak berhembus sekencang biasanya, jangkrik pun memilih tenang, tak bersuara. Bulan malam itu tak nampak menggantung di cakrawala, disembunyikan oleh awan, tak kuasa memancarkan cahaya.

Sosok berambut merah jambu dengan langkah tak bersuara memasuki rumah di ujung jalan. Setiap hentak kakinya begitu senyap, tak disadari oleh penghuni rumah. Dua orang anak laki-laki di kamar yang terbuka bahkan tidak terbangun.

Warga kota mengenalnya sebagai pria yang mempesona. Seorang penjahit berbakat dengan kemampuan tak dinyana-nyana, pakaian hasil karyanya mulus tak bercela, bahkan tak kalah indah dengan busana raja. Parasnya yang rupawan dan tata krama nan anggun membuat namanya terkenal di seantero kota.

Satu hal yang disayangkan, ia terjebak dalam delusi. Entah sudah berapa malam ia menanti sang kekasih hati yang sesungguhnya tak tahu ia hidup di dunia ini.

Bukan dua anak laki-laki itu targetnya.

Sang penjahit mengendap-endap di belakang partisi, perlahan berjingkat ke kamar di sisi kiri. Ia menggeser perlahan pintu di hadapannya, menampakkan ruangan minimalis yang hanya berisikan lemari, ranjang, dan sebuah bonsai di sudutnya.

Langkahnya tetap tenang. Ia menyingkap selimut, nampaklah pasangan suami-istri yang tengah tertidur di ranjang. Keparat, keduanya setengah telanjang.

Yuuma mencengkeram gunting di saku kanannya, tangannya bergetar.

"Matilah kau..."

JLEB!

"...Fu-"

"Ada apa, Megurine Yuuma? Kenapa diam saja, hn?"

Yuuma membeku. Setiap indranya seolah menjerit karena pisau yang kini menancap di perutnya. Degup jantungnya tak karuan. Gunting pusaka miliknya jatuh ke lantai seiring dengan semilir angin. Fukase memandanginya dengan mata berkilat penuh kemenangan.

"Tidak sopan mendatangi kamar pasangan suami-istri jam segini. Aku pikir kau tahu itu." Fukase menyeringai. Dalam satu tarikan kasar, pisau itu berhasil dicabutnya. Dihunjamkannya lagi pisau yang sama, berkali-kali menembus dada bidang Yuuma. Perlawanan Yuuma tak banyak berarti. Sia-sia.

Fukase mencengkeram leher Yuuma, mencekiknya dengan kekuatan yang tak biasa. Yuuma berjuang melepaskan diri, mengerahkan sisa-sisa tenaga dan nafasnya. Fukase sekilas melirik gunting Yuuma, harta warisan turun-temurun penjahit legendaris kota Enbizaka. Suatu pemikiran terlintas di otaknya, tepat sedetik setelah ia menusuk leher Yuuma dengan pisau yang ia miliki

"Bagaimana kalau kau mati di tangan benda ini, Yuuma?" Satu dorongan, Yuuma terpelanting ke lantai. Fukase menginjak lehernya tanpa ampun, meraih gunting yang sudah diasah Yuuma setajam mungkin, menusukkannya tepat ke jantung sang pemuda bersurai merah muda.

Kulit pucat Fukase terciprat darah ketika ia mencabut gunting legendaris itu. Yuuma tak lagi bergerak. Dadanya hancur, lehernya terkoyak. Meskipun begitu, wajahnya masih mampu dikenali. Fukase masih berbaik hati.

"Suara apa itu, Sayang?" Flower mengerang pelan, terbangun dengan wujud acak-acakan.

"Pengganggu. Tidurlah kembali, kau baru memejamkan matamu sejenak."

"Kau menghabisi Megurine sendirian? Tak mengajakku?" Flower merapikan yukata pendeknya, terlihat jelas ia memakainya asal-asalan sebelum jatuh tertidur.

"Maaf, kupikir fakta kalau ia ada di dunia saja sudah mengganggumu." Fukase mengusap noda darah di lengannya. "Untung saja aku hanya memakai pakaian dalamku."

"Kurasa kita harus membereskan kekacauan di kamar untuk kedua kalinya malam ini, Fukase."

"Ah, aku benci mandi di malam hari."

"Aku tidak percaya." Flower tersenyum simpul, menuruni ranjang yang sama berantakannya namun penyebabnya berbeda. "Sini, kubantu."

Sementara itu, di kamar sebelah utara.

"Kakak? Ada apa di kamar Ayah dan Ibu?" tanya Piko sambil mengusap matanya.

"Ah, itu perasaanmu saja." Dell menguap. "Tidurlah lagi."

[kucing]

Fukase menendang pintu ruang rapat. Satu kaleng biskuit—dialihfungsikan sebagai wadah alat tulis—menggelinding dan menimpa keramik.

KROMPYANG!

"EH BABI!" Satu latah anggun pun dikeluarkan. Fukase mendesah, membereskan alat tulis yang berserakan. Beruntungnya tinta spidol yang ada di dalam kaleng itu tidak tumpah mengenai karpet. Sudah memotong anggaran, membersihkannya juga susah.

Fukase melongok ke belakang meja. Nampaklah Flower sedang tertidur dengan tampang tak berdosa. Bersembunyi untuk membolos pelajaran? Ah, mungkin tidak. Layar laptop yang masih memancarkan cahaya menandakan bahwa sang sekretaris belum lama terlelap. Ah, sedang mengedit proposal rupanya. Fukase tergerak untuk menyimpan progres edit di laptop Flower, sebelum gadis itu menjerit frustasi seharian karena lupa menyimpannya seperti yang terjadi beberapa minggu lalu.

Fukase sempat meneliti pekerjaan di layar Flower walau sebenarnya ia tak mengerti apapun di sana. Walau sudah beberapa kali bergabung dalam kepanitiaan, Fukase tetap tidak paham dengan penyusunan proposal juga laporan karena memang divisi yang ia masuki tidak banyak membahas hal itu. Tak lama kemudian, ia mematikan laptop Flower, menghindari kemungkinan baterainya terkikis habis.

Sang pemuda sebenarnya harus cepat meninggalkan ruangan, ia mampir di tengah jam pelajaran saat pamit ke kamar mandi. Akan tetapi, pesona sang gadis seolah memaksanya tinggal lebih lama. Fukase seolah tak kuasa meninggalkan Flower sendirian walaupun ia hanya tertidur di ruangan itu.

Entah disadari atau tidak, tatapan Fukase begitu lekat pada Flower, seolah-olah ia sedang mengobservasi setiap helai rambut, setiap inci wajah sang gadis. Kantung matanya cukup tebal, Fukase bertanya-tanya seberapa  banyak acara yang ia tangani sampai tak cukup tidur di malam hari. Begitu sunyinya ruangan itu, sampai Fukase bisa mendengar suara nafas lembut Flower.

Uh, mungkin posisi badan mereka saja yang terlalu berdekatan.

Flower mendengkur pelan, pelan sekali. Fukase tersenyum kecil. Suara Flower mengingatkannya pada kucing, suara dengkuran lembut nan damai itu. Ah, manisnya.

Fukase mengusap kepala Flower, menyibakkan poninya. Sang gadis tak kunjung terbangun, untungnya. Bisa-bisa ia diselepet penggaris kayu kalau ketahuan. Terakhir, Fukase melepaskan jas almamaternya, menyelimuti bagian bawah tubuh Flower. Salahkan rok seragam yang tidak begitu panjang, ditambah lagi tinggi tubuh Flower yang kelihatannya masih bertumbuh dengan cukup baik.

Fukase tersenyum lagi, lalu meninggalkan ruangan.

[anime]

"Ah... Flower, mau pergi nonton denganku besok?" Fukase dengan grogi memainkan plester merah di hidungnya. Sebenarnya nggak ada luka yang harus ditutupi, hanya saja jiwa chuunibyou yang melekat kuat pada dirinya seolah menekankan bahwa plester itu adalah trademark tersendiri, memiliki kekuatan yang tak disangka-sangka, menunjukkan bahwa kastanya lebih tinggi dari orang-orang di sekitarnya.

"Nonton apa, ne?" Flower beralih dari pekerjaan memotong-motong kertas sehingga menjadi eyepatch. Sama saja chuunibyou-nya.

"Yang itu lhooooo..."

Flower mengangkat alis. Tak biasanya Fukase agak grogian seperti tokoh cewek loli dandere. Biasanya juga ia tak peduli digosipkan khalayak ramai saat pergi ke mall dengan boxer bermotif Spongebob.

Kenapa saat berbicara dengannya jadi malu-malu begini? Biasanya juga mereka saling memanggil dengan kata anjing-bangsat.

"Uuuuhhh." Fukase menggaruk punggung. "Nonton karyanya Makoto Shinkai, yang terbaru itu."

"Oh itu? Di mall asdfghjkl aja! Aku dah diajak sama Piko tadi, gabung aja kalau mau."

"HAH!?"

Fukase melempar deathglare ke Piko di pojok kelas. Piko berjuang menahan tawa—tetap tersenyum walau sedikit pucat saat Fukase tiba tiba menyeretnya ke koridor sekolah.

"MAKSUD LU APAAN!?" Fukase melayangkan tinju ke wajah shota Piko, beruntungnya Piko sempat menghindar. Jadilah Fukase menonjok dinding dan terciptalah adegan kabe-don yang mampu memicu jerit bahagia para fujoshi (dan jerit tidak terima bagi yang beda kapal) di seluruh belahan bumi.

"Rencananya gini. Rencana A, nanti pas hari H gua ga muncul, jadi lu bisa berduaan. Kalo ngga ya gua dateng tapi sama Miki, terus cari tempat duduk yang jauhan. Deal?"

"LU LANCANG YA NGAJAK FLOWER NONTON—"

"NAH KAN DIA SUKANYA KALO PERGI RAMEAN, MAKANYA GINU BIAR LU JUGA DIAJAK GITU!"

"Ya udah! Deal. Kalo rencana ini gagal, gue sumpahin gacha VGO lu ampas sampe kita lulus SMP!"

[tinggi]

"Hoi." panggil Len pada Fukase dan Piko yang tengah asyik berbaku hantam ria di universe Tekken.

"Ape?"

"Ane mau curhat." Len bertopang dagu di sandaran sofa. "Gua ga pede jalan sama Tei, soalnya tinggian dia."

"First time?" Piko merespon datar.

"Noob." ucap Fukase, sama datarnya.

Fukase dan Piko masih sibuk berbaku hantam, berusaha mengusir emosi karena seolah diingatkan kalau tinggi badan mereka tidak akan mungkin mencapai 170 sentimeter. (Di fanfic ini) Fukase hanya 165, Piko malah hanya 159. Perbedaan yang cukup sadis dengan pacar-pacar mereka—Miki dan Flower—yang sama-sama tinggi menjulang, 168 sentimeter.

"...YA MAKANYA AKU TANYA, BAGAIMANA CARANYA BIAR GAK MALU!"

"Seenggaknya kau masih kayak pasangan straight." Piko meletakkan joystick setelah karakternya tewas digebuk Fukase. "Setiap aku pergi dengan Miki, ada saja yang menawariku promosi skincare, make up, dress ukuran kecil, aksesoris perempuan..."

"Shota." ejek Len tanpa bercermin.

"Diam, bangsat." Piko menghela nafas. "Yah, tiada hari tanpa dikira teman ceweknya atau adik ceweknya."

"Masih mending." Fukase menimbrung setelah mematikan alat permainan. "Kau pernah dikira gay karena kekasihmu ganteng?"

"Pfft-" Piko hampir menyemburkan air ludahnya, hampir. Nyaris. Teringat kejadian dimana Fukase dilabrak oleh seorang aktivis homophobic ketika sedang bergandengan dengan Flower di kedai pizza.

"HOHOHOHOHOHO-" tawa jahat Len terdengar seiring ingatannya menguat. "SIAPA YA YANG DIMARAHIN KAUM ANTI PELANGI PAS LAGI NYENDER-NYENDER DI MALL-"

"WOI CUKUP!"

[feminim]

Diduga trauma dikejar-kejar kaum antihomoseksual, Fukase memberanikan diri untuk meminta Flower memakai pakaian yang sedikit lebih feminim dari biasanya.

"Hn? Masalahnya aku tidak punya." Begitulah jawaban Flower, tepat seperti dugaan sang rambut merah.

"Uhhh. Baiklah, akan kubelikan kalau sempat."

"Niat amat?" Flower mengangkat alis. Biasanya Fukase bahkan tak ambil pusing jika Flower tak mandi tiga hari—pernah dalam sekali kejadian lima hari, namun Flower tidak mengaku.

"Memangnya kenapa?"

"Ah, nanti merepotkan." Flower menyelipkan helai rambutnya di atas daun telinga, gugup. "Aku pinjam punya Yukari atau Rin saja."

Fukase ternganga. Seorang Flower mau mengenakan pakaian dengan kesan feminim demi dirinya? Demi apa? Di sekolah saja, Flower hanya mengenakan rok seifuku ketika petugas penertiban sok galak mengadakan sidak. Setelah para anak OSIS pergi, Flower langsung mengganti roknya dengan celana—iya, celana seragam laki-laki.

Keesokan harinya.

Fukase yang tengah menyeruput kopi dengan santai terpaksa harus merelakan setengah dari kopinya terciprat ke sembarang arah—ya, Yukari menyeretnya sembarangan, hendak menunjukkan sesuatu.

Sembari mengelap tetesan kopi yang menempel di tubuh, Fukase mengumpat sewajarnya, lalu melihat ke hasil karya seni seorang Yuzuki Yukari.

Wah.

Seandainya Fukase masih memegang gelas kopinya, ada 100 persen kemungkinan gelas itu pecah berkeping-keping karena jatuh.

Tampak Flower dengan blus off-shoulder kotak-kotak ungu-putih, rok jins hitam selutut, ikat pinggang kecil berwarna putih, anting dan kalung mawar hitam yang nampaknya satu pasang, juga pita hitam milik Rin yang dipasang miring. Lengkap dengan riasan tipis nan natural dan totebag ungu polos.

Estetik sekali laksana mbak-mbak selebgram.

Asoy melehoy.

Pangling deh.

"FLOWER!?"

"Kaget bilang bos!" Flower bergaya sesuai quotes.

"KAU BENAR-BENAR DANDAN!?"

"Ssh, Len dan Piko yang memberitahuku. Ngomong-ngomong, kupikir memelord tidak peduli dicap jeruk makan jeruk." Flower memberi tatapan menghina pada Fukase.

"AAAAH SHOTA-SHOTA KEPARAT! BELOM AJA SAYA SLEDING PALANYA SATU SATU!"

[high heels]

"Ah, iya. Fukase, aku sengaja belum memilihkan sepatu untuk Flower." bisik Yukari.

"Hoh? Kenapa?"

"Aaah, aku yakin kalau dia kupinjami sepatu hak tinggi, kau akan semakin insecure dengan tinggi badanmu."

"HEI!" Fukase semakin naik pitam, tawa Flower semakin menjadi-jadi.

Aha.

Tiba-tiba otak jahanam Fukase kembali.

"OKE! Pinjamkan saja dia sepatumu yang 10 cm itu, aku ingin melihat Flower terjungkal dengan anggun."

Yukari gantian ngakak.

Fukase ditimpuk totebag.

[tikung]

"Oi, Fukase." Yuuma merangkulnya santai, entah sok akrab atau banting setir jadi maho.

"Hmmm." Fukase hanya berdeham, masih belum bisa move on dari caranya memaknai Yuuma sebagai seorang tukang tikung. Dendam mas, dendam aku.

"Masih sama Flower?"

Nah kan.

Siaga, Fukase. Siaga.

Mode mempertahankan hubungan diaktifkan. Buaya terdeteksi dalam jarak kurang dari satu meter. Situasi belum memungkinkan untuk baku hantam, sabar.

"Iya, nih."

"Kalian lucu banget lho." Yuuma kembali berkilah. Fukase hanya menanggapi dengan senyum ibarat chatting. Kena getok apaan sih kepala Yuuma sehingga memberi ucapan menyanjung begini?

"Seriusan, imut. Kayak couple di sekolahan, kamu kouhainya, Flower senpainya."

UGH.

KAMPANG. PANTEK. BANGSAT. JANCUK. KIMAK. HEUNCEUT. TELASO. ASSBUTT.

MENTANG-MENTANG TINGGI.

"Hehehehehe..." Fukase merogoh-rogoh celah sofa, berharap menemukan remote AC zaman megalitikum untuk membocorkan kepala Yuuma.

"Yaaaah, mungkin aja yang dilihat Flower bukan tingginya, sih." Dex melenggang santai, menimbrung obrolan kedua lelaki bersurai spektrum merah tersebut. "Kan Fukase nggak cuma tinggi ke bawah, tapi juga panjang ke bawah, kan?"

Yuuma mendadak kecut. "Ah, ada telepon. Aku angkat dulu."

Nyali menikung seorang Yuuma ciut.

Seriusan.

"Hah?" Fukase mengerutkan kening.

"Kok malah bingung?" Dex berdehem, siap-siap bercerita panjang.

[Gigantic O.T.N (Warning: konten mesum, tapi bukan lemon.)]

"APA!? DIA NYANYI LAGU ITU!?"

Fukase mangap lebar, lebih lebar dari Grand Canyon.

Dex menepuk jidat. "Memangnya Flower tidak cerita padamu? Videonya belum diunggah, sih... Tapi rekamannya sudah tiga hari lalu!"

"...."

Oke, ceritanya begini. FLASHBACK.

Entah apa yang ada di dengkul salah seorang produser hingga meminta Len yang notabene masih di bawah umur untuk menyanyikan sebuah lagu yang isinya sangat tidak aman untuk konsumsi keluarga.

Yah, bukan cuma sekali dua kali sih. Lagu-lagu bertema kematian dan skidipapap sawadikap biskuit ahoy seolah sudah menjadi peran Len di dunia permusikan—sumpah. Beneran. Cari aja sendiri, nasibnya Len kalau ngga mesum ya mati. Kadang juga homo. Kadang incest.

Kalian kasian ngga? Saya sih engga.

Singkatnya, setelah Len menyanyikan lagu berjudul Gigantic O.T.N, beberapa fans mengharapkan cover dari Vocaloid lainnya—yang berusia lebih legal tentunya. Mungkin supaya tidak diciduk FBI ketika mendengarkan lagu tentang kelamin pria yang dinyanyikan anak berusia 14 tahun.

Plis. Seriusan. Saya dulu pernah menggilai Len juga, tapi semakin saya tua, semakin saya tinggalkan sebelum saya diciduk.

Ninuninu! moshi moshi keisatsu desu!

NAH. Kembali ke masalah Flower.

Flower—ironisnya—mampu menyanyikan lagu ini dengan sangat sempurna. Lebih nendang dari versi beberapa lelaki tulen. Padahal, kita semua tahu bahwa Flower tidak memiliki objek yang menjadi judul dan inti dari lagu tersebut.

https://youtu.be/XY4UJ_VL4Zc

Untuk kalian yang bertanya mengapa Ryuto ada disana, dia hanya menyanyi tanpa tahu arti lagunya.

Ah. Kalian mau tahu kenapa Flower bisa menyanyikannya sebaik itu? Akan segera terjelaskan kok.

"Ryuto? Bukankah ada lelaki tulen seperti kau, Yuuma, Yohio, Dex, atau Fukase yang lebih LEGAL untuk menyanyikan lagu mesum satu ini?" Kiyoteru bertanya dengan nada khawatir, entah memikirkan nasib kepolosan Ryuto atau takut gelar pedofil semakin erat disematkan padanya.

"Entahlah. Dan kenapa justru cewek-cewek ini?" Gakupo menunjuk IA dan Flower bergantian. "Kadang aku tak paham dengan keinginan para fans."

"Kalau begitu gantikan aku." Flower berucap dengan kesal.

"Tidak, terimakasih. Lagian aku sudah punya lagu harem sendiri." Gakupo mendengus bangga. Saya yakin kalian tahu lagu harem apa yang dimaksud.

—Flashback Off bentar—

"Hanya menyanyikan lagu mesum, kan?" Fukase menggigit kuku.

"Kau belum dengar bagian yang lebih buruk." Dex bersiap cerita lagi.

—Flashback ON lagi—

Oke. Kali ini akan segera kita bahas (dugaan) penyebab Flower bisa menyanyikan lagu laknat itu dengan sangat baik.

"Ugh. Menyanyikan lagu tentang kelamin laki-laki." Flower memutar matanya, meraih lembar partitur dengan malas.

"Memangnya kenapa?" IA memberi senyum kecut pada Flower.

"TOLONG YA, INI KETERLALUAN—"

"Hmm? Bukannya kau sudah pacaran dengan Fukase?" IA mengerutkan kening.

"Lalu kenapa?" Flower menjawab datar walau pipinya memerah.

"Kau tidak pernah melihat anunya?"

Andai Flower sedang minum, sudah dipastikan likuid yang ditenggaknya akan menyembur ke segala arah.

Suara IA tadi kebetulan cukup keras, sampai-sampai semua makhluk berbatang di ruangan itu menoleh ke arah IA dan Flower.

Kebetulan Ryuto sedang rekaman, jadi ia tak dengar. Untung saja.

Flower memelototi IA. Entah siapa yang merenggut kepolosan temannya hingga otak dan omongannya sampai sefrontal ini. Tanpa sensor bagaikan anime versi Blu-Ray.

"Kalian bahas apa tadi?" Len mangap.

"Otongnya Fukase." IA menjawab enteng. Duh, Flower ingin sekali menampolnya dengan kepingan sayap dari patung Garuda Wisnu Kencana.

"Oh, Flower belum pernah lihat?" Kaito mengangkat alis. Astaga, malah diperjelas.

"Kasih lihat nggak ya?" Gakupo sok-sokan berpikir. Kiyoteru menjitaknya.

"Hah?" Flower gantian bingung.

"Aduh, pasti foto legenda itu lagi." Piko geleng-geleng.

"Perlihatkan saja, mungkin sekarang saat yang tepat." bisik Kaito pada Gakupo.

"IA nggak boleh lihat!" Len menutupi kedua mata IA dengan sigap.

"Foto apa sih?" tanya Flower. Gakupo pun memperlihatkan sebuah foto yang diambil di pemandian air panas.

Foto selfie bertiga. Len, Kaito, dan Gakupo.

Namun perhatikan pojok kanan.

Ada penampakan tapi bukan kuntilanak.

Terlihat sebuah momen langka—Fukase dengan handuk yang melorot.

Tidak hanya satu atau dua sentimeter, handuk tersebut sudah menuruni lututnya.

Ada yang menonjol tapi bukan bakat, ada yang panjang tapi bukan kabel.

UDAH DESKRIPSINYA WOI.

"ANJIR LONTONG—"

"Gede kan?"

Flashback OFF—

"BUKANNYA ITU FOTO UDAH KEHAPUS YA!?"

"HAPENYA GAKUPO AUTO BACKUP TERNYATA! KESIMPEN DI DRIVE AGAGAGAGAGAGA—"

"WOI!" Fukase membanting bantal sofa, lalu bertanya lagi. "Eh. Dia bilang gede?"

Dex menyeringai mesum. "Yes."

"Oh, boi." Fukase ikut menyeringai.

~ chap 5: end ~

AOWKAOWKWOWKWOWKW MESUM SEKALI LAGU OTONG BESAR GAISSSSS OH YES /plak/

OH IYE. MAAP UPDATENYA LAMA. LAGIAN JARANG ADA YANG BACA SI JADI YAUDAH LAH YA GITU HEHEH /woi/

CIAO~

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top