KaseHana - 4
From A to Z! Udah lamaaa saia ingin mencoba drabble alphabet ini sahabat. Mungkin di LenKu pernah bikin saia? Saia lupa, males ngecek juga /heh/
Tapi idenya harus banyak —3—)" no big deal. Author note mode off!
—
[Ambigu]
"PIIIIIKKKOOOON!" Oliver berlari menghampiri Piko secepat kuda liar ngamuk. Piko yang tadi ngantuk-ngantuk pun terantuk laptop.
"Apa?"
"ITU, FUKASE SAMA FLOWER— AMBIGU—"
"HAH!?" Piko terkejut terheran-heran, antena huruf 'P' di kepalanya lurus menjadi huruf 'I' selama sepersekian detik. "AMBIGU GIMANA!?"
"Tadi, Fukase belajar bawa motor sama Kak Yohio, terus nabrak Flower di pinggir jalan, terus Flower dinaikin ke ambigu, dibawa ke rumah sa—"
"ITU AMBULANS, OLIVEEER, ITU AMBULANS!" Kepala Piko menghantam tembok saking kesalnya.
[Baku hantam]
"KALIAN INI SELALU SAJA!"
Mizki mengomel sembari mengobati luka di tangan Flower. Sudah bisa dipastikan penyebabnya adalah MEMELORD KESAYANGAN kita semua, vocaloid dengam wajah tampan bagaikan bakwan jagung, Fukase.
"DIA SUDAH MAIN PS SELAMA TIGA JAM, MIZKI!" jerit Fukase tidak terima. Ingin rasanya Fukase memberi bogem mentah lagi pada Mizki—juga Flower—namun apa daya, tangannya harus memegangi kompres untuk mengobati memar di kakinya.
"BUKANNYA KAU YANG MENANTANGKU MENGALAHKAN ALIEN TERAKHIR, HAH!?" Flower mengacungkan telunjuk kirinya—pengennya jari tengah—ke arah Fukase.
"KAU BUTUH TIGA JAM HANYA UNTUK MENYELESAIKAN LEVEL ITU!? PAYAH!"
"BERANINYA KAAAAAAAU!" Flower tak tahan lagi. Ia berlari ke arah Fukase dengan tangan terkepal, namun tanpa sengaja ia tersandung kotak P3K dan jatuh.
Flower meringis.
Mizki memilih diam, tak berkomentar apapun. Membantu juga tidak.
Fukase mengulurkan tangannya. "Maaf."
"Ah." Flower mengaduh, menyambut uluran tangan Fukase. "Aku yang harusnya minta maaf."
"Lupakan saja masalah game tadi..." Fukase membereskan obat-obatan yang berantakan. "Kau mau milktea?"
Flower mengangguk.
Mizki mangap. Heran, cepat sekali akurnya?
[Cinderella]
"Lagu apa?" Lily berbasa-basi pada Meiko yang tengah mendengarkan lagu lewat iPout miliknya.
"Ah, Romeo and Cinderella. Cover Flower dan Fukase." jawab Meiko ramah. "Kau mau dengar juga?"
"Kemarin aku sudah mendengarnya, ternyata keren sekali." Lily mengambil air putih, meminumnya seteguk dua teguk. "Masalahnya, judulnya salah."
"Maksudmu?"
"Harusnya Memelord and Cinderella."
[Demam]
Fukase masuk ke rumah Flower. Tanpa membunyikan bel maupun mengetuk pintu sama sekali. Mereka sudah berteman terlalu lama dan terlalu akrab (begitulah) sehingga perkara mengetuk pintu sebelum masuk bukan lagi hal yang perlu dilakukan. Tak jarang juga pemuda beriris ruby ini langsung memburu kulkas alih-alih mencari sang pemilik rumah. Lagipula Flower biasanya tinggal sendirian, kedua orang tuanya bekerja di luar negeri dan kakaknya yang sedang kuliah jarang berada di rumah.
Jam menunjukkan pukul tujuh lewat lima, seharusnya Fukase duduk di bangku pojok belakang, menerima pembelajaran formal di sekolah. Namun Fukase mendapat kabar dari Akaito—yang notabene kawan sekelas Flower—bahwa gadis itu takkan masuk sekolah hari ini karena sakit.
Mendengarnya, si kulit pucat langsung tancap gas menuju rumah Flower. Bukan setan di kepalanya yang memberi bisikan untuk membolos pelajaran matematika Iblis Maika, tapi ia juga tak mau menuduh malaikat yang memintanya menjaga kawan perempuannya yang banyak tingkah itu.
Yah, Fukase hanya ingin bertemu Flower. Apakah itu tidak boleh?
Aneh memang rasanya mengingat mereka tiap hari dipertemukan takdir—serius, dari sekian juta tempat yang ada di bumi ini, bukan sekali dua kali mereka saling berpapasan. Entah di supermarket, halte bus, bahkan di kamar mandi umum.
Apa tidak bosan, Fukase?
Sebenarnya bosan, sih.
Namun harus Fukase akui, hari-hari tanpa Flower jauh lebih panjang dan membosankan.
Fukase memutar kenop pintu kamar Flower, mendapati sang gadis terkapar tak berdaya di ranjang.
Tak biasa, sungguh. Ketika tangan kiri Flower retak karena dihantam preman, Flower masih dengan enerjiknya berlarian kesana-kemari bagaikan mencit laboratorium dalam kandang. Gadis dengan manliness yang bisa melampaui beberapa laki-laki tulen dan tenaga badak itu kini benar-benar diam.
Kain kompres menempel di keningnya. Cairan yang entah air atau keringat menuruni pipinya yang kini nampak pucat. Napasnya berat. Matanya terpejam, iris ungu bak amethyst indahnya tersembunyi.
Fukase menyingkirkan beberapa helai rambut Flower, menyisipkannya ke atas daun telinga sang gadis. Rambut Flower teramat pendek untuk ukuran seorang perempuan, namun disitulah gaya tariknya.
"...sudah kuduga." Flower berucap pelan, menatap sayu wajah cemas Fukase.
"Kau bisa benar-benar sakit begini ternyata." Fukase menyodorkan segelas air yang ia lihat di sisi ranjang.
"Menyebalkan." Flower meraih dan meneguknya. Beberapa tetes air tidak masuk ke mulutnya, menuruni pipi dan leher jenjang hingga sampai ke dada juga piyama Flower.
"Kau sudah makan?" Fukase menanyai lagi, dengan nada yang terbilang sangat lembut jika dibandingkan dengan percakapan mereka sehari-hari. Flower menggeleng.
"Kubuatkan bubur, ya. Tapi harus habis." Fukase beranjak dari tepi ranjang, hendak memasak makanan untuk Flower dan dirinya.
"Buburnya habis, sana beli."
"Oh? Iya, iya. Mau nitip sesuatu?" Fukase menoleh sebelum memutar kenop pintu.
"Yakisoba. Cari yang masih hangat, oke?" pinta Flower.
Fukase mengacungkan jempol. "Bisa diatur, Joou-sama."
Flower nyaris menyemburkan air ludahnya. Sepeninggal sang remaja bersurai merah menyala, ia menyadari ada sesuatu yang tak biasa. Biasanya Fukase akan langsung mendobrak pintu kamar dan berteriak-teriak bagai fauna, namun tadi ia mendekat dengan lembut, terlalu manusiawi untuk ukuran orang yang biasa memanggilnya dengan nama-nama binatang.
"...entahlah." Flower mengangkat bahunya, mengeluarkan satu kakinya dari selimut. "Aku tidak mengerti."
[Ekstrim]
Empat sekawan kesayangan kita tengah menikmati akhir pekan di taman hiburan. Sebut saja Oliver yang tengah sibuk menghabiskan permen kapas, Piko yang sibuk memotret langit berawan dan bianglala, Flower yang hanya duduk santai di bangku yang sama dengan Oliver. Fukase? Membelikan tiket wahana untuk mereka.
Tak sampai lima menit—sungguh beruntung—Fukase kembali dengan membawa empat lembar tiket masuk. Singkat cerita mereka pun berunding, wahana apa yang harus mereka naiki pertama?
"Kora-kora?" usul Piko.
"Bosan." respon Fukase singkat.
"Rumah hantu?" Piko melontarkan usul lagi.
"Kurang seram." jawab Flower
"Lalu mau naik apa?" Piko sweatdrop.
"Entahlah." jawaban kompak Fukase dan Flower sukses membuat Piko ingin menghantamkan kepalanya di tiang listrik terdekat.
"Bagaimana kalau roller coaster?" usul Oliver yang akhirnya menghabiskan permen kapasnya.
Flower dan Fukase berpandangan. Piko mengangkat kepalanya seolah lupa dengan rasa kesalnya tadi.
"Kau yakin?" Alis Flower bertaut, mempertanyakan keputusan anggota mereka yang paling bontot.
"Tidak apa-apa, kan? Ayo!" Oliver malah ngacir duluan ke antrian wahana tersebut. Piko mengangkat bahunya, lalu mengekori sang bocah berambut cerah bak matahari.
Flower dan Fukase berpandangan.
Keduanya sama-sama belum pernah naik roller coaster.
Sama-sama takut.
Sama-sama tidak mau mengaku.
Fukase tak mau gelarnya sebagai memelord ditambahi embel-embel pengecut di belakangnya oleh Flower, dan Flower hanya bisa menolerir ejekan 'cewek macho', bukan cewek cemen.
"Kau dulu, pengecut." Fukase menyikut Flower. Untung lengan kausnya panjang sehingga Flower tak akan menyadari kalau tangannya berkeringat (siapa juga yang kalau keringatan basah kuyup di siku?).
"Payah." Flower dengan ogah-ogahan melangkah ke dalam antrian. Sebelum Fukase mengikuti, ia sempat memandang puncak tertinggi wahana ekstrim yang hendak ia naiki.
Jika aku tidak selamat, tolong kenanglah aku sebagai memelord—begitu batinnya.
Sabuk pengaman sudah dipasang dan besi penahan sudah diturunkan. Apesnya, entah mengapa Fukase dan Flower justru duduk di depan Oliver dan Piko sehingga kedua shota di belakang mereka bisa melihat segala kenistaan yang akan terjadi—
—iya, semuanya.
Roller coaster mulai bergerak. Fukase membuka pembicaraan dengan Flower.
"Ooooi!"
"Apa?" Jawaban Flower masih singkat dan padat, tapi suaranya bergetar.
Belum sempat Fukase melanjutkan, kecepatan meluncur mesin itu sudah meningkat drastis. Sejenak Fukase merasa jantungnya ketinggalan—omongannya juga.
"AAAAAAAAAAAAAAAAAAHHHHH!" jerit sang memelord bagaikan uke yang baru pertama digagahi.
"UUAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAHHH—!!!" Flower pun juga berteriak, bagaikan orang yang baru tahu makna lagu Gigantic O.T.N.
"FURAWAAAAAAAAAAAA-CHAAAAAN!" Fukase keringat dingin, mukanya sudah seperti kaos putih baru beli belum dipakai, minat japri.
"FUUUUUUUUUUUKASEEEEEEEEE!" Flower tak hanya berteriak, namun juga memeluk sang memelord tanpa sadar.
"FLOWER MAAP KALO GW BANYAK SALAH SAMA LU—"
"IYAIYA DIMAAFIN INI NGERI BANGET—"
"SUMPAH GUA BARU PERTAMA NAIK AAAAAAAAANJIR—"
"SAMAAAAAAAAAA COK, AAAAAAAAHHHH!!!"
"AAAAAAAAAAAAAAAAAA—" begitulah seterusnya, dua toa supersonik beradu, dan di akhir berpadu.
Di belakang mereka, Piko ingin sekali tertawa ngakak dan memotret bagaimana mereka berdua berpelukan, masalahnya ia juga sama takutnya dengan kedua insan(e) yang kini duduk di depannya. Tak hanya parno jatuh, namun juga tak ingin kamera digitalnya terbang melayang lalu jatuh dengan suara KRAK nan dramatis. Pakai kamera HP? Makin tidak mungkin.
Oliver juga berteriak, namun teriaknya dengan ekspresi ketawa semi fuwa-fuwa gara-gara kelakuan dua sejoli—belum jadi?—yang sungguh mesra, beda jauh dari bagaimana biasanya. Oliver sebenarnya ngeship parah, cuma dia nggak mau dihajar dua orang ya g konon katanya memiliki kekuatan setara yakuza habis makan buah iblis.
Setelah beberapa puluh meter dan teriakan supersonik, akhirnya roller coaster berhenti dan para 'penikmat' wahana tersebut bisa turun.
Fukase merasa tulangnya diganti dengan agar-agar. Flower? Bayangkan kalian sedang mendengarkan fitur growl Vocaloid 4. Piko turun dengan tenang tanpa rasa berdosa sekalipun. Oliver? Malah minta naik lagi.
Flower nyungsep. Fukase memilih kabur ke odong-odong terdekat.
[Fakta]
Len rebahan. Sambil geser-geser Twithod. Kompilasi sempurna.
Ia membaca cuitan salah satu netizen, yang berbunyi : Firaun, Ferdian Palakau, Fizi. Fix yang punya nama depannya huruf F nggak ada akhlak.
Entah kenapa momennya tepat sekali—di sudut ruangan, terdapat Fukase dan Flower dengan tangan tertaut satu sama lain, telapak yang bertemu dan jari yang menggenggam erat.... beradu panco sampai menjatuhkan vas bunga demi memperebutkan kepingan terakhir keripik kentang bumbu balado Oliver (yang hampir direbut Piko saat mereka asyik panco dan menggeram, tapi tak jadi).
"....memang tidak berakhlak."
[Galak]
"Ne, menurutmu Flower galak?" tanya Yuu pada Fukase.
"Kenapa tiba-tiba bertanya begitu?"
"Yah, kesan pertama beberapa orang mengenai Flower kurang lebih sama, galak. Mungkin kau bisa memberitahuku sisi lain Flower, apa yang tidak kita tahu tentangnya." jelas Yuu. "Lagipula kau dekat dengannya, kan?"
"Uhm, jika kalian mengenal Flower sebagai si galak, aku lebih suka menyebutnya iblis."
[Hantu]
"Kau tidak ikut Piko ke bioskop?" tanya Flower ketika mendapati Fukase sedang membolak-balik majalah lama untuk mengisi waktu.
"Aku tak tertarik pada film horor." Fukase menutup majalahnya.
"Kau takut pada hantu?"
"Justru tidak. Kau lebih menyeramkan."
"Di sore yang indah ini kau ingin bergelud?"
[Internet]
Piko mematikan akses internet selama seminggu. Di balik penyiksaan tak berperikenetizenan yang dilakukan pemuda shota ini, ada alasan absurd tapi kuat, yaitu pengguna internet yang terlalu banyak sehingga kecepatan internetnya jatuh serendah tinggi badan author Jeje.
Fukase guling-guling ala video clip Rolling Girl. Memikirkan nasib Meme Empire yang tak akan diisi konten selama seminggu. Takut pengikutnya pada berpindah haluan dan memilih kandidat memelord lain. Pelik sekali.
"Apa yang harus kulakukan?"
"Buat saja video klarifikasi kalau kau sedang melamarku." jawab Flower asal.
"Baiklah, kau mau atau tidak?" Mendadak Fukase sudah berlutut di depan Flower sambil membawa cincin berhiaskan permen—ugh, permen yang dibentuk seperti cincin mungkin?
Flower facepalm.
[Jari]
(Terinspirasi dari Tumblr)
"Kalau kau meninggal kelak, bagaimana kau ingin dimakamkan? Dikubur, dikremasi, atau lainnya?" Rana membacakan pertanyaan kokologi yang didapatnya dari internet saat ia sedang bosan.
"Aku lebih memilih menyumbangkan tubuhku untuk penelitian, sih—" respon Flower.
"Wah! Hebat."
"Kecuali jari tengahku. Berikan itu pada Fukase."
[Kacamata]
Kebiasaan memelord (mungkin kewajibannya juga) adalah memantau meme rakyatnya.
Fukase menghabiskan waktu lebih lama dari biasanya hari ini—biasanya ia akan keluar kamar, sekedar mengambil makan atau menuntaskan hasrat alam. Tapi hari ini Fukase benar-benar tidak keluar dari kamar.
Flower berinisiatif mengecek kamarnya, memastikan bahwa sang memelord masih hidup dan masih ada di sana, tidak sedang melakukan ritual pemanggilan setan ataupun diculik oleh Rahwana.
Tanpa rasa bersalah sama sekali, pintu didobrak dengan tenaga yang sedikit kurang manusiawi.
Fukase tengkurap di karpet bulu-bulu. Flower menginjak pantatnya. "Ou-sama tidak lapar?"
"Mager." Fukase mengubah posisi dari tengkurap ke duduk. Flower menyadari sesuatu yang berbeda.
Kacamata dengan frame hitam tipis tergantung apik di atas hidung Fukase. Kacamata baru itu membingkai dengan rapi mata merah darahnya, memberi kesan elegan nan seksi yang biasanya tak pernah dimiliki sang pemuda.
"Kacamata?" Flower mencoba berbasa-basi, menepis kenyataan bahwa ia merasakan wajahnya menghangat.
"Yap. Cuma antiradiasi saja. Nggak minus." Fukase berujar seolah tahu apa yang akan ditanyakan Flower selanjutnya.
"Oh, begitu."
"Aku lapar." Fukase berdiri, meregangkan tubuh.
"Tadi mager?"
"Asupan meme terpenuhi, sekarang asupan perut." Fukase berjalan, hendak keluar dari kamar.
"Kacamatamu ditinggal napa?" komentar Flower.
"Aku merasa ketampananku bertambah, jadi nggak usah."
"Yah, terserah sih." Flower sebenarnya ingin menjerit, salto belakang, sujud-sujud bagai fangirl yang baru saja didadahin idolanya, tapi maaf, dia tak mau tampil terlalu OOC.
[Lapar]
"Oi, punya makanan tidak?" Fukase menghampiri Flower yang sedang rebahan di ruang tengah.
Flower menyodorkan padanya sekotak biskuit panjang alias ykcoP.
Alih-alih mengambil makanan yang ada di kotak, Fukase dengan kurang ajarnya (baca : modus) mengambil biskuit yang tengah digigit Flower—langsung dengan mulutnya.
Fukase tidak menciumnya (terdengar suara penonton kecewa) langsung, hanya mematahkan ykcoP itu dengan giginya.
"Ada banyak di sini, kenapa harus ambil yang itu!?" Flower mengamuk.
Fukase nyengir kuda.
[Mabuk]
(Terinspirasi dari talkloid di Youtube)
Sumpah, Fukase baru tahu kelemahan Flower.
Semua berawal saat Flower tak sengaja menenggak sake milik Haku—sake legendaris tersebut merupakan sake racikan keluarga dimana resepnya sudah ada sejak zaman Titan, diteruskan secara turun-temurun oleh nenek moyangnya.
Haku hendak memberikannya kepada Meiko, dan menurut penjelasannya, sake itu justru memiliki kadar alkohol yang lebih rendah dibandingkan sake pada umumnya. Citarasanya tetap 'nendang' dan itulah yang membuat sake itu spesial dan legendaris.
Lima detik setelah perbincangan itu, peristiwa pun dimulai.
Flower yang baru saja mengangkat jemuran mendatangi tempat rumpian dalam keadaan haus parah—di luar panas sekali. Haku menyimpan sake legendarisnya dalam botol minum plastik berulang kali pakai dan Flower juga tidak curiga sama sekali.
Flower kalau minum tidak kira-kira, setengah wadah ia habiskan.
Tidak ada yang menyadari kejanggalan sampai—
GUBRAK!
—Flower berguling dan jatuh dari tangga. Posisi jatuhnya sangat tidak elit, dia nungging, percaya tidak percaya.
Piko yang tengah menikmati internet bersama—tapi dipakai sendiri—pun terperangah sejenak, lalu menjerit dengan frekuensi yang hampir bisa meretakkan kaca.
Mendengar jeritan feminim yang nyatanya dikeluarkan seorang laki-laki, beberapa manusia segera mendatangi Piko, ada yang mengira maling masuk ke mansion besar itu—atau mungkin lebih buruk, Dajjal.
Fukase tiba paling awal (ya, karena Piko menjeritkan nama Flower) di tempat kejadian perkara. Lucu rasanya melihat sobat baku hantamnya tersungkur. Akan tetapi, tak lama kemudian Fukase menyadari sesuatu yang tidak wajar.
"Aaaah... Ughh... Kamisamaaa... Arigatoooouuuu... Unmeeei waaaaa... Itazuraaa... Demoooo... NGAHAHAHAHAHA~"
Muka gadis itu merah padam, ekspresinya tak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Flower tertawa bagaikan Joker, tatapannya nyalang. Ketika Fukase mencium bau sake, ia langsung mendatangi Meiko dan Haku.
"Kalian mengajak Flower minum sake?" Fukase bertanya. Keduanya menggeleng.
"Uh, aku baru menyadari kalau sake rumahanku berkurang. Mungkin ia tak sengaja meminumnya." jelas Haku gugup.
"Kau tidak menaruhnya di jerigen?" Meiko menghela napas.
"Jerigennya bolong."
"Kalo nggak bolong nggak bisa dipake."
"Gak gitu maksudnya, oon."
"Ada-ada saja." Fukase menepuk dahinya.
Lalu menggendong Flower—bridal style. Mengantarnya ke kamar.
Meiko dan Haku mangap. Piko tercengang. Kaito mandi.
Fanfic ini tamat.
NGGAK NGGAK.
"Oi, kalian harus bertanggungjawab. Jaga dia sampai dia bangun." Fukase menunjuk Meiko dan Haku bergantian. Keduanya mengangguk, masih mangap.
Tidak ada lagi yang membicarakan hal itu.
[Nanas]
"Tahu nggak bedanya nanas sama kamu?" tanya Fukase sambil menggigit kerupuk karena lapar.
"Apa?" Flower merespon sehabis meminum kuah soto.
"Kek gitu aja gak tau? Bego."
Fukase disiram sisa kuah soto.
[Oke]
"Aku punya permainan!" seru Oliver riang pada Yohio, Piko, dan Fukase.
"Apa?" Piko membalas singkat.
"Kata berantai! Kalau ada yang mengucapkan kata yang diawali huruf O, dia harus membawa Flower kencan besok Minggu!"
"OKE!" Fukase cabut dengan semangat 45.
"Oliver...." Yohio menggaruk pipinya. "Mungkin maksudmu kencan dengan Gakupo kali..."
"Nanti Kakak yang bilang oke."
"Uhuk—"
Jawaban polos Oliver membuat Yohio tersedak.
[Punggung]
Hari yang panjang.
Rekaman di luar kota.
Flower mengantuk, kepalanya terantuk jendela kereta. Ia tersentak, mendadak terjaga. Fukase menoleh ketika indra pendengarnya menangkap bunyi kecil hasil Flower terantuk tadi.
"Masih jauh, ya?" Flower mengusap kening. Fukase hanya mengangguk.
Flower menyenderkan kepalanya di tempat duduk. Ia menggigit bibir, tubuhnya sedikit menggigil. Ia baru menyadari udara malam ini cukup dingin untuk membuat tubuhnya bergetar.
"Pakailah." Fukase melepas jaket miliknya, menyampirkannya di bahu Flower.
Ketika sang gadis hendak memasukkan lengannya, ia menyadari sesuatu.
Jaket itu ternyata cukup besar untuk menenggelamkan tangannya—sampai ke ujung jari tengah bahkan.
Flower tak pernah menyadari betapa lebarnya punggung Fukase—pemuda itu tak pernah nampak menonjol jika dibandingkan dengan anggota lain dalam hal ukuran tubuh. Bahkan bisa dibilang pendek untuk laki-laki seumurannya, tinggi mereka berdua saja tidak berbeda jauh.
Siapa peduli? Flower tetap nyaman.
[Quartet]
"Pilih cium, bunuh, dan nikahi untuk member squad meme!" ucap Miku ketika mewawancarai grup lawak Empat Sekawan—di fandom Vocaloid.
"Ini dibunuh tiga-tiganya gak boleh?" Flower sweatdrop.
"Bunuh Piko, cium Oliver, nikahi Flower!" Fukase menjawab dengan berapi-api. Shipper FukaLiv dan FukaHana bersorak.
Saya juga senang.
Flower facepalm.
Mayu banting TV.
Yuuma sedih.
Fukase blushing.
Oliver masang tampang polos.
"MOTHERFUUUU—" teriak Piko.
[Rambut]
"Tukang cukur sialan." Flower memegangi sisa-sisa rambutnya, memandangi pantulan wajahnya yang kini bagaikan seorang laki-laki. Ia sudah meminta sang penata rambut untuk memotong rambutnya sebahu, namun orang yang diberi amanah nampaknya terlalu menikmati suara 'kres' setiap helai yang terpotong sehingga yang Flower dapatkan adalah rambut cepak.
"Bukannya malah bagus kalau begitu? Orang-orang takkan mengira kita sepasang kekasih." Fukase melipat tangan, memandang ke arah lain.
[Susu]
"Kami pulang~" Piko meletakkan kantong belanja di meja.
"Kau mau susu coklat? Aku belikan satu untukmu di kulkas." ujar Fukase sekembalinya ia dari supermarket.
"Oh, oke. Makasih." Flower menyelesaikan aktivitas menggunting kukunya, lalu mendatangi sang pemuda berambut merah.
Melihat Fukase menyedot sekotak susu karamel, Flower mendapat ide.
Flower mencuri susu karamel—yang ada di mulut Fukase.
Piko memilih pura-pura tidak tahu, pura-pura tidak lihat, pura-pura mati? Bisa jadi.
"HOI! APA-APAAN—"
"Satu sama, tuan memelord." Flower mengacungkan jari tengahnya.
[Tiga]
"PUNYAKU!"
"TIDAK, PUNYAKU!"
Fukase pucat. Jantung siapa yang tidak jedak-jeduk ketika diperebutkan oleh dua cewek?
Uh, bukan dua cewek. Dua desain. Flower berambut panjang—sebut saja V3, Flower berambut pendek—V4.
"AKU MENGENALNYA LEBIH DULU DARI KAU, JADI DIA PUNYAKU!" bentak V3 Flower.
"ENAK SAJA! LAGU ORIGINAL, COVER DUET, SAMPAI FAN ART LEBIH BANYAK YANG MEMAKAI WUJUDKU!" balas V4 Flower.
Da hell.
Fukase yakin hal ini tidak terjadi pada protagonis anime harem lain. Mungkin karena haremannya bukan Flower. Bisa juga karena anime berbau harem yang ia tonton kurang banyak.
"SUDAH JANGAN BERTENGKAR, LAGIPULA KALIAN SAMA-SAMA FLOWER!" Fukase meraung. Growl diaktifkan.
"Benar juga." V3 dan V4 berpandangan.
"IKUT!" Flower Talk mendobrak pintu, membuat Fukase mangap lagi. Biaya servis pintu mahal. Biaya hidup tiga istri banyak. Apalagi istrinya bar-bar macam Flower—emang Flower maksudnya. Tiga-tiganya.
"AAAAAAARGH!" Fukase menjerit.
Burung berkicau.
Angin berhembus.
Ayam berkokok.
Selimut belum dilipat.
"...LOH TADI MIMPI!? MIMPI APA ITUUUUUU!?"
[Ukuran]
"Cowok kok tingginya dibawah 170 cm? Jadi kuman aja sana!" teriak Rin pada Len.
"Cewek kok dadanya dibawah cup B? Jadi papan cucian aja sana!" balas Len tak kalah pedas.
"HIIIIIIH!"
"HIIIIIIIIH!"
"HIIIIIIIIIIHHHHH!"
"HIIIIIIIIIIIIIIIIIHHHHHH!"
"BERISIK KALIAAAAAAAAAN!" Flower dan Fukase menjebol dinding kehidupan, bersiap menghajar si kembar tanpa ampunan.
"TIDAAAAAAK, ADA COUPLE RSJ!!!!"
[Vas bunga]
"Bunga, bunga apa yang gak muat dimasukin vas?" Fukase mendobrak pintu dengan semangat 45, membuat es kopi Flower tumpah seketika.
"Vasnya kulempar ke pala kau boleh?"
[Wine]
Fukase memasang wajah datar.
Rin—entah sengaja atau tidak sengaja—mencekoki Flower dengan sisa wine milik Tonio.
Sialnya lagi, seperempat botol wine ditenggak sampai habis tak tersisa oleh Flower. Anggur merah yang dibeli Tonio dengan harga fantastis tersebut rupanya berjuta kali lebih kuat dari sake rumahan Haku. Buktinya, Flower mengajaknya menari salsa di atas meja, mengira dirinya adalah Gakupo dan mengajaknya bergoyang mengikuti lagu Dancing Samurai.
Rin? Kabur dengan membawa uang.
Hah?
Usut punya usut, ternyata dalang di balik kejadian pencekokan ini adalah the one and only yandere pelangi loli loli, Mayu Sableng pewaris satu-satunya kapak naga geni 212.
Fukase yang sudah kehabisan kesabaran—dan mungkin akal sehat—memutuskan untuk mengunci semua pergerakan Flower dengan memojokkannya ke dinding.
JDUK!
Fukase berdoa dalam hati, semoga hantaman tadi tidak membuat kewarasan Flower menipis. Sedikit memalukan sebenarnya berada di posisi ini dengan Flower yang dalam keadaan error—pikiran tak lurus, wajah memerah, pakaian sedikit terbuka nan acak-acakan, badan lemas, tatapan tak beraturan. Fukase terus berdoa semoga nafsu setan tak mengambil alih pikirannya.
Detik itu juga, Mayu masuk—ya, ingin menemui Fukase.
"Sudah kuduga." Fukase memberi tatapan horror, lebih seram daripada main ouija bareng Gakupo di pinggir Kali Ciliwung jam 3 pagi.
"Fukase aku me—"
"Apa kau tidak sadar kau bisa membunuhnya?"
"Tapi—"
"Mundur."
Mayu melempar kapaknya ke Merkurius. Raib sudah uang jajannya selama seminggu.
Mau tak mau, Fukase membopong Flower yang pingsan untuk kesekian kalinya.
"Mungkin suatu hari nanti aku yang akan memberimu minuman itu, tunggu saja."
Memelord mulai menyusun rencana.
[X]
14 Februari.
"Makasih." Flower menggenggam tangan Fukase. Fukase menoleh, mendapati Flower dalam balutan sweater merah jambu beraksen pita di lengannya. "Romantis sekali meninggalkannya di depan pintu."
"Apanya yang makasih, huh?"
"Tuan X."
"Uh, jangan bicara sembarangan—" Fukase gelagapan.
"Hidungmu tidak bisa bohong, tahu." Flower menunjuk plester merah menyilang di hidung Fukase. "Kutraktir croissant, oke?"
"A-Ahahahaha. Baiklah..." Fukase menggaruk kepalanya yang tidak gatal, lalu mengikuti Flower. Fukase sebenarnya bingung setengah mati—ia baru ingat ini hari Valentine ketika mandi pagi tadi. Lalu, dari siapa hadiah itu?
Di pojok ruangan, Yuuma pundung. Merenung.
"Kok gitu..."
"Sudah kubilang tulis namamu, bodoh." Yohio geleng-geleng.
[Ya]
"Oliveeer, tolong. Satu pertanyaan yang pasti dijawab Flower dengan kata 'iya', satuuu saja." Fukase pundung setelah ditolak Flower untuk kesekian kalinya.
"Aku tahu!" Bohlam lampu bersinar si atas kepala Oliver. "Apakah Fukase jelek?"
[Zombie]
Tiga puluh satu Oktober, dimana perayaan Halloween yang lama dinanti akhirnya dilaksanakan. Fukase, Flower, Oliver, dan Piko tak mau ketinggalan, mereka juga memakai kostum dan mengelilingi kompleks perumahan. Fukase menjadi vampir, Flower menjadi zombie, Piko yang tak mau repot hanya memakai jubah putih ala hantu komik, Oliver menjadi bajak laut lengkap dengan tangan kait palsu dan James yang dipasangi eyepatch.
"Aku jadi kepikiran sesuatu." Piko mengerutkan kening (sebenarnya tidak kelihatan karena kain putih ala hantu) sambil menggoyangkan keranjangnya yang penuh permen. "Kalau vampir menggigit zombie, kira-kira vampirnya jadi zombie, atau zombie-nya yang jadi vampir?"
"Aku juga jadi bingung." Oliver menggaruk kepalanya. "Menurut kalian bagaimana?"
"Hm? Entahlah." jawab Flower tenang.
"Aku bisa menggigit Flower kalau kalian ma—" ucapan Fukase terputus ketika Flower mengacungkan jari tengahnya.
"Aaaah... Bagaimana kalau zombie yang menggigit vampir?" Oliver menambah kebingungan di antara mereka.
"Bagaimana kalau mereka saling menggigit?" Piko melontarkan pertanyaan yang bisa dibilang cukup... menjurus.
"...that's pretty kinky." bisik Fukase, lalu ia memegang bahu Flower. "Interesting. Maybe we should try—"
"Pervert."
—
A/N mode : ON
Cari idenya sampe bego °^° 3,6k words okay okay okay okay. Fic ini rencananya bakal jadi 10 chap juga kayak LenKu, mungkin chap terakhirnya bakal xReader :/ Saya capek mo nulis author note, udah ya °^°
A/N mode : OFF
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top