Satu

Lima hari sebelumnya.

Kakiku berhenti melangkah kala masih berada di depan pintu. Suara benda yang dilempar serta bunyi pecahan langsung menyerbu indra pendengaran saat daun pintu berayun ke belakang. Ibu lagi-lagi menggila. Entah apa penyebabnya kali ini. Pecahan beling serta sofa yang terjungkir balik adalah pemandangan pertama yang disuguhkan setelah pintu terbuka sepenuhnya.

Mataku terpejam sesaat, lalu mengambil napas panjang sebelum mengembuskannya dengan kasar. Semenjak ayah pergi, ibu seperti orang yang kerasukan. Setiap marah, barang di sekitarnya selalu menjadi korban amukan beliau.

Aku lantas kembali mengayunkan tungkai dengan perlahan, memasuki rumah sambil memutar pandangan mencari keberadaan ibu. Sampai iris kecokelatanku menemukan beliau, barulah aku mempercepat langkah menghampiri wanita yang menangis dengan rambut yang sudah tidak tertata lagi di balik sofa.

"Bu? Ibu kenapa?" Aku bertanya setelah berjongkok di depan wanita itu. Namun, ibu justru menampilkan reaksi berlebihan. Wanita itu menarik rambutku kuat-kuat, hingga aku merasa seluruh rambutku akan lepas saking kuatnya tarikan beliau.

"Sa-sakit, Bu, sakit ...." Aku hanya berujar pelan. Tidak berani lagi mengusik emosi ibu yang sedang bergejolak. Tanganku memegangi tangan beliau agar rasa sakit yang kuterima sedikit berkurang. Sampai setelah beberapa saat kemudian, seolah tersadar ibu langsung menarikku ke dalam pelukannya. Beliau meraung, menangis sambil memintaku jangan pergi.

"Anak ibu nggak boleh pergi. Anak ibu harus tetap sama ibu. Kamu enggak boleh pergi sama bajingan itu. NGGAK BOLEH!" Ibu berteriak diakhiri dengan pukulan kuat di punggungku. Aku diam, berusaha meredam ringisan yang hendak keluar.

"Mbak Rumi cukup!" Tante Vita, adik ayahku, berlari dari ambang pintu ke arah di mana aku dan ibu berada. Dia memaksa ibu melepaskan pelukannya padaku, lalu setelah berhasil Tante Vita menarik tanganku agar menjauh dari ibu.

Ibu masih saja meraung, seolah tidak terima Tante Vita menjauhkanku darinya. Telunjuknya teracung ke arah Tante Vita, matanya melotot tanda jika emosinya akan segera meledak.

"Kamu dan kakak kamu itu sama aja! Sama-sama bajingan! Kembalikan anakku, Vita!" Ibu berteriak bak kesetanan. Semua barang yang berada di sekitarnya beliau lemparkan ke berbagai arah. Aku menangis, tidak tau harus berbuat apa. Hingga pecahan beling yang dilempar ibu mengenai pelipisku barulah Tante Vita yang berteriak murka.

"CUKUP, MBAK! Kamu udah nyakitin Lili!" Tante Vita langsung membawaku menjauh dari posisi ibu disusul dengan dua laki-laki dengan pakaian perawat masuk dengan tergesa. Telunjuk Tante Vita mengarah pada ibu yang masih mengamuk.

"Bawa dia, Mas. Saya enggak mau keponakan saya jadi korban lagi," intruksi Tante Vita pada orang-orang yang sudah mendekati ibu. Iris kecokelatanku terangkat, menatap Tante Vita dengan pandangan bingung.

Seolah mengerti dengan arti tatapanku, Tante Vita pun berujar, "Ibu kamu harus dibawa berobat, Lili. Bahaya kalau membiarkan dia tinggal sama kamu."

"Tapi, Tan—"

"Ini keputusan yang terbaik. Kalau kamu enggak mau ikut ayah kamu, kamu ikut sama Tante ke Jakarta. Sekolah di sana. Semua biaya kehidupan akan tante tanggung. Nurut, ya, Nak? Ini semua demi kebaikan kamu."

Aku menggeleng pelan. Bibirku bergetar menahan tangis yang hendak keluar. Aku tidak ingin meninggalkan ibu. Selama ini segala kebutuhan hidup, selalu ibu yang menangani. Bagaimana bisa aku hidup terpisah dengan orang yang sudah melahirkanku? Bahkan membayangkannya saja sudah membuat hatiku hancur.

Terdengar embusan napas berat dari Tante Vita. Wanita itu lantas menyingsing lengan kemejanya, lalu menunduk, mengambil jepitan rambutku yang terjatuh di lantai. Tangannya dengan telaten memakaikan jepit rambut di kepalaku lalu berkata, "Lili, dengar. Ibu kamu harus dirawat di rumah sakit jiwa. Mentalnya sedang terguncang. Kalau kamu memaksa ibu kamu tetap tinggal di sini, enggak akan mustahil kalau suatu saat kamu liat ibu kamu bunuh diri. Kamu mau itu terjadi?"

Separah itukah gangguan mental yang diderita ibu?

"Aku ...." Kata-kataku menggantung. Aku tidak tahu lagi harus menanggapi ucapan Tante Vita bagaimana. Pandanganku tertunduk ke arah gelang emas yang dibelikan ibu saat ulang tahunku beberapa pekan lalu.

"Mau, ya, tinggal sama tante? Kalau ibu kamu sudah sembuh, kita jemput dia."

Pada akhirnya aku hanya bisa mengangguk pasrah. Pada akhirnya, semua keputusan ada di tangan orang dewasa. Aku sebagai anak hanya bisa manut saja, tanpa bisa mengelak atau menggeleng untuk mengatakan tidak.

Senyum Tante Vita mengambang. "Lima hari lagi, kita ke Jakarta. Ada beberapa hal yang harus tante urus di sini."

***

Semuanya sudah berubah. Nuansa berwarna di rumah ini sudah lenyap sejak kepergian ayah dan ibu yang dimasukkan ke rumah sakit jiwa. Hari ini adalah hari terakhir aku berada di Bandung, kota kelahiranku, kota yang penuh dengan kenangan bersama orang-orang tersayang.

Ponselku berdering saat aku hendak masuk ke mobil, bersiap berangkat ke sekolah untuk mengurus kepindahan. Kulihat ada nama Nata yang tertera di layar. Ah, laki-laki ini ... dia orang baik. Aku benar-benar merasa bersalah karena telah memanfaatkan kebaikannya yang begitu tulus.

Baru saja aku hendak mengangkat telepon. Namun, nada dering sudah terputus lalu disusul dengan suara SMS masuk.

Nata

Kamu nggak masuk? Bentar lagi bel, Lili. Aku nungguin kamu di depan gerbang. Kalau kamu telat, biar aku telat juga. Kita dihukum sama-sama.

Konyol. Nata bilang dia menyukaiku, sangat. Dia bilang aku pacaran tidak pernah memandang fisik, padahal banyak yang lebih tampan darinya. Dia bilang, aku yang terbaik. Padahal aku memacari Nata hanya karena rasa penasaran. Sebab, teman-temanku bilang Nata itu bau, dia jarang mandi, pokoknya segala hal yang jelek tentang dia. Namun, karena hal itu yang membuatku tertarik. Aku berniat membuktikan ujaran mereka terhadap Nata. Nyatanya, Nata wangi, selalu wangi sampai aku merasa wangi tubuhnya sangat khas. Nata baik, dia begitu perhatian dan tulus memperlakukan seseorang.

"Aku harus putusin Nata." Dia ... tidak pantas ditipu. Nata tidak pantas diperlukan buruk oleh perempuan sepertiku. Perempuan yang bahkan dibuang oleh ayahnya dan ditinggalkan oleh ibunya. Nata ... berhak mendapatkan seseorang lebih baik dariku. Bukan seseorang dengan kehidupan mengerikan seperti aku.

"Tante udah daftarin kamu di sekolah swasta di Jakarta. Di sana sekolahnya terkenal bagus. Kamu harus dapat pendidikan yang baik supaya bisa sukses di masa depan." Tante yang sejak tadi fokus pada jalanan di depannya buka suara. Aku menoleh, lalu mengangguk. Toh, dari awal aku tidak diberikan kesempatan untuk menentukan pilihanku sendiri.

"Nanti kasih semua bingkisan sama guru-guru kamu. Tunggu tante selesai ngurus pengobatan ibu kamu, tante bakal jemput kamu lagi."

"Iya." Hanya satu kata yang keluar dari mulutku untuk menanggapi perkataan Tante Vita. Tanganku lantas menekan tombol balas, lalu mengetikkan dengan cepat sebelum pesan dikirim pada Nata.

Tunggu aku di depan kelas kamu. Di jam istirahat.

***

Selesai ditulis tanggal 26 Juli 2024.

Nulis part ini bikin aku ketar ketir sendiri. Nangisnya iya, emosinya juga. Rasanya sakit banget kalau ada di posisi Lili.

Bonus foto Lili.

See you babay!

Luv, Zea❤🔥

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top