Bab 8 - Yang Diawali Kebohongan

8

~Yang Diawali Kebohongan~

"Karena segala hal yang diawali dengan kebohongan selalu berakhir dengan tidak baik. Walau nyatanya aku telah melakukannya sejak lama."

***

Arkan menutup Al-Qur'an yang baru selesai ia baca. Lantas menyimpannya di atas nakas dan menggantungkan kopiyah hitam yang ia pakai di hanger. Ia menoleh ke arah pintu saat mendengar seseorang membukanya.

Perlahan, pintu kamarnya terbuka. Menampilkan sosok gadis kecil kesayangannya. Awalnya Arkan tersenyum, namun melihat raut sang adik yang murung, senyumnya berganti kerutan di dahi.

"Sini!" Arkan menyuruh adik bungsunya itu masuk.

Gadis berusia dua tahun itu membuka pintu lebih lebar, kemudian dengan langkah kecil ia berlari menuju sang kakak. Arkan memangku gadis kecil itu begitu sampai di hadapannya. Asha mengalungkan tangan mungil dan menyerukkan kepalanya di leher Arkan.

"Ada apa? Hm?" tanya Arkan menepuk-nepuk punggung kecil sang adik.

"Umi ama Abi...," lirihnya pelan.

Arkan berpindah duduk di tepi ranjang. Ia tatap sang adik yang masih berada di pangkuannya. Wajahnya murung dan nampak agak ketakutan.

"Kenapa?" tanyanya lagi.

"Umi angis ... Umi uga mayah-mayah ama Abi," tuturnya pelan.

Hati Arkan mencelos. Seolah jantungnya jatuh dari tempat asalnya.

Mereka bertengkar lagi? batinnya.

Arkan merasa tak tega melihat raut adiknya yang harus menyaksikan pertengkaran orang tua mereka. Ia pun tersenyum pada adik semata wayangnya itu. "Jalan-jalan sama Abang, yuk! Mau gak?"

Asha tersenyum lebar menampakkan deretan giginya yang masih kecil dan mengangguk antusias.

"Auuu! Ndong!" serunya riang.

Arkan terkekeh. "Oke, Tuan Putri."

Masih dengan senyum lebar, gadis kecil itu beralih ke punggung Arkan. "Yee!! anti eyi es klim ya!"

"Yes, Sweetheart," sahut Arkan menggunakan panggilan kesukaan Asha selain Tuan Putri.

Arkan menbawanya keluar. Ia bisa melihat ibunya duduk di sofa sambil terisak. Sementara ayahnya berdiri membelakangi ibunya.

Adeeva menyadari kedua anaknya yang tengah berjalan melewatinya. Ia pun menghapus jejak air matanya dengan cepat.

"Kalian mau ke mana?" tanya Adeeva dengan suara serak.

Arham ikut berbalik. Arkan menatap kedua orang tuanya sejenak. "Mau ajak Asha ke luar, gak baik kalo terus di rumah apalagi lihat keadaan Umi dan Abi sekarang,"ㅡArkan melengosㅡ"assalamu'alaikum."

Adeeva dan Arham menjawab salam dengan sangat pelan. Lalu kembali terdiam.

Sementara Arkan membawa sang adik yang masih betah di gendongannya keliling kompleks, melakukan apa saja untuk membuatnya tertawa. Mereka lantas mampir ke sebuah ruko langganan Arkan.

"Ahh, kamu makin berat ya, Dek!" Arkan mendesah panjang setelah menurunkan Asha─mendudukkannya di sebuah kursi kayu. Tangannya menggenggam balon spongebob yang dibelikan Arkan tadi.

"Maca? Acha kan ecil, Abang pyah!"

Arkan terkekeh. "Es krim?" tawarnya kemudian.

Asha mengangguk antusias. "Ua!" serunya mengacungkan jari telunjuk dan jari tengahnya ke depan.

"Satu aja."

Asha cemberut. "Ua! Acha au uaa!" rengeknya.

Arkan meringis. "Iya, iya. Dua," putusnya kemudian. Dari pada adiknya menangis, lebih baik menuruti kemauannya. Ia pun mengambil dua buah eskrim rasa vanilla dan strawberry kesukaan adiknya.

"Eh, Nak Arkan ... tumben sama adiknya? Lagi maen?" sapa Mang Jaja pemilik ruko.

"Iya, Mang. Mumpung libur," jawab Arkan sekadarnya.

Mang Jaja mengangguk. "Tumben nggak sama Neng Nayya?"

Arkan terdiam sejenak. Teringat Nayya yang ia tinggalkan bersama Akbar dan Adel.

"Dia lagi ada urusan sendiri," jawabnya sambil tersenyum.

Mang Jaja ber-oh ria dan mengangguk paham. Arkan merogoh saku lalu membayar untuk dua es krim. Dan es krim itu malah membuat ia kembali teringat pada sahabatnya itu. Biasanya dia beli dua; untuknya dan satu lagi untuk Nayya.

Kira-kira sedang apa dia sekarang? Ah, mungkin ia sedang bersenang-senang. Bagaimana kalau Om Alfi tahu aku membiarkan Nayya jalan sendiri?

"Argh! Bodo! Dia udah gede dan bisa jaga diri sendiri," gerutunya pelan. Lalu menghampiri adiknya.

Asha mengulurkan dua tangannya, menyambut eskrim yang berada di genggaman Arkan. Namun satu tangannya masih menggenggam balon. Asha terlihat kebingungan sendiri dan hal itu membuat Arkan terkekeh geli.

"Sini balonnya Abang pegangin. Makannya satu-satu, ya!" ucap Arkan mengambil balon dari tangan Asha lalu menyerahkan dua es krim yang ia beli tadi.

Asha mengangguk dan tersenyum lebar, mengambilnya lalu memakan es krim rasa strawberry. Arkan menemani sang adik dengan duduk di sampingnya. Ia kembali teringat pada Nayya. Kemudian menghela napas.

"Ini. Uat Abang!" Asha menyodorkan es krim vanilla pada Arkan.

Arkan terpaku sejenak. "Kenapa?"

"Yang ini wat Acha, ini wat Abang," ucap adiknya.

Arkan tersenyum kemudian mengambil es krim dari tangan sang adik. "Bener nih?" tanyanya.

Asha mengangguk masih melahap es krim yang belepotan ke sana ke mari. Arkan tersenyum, menghapus jejak es krim di sekitar wajah adiknya dengan sapu tangan yang sengaja ia bawa.

Ia menatap es krim vanilla di tangannya. Lagi-lagi mengingatkannya pada Nayya. Ia menoleh pada adiknya yang serius melahap es krim. Ia bertanya-tanya kenapa adiknya begitu mirip dengan gadis itu? Menghela napas lelah, lalu ia pun memakan es krim vanilla kesukaannya.

Beberapa orang yang lewat atau mampir ke ruko melihatnya sambil berbisik dan terkekeh. Mungkin heran melihat pria remaja seperti Arkan duduk memakan es krim sambil memegang balon.

Arkan hanya memutar bola mata, setelah ia dan adiknya menghabiskan es krim, mereka kembali ke rumah. Berharap orang tuanya sudah tak bertengkar lagi.

"Assalamu'alaikum," ucap Arkan pelan ketika memasuki rumahnya.

Kedua orang tuanya sudah tidak ada di ruang tamu. Ia berniat membawa sang adik ke ruang tengah untuk memonton televisi. Namun, langkahnya terhenti dan refleks membalikkan tubuh saat melihat pemandangan di depannya. Ia berdesis. "Acha jangan noleh!" tukasnya pada sang adik.

"Umi, Abi! Kalau mau bermesraan tolong lihat tempat," tuturnya jengah.

"Eh, anak Abi udah pada pulang." Terdengar suara Arham. Arkan pun berbalik, ia menurunkan adiknya.

"Sini, Sayang!" seru Arham pada Asha. Gadis kecil itu pun berlari menuju ayahnya. Mereka langsung tertawa dan bercanda ria.

Arkan menatap Adeeva yang masih tersipu malu karena kepergok sedang bermesraan olehnya. Arkan berdecih pelan. Padahal mereka baru saja bertengkar. Tapi kemudian ia tersenyum. Merasa senang karema kedua orang tuanya paham agama, hingga mereka selalu bisa menyelsaikan masalah dengan baik dan cepat.

"Abang cini!" Asha melambaikan tangan pada Arkan, menyuruhnya ikut selonjoran sambil bermain-main.

Arkan tersenyum lantas ia bergabung bersama keluarganya. Menghabiskan waktu di sore itu hingga menjelang magrib.

***

Sementara di sisi lain, Nayya masih meredakan sisa tawanya usai menonton film komedi barat bersama Akbar. Hanya berdua, karena satu jam yang lalu, Adel tiba-tiba harus pulang karena ada urusan mendadak.

"Ah, gila. Kocak parah," ucapnya lebih ke diri sendiri.

Akbar terkekeh. "Seru kan, filmnya?"

Nayya mengangguk. Di sisi lain ia bersyukur Akbar tak mengajaknya menonton film romantis. Bisa-bisa ia tertidur sepanjang film diputar. Lalu terdengar suara aneh yang berasal dari perutnya.

Akbar menyadari itu dan kembali terkekeh. Nayya nyengir sambil menahan sedkit malu. Ia merutuki perutnya dalam hati.

Akbar melihat arloji di tangannya, pukul lima sore. "Kita cari makan dulu aja, ya? Nanti habis magrib baru pulang."

"Eh? Tapi ... pulang sekarang aja deh."

"Nggak papa, aku yang traktir. Sekalian aja, kapan lagi kita jalan bareng?"

Nayya membenarkan dalam hati. Tapi tetap saja....

"Papamu juga kan sudah memberi izin," tukas Akbar sebelum Nayya menyelesaikan kalimat dalam benaknya.

Nayya menggigit bibir bawahnya. Tidak tahu saja, kalau ia sebenarnya tengah berbohong. Saat Arkan tetap pada pendiriannya untuk pulang, Nayya pura-pura menghubungi Alfi dan berkata kalau papanya itu telah memberinya izin.

Arkan yang sudah jengah pun memutuskan untuk percaya pada kata-katanya. Dan meninggalkan Nayya bersama dua kakak kelasnya.

"Hey! Malah bengong. Udah ayok, biar keburu magrib di sini."

Menghela napas, akhirnya Nayya pun menurut. Ia hanya berharap papanya percaya kalau ia pergi bersama Arkan.

Akbar mengajaknya ke salah satu kafe yang ada di mall tersebut. Kafe yang pernah Nayya singgahi bersama papanya beberapa minggu lalu. Nayya agak sangsi ketika memasuki kafe itu, takut kalau pelayan di sana mengenalinya sebagai anak dari pemilik mall tersebut.

Dugaannya tepat, tidak lama setelah ia duduk, seorang pelayan menghampirinya. Memberi ia sambutan dengan sangat hormat. Nayya meringis, melirik Akbar yang menatapnya heran.

Nayya lalu membisikkan sesuatu pada pelayan tersebut, dan setelahnya pelayan itu kembali bersikap biasa.

"Kenapa?" tanya Akbar.

"Nggak ada apa-apa, kok!" Nayya mengibas-ngibaskan tangannya sambil tertawa hambar.

Akbar hanya mengangguk, mereka terdiam selama menunggu pesanan mereka datang. Sampai Akbar yang memulai pembicaraan.

"Nay, thanks banget buat hari ini. Berkat kamu, aku bisa menang," ujarnya sambil tersenyum.

"Eh? Kok berkat aku ... aku kan nggak lakuin apa-apa." Nayya menggaruk belakang kepala nampak salah tingkah.

Akbar menggeleng. "Awalnya aku udah mau nyerah, tapi denger kamu teriak rasanya aku dapat asupan energi. Ajaib ya," celotehnya sambil terkekeh ringan.

"I-iya kah?" Nayya gelagapan, entah kenapa dia selalu tak bisa berkutik di depan pria satu ini.

"Emm... nanti habis magrib, mau langsung pulang?" tanya Akbar.

Nayya mengangguk. Sebenarnya sekarang perasaannya sudah tak menentu. Tapi apa boleh buat, tidak mungkin ia pergi begitu saja saat itu juga. Kemudian pesanan mereka datang.

Usai makan dan sholat magrib di musola yang disediakan mall tersebut, Akbar menawari untuk mengantar Nayya pulang.

"Nggak usah, Kak. Aku naik taksi aja."

"Masa aku biarin kamu naik taksi sendiri, Nay. Kan aku yang ajak kamu. Jadi aku yang bertanggung jawab menjaga keselamatanmu sampai rumah."

Nayya menggigit bibir bawah, meringis. Bukannya tidak mau, tapi akan sangat bahaya kalau sampai papanya tahu.

"Udah, ayo naik!" ajak Akbar yang kini sudah bersiap di atas motornya.

Nayya masih diam. Batinnya masih berkecamuk. Teringat semua larangan yang disampaikan oleh mamanya.

"Nay...."

Nayya menyerah. Ia pun naik ke motor Akbar.

"Nah gitu dong, apa susahnya coba? Lagian aku juga nggak bakal ngapa-ngapain kamu."

Nayya bergumam. Tentu saja ia juga tahu itu. Hanya saja ia tak tenang karena sudah berbohong.

Akbar pun melajukan motornya, Nayya berpegangan pada pinggir motor. Dalam hati ia terus berdoa dan memohon ampun pada Sang Kuasa.

Ya Allah maafkan hamba-Mu ini ya Allah, kali inii aja. Nanti nggak lagi, aku janji ya Allah.

Tidak lama, Akbar tiba-tiba menghentikan motornya, membuat Nayya terheran-heran.

"Kok berhenti?"

"Ke sana yuk, bentar aja. Mau gak?" Akbar menorehkan kepala ke arah kanan yang terdapat pasar malam.

Nayya ikut menoleh, dalam hati ia menjerit ingin sekali pergi ke sana. Sudah berapa lama ia tidak bermain di tempat seperti itu? Dua tahun yang lalu, sepertinya.

Tanpa persetujuan Nayya, Akbar menyebrangkan motornya ke arah kanan. Nayya terperanjat.

"Loh? Kak?"

"Ayok turun!" tukas Akbar setelah memarkirkan motornya.

Nayya pun turun. "Tapi Kakㅡ"

"Bentar doang, kamu pengen kan ke sini?"

Nayya menunduk. Akbar melepas helm-nya lalu melepas helm yang dipakai Nayya. Untuk kesekian kali, Nayya terkejut akibat perlakuan Akbar terhadapnya. Mau tak mau ia kembali kepikiran saat di GOR itu, ketika Akbar memberinya love sign, namun sampai sekarang pun Akbar tak mengatakan apa-apa soal itu.

Ah, sudahlah. Tak usah dipikirkan!

Begitu mereka memasuki area pasar malam, Nayya langsung berdecak kagum. Wajahnya berseri, matanya berbinar melihat berbagai permainan, jajanan dan aneka ragam yang dipamerkan. Dan nyatanya, ialah yang paling bersemangat menaiki berbagai macam permainan dan membeli jajanan yang jarang ia temukan. Sementara Akbar hanya mengikuti semua keinginan gadis itu.

***

"Nayya belum pulang?" tanya Alfi pada Afanin ketika ia baru saja tiba di rumah.

Afanin melirik jam dinding yang tengah menunjukkan pukul delapan kurang seperempat. "Belum, Mas. Aku baru saja mau menghubungi Arkan."

Alfi mengerutkan kening, tidak biasanya Arkan tak menepati janji. Apalagi sampai petang mereka belum juga kembali. Padahal sebelumnya ia sudah menyuruh Arkan untuk langsung pulang, atau kalau mau bepergian pun mereka harus selalu pulang sebelum magrib.

"Biar aku saja," ucap Alfi meminta ponsel yang digenggam Afanin.

Arkan yang sedang berkutat dengan buku pelajaran terganggu akibat deringan ponselnya. Dahinya mengernyit melihat siapa nama orang yang memanggilnya. Dan perasaannya mulai tak enak.

"Assalamu'alaikum," sapa Arkan begitu ia mengangkat panggilannya.

"Wa'alaikumussalam. Kalian di mana? Kenapa belum pulang?" Alfi langsung memborbardil Arkan dengan berbagai pertanyaan.

Kerutan di dahi Arkan semakin bertambah. Di mana? Belum pulang? Lalu sejurus kemudian Arkan sadar. Matanya terbelalak.

Jam segini belum pulang? Cari masalah aja sih, tuh anak! Aku harus bilang apa sama Om Alfi? Kalau jujur, pasti....

"Halo? Arkan?" Suara dari seberang menginterupsi lamunannya.

"Eh iya, Om. Kenapa?" tanyanya bodoh.

"Ini udah malem, kenapa kalian belum pulang?"

Arkan tergagap, bingung harus menjawab apa. Kenapa juga ia membiarkannya pergi sendiri padahal ia tahu kalau Nayya tengah berbohong ketika mengatakan Alfi sudah memberinya izin.

Aarrgh sial! Kalau aku berbohong, semuanya akan tambah kacau, karena aku tidak tahu persisnya di mana Nayya. Dan lagi, aku tidak suka kebohongan. Karena segala hal yang diawali dengan kebohongan selalu berakhir dengan tidak baik. Walau nyatanya aku telah melakukannya sejak lama. Ah tidak, aku tidak berbohong. Aku hanya menyembunyikan kebenaran. Bukankah dua hal itu berbeda? Ataukah sama saja?

"Arkan?" Sekali lagi, Alfi menegurnya yang malah terdiam.

Arkan menarik napas sejenak. "Anu ... Om, aku nggak sama Nayya," ucap Arkan pada akhirnya.

"Apa maksudmu?!" Alfi terdengar geram.

Arkan meringis membayangkan raut muka Alfi sekarang. Lau ia pun menjelaskan kronologis kenapa ia bisa meninggalkan Nayya.

"Kenapa kamu membiarkannya? Kamu tahu Om tidak mungkin memberinya izin." Alfi menggeram tertahan. Kemarahannya sudah mencapai ubun-ubun.

"Maaf, Om...." Ucapannya menggantung. Ia hanya terlalu kesal saat itu, dan ia tak bisa menjelaskan alasannya.

Terdengar hgelaan napas dari seberang.

"Apa perlu saya bantu hubungin Nayya, Om?" tanya Arkan hati-hati.

"Tidak usah. Biar Om saja. Ya sudah kalau begitu."

Alfi menutup telepon setelah mengucap salam. Dan Arkan, ia tak bisa lagi konsentrasi pada buku-buku di hadapannya. Ia menghela napas kasar. Sejak dulu anak itu hobi sekali mencari perkara. Dan lagi apa yang ia lakukan sampai sekarang belum pulang? Astaga Ainayya! jerit batin Arkan frustrasi.

Ia mencoba menghubungi gadis itu namun tidak diangkatnya. Ia menghela napas. Nayya pasti akan kena marah papanya. Tanpa pikir panjang lagi, Arkan meraih jaket dan memakainya. Lalu bergegas mencari Nayya.

"Arkan, mau ke mana?" Langkah Arkan terhenti mendengar suara ayahnya.

"Ke luar bentar, ada urusan. Assalamu'alaikum," ucapnya kemudian berlalu.

Arkan berniat menuju mal yang sudah mereka rencanakan diawal. Namun saat perjalanan ke sana, Arkan harus terhambat karena di jalan rupanya sedang ada razia, jalanan pun di block. Ia tak mungkin memutar balik, bisa-bisa ia dicurigai membawa barang haram.

Ia pun menunggu dan matanya tak sengaja menangkap dua pria−cukup jauh−di belakangnya tengah membuang sesuatu ke dalam tong sampah. Matanya menyipit, menurutnya tingkah mereka mencurigakan. Ia terpaku saat melihat wajah salah satu pria itu, seseorang yang sangat ia kenal. Dan ia tahu apa yang mereka buang.

Sementara itu, Nayya tengah tertawa puas bersama Akbar. Kemudian ia tersadar dan mengecek ponsel. Matanya terbelalak melihat jam yang menunjukkan pukul delapan.

"Ya Tuhan!"ㅡia menoleh pada Akbarㅡ"kita pulang sekarang ya, udah malem. Takut Papa nyariin."

Akbar mengangguk mengiyakan kemudian mereka pun keluar dari pasar malam dan memutuskan untuk pulang. Akbar mengantarnya sampai depan pintu gerbang rumah.

Nayya turun dan menyerahkan helm pada Akbar. "Makasih ya, Kak. Maaf ngerepotin."

Akbar tersenyum. "Harusnya aku yang bilang makasih, maaf jadi kemaleman."

Nayya menggeleng, itu salahnyamkarena ia terlalu asik berada di pasar malam itu.

"Mau mampir dulu?" tanyanya hati-hati, padahal ia berharap kalau pria itu menolak tawarannya.

"Emm ... kapan-kapan aja."

Lalu pintu gerbang tiba-tiba terbuka, Nayya begitu terkejut. Saat menoleh, ia terbelalak mendapati mobil papanya yang sepertinya akan keluar dan tentu saja ia bisa melihat papanya di dalam. Bahkan tatapan tajamnya bisa menembus kaca mobil dan menusuknya begitu dalam. Ia menelan ludah.

Mampus! Ainayya, lebih baik lo mati aja sekarang!

***

Tbc.

Makin gaje gak sih 😅😅😂🙈🙈🙊
Masih lanjut? Wkwk

Subang,
8 Oktober 2017

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top