Bab 9 - Sahabat?
9
~Sahabat?~
"Adalah ia yang tidak selalu membenarkan setiap perkataanmu. Melainkan ia yang selalu mengatakan salah jika kamu salah, menegur jika kamu salah."
***
Nayya menunduk dalam, jemarinya bertautanㅡsaling meremas. Tak berani sedikit pun mendongak dan menatap wajah sang papa yang tengah diliputi amarah.
"Papa minta kamu jelasin semuanya. Sekarang!" tegas Alfi menatap anak gadis semata wayangnya.
Setelah pertemuan tak mengenakkan antara papanya dan Akbar di luar tadi, Alfi langsung menginterogasinya di ruang tamu.
"Maafin Nayya, Pa ...," lirih Nayya pelan. Masih menunduk.
Alfi menghela napas kasar. "Kamu berbohong kalau Papa memberimu izin? Lalu kalian pergi berdua?" tanya Alfi tak percaya.
Nayya segera mendongak dan menggeleng tegas. "Enggak, Pa. Awalnya kita bertiga. Cuman Kak Adel pulang duluan," sergahnya.
"Terus kalian lanjut jalan berdua, begitu?" tanya Alfi lagi.
Nayya melihat ke arah Afanin yang sejak tadi hanya diam lalu kembali menunduk. Tak mengatakan apa pun.
Alfi mengusap wajahnya gusar. "Jadi itu, orang yang kamu sukai?"
Nayya mendongak, tergagap. "Pa...."
"Papa tidak suka kamu berbohong seperti ini, Ainayya. Berhenti berhubungan dengannya." Alfi menatap tajam putrinya. Tidak ada raut bercanda dari wajah yang masih terlihat tampan itu.
"Pa ... ini nggak ada hubungannya sama Kak Akbar, dia nggak salah apa-apa, dia nggak tahu apa-apa. Nayya sendiri yang mau dan berbohong kalau Papa sudah memberi Nayya izin. Jadi, jangan marahin dan salahin dia lagi."
Raut wajah Alfi semakin masam. Ia tak mengerti kenapa anak gadisnya ini susah sekali dikasih tahu. "Kalau terjadi apa-apa bagaimana? Papa sudah sering bilang, jangan pergi sendirian, apalagi dengan pria! Kamu tidak tahu sifat asli mereka seperti apa!"
"Buktinya Nayya nggak papa, Nayya masih baik-baik aja," sahut Nayya pelan.
"Tidak ada yang bisa menjamin kalau mereka pria baik-baik!" Alfi menaikkan nada bicaranya satu oktaf.
Nayya terhenyak, semakin menunduk. "Tapi dia pria baik-baik...," ucapnya pelan seperti gumaman.
"Jangan membantah! Papa melakukan semua ini demi kamu, Ainayya! Kenapa kamu susah sekali diberi tahu?! Keras kepala!" bentak Alfi semakin keras, sepertnya ia kehilangan kendali.
Nayya semakin menunduk, tangan dan kakinya gemetar. Baru kali ini ayahnya begitu marah padanya. Sementara Afanin memejamkan mata melihat Alfi yang sudah tak terkendali.
"Kenapa sih kau selalu bertindak semaumu?!" tanya Alfi marah.
Nayya mendongak menatap sang papa dengan wajah memerah menahan tangis. "Kapan aku bertindak semauku, Pa? Kapan?! Aku selalu nurutin kemauan Papa! Papa nyuruh Nayya berhenti taekwondo, Nayya lakuin! Papa nyuruh Nayya jangan pacaran, Nayya lakuin! Jangan naik angkutan umum, jangan boncengan sama lawan jenis, jangan keluyuran jauh-jauh, jangan pergi sendiri. Nayya lakuin semuanya, Pa!"
"Ainayya!" bentak Alfi dengan nada tinggi.
"Mas!" seru Afanin.
Nayya tersentak kaget. Pertama kalinya, Alfi memarahinya sampai seperti ini. Sesaat, ia melihat raut bersalah di wajah papanya. Namun ia terlalu sakit hati. Dadanya sesak tak tertahankan.
Air mata yang sejak awal ia tahan pun meluncur begitu saja. "Papa egois!" Nayya kemudian berlari ke luar rumah.
Alfi terpaku. Sementara Afanin berusaha mengejar anak gadis semata wayangnya.
Alfi mengusap wajahnya gusar. Lalu terduduk di sofa dengan perasaan bersalah.
Apa aku sudah keterlaluan?
Nayya terus berlari tanpa menghiraukan teriakan mamanya. Hingga Afanin tak mampu lagi mengejarnya. Ia pun berhenti untuk mengatur napasnya. Mencoba berpikir jernih. Lalu ia teringat seseorang yang mungkin bisa membantunya. Ia pun merogoh ponsel di saku gamis, lalu menghubungi orang tersebut.
***
Nayya pergi dengan berurai air mata. Menuju tempat yang biasa ia datangi saat keadaannya kacau. Kembali teringat bagaimana Alfi memarahi dan membentaknya, dadanya kembali sesak.
Ia tahu, ia salah. Tapi ia tak mengerti kesalahan fatal apa yang ia lakukan hingga membuat Alfi begitu marah padanya. Ia benar-benar tak mengerti atauㅡmungkinㅡtak mau mengerti.
Ia hanya pergi berdua, apa salahnya? Mereka juga tak melakukan hal yang aneh-aneh, tapi ayahnya bisa sampai semarah itu. Bahkan membentaknya habis-habisan, seolah ia telah melakukan hal terlarang yang paling keji.
Udara malam itu terasa begitu dingin, dan di sekolah TK itu tak ada siapa-siapa. Hanya terdengar suara lalu lalang kendaraan dari jalanan. Nayya mengayunkan ayunan kecil yang sedang ia duduki dengan pelan. Ayunan kesukaannya sejak dulu. Di sini, ia pernah merasakan kebahagiaan yang amat sangat bersama kedua orang tuanya. Ketika ia masih anak-anak yang tak mengerti apa-apa, yang tak dilarang melakukan apa-apa.
Kenapa menjadi dewasa sangat rumit? Menjadi dewasa sama sekali tak menyenangkan.
Nayya menghela napas panjang. Lalu seseorang datang dan duduk di ayunan satunya lagi.
"Malem-malem di TK sendirian, horor banget," ucap orang tersebut yang tak lain adalah Arkan.
Nayya tak mau meladeninya. Ia sedang kesal karena semuanya dimulai dari pengakuan Arkan.
Melihat reaksi Nayya yang diam saja, Arkan tahu kalau gadis di sampingnya itu tengah marah padanya.
"Maaf," ucap Arkan.
Nayya masih diam dan enggan menatapnya.
"Kalau gue bohong, semuanya bakal lebih rumit, Nay."
Nayya menghela napas. "Seenggaknya lo bohong juga demi gue, Kan. Lo kan bisa bilang kalo lo lagi sama gue, terus gue tinggal pulang bareng lo. Beres kan? Papa gak bakal semarah itu," tuturnya kemudian memalingkan muka. "Gue pikir lo sahabat gue."
Arkan menatapnya. Lama. "Justru karena lo sahabat gue. Gue lakuin ini karena gue peduli sama lo. Percayalah Nay, segala hal yang diawali kebohongan gak bakal berakhir baik."
Nayya menoleh, menatap sahabatnya itu. "Terus, menurut lo ini lebih baik, begitu?"
"Ya," sahut Arkan tanpa ragu. "Dengan begini, harusnya lo mikir di mana letak kesalahan lo. Bukannya nyalahin orang lain."
"Tapi gue salah apa sampe Papa semarah itu sama gue? Gue sama Kak Akbar gak ngapa-ngapain! Papa ituㅡ"
"Papa lo itu sayang banget sama lo, Nay. Lo belum ngerti juga? Lo bene-bener gak tahu letak kesalahan lo di mana?" tukas Arkan.
Nayya terdiam. Ia tahu. Hanya saja, enggan mengakui.
"Gue nggak ngebela lo, karena lo emang salah, Nay. Gue pikir lo udah mulai dewasa, ternyata lo masih sama kayak dua tahun lalu."
Hening sejenak, pikiran mereka kembali ke masa dua tahun lalu, saat Nayya mengetahui sebuah fakta tak menyenangkan tentang papanya. Nayya semakin tertunduk, hatinya membenarkan semua hal yang dikatakan oleh Arkan.
"Sekarang mending lo pulang, minta maaf sama papa lo, bilang lo nyesel dan gak bakal ulangin hal itu lagi."
Wajah Nayya semakin ditekuk. Nampaknya, ia belum siap untuk pulang.
"Dari mana lo tahu kalo gue kabur?" tanya Nayya pelan.
"Tante Afanin nelepon gue. Lo gak tahu gimana kahwatirnya dia sama lo, Nay." Arkan bangkit dari ayunan. "Ayo, pulang. Udah malem."
"Gue nggak mau pulang," ucap Nayya pelan.
Arkan menghela napas. "Terus lo mau ke mana? Mau sampe pagi di sini, gitu?" tanyanya gemas.
Nayya cemberut. "Gue nginep di rumah lo, ya?"
Mendengar itu, Arkan menaikkan sebelah alisnya.
"Gue gak mau pulang dulu," ucap Nayya lagi, merajuk.
Arkan menghela napas panjang. "Ya udah. Ayo pulang." Arkan pun berjalan terlebih dahulu. Diikuti Nayya di belakangnya.
"Kan ...."
Panggilan Nayya menghentikan Arkan yang akan memakai helm.
"Apa lagi, Ainayya?" Arkan tak jadi memakai helm dan berbalik menatap teman semasa kecilnya itu.
"Tumben sih gak bawa es krim," celetuk Nayya dan Arkan sukses melongo.
"Astaga!" Arkan berdecak tak percaya. Lantas memakai helm-nya.
"Pengen es krim...," rengek Nayya menarik-narik jaket yang dipakai Arkan.
"Iya, bawel! Ntar beli,"ㅡArkan naik ke atas motornyaㅡ"buruan naik!"
Nayya tersenyum lebar kemudian naik. Arkan pun melajukan motornya. Nayya menatap pria di hadapannya dengan penuh syukur. Karena ia memiliki sahabat sepertinya.
Ia yang selalu hadir, menemaninya saat duka atau pun suka. Ia, yang tak pernah lelah menasehatinya. Andai ia wanita, Nayya pasti sudah memeluknya sekarang juga. Sayang sekali, akan selalu ada jatak di antara mereka.
"Makasih ya, Kan...," lirih Nayya pelan.
"Apa? Lo ngomong apa? Gue gak denger!" teriak Arkan. Ia tak bisa mendengar apa yang dikatakan Nayya karena bising kendaraan.
"Udah, fokus ke depan aja!" sahut Nayya. Lalu tersenyum.
Ia merasa beruntung memiliki teman sepertinya. Sahabat yang tak selalu membenarkan setiap tingkah lakunya. Dia, sahabat yang selalu mengatakan salah jika ia salah, menegur jika ia salah.
Beruntung sekali wanita yang akan menjadi pendamping hidupnya kelak. Pikiran itu tiba-tiba terlintas di benaknya. Nayya tertawa konyol, bukan beruntung, tapi ia merasa kasihan karena Arkan sekarang minim ekspresi dan jutek.
Nayya menatap Arkan lewat kaca spion motor. Kembali tersenyum.
Kan, gue selalu doain yang terbaik buat lo. Karena gue hutang banyak budi sama lo. Gue harap, lo gak berubah, Kan.
***
"Loh, Nayya?" Arham menatap anak gadisㅡdi sebelah Arkanㅡyang sedang memakan es krim coklat itu dengan terheran-heran. "Ada apa malem-malem gini?"
Nayya nyengir. "Nayya nginep sini, boleh ya, Om? Malem ini aja, kok."
Arham mengerutkan kening lalu menatap anak laki-lakinya dengan raut tanya. Sementara Arkan hanya menggedik tanpa mau menjelaskan apa-apa.
"Ya udah, nanti Om minta Bibi beresin kamarnya dulu, ya."
Nayya mengangguk dengan senyuman khasnya. "Makasih, Om! Terbaik deh!" ujarnya mengacungkan ibu jari. "Maaf ya jadi ngerepotin," cengirnya. Lalu berjalan menuju ruang tengah dan menonton televisi sambil menunggu kamarnya selesai disiapkan.
Sementara Arkan menjelaskan kejadian yang dialami Nayya sekarang pada Arham. Usai berbicara dengan abinya, Arkan menghampiri Nayya yang sedang tertawa terbahak-bahak menonton reality show yang menurutnya tidak lucu sama sekali.
Ia menatapnya prihatin. Ia tahu tawa itu palsu, ia tahu gadis itu menyimpan banyak kesedihan di balik tawa dan keceriaannya. Baginya, gadis itu selalu sama. Dia, hanya anak-anak.
"Kamarnya udah disiapin, istirahat gih!" perintah Arkan ketika ia sampai di dekat Nayya.
"Oh, oke! Sankyu na!" ujarnya lalu beranjak menuju lantai dua, hingga sebuah suara menghentikan langkahnya.
"Nay...."
Nayya berbalik. Menatap Arkan dengan raut tanya. "Apa?"
"Lo ... baik-baik aja, kan?" tanya Arkan. Dan Nayya sukses terbahak. Membuat Arkan memutar bola mata.
"I'm trully fine, ok!"
Arkan bergumam. "Udah kabarin orang tua lo? Mereka pasti khawatir."
"Ah, iya. Lo aja deh! Ya?" pintanya dengan cengiran tanpa dosa. Lalu ngacir menaiki tangga.
Sekali lagi, Arkan memutar bola mata. Lalu sesuai permintaan Nayya, ia menghubungi Afanin. Menjelaskan detail kejadiannya pada ibu sahabatnya itu.
Terdengar helaan napas lega dari Afanin. "Syukurlah kalau begitu. Makasih banyak ya, Arkan. Titip Nayya dulu."
"Iya, Tan. Gak papa," jawab Arkan lalu memutus sambungan telepon setelah sedikit berbasa-basi.
Nayya termenung di kamar tamu rumah Arkan. Sudah lama ia tidak tidur di kamar itu. Kemudian ponselnya berbunyi tanda pesan masuk. Alisnya naik sebelah melihat nama Arkan sebagai pengirim. Ia membukanya.
"Coba muhasabah sebelum tidur. Inget-inget semua yang lo lakuin. Renungin kesalahan lo. Murojaah sekalian tuh, hafalan maju mundur terus juga."
Nayya tertohok membaca pesan dari Arkan. Ia jarang murojaah, jarang mengahapal, hapalannya pun maju mundur. Semua yang dikatakan Arkan benar adanya. Lalu sejurus kemudian, ia menangis. Merutuki dan menyesali diri.
Apa aku terlalu jauh? Allah ... Maafkanlah aku....
***
Tbc.
Maaf ya dikit 😅 yang penting up 🙈🙈 wkwk. Maafkan karena sepertinya bakal makin slow update buat cerita ini 🙈
Tapi aku selalu usahain kok :)
Subang,
22 Oktober 2017
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top